Chereads / Story About Us. / Chapter 3 - Quietest Moment

Chapter 3 - Quietest Moment

- Hallstat, 22 Juni 2011.-

Tentramnya pagi bukanlah hadiah untuk semua orang dan hari ini Camellia termasuk di semua orang itu. Bangun lebih cepat dengan harapan bisa berkeliling penginapan lebih awal dan menikmati terbitnya mentari di desa itu, sebelum petualangan sesungguhnya dimulai. Bahkan berniat mengunjungi Evangelical Church - salah satu bangunan di Hallstat yang berjarak hanya satu gedung dari tempatnya saat ini - walau dirinya bukan termasuk golongan orang taat beribadah. Malah ia harus berkutat dengan penyakit kronisnya. Pikun.

Napas perempuan itu mulai berburu. Semua barang bawaan tersebar di lantai kamar tapi masih belum membantu menemukan apa yang ia cari, malah penyakit lain yang berdatangan - Migrain -. Penglihatannya pun mengabur, air mata terus saja mendesak ingin ditumpahkan. Pelan - pelan Camellia mencoba menenangkan jantungnya yang sedang berpesta, kembali menguji ingatannya tentang kemarin malam. Pasrah saat tidak ada sama sekali yang terlintas, perempuan itu mulai berguling - guling dengan air mata yang menggenang. Sesekali memanggil dirinya bodoh - yang bukanlah hal baru -. Berhenti setiap menit hanya untuk mengucap maaf yang entah pada siapa.

Bukan kali ini saja sifat pelupanya itu menyiksa. Dulu - dulu Jason sampai menyarankannya bertandang ke ahli nujum, bahkan menawarkan diri untuk mengantar. Pernah ia harus menderita seharian disekolah, kadang - kadang ia harus berbohong dan sering - sering Jason juga Kian pura - pura tak mengenalnya. Dengan track record yang seperti ini, tidak ada salahnya Camellia jadi bagian The Guinnness Book of World Records. Sebagai bentuk apresiasi untuk semua kesialannya.

'Wow, you could win a cleanliness award for this room!!. fantastic.'

Sindiran sang sahabat terdengar lengkap dengan tepuk tangannya kala pintu yang dibukanya memamerkan pemandangan kapal yang porak poranda. Sayang, Camellia sudah kehilangan semangat untuk menanggapi. Memilih melanjutkan perenungannya. Berangan - angan keajaiban terjadi dan benda yang ia cari telah kembali, bersarang baik dilehernya.

'K, I think I lost all desire to get out. You can start by yourself.'

'And all of that because...'

Andaikata hatinya sedang tidak berduka, mungkin ekspresi aneh Kian bisa ia tangkap. Namun saat ini bukanlah hal yang penting untuk memikirkan penampilan, sekalipun itu dengan air mata juga air hidung yang memenuhi wajah, sangat memalukan untuk usianya saat ini. But then again, she doesn't care. Sesegukan, Camellia menjelaskan kronologi penyebab kamar juga wajahnya yang berantakan. Berusaha tidak terpengaruh dengan senyum usil yang terbit di wajah sang sahabat. She's like most of the bestfriends. Taking a pleasure when the others are having a shit day.

'Oh Camellia Angelou Peterson.. What would you do without me !!!'

Si empunya nama mencoba fokus pada apa yang di goyang - goyangkan sang sahabat sebelum berlari merangkulnya senang. Meski belum lama berstatus pemilik, kalung itu sudah seperti bagian penting dalam diri Camellia. Benda yang ternyata ia tinggal saat begitu asik dengan gosipnya. Kalungnya ini adalah saksi bisu 12 tahun pemilik sebelumnya, dan tiga dekade lebih dari pemilik pertamanya. Saksi dari perasaannya. Jarang - jarang Camellia punya benda dengan sejarah yang melekat kuat. And god, she loves with history. It grows with her.

Melihat Camellia dipenuhi bahagia, Kian memilih melanjutkan tidurnya yang tertunda. Cukup puas dengan pagi penuh senyum yang dimilikinya. Karena meski sang sahabat tidak masuk kategori pesolek, tetap saja pemandangan pagi tadi sangat jarang terjadi. Dalam sembilan tahun persahabatan mereka berjalan.

***

Selepas pagi yang penuh drama, Camellia mendapati dirinya mulai berjalan di alun - alun desa. Sendirian sebab Kian masih terbuai dalam mimpinya. Pemberhentian pertama sesuai rencana adalah Evangelical Church of Hallstatt. Perempuan itu mulai berpikir ada baiknya mengikuti misa, kegiatan yang sering - sering sengaja dan tak sengaja tertinggal olehnya. Saat masih sekolah dulu, Camellia tidak pernah absen melakukannya. Apalagi keluarga barunya termasuk orang yang taat beribadah. Setelah memutuskan mengejar kenikmatan dunia - Uang -, sedikit - sedikit dia mulai abai. Di telaah lagi, bisa jadi semua kesialannya itu efek dari kelalaiannya ini.

Evangelicsl Church di Hallstatt ini merupakan salah satu icon desa. Berdiri anggun sejak tahun 1785 atau kisaran abad ke-18. Sejarah desa ini menceritakan jika awalnya hanya sebagai rumah doa sederhana dan butuh berpuluh - puluh tahun baru mulai ditambahkan lonceng dan menara sehingga terlihat seperti gereja yang sesungguhnya. Terletak di sisi danau, Evangelical Church of Christ jadi salah satu fokus terbaik para pencinta photografi dalam menangkap panorama alam di Hallstatt.

Masuk, Camellia mengikuti semua kegiatan gereja pagi itu. Mengakhiri dengan doa untuk sang ayah, ibu, juga David. Doa kesehatan untuk sang sahabat - Kian - dan keluarganya, lalu satu doa wajib untuk Annabelle - jodoh - yang banyak membantunya di kantor. Menyelipkan banyak untuk Jason. Kemudian rasa puas dan bangga memuncak dihatinya ketika bisa menyematkan nama mantan atasannya. Meski sering dibuat dongkol, ada masa dimana Theo membuatnya merasa senang dan berharga. Terlebih saat pertama kali bertemu, dia sempat walau singkat dibuat berdebar. Sebenarnya rasa benci Camellia juga tidak begitu besar. Hanya saja untuk beberapa alasan, hubungan mereka menjadi sulit untuk dijabarkan.

Karena waktu tibanya kemarin tidak membantu banyak untuk mengagumi tempat ini, ia mulai mencurahkan semua perhatian pada desa kecil itu. Ke alun - alun, ia melihat patung Holy Trinity yang menjadi sorot desa, tampak begitu elegan seolah menyambut siapapun yang berjamu kesana. Kemudian Marktplatz yang mempesona, rumah - rumah tradisional yang balkonnya terbungkus oleh bunga - bunga, juga toko - toko dan kafe bertingkat yang berbaris rapi, berlatarkan danau dan dikelilingi pegunungan Dachstein juga Salzkammergut yang menjulang tinggi. Sungguh pagi yang menakjubkan.

Menghabiskan hampir setengah dari umurnya dikelilingi gedung besar yang cahayanya mengalahkan redup bintang juga polusi udara dan suara yang bisa ditemukan ditiap sudut kota ditambah pekerjaan yang seakan - akan tidak ada habisnya membuat Camellia merasakan esensial dari ketentraman disini. Perasaan yang agak sulit ia dapatkan disetiap keadaan. Yang cukup ketika perempuan itu berada satu meja dengan keluarga ataupun sahabat.

Ada satu masa dalam hidup seorang Camellia dimana ia berpikir untuk tinggal ditempat se penomenal ini. Atau menghabiskan umurnya tanpa perlu mengkhawatirkan apa yang sebenarnya tidak perlu diambil pusing. Namun ada mimpi yang sebaiknya tetap tinggal sebagai bunga tidur. Dan entah baik atau buruk tapi untuk bertahun - tahun kedepan mimpinya itu akan tetap menemani malam seorang Camellia sebab sekarang ia masih diperbudak oleh uang.

Puas mengamati tengah kota, diambilnya rute menuju Photo Point yang berada di distrik Römisches. Tempat yang menjadi titik terbaik jika ingin melihat lanskap desa berhiaskan pengunungan Alpen dan Hallstattersee. Sepertinya yang haus akan keindahan bukan hanya dirinya, terbukti banyak pelancong lain menghabiskan pagi disana. Tidak seperti kemarin, kali ini perempuan itu memilih menangkap semua yang terpajang dengan mata indahnya. Mengambil sebanyak mungkin sebelum kembali memulai tour sebenarnya.

Menyayangkan satu lagi keindahan yang di lewatkan Jason juga Kian yang memilih kembali terperangkap dalam resbangnya.

Setalah matahari mulai meninggi, dua anak manusia itu memulai perjalanan menuju The Five Fingers. Salah satu citra wisata yang menarik banyak pelancong untuk berkunjung. Selain tampilannya yang unik serta panorama alam yang disuguhkannya, platform jari logam itu terletak di kawasan pegunungan Warisan Dunia UNESCO Hallstatt-Dachstein Salzkammergut. Walau menikmati kota bisa dilakukan dengan berjalan - jalan disekitarnya, namun tidak sah rasanya jika tidak melihatnya di ketinggian.

'Oh.. Such a beautiful song. My one and only idol.'

Antusias yang tidak disembunyikan Kian hanya membuat Camellia tersenyum namun tidak berusaha menanggapi. Beberapa bulan lalu, kala Firework milik Katty Perry mengguncang sejuta umat, Kian juga mengatakan hal yang sama. Lalu Blank Space ditahun sebelumnya, dilanjut Coldplay di waktu yang hampir bersamaan. Sepertinya, kalimat "My One and Only" dimaknai berbeda oleh temannya itu.

Perjalanan yang memakan waktu sekitar setengah jam jadi lebih lengkap dengan suara khas Adele. Sentimental. Mengamati kelilingnya, Camellia merasa seperti berjalan di antara dua tebing. Jalur yang tidak terlalu lapang itu dipenuhi pepohonan juga rumah - rumah dengan desain khas sana. Pemandangan serba hijau itu menambah sejuknya pagi.

Tempat yang mereka tuju ini dibangun diatas tebing curam dan dinamai 5 jari karena struktur logam berbentuk seperti tangan. Satu - satunya akses ketempat observasi itu hanya dengan kereta gantung Dachstein dan perlu naik dua kali, pertama di stasiun lembah Obertraun dan di station tengah (section 1) yang akan membawa para pengunjung sampai di stasiun Gunung Krippestein. Menurut infomarsi yang didapat dua insan minim pengalaman itu, mereka masih harus berjalan menanjak sekitar 20 menit untuk bisa berdiri tepat diatas The Five Fingers.

'So, have you spoken to Anna yet?'

pertanyaan itu menghentikan lamunannya. Kemarin setelah selesai berbicara dengan sang ibu, Camellia sempat bercerita pada Kian, namun temannya itu tidak memberi tanggapan berarti bahkan saat sarapan tadi ia tidak menyingung nya sama sekali membuat Camellia berpikir perempuan itu memang tidak peduli. Menjawab seadanya, Camellia malah dapat cemohan sang sahabat. Kian mulai berpikir jika akar dari semua permasalahan juga perjalanan ini adalah perempuan yang sedang duduk manis disampingnya bukan laki - laki yang selalu dipanggilnya Angel of Death, Theo.

' Well.. No offense, but as your bestie, i'm telling you to fix your problem with that man yourself. Showed some mercy to Anne. She's getting old, Cam.'

Mungkin terkesan membual, tapi memang betul, disetiap perkataan Kian tidak pernah berisi kebohongan pun kejujurannya tidak pernah menyakitkan. Pernah satu waktu saat mereka harus terjebak selama berjam - jam dalam ribuan pujian Jason untuk sang kekasih - Mary -, ia malah memilih mencibir, meminta Jason tidak terlalu berpegang pada hal yang mudah pergi sampai mengatakan pria itu harus menunggu minimal satu tahun untuk semua pujiannya tadi. Saat itu, Jason hanya tertawa, berdalih Kian hanya cemburu tidak menemukan pria seperti dirinya. Dua minggu sebelum satu tahun, Kian tidak bisa berhenti tertawa, menatap Jason yang harus jadi korban perselingkuhan.

Juga saat Camellia begitu bahagia akhirnya bisa bekerja, kegiatan yang diidam-idamkannya sedari masih kuliah. Kala itu Jason satu suara dengannya, sedang Kian dengan model layaknya Mario Teguh meminta sang sahabat tidak menerima pekerjaan itu, "there is no happiness there. you won't last long". Dan Kian 99% benar, satu persennya untuk Camellia yang ternyata mampu bertahan selama tiga tahun lamanya dengan beribu keluhan mengiringi. As told, she's a slave to money. Sejak dua momen krusial itu, penting untuk Jason juga Camellia mendengar fatwa seorang Kiandra Lee.

'Okay.. I'll call her tonight'

'Him'

'Alright. Him. I'll call him tonight'

It's a lie. Jelas sekali itu hanya omong kosong, kalaupun terealisasi, tidak malam ini. Tapi Kian tidak melanjutkan, paham betul kesusahan temannya. Begitu - begitu, Camellia termasuk orang paling badung yang pernah ia temui, meski masih jauh di bawahnya. Pembicaraan itu berakhir singkat, tidak ada topik lain yang mengikuti. Camellia kembali terlena dalam pikirannya. Hanya suara emas Adele yang masih setia bernyanyi untuk mereka, menjadi satunya alternatif pembunuh waktu yang tersisa. Sesekali dengan suara pas - pasan, kedua perempuan itu ikut bernyanyi.

Pemandangan yang terlihat dari Five Fingers ini tak ada tandingannya, memiliki jiwanya sendiri. Diperhatikannya kaki gunung, Camellia melihat Danau Gosau yang laksana cermin, membuat gunung juga pepohonan seolah berkaca disana. Camellia seakan dia bisa melihat dirinya berkaca disana. Informasi yang didapatnya, ternyata Danau Gosau itu terpisah dari sumber air manapun. Kondisi yang terjaga ini membuat banyak beranggapan bahwa airnya bisa dikonsumsi secara langsung. Hal itu membuatnya tidak hanya menguntungkan bagi manusia, namun beragam spesies ikan juga merasakan nikmatnya menari - nari di air yang super jernih itu. Senyum yang mekar diwajah Camellia ibarat binar berlian, mencoba bersaing dengan sinar mentari pagi itu.

Tempat mereka saat ini merepresentasikan lima titik di mana siapapun bisa melihat Gunung Dachstein dan semua keistimewaan yang ada di sekelilingnya. Platform yang seperti lima jari itu terdiri dari satu jari yang terbuat dari kaca namun tidak terlalu transparan, dan di jari lainnya ada bingkai foto dimana pengunjung dapat mengambil gambar berlatar belakang pegunungan dan danau Hallstatt. Di jari lainnya ada teropong yang bisa membantu siapapun melihat ke kejauhan. Kemudian dua jari lainnya yang tidak dilengkapi alat apapun hanya dipergunakan untuk berjalan - jalan.

Memandang jauh kedepan, ia melihat pegunungan Dachstein yang menjulang tinggi ke angkasa menjadikannya masuk akal menyandang gelar "King Dachstein". Dengan puncak yang tertutup salju, gunung itu seakan terus berkilau sepanjang tahun. Membuat siapapun terkagum - kagum dengan alam yang begitu indah ini. Yang seperti inilah, Camellia menyayangkan hanya menikmatinya berdua dengan Kian. Kembali melaju, perempaun itu berjalan ke arah World Heritage Spiral Viewing Platform yang berada tepat di atas Lodge am Krippenstein, berniat memuji gunung Dachtein dari sudut padang yang berbeda. Meninggalkan Kian yang sibuk dengan dunia nya.

Dari sini, Camellia bisa melihat panorama Gletser Dachstein yang menakjubkan bahkan terasa begitu dekat untuk di gapai. Puas menampung kenangan luar biasa indahnya, Camellia memilih bersantai di kursi malas yang tersedia disana. Menyerap energi positif disekitarnya. Ia teringat perkataan Kian kemarin mengenai fokus dari perjalanan ini adalah dirinya. Menyembuhkan puluhan luka yang telah dirasakannya. Tidak diiyakan Camellia saat itu, bahkan sempat menyatakan temannya itu lebay. Namun sekarang Camellia bertekat untuk itu. Ketenangan dan Keikhlasan. Dan untuk yang terakhir itu adalah keharusan.

***

Disaat dua sahabat sehidup seirama itu tengah menikmati siang yang tenang, beberapa orang di belahan dunia lainnya masih harus mengumpulkan niat, berusaha beranjak dari tempat pelepas penatnya. Perempuan dengan ponsel yang terus saja berdering ini salah satunya. Masih ada waktu setengah jam sebelum memulai hari namun sepertinya si penelpon tidak mengenal hal itu, terlebih yang diseberang sana adalah sang atasan terlaknat tercinta. Dalam seminggu terakhir ini susah sekali rasanya mendapat tidur yang tenang. Ada kalanya dia berpikir apa semua sekertaris bernasib sama dengannya.

'Hallo.. G..'

'Starting from today and tomorrow you don't need to go to the office, I want you to find a way so that Ms. Peterson will be in the office next Monday.'

Tut..

Bossy. Andaikata tadi wanita itu setengah sadar, sekarang ia 200% terjaga. Belum sempat menyapa, sambungan sudah mati sepihak. Metatap tak percaya pada ponsel yang kembali hitam sepenuhnya. Selama hampir satu dekade menemani disamping sang atasan hingga menyadang predikat paling andal dan sabar. Dalam suka maupun duka masa jabatan seorang Theo Benjamin Hudson, ini kali pertama ia mendapat titah yang tidak masuk akal. Lebih parahnya, selama rentang waktu yang panjang itu, baru kali ini sang atasan menelponnya pagi - pagi buta. Sepertinya Theo ingin merusak predikatnya.

Hari ini seharusnya menjadi hari keberuntungan perempuan yang bernama Annabelle Farnleigh. Sore nanti adalah kencan butanya yang kesekian. Hari yang datang sekali setahun dalam hidupnya, itupun jika ia diberkati. Disisi lain, sang atasan tidak pernah melewatkan satupun kesempatan untuk membuktikan diri sebagai penjahat dalam ceritanya. Yang paling hebat dalam memutus harapan orang - orang.

Anne sendiri saat pertama kali melihat seorang Camellia, langsung tahu jika gadis dihadapannya itu termasuk tipe yang mudah disukai. Yakin kalau Camellia bisa jadi teman kerja yang menyenangkan, sampai dua hari lalu. Diingatnya kembali, sudah lama sekali sejak terakhir iaharus terlibat dalam urusan pribadi sang atasan. Helaan napas mengisi ruangan yang gelap itu. Setengah hati, ditinggalkannya ranjang penuh kehangatan itu. Sepertinya seharian ini akan habis hanya memikirkan bagaimana menyeret Camellia pulang. Ah.. rasanya tahun ini bukan tahunnya Annabelle melepas status jomblo.

- NC, Januari 2006 -

Sudah setengah dekade lamanya sejak tempat ini jadi pusat dari pagi hingga malamnya, sumber segala penat dan amarahnya, tapi kekaguman terus saja bertambah setiap detiknya. Gedung yang berjuluk pencakar langit dihadapannya ini adalah impian seorang Annabelle lima tahun lalu. Gedung yang menjulang tinggi ditengah - tengah bagunan kecil, yang tanpa malu - malu menunjukkan dominasinya. Dulu, tidak sedikit temannya menertawakan mimpi bahkan mematahkan mentalnya untuk bekerja disini. Beruntung, keinginan besar untuk jadi bagian orang penting di gedung ini tidak pernah goyah. Yang sekarang membawanya jadi orang kepercayaan salah satu bos besar disana.

Pembuktian itu membuat kawannya mengakui kegigihan Anna. Tapi di saat bersamaan juga mengundang lebih banyak rasa simpati dari sebelumnya. Mau bagaimana lagi tidak semua bos berhati emas dan berjiwa besar. Theo Hudson menjadi gambaran atasan yang tak diinginkan banyak orang. Meski begitu tidak berkurang banyak rasa hormatnya pada pria itu. Bekerja selama lima tahun di bawah pimpinannya, Anna sudah puluhan kali menjadi penanggung jawab orientasi kantor bagi karyawan baru. Berlebihan memang, tapi kalimat tidak ada yang sempurna tidak berlaku untuk atasannya ini.

Sekarang lagi - lagi dia harus melakukan kegiatan yang sama. Sekitar sebulan lalu, divisinya harus menyaksikan pertunjukan dengan unsur yang lengkap. Menyeramkan, menyedihkan, menggelikan, tidak terlewat satupun. Seorang gadis kembali terluka karena sifat blak - blakan sang atasan. Tangisannya itu membuat dandanan - yang diatas rata - rata - nya berantakan, semua orang termasuk Anna harus menahan tawa. Annabelle tidak pernah begitu mengagungkan kenyataan dia bisa menjadi bagian perusahaan dengan usaha sendiri. Tapi untuk keadaan seperti ini, dia selalu bersyukur tidak masuk lewat jalur koneksi. Anna mengasihani gadis yang hari itu datang dengan sangat elegannya namun pergi dengan begitu buruknya.

Anna melihat seorang perempuan menunggu di depan pintu ruangannya. Penampilan sederhananya seakan mendahului gadis itu mengenalkan diri sebagai karyawan baru. Rasa gugup namun antusias yang diperlihatkan gerak - geriknya membuat Anna terhibur. Berpikir berapa lama sang gadis akan bertahan. Selain harus bekerja dengan atasan yang luar biasa mengerikan, gadis itu juga harus berurusan dengan orang - orang yang haus akan pengakuan. Tanpa sadar Anna bersimpati pada takdir gadis itu lebih awal.

Dengan langkah yang dipercepat, ia telah berdiri dihadapan gadis berambut coklat bermata biru, yang belakangan ia tahu bernama Camellia Angelou Peterson. Setelah perkenalan singkat, dibawahnya Cami - panggilan akrabnya - berkeliling kantor. Berhenti dibeberapa tempat yang menurut sang sekertaris penting untuk menjelaskan fungsinya pada karyawan baru, sebelum menunjukkan meja kerja Camellia. Mengarahkan hal - hal apa saja yang harus Camellia urus hari itu, sebelum memulai kerja sebenarnya. Memberinya kalimat penyemangat persis seperti sebelum - sebelumnya. Berjanji pada diri sendiri untuk mencari kalimat lain kala sadar ia terdengar seperti robot, kurang tulus.

***

Dering telepon menghentikan aktivitas dapur wanita berusia lebih dari setengah abad itu. Sedikit terkejut menerima telpon dari orang yang sama tiga hari lalu, terlebih di jam seperti ini. Jam para pekerja kantoran tenggelam dalam dunianya.

Sedikit basa - basi sebelum akhirnya seseorang di seberang sana menjelaskan maksud dan tujuannya, membuat Mrs. Peterson langsung menyiakan akan membantu. Dengan cekatan diambilnya catatan berisi nomor - nomor penting, menyebutkan nomor yang dicari Anna. Berbasa - basi lagi setelahnya sebelum panggilan itu terputus. Kembali ibu dua anak itu melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Meski diselimuti rasa penasaran, Mrs. Peterson berusaha tidak ambil pusing. Saat dulu bekerja pun, dia sering bertemu masalah. Dia hanya bisa berharap semoga sang anak bisa menemukan solusi dari semua persoalannya.

..xoxo..