Malam hari.
Makan malam telah selesai. Bapak Sudarsana melanjutkan pembicaraan yang tertunda sore tadi.
Sudarsana ini adalah sosok pria yang tegas dan kejam, namun dia juga sangat penyayang kepada keluarganya.
Dia juga sosok yang komitmen dalam hal apapun, profesional dalam pekerjaannya, dan sangat berambisi.
Suasana nampak hening di meja makan, karena aturan dari keluarga mereka.
Ada beberapa aturan yang Sudarsana buat dalam keluarga itu.
Yang pertama, tidak ada yang boleh memulai berbicara, sebelum Sudarsana memulai.
"Baiklah, kita mulai pembicaraan kita yang tertunda tadi. Bagaimana laporan kalian hari ini?" kata Sudarsana ke anak-anaknya.
"Izin lapor, wilayah barat telah di kuasai oleh keluarga Ginandro, mereka telah merampas semua aset dan menyerang anak buah kita. Apa yang harus kita lakukan? Bapak?" ujar Alfonso bingung kepada pak Sudarsana.
Peraturan kedua, balas dendam nomor satu, untuk seseorang yang sudah mengusik atau mengganggu urusan keluarga Darmatari.
"Kita urus masalah itu nanti, masalah seperti ini hanya sepele, apalagi keluarga Ginandro, kita akan balas perbuatan mereka," balas Bapak Sudarsana sambil memantikan api ke rokoknya dan tersenyum miring meremehkan keluarga Ginandro.
"Saya juga izin lapor, Bapak!" kata Hendrawan.
"Silahkan, Hendrawan," kata Bapak Sudarsana memberi kesempatan Hendrawan untuk melaporkan apa yang dia dapat.
"Ini adalah masalah besar. Saya mendengar Panti Asuhan Ganendra telah bergerak kembali. Dengan adanya mereka, saya yakin kalau semua wilayah akan di kuasai!" ujar Hendrawan dengan sangat serius kepada semua orang yang ada di meja makan.
"BAGAIMANA BISA!" teriak Adibrata dengan penuh emosi dan menatap tajam ke arah Hendrawan.
Hendrawan dan yang lainnya melihat Adibrata teriak pun hanya diam tidak bisa bicara sepata katapun.
Peraturan ketiga, dilarang emosi, takut, dan panik dalam bisnis keluarga, mereka semua ditetapkan harus tenang, agar bisa cari solusi bersama.
"Hey! Adi! Jangan berteriak, kamu harus tenang, kita bisa cari solusi ini sama-sama,"
kata Sudarsana menenangkan Adibrata supaya Adibrata tidak gegabah dan mengambil jalan lintas nya sendiri.
"Baik, Bapak!" ucap Adibrata pasrah dan menundukan kepalanya.
"Siapa yang menjalankan Panti itu?" tanya Velma dengan raut wajah penasaran.
"Rezaldi, Aulia, dan Basupati," jawab Renatha dengan mengerutkan keningnya dan alisnya yang menurun.
Peraturan keempat, lawan atau musuh harus dihabisi semuanya, tanpa ada yang tersisa satu orang pun.
"Hanya mereka bertiga? Kita akan habisi mereka semua tanpa ada yang tersisa satupun," kata Sudarsana dengan sombongnya sambil membuang asap rokok.
"Tunggu! Hendrawan dan Velma, apa kalian mendapatkan surat dari Basupati?" tanya Jessica menoleh ke Renatha dan Velma.
"Surat apa?" tanya Velma kebingungan karna dia tidak menerima surat sedikit pun dari siapa siapa.
"Kalian berdua harus cek surat itu dan baca!" kata Jessica yang panik.
"Ada dimana suratnya? Lu dapet surat itu dari mana?" tanya Hendrawan sedikit emosi.
"Merpati," jawab Jessica.
"Ngomong-ngomong soal merpati, apa kalian sadar? Beberapa hari ini ada burung merpati yang sedang bolak-balik di rumah kita." Kata Alfonso.
"Oh burung itu! Iya, aku menangkap burung merpati bersama Kakak, kami simpan di gudang, soalnya aku takut ketahuan Kakek," celetuk Davina dengan wajah masam.
Peraturan kelima, semua orang yang ada didalam rumah ini harus memanjakan cucu-cucunya. Jika ada yang ketahuan memperlakukan kasar atau memarahi cucunya, orang itu akan dipotong lengannya.
"Ya ampun Cucu kesayangan Kakek! Mana mungkin Kakek marahin kamu nak," kata Bapak Sudarsana tersenyum lebar.
"Bisa tolong bawakan burung itu kesini? Sayang?" celetuk Ibu Asmarani dengan senyum tipis.
"Bisa! Nenek! Tunggu disini ya." kata Davina yang langsung pergi dari meja makan.
"Biar Kakak temani dek!" ucap Gavin langsung berlari mengikuti arah Davina pergi.
Suasana sedikit tegang, karena musuh mereka yang bernama Basupati ini telah kembali. Basupati adalah sosok manusia yang sangat kejam, sosiopat sekaligus psikopat, yang rela membunuh manusia dalam segala umur.
"Apa sebaiknya kita lanjutkan nanti? Masih ada cucu-cucu kita disini," kata Ibu Asmarani ke Bapak Sudarsana.
"Tidak apa-apa, biarkan mereka tahu." Balas Bapak Sudarsana.
"Renatha nggak setuju! Mereka masih kecil, dan umur mereka baru delapan tahun!" tegas Renatha sedikit emosi, tidak terima dengan apa yang di ucapkan Bapaknya.
"Kamu nggak ingat? Pada umur delapan tahun, kamu sering ikut Bapak terjun kelapangan. Pada saat itu Bapak ingat, kamu menikam pria yang ingin menyerang Bapak," kata Bapak Sudarsana dengan tegas dan mengingatkan Renatha.
"Iya, Renatha tau! Tapi ini bukan era mereka. Ini adalah era nya mereka untuk fokus membangun masa depan, dan berusaha untuk bergerak maju! Tujuan keluarga kita untuk membangun kota Cigeni ini lebih maju kan?" balas Renatha yang jengkel, dan berusaha agar sang Bapak menerima omongannya itu.
"Iya, Bapak paham. Tapi kita tidak bisa meninggalkan era lama, itu sudah menjadi budaya untuk kita semua." kata Bapak Sudarsana.
Gavin dan Davina pun datang membawa burung merpati.
"Ini burungnya!" ucap Davina sembari memberikan burung merpati itu ke Bapak Sudarsana.
"Oh ada dua burungnya ya," balas Bapak Sudarsana menggangukan kepalanya.
"Sebenarnya ada tujuh yang terbang melintas dirumah kita, tapi aku dan Kakak hanya menangkap dua," jawab Davina mengerutkan keningnya.
"Kalian berdua sangat pintar!" ucap Bapak Sudarsana sambil mengelus kepala Gavin dan Davina.
Bapak Sudarsana langsung mengambil gulungan kertas kecil yang terikat di kaki Burung itu.
"Iya, ini adalah surat." ucap Bapak Sudarsana dengan santainya.
Bapak Sudarsana membacakan surat itu satu persatu.
"Renatha yang terhormat, saya hanya ingin kamu memberikan Gavin kepada kita. Anak itu akan menjadi ancaman yang sangat besar, untuk masa depan nanti. Bawa Gavin ke Panti Asuhan kami hidup-hidup, atau kami yang akan datang ketempatmu, dan mengambil Gavin dengan secara paksa. Hidup atau Mati. Salam Basupati Tri Ganendra." isi surat tersebut, yang ditujukan untuk Renatha.
Suasana hening, tegang, dan panik menjadi satu.
Renatha dan Ibu Asmarani, langsung berdiri dari bangkunya, dan pergi ke bangku Gavin, lalu memeluknya.
Renatha langsung mengambil pisau yang ada di meja makan, dan menodongkan pisau itu ke orang-orang disana, sembari berteriak, "SIAPA PUN YANG BERANI MENYENTUH GAVIN AKAN SAYA BUNUH DISINI!"
"Bagaimana mungkin, anak kecil selucu ini bisa menjadi ancaman orang-orang!" kata Ibu Asmarani dengan wajah sedih.
Gavin yang pada saat itu heran, bingung, dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Adibrata berdiri dari tempat duduknya, dan berusaha menghampiri Renatha.
"DIAM! DIAM DISITU DAN TETAP DUDUK!" teriak Renatha sembari menodongkan pisau ke Adibrata.
"Tunggu! Renatha! Kamu harus tenang, lagi pula ini nggak masuk akal," kata Adibrata yang berusaha menenangkan Renatha.
"Iya, Adibrata benar. Mana mungkin anak kecil berumur delapan tahun jadi ancaman orang-orang," celetuk Jessica sedikit panik.
"Lagi pula kita belum baca surat milik Jessica, dan surat satunya lagi yang dibawa oleh Davina," kata Hendrawan yang tegang.
"Bunda! Itu bahaya, turunkan pisau itu sebelum ada yang terluka!" ujar Gavin yang panik ketakutan.
"Maafkan Bunda nak!" ucap Renatha, lalu dia mencium kening Gavin.
"Kalian semua tenang dulu, dan biarkan kita lihat isi surat selanjutnya," celetuk Bapak Sudarsana dengan tenang.
"Sudah lama tidak bertemu ya, Jessica! Bapak Basupati bilang, tidak lama Seven Ruthless akan kembali berkumpul, cepat atau lambat. Bawalah Gavin ke Panti ini, sebelum masalahnya menjadi besar. Salam, Aulia." Isi surat itu yang di tujukan untuk Jessica.
"Aulia? Ini bohong kan?" ucap Velma dengan terkejut.
"Sudahku bilang, ini masalah besar," kata Jessica sambil memegang kepalanya, dan tegang.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Alfonso kesemua orang, serta panik.
"Ada apa pah?" tanya Bianco dengan kebingungan.
"Aku takut!" ucap Nigel.
"Tidak apa-apa nak, jangan takut," jawab Alfonso mengelus bahu anaknya.
"Tidak usah takut, lagi pula orang tua kita itu kuat dan pemberani," kata Alvina tersenyum.
"Iya, benar sekali kata adikku," celetuk Alvin yang juga tersenyum.
"Apa isi surat selanjutnya?" tanya Hendrawan.
Bapak Sudarsana kembali membacakan surat itu, "Sepertinya saya bisa mempercayaimu. Saya yakin keluarga Darmatari akan panik setelah tau isi-isi surat itu. Teruskan lah tinggal disana, jadi mata-mataku nak." isi surat itu, yang tidak tahu tujuannya untuk siapa.
"Cuma itu aja?" tanya Jessica yang heran.
"Tunggu dulu? Mata-mata?" ucap Hendrawan kebingungan.
Mereka yang ada disana saling toleh menoleh, dan langsung berlari ke anak-anak mereka, dengan panik, ketakutan, dan kecurigaan terhadap masing-masing.
"SIAPAPUN KALIAN YANG ADA DISINI! JANGAN HARAP BISA MEMBUNUH KAMI!" teriak Alfonso tegas.
"Jangan berusaha menutupi istrimu, Alfonso! Aku yakin, Velma lah yang menjadi mata-mata Basupati!" tegas Adibrata sembari menunjuk ke Alfonso.
"Jaga mulutmu Adi! Kamu lupa kalau istrimu juga berasal dari panti itu?" kata Alfonso ke Adibrata, karna tidak terima dengan ucapaannya.
"Tunggu dulu?" ucap kebingungan Adibrata sambil menoleh ke Alfonso.
Lalu Adibrata dan Alfonso menoleh ke Hendrawan secara perlahan.
"Hadeh, jangan bego deh. Mau nuduh gua nih? Pahamin baik-baik surat itu," kata Hendrawan yang membela diri.
"Kalau bukan kamu siapa lagi? Hah?" tanya Alfonso dengan nyolot.
"Yang pasti bukan kita yang ada disini, Basupati nggak pernah memanggil kita nak," jawab Hendrawan.
"Aku setuju dengan Hendrawan, mungkin mata-mata itu sedang tinggal disini," kata Velma dengan tenang.
"Bisa jadi pelayan, tukang kebun, supir, atau yang lainnya," celetuk Jessica yang agak sedikit curiga.
"Apa kita harus geledah rumah ini pak?" tanya Adibrata ke Bapak Sudarsana.
Namun Bapak Sudarsana nampaknya sedang fokus menatap Gavin yang sedang menutup kupingnya.
"Pak?" panggil Adibrata.
"KAMU!" teriak Bapak Sudarsana menunjuk Gavin dengan amarahnya yang memuncak.
"Hey! Ada apa?" tanya Ibu Asmarani menepuk pundak Bapak Sudarsana dengan kebingungan.
Gavin tiba-tiba berlari kepanikan mengarah ke kamarnya.
"Jangan lari kamu!" tegas Bapak Sudarsana mengejar Gavin.
"BAPAK!" teriak Renatha menyusul Bapak Sudarsana.
"Kita bagi tugas masing-masing, geledah tempat ini, dan gua kejar Bapak!" tegas Hendrawan.
Mereka semua akhirnya mendapatkan tugasnya masing-masing. Hendrawan, dan Renatha, pergi mengejar Gavin dan Bapak Sudarsana.
Alfonso, dan Velma mengintrogasi pelayan, tukang kebun, dan supir.
Adibrata, dan Jessica mengecek cctv seluruh ruangan yang ada dirumah itu.
Setelah Gavin di kamarnya, Bapak Sudarsana menatap Gavin lagi.
"Tolong! Bun! Bisikan itu kembali lagi!" ujar Gavin menangis.
Bapak Sudarsana menoleh ke kanan dan kiri, sembari menggeledah kamar Gavin.
"CUKUP! BAPAK!" teriak Renatha dengan emosi.
Renatha langsung menghampiri Gavin dan memeluknya.
Bapak Sudarsana berjalan mundur perlahan ke arah pintu kamar Gavin, lalu dia berdiri disana memandangi Renatha dan Gavin dengan raut wajah yang sedih.
Datang lah Hendrawan perlahan mendekati Bapak Sudarsana, "Pak?" sapa Hendrawan kebingungan.
"Tadi Bapak yakin, orang itu yang akan menjadi ancaman keluarga kita," kata Bapak Sudarsana yang tiba-tiba berkata seperti itu kebingungan.
"Siapa? Siapa pak? Tidak ada orang lain disini! Bapak hanya menunjuk Gavin dan berteriak didepannya!" tegas Renatha yang sangat marah ke Bapak Sudarsana.
"Bapak tidak bermaksud menuduh Gavin, tadi Bapak yakin ada...." balas Bapak Sudarsana yang terpotong oleh Hendrawan yang tiba-tiba memeluk Bapak Sudarsana.
"Kamu juga lihat kan? Bapak yakin sekali kalau tadi ada seorang bocah di samping Gavin, sedang membisiki kupingnya!" tegas Bapak Sudarsana ke Hendrawan.
"Iya, saya juga lihat itu," balas Hendrawan sembari mengusap pundak Bapak Sudarsana.
"Saya yakin kalau bocah itu lah yang menjadi ancaman!" ucap Bapak Sudarsana yang masih emosi.
"Kalau emang Bapak sadar dengan itu, saya akan menjelaskan semuanya ke Bapak!" kata Hendrawan yang melepaskan pelukannya itu, lalu memegang kedua pundak Bapak Sudarsana.
Bapak Sudarsana terdiam, dan Hendrawan pun mengajaknya keluar dari kamar Gavin.
2 jam telah berlalu.
Mereka kembali berkumpul di ruang tamu, lalu tidak mendapatkan hasil apa-apa dari penyelidikan tadi. Semuanya pun nampak lelah, dan mengantuk.
"Lebih baik kita istirahat, kasihan anak-anak, pasti mereka sudah mengantuk," kata Jessica.
"Kita lanjutkan penyelidikan ini besok. Ibu akan panggil seluruh anak buah kemari, untuk melindungi kita semua. Kita harus waspada, dan kita tidak pernah tau kapan Basupati akan datang," kata Ibu Sudarsana.
Datang Bapak Sudarsana bersama Hendrawan.
"Anak-anakku semuanya! Mulai besok kalian akan menjalankan tugas bersama dengan anak kalian. Pandu mereka agar bisa menjadi kuat dan lihai dalam membunuh, karena bisnis Assassin kita ini nggak akan berakhir gitu aja, dan akan terus berjalan sampai kapan pun itu," ujar Bapak Sudarsana dengan tegas kesemuanya.
"Bagaimana dengan bisnis kita yang lain?" tanya Alfonso.
"Gedung Paradise, akan dipegang oleh Adibrata, serta semua bisnis gelap kita di dalamnya," jawab Sudarsana.
"Bapak yakin?" tanya Adibrata dengan terkejut.
"Sangat yakin. Mulai sekarang, bimbing anak kalian, ajari semua teknik bela diri, dan semua senjata. Kita tidak pernah tau, kapan musuh akan datang menyerang kita," jawab Bapak Sudarsana dengan wajah memasam.
"Baik, Bapak!" ucap semuanya serentak.
Mereka semua akhirnya kembali ke kamarnya masing-masing, dan beristirahat.
***
Kamar Gavin.
"Bun, apa semua baik-baik aja?" tanya Gavin.
"Semua baik-baik aja nak," jawab Renatha tersenyum meyakinkan Gavin.
Renatha pun memegang kuping Gavin, sembari berkata, "Apa kamu masih mendengar bisik-bisikan itu?"
"Sudah tidak, bun," jawab Gavin.
"Baiklah kalau begitu," kata Renatha dengan mengusap dadanya dan lega.
"Apa yang terjadi dengan keluarga kita? Apa kita akan diserang orang jahat? Aku takut bun!" kata Gavin yang ketakutan sambil memeluk Renatha.
"Kamu nggak perlu takut, orang jahat tidak berani berhadapan dengan keluarga kita," balas Renatha mengusap kepala Gavin.
"Bohong," ucap Gavin.
"Lho? Kenapa bohong?" tanya Renatha kebingungan.
"Gavin tau disaat Bunda sedang berbohong," jawab Gavin menyentuh hidung Renatha.
"Kenapa kamu mengira Bunda berbohong? Tau dari mana coba?" tanya balik Renatha ke Gavin.
"Nggak tau deh, Gavin tiba-tiba berpikir kalau Bunda itu bohong." jawab Gavin.
"Yeu, kamu ini, apa sih," kata Renatha dengan tersenyum lebar.
"Apa aku boleh tetap bersekolah, dan bermain dengan Felisha?" tanya Gavin.
"Boleh dong, besok sepulang sekolah ajak Felisha kesini ya, biarkan kalian main dirumah kita saja," jawab Renatha tersenyum.
"Oke bun," balas Gavin tersenyum.
"Selamat tidur ya anak kesayangan Bunda!" ucap Renatha sambil mencium kening Gavin dan beranjak dari kasur.
"Oh iya bun, dua hari lagi Davina akan berumur delapan tahun! Apa Bunda ingat?" celetuj Gavin yang sangat antusias.
"Tentu saja Bunda ingat, masa ulang tahun anak sendiri lupa," kata Renatha tersenyum.
"Oh aku kira lupa. Beri Davina kado yang paling besar dan bagus ya, bun," kata Gavin yang sangat bersemangat.
"Iya Gavin. Kamu sepertinya menyayangi adikmu ya?" tanya Renatha.
"Aku sangat menyayanginya, jadi beri dia kado yang spesial ya bun, dan buatlah pesta ulang tahun terbesar, lebih besar dari Alvin," jawab Gavin.
Renatha meneteskan air matanya, dan dia akhirnya pergi dari kamar Gavin.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Saya ingin mengingatkan sesuatu ke kalian, kalau cerita ini hampir 70% tidak ada yang namanya bahagia.
Seperti kata Lemony Snicket dalam A Series of Unfortunate Events "Jika kau ingin kisah dengan akhir bahagia, maka carilah kisah lain." Dan "Di kisah ini, bukan hanya akhirnya yang tidak bahagia, permulaan dan pertengahannya pun tidak membahagiakan."
Tapi disini akan kupastikan, bahwa dicerita ini akan ada akhir yang bahagia. Namun tidak dapat kupastikan juga, karena aku tidak tahu kapan cerita ini akan berakhir.
Ingat, dalam kehidupan. Keburukan itu mendatangkan kebahagiaan. Jadi pastikan anda bisa bertahan dan melewati masa-masa keburukan itu.