Chereads / Destroy Madness Gang: Awal dari akhir / Chapter 4 - Pergi, kedatangan, dan penyesalan

Chapter 4 - Pergi, kedatangan, dan penyesalan

Dua hari kemudian.

16 Maret 2033

Hari Rabu.

Hari Ulang Tahun Davina.

Hari yang sangat membahagiakan untuk Davina dan sekeluarga, karena ini adalah pesta ulang tahun pertamanya yang paling mewah. Walaupun acara ulang tahun ini, diadakan di depan halaman rumah yang luas, namun sore hari ini cuaca agak sedikit bersahabat. Banyak orang yang datang ke pesta ulang tahunnya Davina, dihadiri oleh teman sekolahnya dan kerabat-kerabat dari keluarga Darmatari.

"Happy birthday Davina!!!"

"Terima kasih semuanya!" ucap Davina tersenyum bergembira.

Davina sangat bahagia sekali,

Diberikan kado besar oleh keluarganya, begitu juga dengan orang lain yang datang membawa kado banyak.

Banyak makanan-makanan mewah dihidangkan disana, dan tidak khawatir kehabisan makanan.

Semua orang yang hadir di pesta ikut bahagia, dan tersenyum.

"Sekarang anak cantik ini sudah memasuki umur 8 tahun nih, siapa yang mau maju untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Davina? Ayok tunjuk tangan, nanti di kasih hadiah," kata Adibrata yang tersenyum bahagia.

Banyak anak-anak yang tunjuk tangan, tetapi cuma satu yang tidak, yaitu Alvin.

Adibrata sadar kalau anaknya tidak mengangkatkan tangannya.

"Ayok Alvin dulu deh sini yang maju," kata Adibrata tunjuk Alvin.

"Nggak mau ah, kan Papah sering kasih aku hadiah. Kasih ke yang lain aja, yang lebih membutuhkan," balas Alvin dengan sinis.

Beberapa orang ada yang tertawa, dan beberapa ada yang agak jengkel dengan perkataan Alvin.

"Ini anak mulutnya kurang ajar banget sih! Padahal seumuran dengan Davina. Apa mulut orang kaya seperti ini ya? Didikannya seperti ini?" ujar salah satu tamu disana yang kesal dengan Alvin.

"Yaudah, kalau gitu Alvina aja deh, kemari sayang," kata Adibrata tersenyum.

Alvina pun maju kedepan setelah dipanggil Papahnya, dan dia pun mengucapkan selamat ulang tahun pada sepupunya itu, didepan semua orang.

"Selamat ulang tahun Davina, semoga kamu panjang umur, menjadi anak pintar, dan semangat latihan pencak silat nya sama Kakek, soalnya Kakek lumayan keras, dan marah-marah terus," kata Alvina dengan tersenyum lebar, dan tertawa.

Semuanya pun ikut tertawa, termasuk Kakeknya, "Hahahaha kamu ini Alvina." ucap Bapak Sudarsana dengan bahagia.

"Tetap menjadi teman, sepupu, dan keluargaku ya Davina. Aku sayang kamu!" kata Alvina sambil memeluk Davina dengan tersenyum manis.

"Terima kasih Alvina, aku sayang kamu juga!" balas Davina tersenyum lebar.

Semua orang yang disana tersentuh melihat keakraban mereka berdua, dan tersenyum tipis.

"Terima kasih ya sayang, nanti Papah kasih hadiah yang paling besar untuk kamu, tapi nanti ya dikasihnya," kata Adibrata ke Alvina.

"Iya Papa," jawab Alvina tersenyum tipis, akan tetapi dia belum pergi, masih berada disamping Davina.

"Oke, selanjut—" ucap Adibrata yang terpotong Alvina.

"Papa!" sapa Alvina tersenyum tipis.

"Iya ada apa lagi sayang?" jawab Adibrata tersenyum.

"Aku boleh minta kue ulang tahunnya nggak?" tanya Alvina menunjuk ke kue ulang tahun itu sambil menggigit jempolnya dengan tersipu malu.

"Oh iya sayang boleh dong, sama tante Renatha ya sayang," jawab Adibrata tersenyum lebar.

"Sini sama tante sayang," kata Renatha dengan tersenyum.

Tiba-tiba Bianco menunjuk tangannya, sembari berteriak "PAMAN!"

"Iya? Ada apa Bianco?" tanya Adibrata kebingungan.

"Aku juga mau kue nya!" tegas Bianco.

"Iya sabar ya nak, nanti semua kebagian kok," balas Adibrata dengan ramah.

"Pokoknya yang banyak!" tegas Bianco.

"Oke... kita lanjut kembali," ucap Adibrata yang menghiraukan perkataan Bianco, "Mungkin selanjutnya Gavin ya, kita coba panggil Kakaknya kesini yuk. Ayok kemari Gavin!" lanjut Adibrata sembari menoleh ke kanan dan kiri.

Semua menoleh ke kiri dan kanan, tetapi tidak ada yang melihat Gavin.

"Ayok Gavin, paman panggil kamu lho," kata Adibrata dengan heran, sambil menoleh ke kanan dan kiri lagi.

Senyum diwajah Davina menurun ketika mengetahui kalau Gavin tidak ada disana.

"Gavin ada dimana?" tanya Nigel ke Felisha dengan kebingungan.

"Aku nggak tau, kan kamu sepupunya," jawab Felisha heran.

"Biasanya si aneh sama kamu," ucap sinis Bianco.

"Berhenti panggil Gavin aneh!!!" tegas Felisha memarahi Bianco.

"Huuu serem banget pacarnya marah," balas Bianco dengan senyum liciknya.

Tiba-tiba Davina menarik lengan baju Adibrata.

"Ada apa sayang?" tanya Adibrata.

"Apa ka Gavin benci sama aku? Sampai dia tidak ada disini? Sampai dia tidak mau melalui hari spesial ini bersamaku?" tanya Davina dengan raut wajah yang murung.

***

Sementara itu pada Gavin.

"Jangan berani-beraninya turun ya, gua nggak mau lu buat kacau di hari spesialnya Davina!" tegas Hendrawan ke Gavin.

"Tapi kan, Gavin mau ikut merayakan ulang tahun Davina, apa salah jika Gavin turun kebawah?" kata Gavin dengan wajah yang sangat sedih.

"Ya salah lah! Pokoknya lu tunggu disini sampai acara selesai, bila perlu sampai gua datang ke sini lagi!" kata Hendrawan dengan tegas dan marah.

"Apa ini gara-gara surat waktu itu? Ayah dan semua orang mengurung Gavin?" tanya Gavin meneteskan air matanya.

"Bukan cuma itu alesannya, yang pasti lu itu selalu buat salah, gua gamau semua jadi berantakan!" tegas Hendrawan memarahi Gavin.

"Apa ka Gavin benci sama aku? Sampai dia tidak ada disini? Sampai dia tidak mau melalui hari spesial ini bersamaku?" Gavin mendengar perkataan Davina yang terdengar melalui speaker, dan dia mulai menangis sesenggukan, dan merengek untuk turun kebawah.

"Aku mau turun! Aku mau bersama Davina!" teriak Gavin sambil menangis.

"Nggak boleh! Lu harus disini!" tegas Hendrawan.

"BERHENTI!" datang lah Renatha murka sambil menampar Hendrawan.

"Udah gila ya kamu! Kenapa kamu tahan Gavin disini? Jawab!!!" tegas Renatha jengkel ke Hendrawan.

"Di keluarga ini udah nggak beres. Gua pun sadar selama ini. Ibu, Bapak, dan yang lainnya, mereka orang yang busuk. Gua mau kita pergi dari kota ini, dan Gavin kita biarkan tinggal bersama mereka," kata Hendrawan dengan geram.

"Nggak beres kenapa? Aku nggak ngerti. Dan satu hal! Kamu jangan berani-beraninya bilang Ibuku busuk ya!!! Kalau kamu mau pergi, pergi saja sendiri!!!" tegas Renatha dengan sewot.

"Ini demi kenyamanan keluarga kecil kita! Pokoknya kita bangun keluarga kecil kita sendiri, tanpa Gavin!" kata Hendrawan balik sewot.

"KAMU GILA YA! AYAH MACAM APA KAMU? KITA NGGAK AKAN MENINGGALKAN GAVIN! GAVIN HARUS BERSAMA KITA!" teriak Renatha murka.

"Kamu tau kan? Basupati dan yang lainnya masih mencari Gavin!" tegas Hendrawan geram.

"Ya lantas kenapa? Kamu takut? Kamu bisa pergi dari sini! Aku gak butuh orang pengecut kayak kamu!" tegas Renatha sewot.

"Yaudah aku minta maaf, yang penting kita tinggalkan kota ini, demi kebaikan kita," kata Hendrawan yang tiba-tiba murung.

"Pergi kemana?" tanya Renatha kebingungan.

"Kita pergi ke Cigeni Timur, kita tinggal disana ya? Kamu percaya sama aku kan?" ujar Hendrawan cemberut.

Renatha menangis dan dia terlihat sangat stress, berjalan bolak-balik sambil berfikir.

"Gimana re?" tanya Hendrawan.

"Yaudah kita pergi dari sini, tapi kita bawa Gavin, dan keluarga kita harus lengkap," kata Renatha sambil mengusap air matanya.

"Oke aku setuju. Aku pergi dulu siapin mobil, setelah lebih dari 13 menit, kamu turun kebawah," ujar Hendrawan yang langsung terburu pergi dari kamar.

"Yaudah, aku siapin barang yang penting untuk dibawa," balas Renatha.

13 Menit kemudian.

Renatha turun kebawah, dan pergi ke halaman depan rumah, menghampiri Davina yang masih berada di pestanya itu.

"Ayok Davina!" ucap Renatha dengan wajah masam, lalu dia langsung menarik tangan Davina, dan berlari mengarah ke mobil.

"Hey! Kamu mau kemana re?" tanya Adibrata kebingungan

"Renatha mau pergi? Pergi kemana?" tanya Alfonso ke Velma yang heran.

"Aku nggak tahu mas," jawab Velma kebingungan.

"TUNGGU TANTE!" teriak Alvina sambil menarik tangan Renatha.

"Alvina! Lepaskan tangan Tante, tolong! Jangan menghambat!" tegas Renatha jengkel.

"Nggak! Aku nggak akan biarkan Tante bawa Davina pergi!" tegas Alvina geram ke Renatha.

Renatha mendorong Alvina hingga terjatuh.

"RENATHA!" teriak Adibrata yang tiba-tiba naik darah.

"Maafkan Tante ya! Alvina!" ucap Renatha meneteskan air matanya sembari berjalan perlahan meninggalkan rumah.

Adibrata mendekati Renatha, lalu dia menahannya agar tidak pergi dari rumah itu.

"Berhenti! Kamu mau kemana sih!" tanya Adibrata emosi ke Renatha.

"Bukan urusanmu Adi!" jawab sewot Renatha.

Hendrawan berlari menghampiri mereka berdua, lalu dia memukul Adibrata hingga terjatuh, lalu menarik Renatha untuk segera pergi meninggalkan rumah.

"Tunggu, Renatha!" ucap Ibu Asmarani yang sangat sedih melihat Renatha dan cucu-cucunya berjalan mengarah ke mobil.

Semua orang pun mengarah ke mobil Hendrawan, lalu melihat Renatha, Hendrawan dan Anak-anaknya sudah didalam mobil.

Keluarga Darmatari yang lain berusaha untuk menahan mereka agar tidak pergi dari rumah itu.

"Jangan pergi kak! Tolong!" ucap Alfonso sembari menggedor pintu mobil.

"Maaf! Maafkan kami!" ucap Renatha menangis.

"GAVIN!" teriak Felisha menghampiri mobil Gavin, dan memukul kaca mobil itu dari luar.

"Felisha!" balas teriak Gavin sembari mengetuk kaca mobilnya itu dari dalam, "Bun itu Felisha! Biarkan aku bertemu Felisha dulu bun!" kata Gavin dengan wajah muram.

"Maaf sayang! Kita harus segera pergi!" balas Renatha yang menangis.

Sementara itu Hendrawan sedang berusaha menghidupkan mobilnya yang tidak mau menyala.

"FELISHA!" teriak Gavin dari dalam mobil sambil meneteskan air mata.

"Gavin!" ucap Felisha yang masih mengetuk jendela mobil mereka, dengan mata yang berkaca-kaca, dan raut wajahnya yang sangat sedih.

Gavin membuka kaca mobilnya, dan memegang tangan Felisha.

"Maafkan aku! Aku harus pergi!" ucap Gavin meneteskan air matanya.

"Aku mohon jangan pergi gavin! Jangan tinggalkan aku!" balas Felisha menangis sambil memegang tangan Gavin.

Mobil Hendrawan akhirnya menyala, "GUA PERGI DARI KOTA BUSUK INI! DAN NGGAK AKAN KEMBALI LAGI!!!" teriak Hendrawan penuh amarah sambil pergi meninggalkan mereka.

"Maafkan aku!" ucap Gavin menangis dan melepaskan genggaman tangannya pada Felisha.

"Gavin?" ucap Felisha terkejut dengan mobilnya Hendrawan yang tiba-tiba berjalan.

"JANGAN PERNAH KALIAN PAKAI NAMA KELUARGA DARMATARI LAGI!!! DASAR ANAK SIALAN!!!" Teriak Bapak Sudarsana murka.

Mobil mereka pun berjalan pergi meninggalkan rumah itu. Hanya Felisha yang mengejar mobil mereka sendirian.

"GAVIN!" teriak Felisha yang berlari.

"Aku yakin kita akan bertemu lagi!" kata Gavin yang masih menangis sembari melambaikan tangannya.

"JANGAN PERGI!" teriak Felisha menangis tersedu-sedu sambil menjulurkan tangan kanannya.

"Tolong yakini Ayah bun! Agar jangan pergi dari sini!" ucap Gavin menangis kejer.

"GAVIN TOLONG BERHENTI!" teriak lagi Felisha.

"MAAFKAN AKU FELISHA!" teriak Gavin yang masih menangis.

Felisha pun terjatuh, tersandung oleh batu akibat terus berlari mengejar mobil Gavin.

"FELISHA!" teriak Gavin, dia langsung berontak ingin keluar dari mobil, namun Hendrawan menampar bocah berumur 8 tahun itu, agar dia terdiam.

Renatha pun merasa kesal, dan lagi-lagi mereka bertengkar di dalam mobil.

Gavin menoleh kebelakang sambil memandangi Felisha yang terjatuh, lalu dia kembali menoleh kedepan dan menundukkan kepala sambil memegang dada nya.

"Sakit! Kenapa ini terasa sakit bun!" ucap Gavin sambil menangis.

Davina langsung memeluk Gavin dan berusaha menenangkannya.

Tidak lama beberapa gerombolan mobil melewati mereka dari arah yang berlawanan.

Suasana seperti slow motion, Hendrawan melihat Basupati sekilas, ada di gerombolan mobil itu.

"Itu Basupati!" ucap Hendrawan dengan lantang dan panik, tegang, ketakutan.

"Mereka pasti mengarah kerumah kita! Kita harus kembali Hendra! Kita harus bantu Bapak dan Ibu!" kata Renatha dengan lantang, dan ikut panik.

"Inget apa tujuan kita! Kita disini pergi untuk menghindari Basupati! Dan membuat anak-anak kita aman dari mereka!" tegas Hendrawan dengan wajah tegang.

Mobil gerombolan itu terhenti sejenak, tepat di posisi Felisha terjatuh, dan mereka membawa Felisha masuk ke dalam mobil.

"BUNDA! FELISHA DI CULIK BUN!" teriak Davina yang melihat Felisha diculik melalui kaca spion mobil.

Gavin kembali menoleh kebelakang, dan dia semakin berontak ingin keluar dari mobil itu.

"FELISHA!" teriak Gavin menangis.

Hendrawan tetap menancapkan gas nya, dan semakin mengebut.

"Maafkan Ayah! Gavin!" ucap Hendrawan meneteskan air mata.

Mereka akhirnya berhasil keluar dari kota itu dan pergi ke Cigeni Timur.

***

3 jam kemudian, Cigeni timur.

Rumah baru.

Sesampainya mereka di rumah baru, mereka semua terlihat murung, kecuali dengan Hendrawan yang nampak biasa saja.

"Mulai hari ini kita tinggal dirumah ini sementara. Ya walaupun rumahnya hanya rumah biasa saja dan juga kecil, tapi cukup besar, walaupun tidak sebesar rumah kita yang sebelumnya," kata Hendrawan dengan tersenyum.

Suasana hening, Renatha beserta anaknya pergi mencari kamar, meninggalkan Hendrawan yang sedang diruang tamu.

"Re, jangan diem gini dong," kata Hendrawan sambil memegang tangan Renatha.

"APA! KAMU MAU AKU BILANG APA!" teriak Renatha dengan penuh amarah.

Gavin dan Davina berlari ke bawah meja makan, dan memeluk satu sama lain dengan erat.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Hendrawan.

"Sekarang kamu kan yang diam? Kamu pikir dong bagaimana keluarga kita disana! Mereka pasti mati-matian melawan Basupati dan yang lainnya!" tegas Renatha menangis.

"Masa bodo ah, gua mau beli minum dulu," balas Hendrawan dengan kesal.

"Beli minum? Hah? Gila ya? Jawab dulu dong!" kata Renatha yang mendorong Hendrawan.

"Ya pokoknya masa bodo. Kamu mau minum juga? Whisky atau vodka? Atau mau wine aja?" ujar Hendrawan dengan santainya.

"Udah gila ya kamu!" tegas Renatha sinis.

"Terserah deh. Ayok Gavin ikut Ayah." kata Hendrawan sambil menarik tangan Gavin yang sedang bersembunyi di bawah meja.

"Mau kemana Ayah?" tanya Gavin kebingungan.

"HEY! NGAPAIN AJAK GAVIN!!!" teriak Renatha penuh amarah.

"Bunda..." ucap Gavin dengan suara lirih sambil menarik baju Renatha.

"Yaelah, gua cuma mau ajak dia aja kok. Nanti kalau gua mau minum lagi, gua tinggal suruh dia aja ke toko minuman, terus bilang deh dari keluarga Darmatari, biar dikasih gratis" kata Hendrawan yang kesal.

"Nggak! Udah gila ini orang! Kan kamu tau Gavin ini sedang dicari Basupati! Bagaimana kalau mereka menemukan Gavin!" tegas Renatha marah ke Hendrawan.

"Udah lu diem aja, lagi pula dia umurnya udah 8 tahun. Anak Panti Asuhan Ganendra juga sering disuruh beli minum, bahkan jadi kurir narkoba," kata Hendrawan dengan wajah kecut.

"Bajingan! Kamu kan yang mau kita pergi dari rumah! Kamu juga yang bilang agar keluarga kita aman! Kalau begitu kenapa kita harus pergi meninggalkan rumah! Dasar suami gila!" kata Renatha yang emosi, dia juga menampar Hendrawan dengan keras.

"DIAM!!!" teriak Hendrawan yang balik menampar Renatha.

"JANGAN PUKUL BUNDA!!!" teriak Gavin kesal.

"AYAH BERHENTI!!!" teriak Davina kesal yang langsung berlari menghampiri Bundanya itu.

Gavin dan Davina menangis tersedu sedu sambil melindungi Renatha dari Hendrawan.

"Bunda, nggak papa kan?" tanya Gavin sambil memegang pipi Renatha.

"Bunda baik-baik aja kok sayang," jawab Renatha sambil meneteskan air mata.

"Tapi Bunda menangis," ucap Gavin terbata bata sambil menangis tersedu sedu.

"Nggak kok, kan kamu yang menangis," balas Renatha tersenyum.

"AYAH JAHAT!!!" teriak Davina murka sambil memukul Hendrawan.

"Maafkan Ayah Davina!" ucap Hendrawan dengan cemberut.

"CEPAT MINTA MAAF KE BUNDA!!!" teriak Davina murka.

"Iya Ayah minta maaf nih," ucap Hendrawan cemberut.

Hendrawan langsung memeluk Renatha dan meminta maaf.

"Maafin aku ya, tapi aku mohon izinkan aku beli minum," kata Hendrawan cemberut.

"Kamu nggak waras emang, sejak kapan sih kamu jadi aktif minum?" ucap Renatha jengkel.

"Udah bun, gapapa kok Gavin ikut sama Ayah, demi melindungi Bunda," celetuk Gavin murung.

"Kamu dengar sendiri kan? Anak umur 8 tahun tuh yang ngomong. Kamu mikir dong!!!" tegas Renatha jengkel.

"Udah Bunda, Gavin bisa jaga diri kok. Ayah dan Kakek sudah mengajari aku ilmu bela diri, aku yakin pasti bisa jaga diri," kata Gavin tersenyum tipis.

"Tapi kamu masih anak-anak vin, mana bisa melawan orang dewasa," ucap Renatha terenyuh.

"Gapapa bun, yang penting Bunda nggak dipukul Ayah," jawab Gavin mengusap air mata Renatha.

"Yaudah, yuk Gavin ikut Ayah," ujar Hendrawan jengkel.

"Jangan terlalu lama, langsung pulang kesini setelah beli!!!" tegas Renatha jengkel.

Semenjak dari sini, kebahagian sudah tidak ada didalam keluarga kecil mereka, yang ada hanya kesedihan yang tak terbendung.

***

3 hari kemudian.

"Maafkan Bunda vin, tidak ada kabar tentang Felisha," kata Renatha dengan cemberut.

"Apa Bunda sudah hubungi keluarganya? Atau semua orang?" tanya Gavin murung.

"Sudah, bahkan keluarga kita pun tidak ada kabar nak," jawab Renatha.

"RENATHA!" teriak Hendrawan memanggil Renatha dari depan rumah.

"Sebentar ya, Ayahmu memanggil," kata Renatha.

"Iya bun, jangan sampai dipukul lagi ya," balas Gavin dengan muram.

Renatha pun menghampiri Hendrawan yang sedang membaca berita di artikel pada ponselnya. Raut wajah Hendrawan sangat murung, sehingga berlinang air mata membaca artikel itu.

"Apa yang telah aku perbuat? Aku membuat semuanya kacau!" ucap Hendrawan dengan suara menyelirih.

"Kamu kenapa! Hendra!" tanya Renatha yang panik melihat Hendrawan menangis.

Hendrawan pun memberikan ponselnya ke Renatha, dan Renatha membaca artikel itu.

Ponsel yang dipegang Renatha tiba-tiba terjatuh, dan dia menutupi mulutnya. Turun air matanya Renatha, dan dia menjatuhkan dirinya, lalu bersujud sambil menangis.

"Kabar duka datang dari Cigeni Utara. Salah satu pendiri kota ini Sudarsana Darmatari meninggal dunia di Rumah. Beliau ini meninggal akibat terbunuh oleh segerombolan orang yang datang kerumah mereka. Insiden berikut juga memakan korban penculikan anak kecil berumur 8 tahun, bernama Felisha Hasna Safaraz. Polisi masih mencari tahu siapa orang-orang yang datang menyerang keluarga Darmatari ini, sekaligus penculik anak ini." berita di artikel tersebut.

Hendrawan memanggil anak-anaknya, dan dia memberitahu berita duka itu. Tangis haru pun menjadi pecah.

"Apa kita harus pergi dari sini?" tanya Hendrawan kebingungan.

"Kemana?" tanya balik Renatha yang juga kebingungan sembari memegang kepalanya.

"Kita kembali ke rumah," jawab Hendrawan.

"Mau taruh dimana muka kita? Aku yakin kita sudah dianggap sampah oleh keluarga kita sendiri," kata Renatha dengan sinis.

"SEMUA INI KARENA AYAH! KAKEK MENINGGAL DAN FELISHA DI CULIK! AKU NGGAK AKAN MEMAAFKAN AYAH!" tegas Gavin yang murka dan kecewa pada Hendrawan, dia langsung berlari ke kamar dan membanting pintu sangat keras.

"Tunggu! Gavin!" ucap Hendrawan dengan wajah yang murung.

"Ini memang salah Ayah! Apa Ayah sadar? Ayah juga menghancurkan pesta ulang tahunku!" kata Davina yang meneteskan air mata.

"Maafkan Ayah! Davina! Ayah tau kalau Ayah salah!" kata Hendrawan dengan wajah yang murung.

"Sebelum kita pergi, harusnya kamu berpikir dari awal, apa konsekuensi yang kita dapat!" ujar Renatha yang sangat marah pada Hendrawan.

Hendrawan terus dipojokkan, lalu dia pergi keluar rumah.

Semenjak itu hubungan mereka menjadi tidak baik, dan sedikit ada perubahan pada Hendrawan.

Hari demi hari Gavin jadi tukang pesuruhnya Hendrawan untuk membeli minuman keras. Hendrawan juga melatih ilmu bela diri karate, jiu jitsu, taekwondo, kick boxing, dan muay thai ke Gavin dan Davina sangat keras, sehingga dipukul dengan serius, tidak main-main. Dan juga Gavin lebih sering dijadikan samsak oleh Hendrawan, sampai sikap Gavin ke Hendrawan ini sangat berubah.

Keuangan mereka secara menyeluruh menjadi sangat turun, terpaksa mereka mencari uang dengan cara merampok, mencopet dan mengamen, sampai bertahun-tahun.