"Ada yang kau pikirkan, Li?" tanya David saat melihat sang istri melamun di pagi hari.
Liliana hanya mendesah perlahan dan menatap sang suami dengan sorot mata sendu.
"Aku hanya sedih melihat sikap Nadine akhir-akhir ini. Kenapa dia selalu mengibarkan bendera peperangan kepada kita? Bukankah dulu ia sudah meneriman dengan lapang dada pernikahan kita?"
"Jangan dipikirkan, kau kan tau sejak dulu sifatnya itu memang tidak pernah mau kalah. Oya, kau sudah bertemu lagi dengan gadis itu?" tanya David.
"Ya, kemarin aku memaksa mereka makan siang denganku. Tetapi aku merasa penasaran dengan masa lalu gadis itu. Apa kau bisa meminta anak buahmu untuk mencari tau soal Alexandra? Dan anehnya aku merasa sangat familier dengan wajahnya. Sepertinya aku sangat mengenal wajah itu, tapi di mana?"
David tertawa keras, "Ah, kau ini selalu pakai perasaan. Sudahlah sekarang lebih baik kita sarapan. Evan sudah pergi ke kantor, bukan?" ujarnya.
Liliana pun segera menggandeng tangan suaminya dan mereka pun makan bersama.
Sementara itu, Evan baru saja masuk ke dalam ruangannya. Sejak Alexandra bekerja, ia merasa sangat bersemangat untuk berangkat ke kantor. Pagi ini, selain kopi Alexandra membuatkan sepiring gado-gado untuk Evan. Entah jam berapa gadis itu mempersiapkan makanan. Mungkin saja dia sudah membuatnya dari rumah.
Sebenarnya, Evan bisa saja sarapan di rumah dan meminta menu apa saja kepada asisten rumah tangga. Tetapi, ia lebih suka sarapan pagi di kantornya meski itu hanya setangkup roti bakar. Ia merasa ada sensasi yang berbeda. Ia bisa menikmati pemandangan dari jendela kantor yang menhadap ke luar. Melihat gedung-gedung tinggi di kota Jakarta ini dan menikmati semuanya membuat ia bersemangat untuk menaklukkan Jakarta dan membuat LA RUE COSMETIC semakin terkenal lagi.
Terlebih lagi, saat ini perusahaan mereka akan meluncurkan produk terbaru. Lipstik yang bisa berubah warna jika terkena air atau makanan. Warnanya tidak akan luntur tetapi bisa berubah dan tentu saja lembut di bibir.
Hasil laboratorium pun sudah keluar hanya tinggal mendaftarkannya di BPOM.
TOK!TOK!TOK!
Ketukan di pintu membuat Evan terpaksa menghentikan sejenak pekerjaannya.
"Masuk!"
Sesaat kemudian, Alexandra pun masuk.
"Kenapa tidak pakai telepon?" tanyanya.
"Telepon di meja saya rusak. Saya sudah meminta tekhinisi memperbaiki tapi belum juga dikerjakan. Di luar ada Pak Bian dan Estella sekretarisnya. Apa Bapak mau menerima mereka?"
Evan mengerutkan dahinya, seingatnya pagi ini ia tidak membuat janji dengan siapa pun. Tetapi, ia pun akhirnya mengangguk. Mengingat jika bisnis dengan Bian ini adalah bisnis yang lumayan penting juga.
"Suruh masuk saja kalau begitu. Minta OB untuk membuatkan minuman. Setelah itu, kau juga masuk ke ruanganku, kau perlu mendengar jika ini ada kaitannya dengan bisnis," kata Evan. Alexandra mengangguk dan segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Evan.
"Silakan masuk, Pak Bian. Pak Evan sudah menunggu di dalam," kata Alexandra mempersilakan.
Bian menatap gadis itu dengan kening yang sedikit berkerut. Jujur saja ia sedikit pangling melihat penampilan Alexandra pagi ini. Jauh berbeda dengan penampilannya ketika mereka pertama kali bertemu.
"Kau sekretaris yang bertemu di cafe dua hari yang lalu?" tanya Adira. Alexandra mengangguk mengiyakan.
"Iya. Saya Alexandra, Pak. Silakan Pak , Mbak ... kalian sudah ditunggu di dalam," kata Alexandra dengan sopan.
Masih dengan tatapan tertuju kepada Alexandra, Bian pun melangkah masuk. Sementara Estella hanya mendelik sambil menatap Alexandra sinis.
'Sial, kenapa penampilannya jadi modis sekali," maki Estella dalam hati. Sebenarnya gadis itu sudah kesal sejak kemarin kepada Alexandra.
Gadis itu merasa tersaingi melihat penampilan Alexandra sekarang. Alexandra adalah kekasih dari Julio, putra Nadine dan Dirga. Ia sama sekali tidak tau jika Julio ternyata masih memiliki hubungan saudara dengan Evan. Dan ketika kemarin mereka bertemu di restoran, tentu saja Estella mulai berpikir untuk menggaet Evan. Tetapi, langkahnya terhalang oleh Alexandra yang menurutnya cukup cantik. Terlebih dengan penampilannya sekarang.
Setelah meminta Tuti untuk membuatkan minuman, Alexandra pun kembali melangkah masuk ke dalam ruangan Evan sesuai dengan permintaan Evan.
Saat melihat kedatangan Alexandra Bian yang sedang bicara langsung menjeda ucapannya. Tampak jelas binar di matanya saat melihat Alexandra dan hal itu tidak luput dari penglihatan Evan.
"Ehem ... jadi bagaimana, Pak?" tanya Evan menyadarkan lamunan Bian.
"Eh, iya maaf, Pak. Jadi, seperti yang tadi saya sampaikan, perumahan yang akan kami bangun ini tidak hanya satu. Jadi, jika Anda berinvestasi dalam jumlah besar, saya jamin akan mendapat keuntungan yang juga lumayan."
Evan menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia memang tertarik dengan proyek yang ditawarkan oleh Bian. Tetapi, jika langsung dalam jumlah besar ini bertepatan dengan pengucuran dana untuk produk LA RUE yang terbaru. Dan, dalam hal ini Evan tentu tidak bisa bersikap gegabah. LA RUE COSMETIC tentu harus lebih diutamakan.
"Maaf, Pak Bian. Saya hanya sanggup dengan nominal yang kita bicarakan kemarin. Jika lebih dari itu saya tidak sanggup. Jika memang akan dilanjutkan, Anda bisa menghubungi sekretaris saya dan kita akan bersama-sama menandatangani perjanjian kita ini di Notaris."
Bian menghela napas panjang, ia tentu tidak bisa memaksa Evan untuk menggelontorkan dana sebesar yang ia mau. Jika ia memaksa maka bukan tidak mungkin Evan malah menarik diri dari kerjasama ini. Dan itu adalah hal yang tidak Bian inginkan. Ia sangat tau bagaimana kinerja pengusaha muda yang pintar dan tampan itu.
"Baiklah kalau begitu, Pak. Saya akan secepatnya memberi kabar lewat sekretaris Anda."
"Baik, saya tunggu."
"Terima kasih banyak atas waktunya pagi ini," kata Bian sambil melirik kembali ke arah Alexandra. Lalu ia pun bangkit berdiri dan langsung melangkah keluar bersama Estella.
"Lain kali jangan terlalu genit kepada klien saya," kata Evan tiba-tiba setelah kedua tamunya itu menghilamg di balik pintu. Alexandra mengerutkan dahinya.
"Saya? Genit?"
"Sekretaris saya hanya satu. Lalu siapa lagi yang saya maksud?" kata Evan dengan sebal.
"Maaf, Pak. Tapi, rasanya saya tidak pernah bersikap genit kepada Pak Bian."
"Lalu, kenapa dia mencuri-curi pandang ke arahmu?"
"Hah?!"
"Iya, kau pikir saya tidak memperhatikan? Kau pasti sudah tebar pesona," tuduh Evan.
Alexandra hanya bisa melongo keheranan.
"Anda-"
"Ah, sudahlah ... Kau bisa kembali ke mejamu. Nanti ingatkan saya untuk meeting dengan divisi Humas dan produksi."
"Baik, Pak. Permisi," jawab Alexandra.
Gadis itu pun segera melangkahkan kakinya keluar. Sesampainya di meja kerja, gadis itu mengentakkan kakinya perlahan.
'Kenapa lagi sih, dia itu? Memang salahku jika Pak Bian mencuri pandang ke arahku? Aku kan nggak pernah meminta untuk dipandangi, dasar aneh,' gerutunya dalam hati.