Chereads / LOVE AND THE REVENGE / Chapter 16 - BERDEBAT

Chapter 16 - BERDEBAT

"Tapi, saya masih bisa berangkat dan pulang kerja sendiri, Pak. Bapak nggak perlu sampai menambah pekerjaan Pak Soleh," kata Alexandra.

"Enak saja. Kalau kau tidak mau, saya bisa menurunkan jabatanmu ke staff biasa. Pokoknya saya nggak mau tau. Ini perintah dan saya nggak suka dibantah! Sekarang silakan kembali ke meja kerjamu. Oya, jangan lupa minggu depan untuk perayaan anniversary oma dan opaku," kata Evan dengan wajah datar.

Alexandra menahan napasnya dan ia pun segera pamit keluar. Dengan kesal, ia mengempaskan tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia merasa sangat kesal tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Di sini ia bekerja dan ia tidak mau kehilangan pekerjaannya. Tetapi, apa yang Evan berikan kepadanya seperti beban yang tidak bisa ia pikul.

"Kenapa, Lexa?"

Alexandra tersentak, ia mengangkat wajahnya dan melihat Diana sedang tersenyum ke arahnya.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya lagi.

"Baik, Bu. Ibu mau bertemu dengan Pak Evan? Beliau ada di dalam," kata Alexandra dengan ramah.

"Nggak, saya hanya ingin mengatakan jika tempat untuk merayakan anniversary Tuan Arnold dan Nyonya Kinasih sudah siap. Tolong sampaikan kepada beliau, dan ini ada beberapa kandidat untuk ditempatkan di bagian marketing dan gudang. Seperti biasa wawancara akhir akan dilakukan oleh beliau sendiri. Tolong kau susun jadwalnya, ya. Semua pelamar itu akan datang besok jam sembilan pagi," kata Diana.

"Baik, Bu. Saya akan sampaikan dan untuk besok saya akan siapkan jadwal beliau," jawab Alexandra sambil tersenyum manis.

"Sudah makan siang?" tanya Diana.

"Be-belum, Bu."

"Ayo, saya juga belum makan siang, kita makan dulu. Pak Evan tidak akan marah, yang penting kau aktifkan saja ponselmu," kata Diana.

Sebenarnya, Diana ingin berbincang-bincang dengan gadis yang bisa bertahan 'lama' menjadi sekretaris Evan ini. Biasanya tidak ada yang betah dengan kecerewetan dan juga kesombongan Evan. Tapi, gadis ini begitu berbeda dan tahan banting.

Perlahan, Diana pun menggandeng tangan Alexandra dan mengedipkan matanya. Melihat senyum di wajah Diana, Alexandra pun yakin jika bosnya itu akan baik-baik saja tanpanya untuk sesaat.

LA RUE memiliki 7 lantai. Kantin terletak di lantai 1, tepat di bagian samping gedung. Kantin itu diperuntukkan bagi para karyawan yang bekerja di sana tentu. Ada 3 orang koki yang bertugas memasak di kantin itu.

Sejak dulu LA RUE memang tidak memberikan uang makan bagi para karyawannya. Tetapi, sabegai ganti para karyawan bebas untuk makan siang di kantin ini. Bahkan menu yang disediakan pun cukup enak dan setiap hari berganti.

Hal ini pun dilakukan supaya waktu bekerja lebih efisien. Karyawan tidak perlu keluar dari area perkantoran hanya untuk membeli makan siang.

Menu siang itu kebetulan adalah menu favorit Alexandra. Ada pepes ayam, gulai daun singkong, sambal teri kacang, dan juga ada mie goreng serta telur mata sapi. Juga tersedia jus dan buah-buahan yang bisa mereka ambil. Para karyawan bebas mengambil berapa menu yang mereka suka. Jika memang kuat diizinkan untuk tambah juga.

Diana mengambil nasi dan pepes ayam juga gulai daun singkong, sementara Alexandra hanya mengambil pepes dan gulai tanpa nasi ditambah sambal teri kacang.

"Nggak makan nasi?" tanya Diana.

"Lauknya sudah memiliki kolesterol tinggi, Bu. Bisa gemuk saya nanti," jawab Alexandra tersipu.

"Duh, badanmu itu sudah bagus. Beda sama saya yang buntutnya udah dua," canda Diana.

Kedua wanita berbeda usia itu pun duduk di meja paling sudut yang tidak terlalu ramai. Ini adalah pertama kalinya Alexandra makan di sini. Biasanya ia tidak berani meninggalkan meja dan memakan bekal yang ia bawa dari rumah.

"Lexa, makan siang itu perlu. Jika memang tidak sempat turun ke kantin, kau bisa meminta office girl atau office boy membawakan makan siang ke atas. Tidak apa. Saya tau loh selama kau bekerja di sini, kau tidak pernah makan siang di kantin, kan. Kau membawa bekal dari rumah?" tanya Diana.

Alexandra mengangguk.

"Iya, Bu. Saya takut kalau Pak Evan nanti marah. Apa lagi Ibu kan bilang supaya tidak pernah mematikan ponsel karena Pak Evan sering menyuruh ini dan itu di luar jam kerja," kata Alexandra.

Tawa Diana lepas seketika. Gadis di hadapannya ini benar-benar polos.

"Ya ampun, Lexa. Kau ini polos sekali, ya," kata Diana, "Kau tidak punya teman dekat?"

"Teman dekat? Lelaki atau perempuan?"

"Kalau lelaki saya jamin belum. Perempuan?"

Alexandra menunduk dan menggelengkan kepalanya perlahan.

"Sejak kecil, nggak ada yang mau berteman dengan saya, Bu. Saya cukup puas bermain di rumah dan belajar."

Diana menghela napas panjang. Sejak pertama bertemu Alexandra ia memang sudah menyukai gadis itu.

"Kalau begitu, mulai saat ini kita berteman. Jangan sungkan jika ada apa-apa. Kau bisa menanggapku kakak perempuanmu sendiri. Jangan panggil saya ibu jika di luar kantor. Panggil saja Mbak," kata Diana.

Kedua mata Alexandra berbinar seketika.

"Benar, Bu?"

"Ya tentu saja. Saya suka dengan pekerjaanmu. Sejak kau bekerja di sini, Pak Evan tidak pernah mengeluh dan marah-marah lagi. Semoga saja untuk selanjutnya begitu," kata Diana.

"Amiin, Bu. Saya takut kalau beliau marah," kata Alexandra lagi.

Tiba-tiba saja, ponsel milik Alexandra berdering dan wajah gadis itu pun langsung tegang saat melihat siapa yang menelepon.