Tidak terasa sudah empat puluh lima menit, kami berada di atas motor. Sepeda motor Fatma melaju perlahan ketika memasuki pemukiman, beberapa warga yang berada di luar rumah saling melempar senyum pada kami.
Seharusnya gapura yang di depan jalan sana di pindahkan saja ke dekat pemukiman ini, agar orang yang datang dari luar kota sepertiku bisa tahu jika ini pemukiman warga desa Pangumbara.
Ada benarnya juga gapura itu di pasang di ujung jalan tadi, sehingga orang yang turun dari bus bisa langsung tahu jika mulai dari sanalah kawasan desa Pangumbara.
Aneh juga jika aku memikirkan hal yang tidak penting seperti itu, sepertinya karena begitu lelah dan pegal di bagian bokong sampai kaki.
***
Setelah beberapa saat, sepeda motor berhenti tepat di sebuah rumah dengan bangunan kuno yang terbuat dari kayu jati, kayu besi, dan kayu bangkirai.
Rumah nenek dan kakek dari dahulu tidak berubah, tetap kokoh dan indah di pandang.
Rumah yang terlihat mewah dengan ukiran aksara sunda kuno di dinding luarnya, dilengkapi dengan ukiran burung dadali di atas palang pintu.
Halaman depan yang cukup luas, tertata rapi dengan berbagai macam jenis tanaman hias dan bunga-bunga yang segar. Terlihat begitu apik dirawat dengan baik.
Tak jauh dari rumah ini terdapat pohon mangga besar yang sudah tidak berbuah, dahulu sering menjadi tempat kami bermain ayunan yang terbuat dari setengah ban mobil bekas.
Ingatan masa kecilku dahulu begitu nyata tergambar di depan mata, kenangan yang sempat terlupakan, kini hadir kembali ke permukaan pikiran bagaikan cuplikan film masa lalu.
Fatma masuk ke dalam rumah, sesaat kemudian kembali keluar rumah bersama seseorang yang begitu sangat aku kenali.
"Adisty!" teriak seorang wanita cantik di ambang pintu, iya, dia ibuku.
Aku tersenyum dan segera menyalaminya, ia menyambut uluran tanganku dengan pelukan erat.
"Gimana kabar kamu, Nak? Ibu kangen sekali sama kamu," ucapnya menciumi kening dan pipiku, memelukku kembali.
"Alhamdulillah, Adisty sehat. Ibu gimana?"
Ia tersenyum membelai rambutku yang panjang terurai, "Ibu baik, Nak. Ayo, masuk," ajaknya seraya merangkul lenganku, masuk ke dalam rumah.
Aku memasukki rumah, isi di dalamnya masih sama seperti dahulu. Tidak banyak berubah, hanya kini lebih banyak pas foto yang terpajang di dinding rumah.
Ruangan tamu yang sangat luas, dahulu sering kali di gunakan sebagai tempat kami berlatih tari jaipong.
Kursi kayu berwarna coklat muda yang mengkilat, masih terpajang rapi menghiasi ruang tamu. Semua furniture di dalam rumah masih begitu bagus, awet, dan terawat dengan baik.
Mataku memandang ke sana ke mari, menelusur seisi rumah. Rumah yang dahulu terasa nyaman dan menyenangkan, tetapi terpaksa harus aku tinggalkan.
Kini aku kembali, rasanya seperti baru kemarin pergi dari sini. Semuanya tetap sama, tidak ada yang berubah sedikit pun.
Kami mulai memasukki ruang tengah, biasanya dahulu sebagai tempat keluarga berkumpul.
Iya, ternyata masih sama seperti dahulu. Mereka semua, tengah berkumpul di ruang tengah. Ada kakek, nenek, Uwa Isah, Bik Yum dan seorang wanita cantik seusiaku. Pasti itu Ailin.
"Sudah datang rupanya," ucap nenek, ia masih terlihat muda.
Aneh, seingatku, usia nenek saat ini seharusnya sudah 73 tahun. Namun, kenapa wajahnya tidak berubah? Kerutan dan lipatan di wajahnya, nyaris tidak ada sama sekali.
Begitu pun dengan kakek, tubuhnya yang tinggi sedikit berisi, masih tetap terlihat tegap, gagah, dan kuat.
"Sini duduk, gimana kabarnya?" tanya Bik Yum.
Wajah Bik Yum masih terlihat muda dan segar, usianya saat ini seharusnya sudah 40 tahun.
"Baik," jawabku singkat dengan senyuman tipis.
Aku masih terkesima dengan pemandangan di hadapanku, yang berubah di sini hanyalah Ailin dan Fatma. Mereka beranjak dewasa, sedangkan yang lainnya tidak berubah sama sekali.
Wajah dan tubuh mereka masih sehat, kencang, dan awet muda.
Aku tertegun dengan kecantikan yang terpancar dari wajah mereka, termasuk ibuku. Wajah yang sebelumnya sengaja aku lupakan dalam ingatan, kini terlihat semakin cantik.
"Diem aja, kenapa? Canggung ya? Udah lama, sih, kamu gak pulang ke sini. Kangen gak?" ocehan Uwak Isah, aku menanggapinya dengan senyum dan anggukkan kepala.
"Makan dulu, yuk." Fatma tiba-tiba keluar dari balik gorden dapur. Jika aku tidak salah mengingat, itu adalah dapur.
Kakek mendahului masuk ke dalam dapur, tak adakah kata sambutan untukku.
Ailin mengusap lenganku, dia tersenyum ramah.
Aku begitu tertegun dengan kecantikan gadis satu ini, dia masih sama seperti dahulu. Ramah, baik hati, dan tidak sombong. Semoga saja.
***
Kakek sama sekali tidak mengajakku bicara. Aku tidak tahu kenapa, tetapi sikap kakek padaku berubah.
Terlebih ketika ia melihatku selesai menunaikan kewajiban lima waktuku, tatapan kakek begitu dingin dan terlihat tidak suka kepadaku.
Salat Ashar, Maghrib dan kini salat Isha.
Kakek selalu memperhatikanku, rasanya tidak nyaman.
Aku melipat mukena, menyimpannya kembali ke dalam tas punggungku. Untunglah, masih ada tempat kecil khusus salat yang dahulu pernah di buat oleh ayah.
"Dity, kamu mau ikut lihat pentas kami?" tanya Ailin yang tiba-tiba datang dari arah belakang.
Aku menganggukkan kepala dengan senyuman riang, sebutannya kepadaku masih sama seperti dahulu. Dity.
Aku mengekor di belakang Ailin, lalu masuk ke dalam kamar rias. Ya, di rumah ini ada bilik kamar khusus untuk merias.
Di dalam bilik kamar ini, terdapat beberapa baju pentas seni yang tergantung rapi dengan plastik di dinding kamar.
Satu meja rias yang cukup besar, lengkap dengan berbagai kosmetik dan peralatan riasnya. Ada koper kecil yang berisi berbagai macam warna shading, blush on, dan pewarna bibir.
Fatma sedang di rias oleh Bik Yum, wajahnya terlihat begitu berbeda. Aura kecantikannya terpancar, dia berubah menjadi wanita cantik dengan balutan kebaya khas penari jaipong.
Rambut Ailin sedang di sasak oleh Uwak Isah, mereka kompak layaknya anak dan ibu.
"Kamu mau di dandanin juga?" tanya Bik Yum, aku menggeleng dengan cepat.
"Adisty, kamu yakin mau lihat mereka tampil?" tanya Ibu kepadaku, berdiri di ambang pintu.
"Iya,"
"Kamu ... hati-hati, ya,"
"Iya, Bu." Aku menganggukkan kepala.
Ailin dan Fatma sudah selesai berhias, kami menunggu penari yang lain di depan halaman rumah kakek.
Tiga orang gadis dengan tata rias dan pakaian khas jaipong yang sama sebaya Fatma telah datang, segera kami menaiki mobil elf yang di samping body mobilnya bertuliskan "Sanggar Kesenian Pangumbara". Sanggar kesenian yang dimiliki oleh kakekku, ya, kakekku jugalah yang menyetir mobil elf ini.
Setengah jam sudah perjalanan, kami telah sampai di tempat tujuan.
Aku, kakek, dan ibuku, menyaksikan mereka di salah satu rumah warga. Cukup jauh jaraknya dari panggung pentas, tetapi kami masih bisa melihat penampilan mereka dengan jelas.
Aku terkesima melihat gemulainya tubuh mereka di atas panggung, gerakkan mereka begitu lincah.
Suara musik khas jaipong menggema di udara, tanpa sadar tubuhku bergerak mengayun di tempat duduk mengikuti irama hentakkan musiknya.
Fatma, Ailin dan penari lainnya memutar di atas panggung, tangan kanan mereka terangkat ke atas dengan selendang merah di genggaman.
Pinggul mereka bergoyang patah-patah seiring irama musik trak-trak-trak, lalu bergeol seiring dengan musik jrag-jrag.
Kaki mereka menghentak panggung beberapa kali, lalu lompat dan kembali menari jaipong. Tubuh mereka meliuk-liuk dengan ayunan tangan yang lembut, senandung suara sinden yang nyaring tetapi merdu mengiringi tarian mereka.
Sorak soray terdengar dari pengunjung yang di dominasi para laki-laki, dari remaja sampai dewasa.
Kakek dan Ibu mengangguk-anggukkan kepala saling pandang satu sama lain, lalu tatapan mereka kembali fokus pada panggung.
Aku tersenyum keheranan, kami duduk tanpa kata sedikit pun. Namun, aku melihat kakek dan ibu dengan kompaknya saling pandang dan menganggukkan kepala.
Sorak soray semakin meriah ketika salah satu penonton mulai naik ke atas panggung, ia memberikan beberapa lembar uang kepada para penari jaipong.