Kening mengernyit. Indra pendengaranku menangkap sesuatu. Sebuah suara gamelan. Suara iringan pengantar bagi penari jaipong.
Suaranya terdengar pelan, seperti berada dari kejauhan. Namun, begitu nyaring menembus indra pendengaran. Kecil, tetapi menusuk telinga.
Aku bangkit dari pembaringan. Berjalan perlahan keluar kamar. Tidak ada siapa-siapa. Hening. Hanya terdengar suara jam dinding antik dengan bentuk menyerupai kepala burung hantu yang terbuat dari ukiran kayu pohon mahoni.
Suasana rumah begitu terasa menyeramkan. Ke mana Fatma, Ailin, ibu, dan yang lainnya? Kenapa hanya ada diriku seorang di dalam rumah?
Langkah kaki membawaku semakin mendekati pintu rumah. Kugenggam kenop pintu. Tidak terkunci. Dengan mudahnya terbuka begitu saja. Aku keluar rumah. Mengikuti suara itu.
Tanpa sadar, langkah kaki sudah berjalan jauh meninggalkan rumah kakek. Telapak kaki terasa perih tatkala menginjak ranting kecil yang berserakan sembarang di tanah jalanan.
Aku celingukan menatap sekitar. Banyak pohon jati yang tumbuh menjulang tinggi di sekelilingku. Apakah ini adalah hutan jadi? Keadaan di dalam sini begitu gelap. Entah sudah pukul berapa. Hanya mengandalkan pencahayaan dari sang rembulan malam.
Suara iringan tari jaipong itu semakin kencang terdengar di telinga. Sepertinya, aku sudah mulai dekat dengan lokasi asal suara itu.
Kaki semakin mendekat tatkala melihat rombongan pemusik yang duduk membelakangiku. Menabuh kendang dengan semangat. Ada seorang penari jaipong di hadapan mereka. Penari itu pun membelakangiku.
Gerakan tarinya begitu lincah. Pinggulnya bergoyang. Meliuk-liuk dengan sangat indah. Sekejap membuatku merasa takjub.
Aku bersembunyi dibalik pohon jati yang cukup besar. Jaraknya cukup dekat. Mungkin sekitar lima belas meter dari mereka.
Mulutku sampai menganga ketika penari itu berjingkrak-jingkrak ke sana kemari sembari mengayunkan tangan dan pinggulnya meliuk seirama dengan suara musik.
Trak trak trak~
Pinggul, kepala, dan satu tangan penari itu bergoyang meliuk. Beberapa hentakkan sesuai irama musik.
Trak trak trak~
Suara musik kembali seirama dengan gerakan tari itu. Namun, mataku membelalak dengan sempurna tatkala kepala penari yang seharusnya hanya bergoyang meliuk saja, kini ... berputar seratus delapan puluh derajat. Lalu, berhenti menatap ke arahku.
Seketika tubuhku pun terdiam mematung.
Irama musik itu berhenti serentak. Kesunyian seketika hinggap. Mengisi malam. Kepala sang penari itu masih menghadap ke arahku. Sedangkan tubuhnya menghadap ke arah berlawanan.
Wajah sang penari itu pucat pasi. Matanya bulat. Seluruhnya berwarna hitam pekat. Lalu, bibirnya bergerak. Mengukir senyuman yang lebar.
Sangat lebar. Hingga sudut-sudut bibirnya menyentuh ke ujung telinga. Mulutnya terbuka lebar. Sesuatu berwarna merah pun keluar menetes dari sudut bibirnya.
Aku merasa ketakutan. Tubuhku gemetar. Mematung di tempat. Peluh mengalir deras membasahi sekujur tubuh. Ada apa ini? Bahkan lidahku terasa kelu untuk mengeluarkan suara. Tak mampu berteriak.
Aku terperanjat tatkala semua tubuh pengantar musik jaipong itu membalikkan tubuh ke arahku. Tidak. Bukan tubuh. Melainkan, hanya kepalanya saja. Seperti penari itu.
Wajah seluruh pengantar musik, tidak dapat kuutarakan. Kedua bola mata yang entah letaknya di mana. Tidak beraturan. Bahkan terkesan hancur berantakan. Lengkap dengan bercampurnya cairan kental berwarna merah yang menetes dari mulut mereka. Hingga pakaian dengan motif salur berwarna cokelat hitam itu pun penuh dengan cairan merah.
Mataku semakin membelalak. Kepala penari itu bergoyang. Bergerak meliuk-liuk seperti ular. Mendekat ke arahku. Tidak. Bagaimana bisa?
Mataku terpejam dengan kuat tatkala kurasakan sesuatu mendekat. Napasku memburu. Dingin. Ada rasa dingin yang menyentuh permukaan kulit wajahku.
"Adisty."
Suara siapa itu? Terdengar begitu jelas di dekat telinga. Diiringi dengan sesuatu yang melingkar di sekitar bagian tubuh atasku.
Perlahan, kucoba membuka mata dengan perlahan. Jantungku seakan hendak melompat dari tempatnya. Wajah penari itu tepat berada di hadapanku. Hanya berjarak sepuluh centimeter.
Dapat kulihat mulutnya yang terbuka dengan lebar. Menyeramkan. Semerbak wangi bunga melati, menyeruak ke dalam indra penciumanku.
Tubuhku ... tubuhku tidak dapat bergerak. Seperti terikat sesuatu. Ada yang melilit di sekujur tubuh. Kutundukkan kepala. Mencoba melihat ke bawah.
Lagi-lagi, mataku membelalak untuk ke sekian kali. Leher penari itu melilit di tubuhku. Aku memberontak. Mencoba melepaskan diri dari lilitannya.
"Sang penerus," ucap kepala penari itu.
Aku kembali memejamkan mata. Lilitan di tubuh perlahan melonggar. Hingga terlepas. Mataku kembali terbuka.
Suara musik jaipong itu kembali terdengar. Sang penari kembali melanjutkan tariannya. Kini, wajah dan tubuh penari itu menghadap ke arahku.
Tidak. Apa-apaan ini? Kenapa wajah penari itu ... sama seperti wajahku? Wajah itu memasang senyuman yang sama dengan senyumku.
Namun, kenapa wajah sang penari itu lebih bersinar? Tampak lebih cantik dari wajahku. Meksipun saat ini wajah kami terlihat serupa, wajah penari itu lebih memancarkan aura berbeda.
Dia menari. Meliuk-liukkan tubuh mengikuti irama musik pengiring. Gerakkan tubuhnya gemulai. Tanpa sadar, tangan dan kakiku turut bergerak dengan sendirinya.
Aku tidak sadarkan diri. Kaki ini melangkah begitu saja menghampiri mereka. Tubuhku terasa bergerak dengan ringan. Hingga rasanya seperti mengikuti hembusan angin malam.
Tubuhku semakin dekat dengan penari itu. Hingga kami menari bersama. Aku seperti tengah menari bersama kembaranku.
Tubuh kami meliuk. Pinggul bergoyang mengikuti irama hentakkan musik. Dengan gerakan yang sama. Bersamaan.
Aku tidak dapat mengendalikan tubughku sendiri. Seluruh tubuh ini terasa seperti dikendalikan oleh sesuatu. Bergerak seperti boneka.
Trak trak~
"Aaahhhh!"
Aku menjerit dengan kencang tatkala pinggul ini bergoyang seirama dengan hentakan musik. Seperti bunyi dari musik itu, terdengar bunyi trak dari tulangku yang terasa patah.
Ya, seperti bunyi patahan tulang di tubuhku.
Trak Trak~
"Ahhh!"
Lagi-lagi aku berteriak tatkala tubuhku turun ke bawah. Setengah berjongkok dengan posisi kedua kaki yang menekuk seperti kuda.
Pinggulku teramgkat ke atas. Menopang setengah tubuh bagian atas yang miring ke samping berlawanan. Seakan menjadi sebuah bangunan yang hendak runtuh.
Seluruh tulang di tubuhku terasa seperti tengah dipatahkan secara bersamaan. Teriakanku melengking hingga menggema di dalam hutan. Menyebabkan kegaduhan yang nyaring.
Seluruh burung-burung yang tengah terlelap di atas pohon, seketika berterbangan ke sana kemari. Saling bersahutan satu sama lain hingga memekakkan indra pendengaran.
Siapa pun, tolong aku.
Napasku terengah. Mataku terasa bergerak ke atas. Seakan hendak kehilangan kesadaran. Seluruh tubuh terasa sakit.
Rasa sakit yang tidak tertahankan. Belum pernah kurasakan sebelumnya.
Sakit, tetapi tidak berdarah.
Dadaku naik turun. Irama itu terus berlanjut. Tubuhku masih bergerak, bersamaan dengan penari itu.
Aku memejamkan mata. Harus tenang. Ini semua adalah gangguan dari jin terkutuk. Ayah pernah bilang, kita tidak boleh kalah dari bangsa rendahan seperti mereka.
Kuatur pernapasan. Mencoba untuk tenang. Perlahan, bibirku mulai dapat digerakkan. Aku menelan ludah. Bersiap mengucapkan sesuatu. Doa yang ampuh untuk melawan mereka.
Aku mulai melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan lantang. Seketika seluruh pengiring musik dan penari itu bergerak bersamaan, menutupi kedua telinga mereka.
Mereka berteriak nyaring. Seiring dengan teriakkan mereka yang semakin memekakkan telinga, tubuhku semakin terasa sakit.
Aku mencoba menjaga bacaan doaku agar tidak salah. Namun, rasa sakit di tubuh ini semakin menyiksa. Masih dapat kulihat seringaian mengerikan dari wajah penari yang menirukan wajahku itu. Di tengah teriakkannya.
Aku tidak kuat menahan rasa sakit ini. Tuhan, tolonglah. Kumohon.
"Aaahhhh!"
Deg!
Aku terperanjat. Di mana ini? Ah, ini dalam kamar. Pandangan mataku menelusur sekitar. Iya, benar. Ini di dalam kamar. Ada Fatma di sampingku.
Jantung berdegup kencang. Apakah kejadian yang tadi kualami adalah sebuah mimpi? Jika mimpi, kenapa rasanya seperti nyata? Bahkan rasa sakit di tubuhku itu ... benar-benar terasa menyakitkan.
Tubuh Fatma bergerak. Kemudian, matanya terbuka. Dia menatapku sembari mengerjapkan mata beberapa kali.
"Kenapa, Teh? Kok, belum tidur?" tanya Fatma seraya meraih ponsel di sisi bantal tidurnya. Melihat ke layar benda pipih itu yang menyala cukup terang.
"Tidur, Teh. Masih jam setengah tiga," ujar Fatma seraya meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula.
Napasku terengah. Peluh sudah deras membasahi sekujur tubuh. Mimpi macam apa itu? Apakah aku lupa membaca doa terlebih dahulu sebelum tidur?
Aku menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Mengusapnya dengan kasar. Menyeka bulir bening yang semakin deras. Mengalir begitu saja melewati pelipis mata.
Tenggorokkanku terasa kering. Tercekat. Aku haus. Jarak kamar Fatma ke arah dapur cukup jauh. Gara-gara mimpi itu, membuatku sedikit takut.
Ah, tetapi ini sudah menjelang Subuh. Tidak akan ada apa-apa, kan? Lagipula, itu semua hanyalah sebuah bunga tidur. Tidak nyata.
Aku bangkit dari pembaringan. Berjalan gontai keluar kamar. Menyibakkan kain gorden yang menjuntai di ambang pintu.
Hidungku menangkap aroma wangi. Bunga melati. Kusesap aroma itu dalam-dalam. Ya, benar. Ini wangi bunga melati.
Aroma yang sama seperti di dalam mimpi dari sang penari jaipong itu.
Kugelengkan kepala. Menepis pikiran seram yang tiba-tiba hinggap. Aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Bersikap biasa saja. Itu hanyalah sebuah mimpi belaka.
Aku masuk ke dalam dapur. Meraih gelas mug yang terbuat dari bahan kaleng seperti rantang. Benda tradisional yang masih ada di jaman modern seperti ini.
Aku meraih teko plastik di atas meja kayu panjang, dekat kompor gas. Menuangkan air ke dalam gelas. Lekas meneguk dengan cepat hingga habis tak tersisa sedikit pun.
Brak!
Aku terperanjat. Terkejut dengan sesuatu yang terdengar dari arah belakangku. Tepat di dalam kamar mandi.
Suara apa itu?
Jantungku berdegup kencang karena terkejut. Apakah di dalam kamar mandi ada orang? Ibu, Uwak Isah, atau siapa?
"Ada orang di dalam?" tanyaku seraya perlahan mendekat ke arah pintu kayu kamar mandi.
Terdengar suara tetesan air dari pipa saluran air di dalam kamar mandi. Mungkin lubang saluran airnya tidak tertutup dengan sempurna.
Keran di dalam kamar mandi ini hanya disumpal dengan gumpalan kain untuk menutupi lubang air. Jika ingin digunakan, gumpalan kain itu dibuka.
Kriett~
Kubuka pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu. Sudah terlihat lapuk karena termakan usia. Ah, tidak ada siapa-siapa. Kondisi di dalam kamar mandi sudah rapi seperti tadi siang. Bahkan tidak ada bekas dari ritual yang Fatma dan Ailin lakukan semalam tadi. Lalu, tadi itu suara apa?
Deg!
Indra penciumanku kembali menangkap aroma bunga melati. Semerbak. Dekat seperti ketika di dalam mimpi burukku.
"Adisty."