Satu persatu penonton menaiki panggung, kini masing-masing penari bersama satu lelaki di depannya.
Penari jaipong mengalungkan selendang merah mereka ke leher penonton di atas panggung, hinggalah seperti terlihat layaknya lima pasangan kekasih yang menari.
Selendang merah di angkat, di kibaskan di udara dan ditaruh kembali di pinggang masing-masing penari, mereka memutar dan menari seperti biasa.
NGIIINNGGGG~
Aku menutup kedua telingaku, telingaku berdengung. Nyaring, dengungannya nyaring sekali memekakkan telinga.
Telingaku sakit. Semuanya larut dalam suasana, mataku nanar menatap sekitar.
Aku berusaha meraih tangan ibu yang setengah meter jaraknya dari tempatku duduk terhalang oleh meja kecil tempat makanan, entah sejak kapan tempat kami duduk menjadi terasa sangat jauh seperti ini.
Aku merintih kecil, telingaku sakit sekali.
DEGH~
Aku melihat seorang wanita berpakaian penari jaipong tengah tersenyum kepadaku dari belakang panggung pentas.
Siapa wanita itu? Mataku menatap ke atas panggung, mereka masih lengkap lima orang di atas panggung. Dan lagi, pakaian yang dikenakan wanita itu berbeda dengan warna pakaian kebaya jaipong yang dikenakan Fatma dengan yang lainnya di atas panggung.
Mataku kembali mencari sosok wanita asing tadi, dia sudah tidak berada di tempatnya semula.
Mataku menyipit, beberapa meter di belakang panggung. Dari kegelapan, jari telunjuknya terangkat. Masih bisa aku lihat dengan jelas, dia tersenyum lebar. Bukan, lebih tepatnya ... dia menyeringai seraya menunjuk kepadaku.
"AAAKHHHHH!"
Teriak salah satu penonton di bawah panggung, suasana menjadi riuh seketika.
Para penonton mulai menyebar dengan panik, mereka seperti mencoba menjauhi sesuatu yang berada tepat di bawah panggung.
Kakek dan warga yang berada di dekat rumah tempatku duduk, semuanya panik dan berlari menghampiri sesuatu itu.
Aku memiringkan kepalaku, mencoba melihat ke sana di balik celah-celah tubuh penonton.
Mataku kembali menatap sesosok wanita berkebaya jaipong dengan warna kuning dan jingga, selendang kuning terikat di pinggangnya.
Sejak kapan dia berada di antara kerumunan penonton yang ricuh? Dia berjalan diantara kerumunan itu, dengan santainya lewat begitu saja.
Sebenarnya wanita itu sedang apa di sana?
Wanita itu menggerakkan jari telunjuknya, mengisyaratkan kepadaku untuk mengikutinya.
Aku melihat ke arah ibu sekilas, ia tengah panik dengan kepala yang celingukan menatap ke arah sana.
Aku berjalan ke depan, mengikuti arah telunjuk wanita itu. Dia terus berjalan ke arah samping panggung, terlihat seperti kandang sapi di sana.
Dia masuk ke dalam kegelapan diantara kandang-kandang sapi yang besar, langkahku terhenti di sebuah pohon pisang dengan lampu petromax yang bergantung di batangnya.
Aku celingukan, wanita itu hilang di dalam kegelapan. Aku mencoba menyipitkan mataku, dia benar-benar hilang tak terlihat lagi.
Aku menghembuskan nafas kesal, bisa-bisanya mengikuti wanita asing yang tidak jelas seperti dia.
Aku kembali ke tempatku duduk, kerumunan penonton sudah melebur kembali menjadi satu. Suara gemuruh musik khas jaipong tak begitu jelas terdengar karena keributan warga.
"Kamu dari mana?" tanya ibu setelah aku duduk.
"Itu, barusan aku ...."
"Haduh, dasar anak-anak jaman sekarang." ucap salah seorang warga yang kembali bersama kakek.
"Kenapa?" tanya seorang wanita paruh baya dari ambang pintu rumah.
"Itu ada yang mabuk, berantem mereka. Gatau senggol-senggolan apa gimana,"
Wanita paruh baya di ambang pintu itu mengangguk-anggukkan kepala, dan tersenyum ramah ketika menatapku.
"Eh, ini siapa ya?" tanyanya, menatapku.
"Ini anak saya," ucap ibu tiba-tiba.
"Oh, anak kamu. Kok, baru kelihatan, Ras?"
"Dia baru pulang dari Jakarta,"
"Sama Putra?"
Aku menatap ibu, ibu menggelengkan kepalanya dan wanita paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepala, lalu tersenyum kepadaku.
Ibu tersenyum menatapku, aku balas senyumannya dengan canggung.
Fatma, Ailin dan yang lainnya sudah turun dari atas panggung. Mereka makan makanan di atas meja yang sudah disiapkan oleh pemilik rumah, kemudian kami semua pamit pulang.
***
TEK~ TEK~ TEK~
Pukul sebelas malam lebih empat puluh lima menit, aku mendengar suara berisik dari arah pintu belakang.
Fatma tidak berada di sampingku, kemana dia?
Kami tidur di atas kasur busa yang langsung beralaskan lantai, jadi aku tidak merasakan kepergian Fatma yang beranjak dari atas kasur.
Aku menyibakkan gorden kamar, semua kamar dan ruangan di dalam rumah ini tidak berpintu. Hanya ditutupi oleh kain gorden sebagai pengganti pintu.
TEK~ TEK~ TEK~
Suara berisik itu terdengar lagi, aku berjalan perlahan menuju asal suara. menajamkan indra pendengaran, terdengar desas-desus suara seseorang yang tengah berbisik.
Aku mengintip dari balik bilik dinding kayu di dekat pintu dapur. Ada kakek, nenek, Fatma dan Ailin.
Mereka sedang apa?
Fatma dan Ailin menutup mata, tangan keduanya menangkup di depan dada. Mereka hanya mengenakan samping kebat yang membalut tubuh mereka, mereka duduk bersila menyilangkan kaki.
Mulut kakek tak hentinya berdesas-desus mengucap sesuatu, sedangkan nenek memegang gayung batok kelapa.
TEK~ TEK~ TEK~
Nenek mengetukkan gayung batok kelapa itu pada sebuah gentong kayu yang berisi air dan beberapa jenis bunga.
Nenek mengaduk air dan taburan bunga itu dengan gayung batok kelapa, sembari mulutnya komat kamit mengucap sesuatu.
Air disinduknya, di guyurnya kepala Fatma dan Ailin bergantian. Kakek menyalakan dupa dan kemenyan, aromanya menyeruak ke dalam dapur.
Aku menutup hidungku, mencoba menahan nafas agar tak mencium aroma dupa dan kemenyan yang mengepulkan asap itu.
Fatma dan Ailin berdiri, mereka melonggarkan samping yang mereka kenakan. Mereka saling berhadapan, tangan kiri mereka saling memegang samping kebat.
Fatma memegang ujung samping kebat Ailin, begitu sebaliknya Ailin pun memegang ujung samping kebat Fatma.
Mereka duduk kembali dengan berhadapan, nenek mengguyur kembali tubuh mereka dari atas kepala secara bergantian.
Kakek memasukkan abu dari kemenyan dan dupa yang terbakar itu ke dalam gentong kayu yang berisi air dan bunga tersebut.
Nenek menyiramkannya kembali kepada Fatma dan Ailin, lalu mereka berdua membuka mata.
Mereka berdua saling membalurkan sesuatu yang berwarna kuning ke tubuh mereka, Ailin mengusapnya lebih dulu ke lengan kanan Fatma. Kemudian di lanjut dengan Fatma membaluri lengan kanan Ailin dengan cairan berwarna kuning kental itu.
Aku bergegas masuk ke dalam kamar kembali ketika melihat Fatma dan Ailin mulai berjalan menuju pintu.
Aku tutupi seluruh tubuhku sampai ke atas kepala dengan selimut, napasku memburu. Jantungku berdetak dengan kencang, berharap mereka tidak mengetahui jika aku telah mengintip.
SREK~
Gorden di sibakkan, terdengar derap langkah kaki yang masuk ke dalam kamar. Itu pasti Fatma, aku memejamkan mata berpura-pura masih tertidur.
Aku tahu, itu bukanlah mandi biasa. Mereka disirami air bunga oleh nenek, kakek membakar kemenyan dan dupa. Mereka pasti telah melakukan ritual.
Derap kaki itu mendekat dan berhenti tepat di hadapanku, wangi bunga melati menyeruak di dalam kamar.
Aku membuka mataku perlahan, kulihat kaki di hadapanku berkulit putih pucat. Kakinya basah, masih ada air yang mengalir dari atas.
Aku kembali memejamkan mata ketika derap kaki kembali terdengar dari ambang pintu, mungkinkah Ailin juga masuk ke dalam kamar?
Dug... Dug.. Dug...
Derap langkah kaki yang cepat masuk ke dalam kamar, menimbulkan suara gedugan lantai yang terhentak.
Dug... Dug.. Dug..
Lagi-lagi derap kaki masuk ke dalam kamar, siapa lagi yang masuk?
Sudah lima kali derap langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam kamar, aku merasa pengap berada di bawah selimut.
Keringatku mengucur deras, aku sudah kepanasan. Belum lagi detak jantung yang terasa semakin kencang, dan oksigen di dalam kamar ini terasa berkurang karena banyaknya orang di dalam kamar.
"Duh, mereka mau ngapain sih rame-rame masuk kamar? Fatma, Ailin, ibu, Bik Yum dan Uwak Isah? Mereka mau ngapain semuanya disini?" batinku menggerutu kesal.
Aku sibakkan selimut yang menutupi seluruh tubuhku dengan kasar, mendengus dan menatap sekitar.
Hah, kosong?
Tep.. Tep.. Tep..
Suara derap kaki lagi, kali ini siapa?
Aku menatap gorden kamar, kain gorden perlahan terbuka.
"Teh, kok, udah bangun?"
"Eh, Fatma. Kamu habis dari mana?"
"Dari air, Teh."
"Dia berbohong," batinku.
Aku mengernyitkan kening, "Ngapain?" tanyaku.
"Pipis, hehe." Fatma berbaring di sampingku.
"Ayo, tidur lagi, Teh."
Aku menganggukkan kepala dan kembali merebahkan diri di atas kasur. Bisa-bisanya dia berbohong, padahal aku tahu apa yang mereka lakukan tadi.
Besok akan aku tanyakan padanya.