Tak semua tugas dapat dilimpahkan pada bawahan. Beberapa pekerjaan mengharuskan pemimpin turun tangan sendiri. Menyamar sebagai prajurit pada umumnya, dengan pakaian dan tudung kepala serta pelapis wajah yang meliindungi, Milind bergerak meninggalkan bilik Kahayun menuju ruang rahasia Garanggati yang terletak di benteng Aswa Girimba.
Gosha mempersilakan sebuah ruangan khusus di samping bongkahan poorva auriga menjadi tempat Garanggati menyelesaikan berbagai urusan. Tak ada larangan untuk melakukan apapun, termasuk bila Garanggati berniat melakukan pertemuan atau akan merakit senjata sendiri. Gosha menghormati seluruh ksatria Wanawa, hingga ia mempercayai siapapun.
Tanpa memberitahu Gosha, Milind mengendap masuk.
Keahlian dan kesaktian membuat tubuhnya ringan melayang. Menembus lapis pertahanan. Sesuai kata Vanantara, bilik Garanggati berlapis mantra kokoh. Gosha tak mungkin dapat menembusnya dengan mudah. Milind pun perlu upaya cukup untuk mampu memasuki bilik Garanggati tanpa diketahui. Walau denyar ragu merayapi : mengapa tak sekuat yang diperkirakan pertahanan ruang rahasia sang pandhita?
❄️💫❄️
Terdengar bilah senjata ditempa.
Mengikir. Mengasah. Mengukir. Memukul.
Suara teriakan seseorang melepaskan suara saat berlatih.
Milind menajamkan pendengaran. Khawatir bila di balik tiang atau dinding bersembunyi penjaga. Namun tampaknya, bilik luas Garanggati sepi kecuali sedikit kegiatan yang masih belum dapat diketahui.
Usai beberapa saat, terdengar percakapan.
"Istirahatlah. Kau kadang segila pasukan hitam," tegur sebuah suara.
"Senjata ini harus segera selesai. Tuan Garanggati memerintahkan membuat tiga buah."
Hening sesaat. Milind ingin memastikan pemilik suara.
"Apakah semua sudah selesai, Nami?"
"Sudah sebetulnya, namun yang sebuah ini harus lebih halus dan sempurna," Nami berkata, mengelus ujung senjata dengan ukiran indah atas arahan Garanggati. Ia sendiri mengagumi pola yang telah diukir kasar lalu dihaluskan lagi olehnya. Sungguh luarbiasa ketinggian ilmu sang pandhita. Kehalusan olah rasanya hingga tiga bilah senjata menjadi bentuk memukau. Yang satu, sangat menonjol.
Rasa tersengat menjalari sekujur tubuh Milind ketika mendengar sebuah nama disebutkan.
"Apakah Hulubalang sudah mahir memainkannya?"
"Ya. Puluhan jurus yang diajarkan Pandhita sudah kukuasai. Kau juga harus berlatih lebih keras."
"Usai menuntaskan yang satu ini," ujar Nami berjanji.
Mereka kembali disibukkan urusan masing-masing.
Ketika Nami beristirahat sejenak dari penempaan dan pengukiran senjata, ia bergabung bersama Sindu.
"Memegang tombak berbeda dengan pedang, Nami," ajar Sindu.
Beberapa gerakan dipertontonkan, Nami mengikuti. Beberapa saat, mereka berlatih satu lawan satu dan bertarung mendekati pertempuran sesungguhnya, Sindu terhuyung sesaat hingga Nami berteriak.
"Hulubalang Sindu!"
Untuk kedua kali tubuh Milind tersengat.
Sindu? Salah satu hulubalang Sabuk Emas dari Giriwana? Rahangnya mengeras.
"Luka Tuan…"
"Tak mengapa. Hanya saja, poorva auriga membuat tubuhku kesakitan," bisik Sindu.
"Tuan harus beristirahat!"
"Tak ada waktu istirahat, Nami."
Milind meraba hulu pedangnya. Seingatnya, luka Sindu telah membaik. Mengapa ia memiliki luka lagi?
"Istirahatlah dulu," Nami bersungguh-sungguh. "Pandhita Garanggati memerintahkan hamba mengoleskan luka pada tubuh Tuan dengan ramuan obat khususnya."
Milind mencari tempat yang lebih lapang untuk bergerak mendekat dan mendengar lebih jelas. Sindu tampaknya beristirahat dan mengikuti permintaan Nami.
"Luka-luka Tuan…," bisik Nami cemas, saat melihat beberapa torehan baru di tubuh Sindu.
"Diamlah!" bentak Sindu. "Oleskan saja!"
Terdengar suara mengaduh tertahan.
"Hamba tak menyangka Raja Vanantara tega melakukan ini pada Tuan," gumam Nami prihatin.
Milind membeku kaku di tempatnya.
Raja Vanantara? Melukai hulubalangnya sendiri?
Nami selesai mengolesi beberapa titik luka yang tampaknya sengaja dibuat dalam jarak dekat, bukan dalam sebuah pertempuran jarak jauh. Berusaha keras mengatasi rasa nyeri, Sindu mengenakan pakaiannya kembali.
Ia mengajak Nami berlatih.
"Tuan, istirahatlah," Nami berkata memohon.
Sindu mencoba tersenyum, "Kau pun tak mau istirahat ketika kuperintahkan. Kita harus berlatih lebih keras!"
Nami menarik napas. Ia menghubus tombak berukir, menyerang pertahanan Sindu.
Mendesak. Memukul. Menghalau. Menebas.
Bertahan. Menangkis. Berkelit.
Satu serangan beruntun yang diluncurkan Nami membuat Sindu kepayahan dan terjatuh. Tak tega, Nami mengulurkan tangan berusaha membantu. Kebaikan hati yang serta merta ditepis tegas oleh Sindu, ia berusaha bertopang kuat pada tombaknya.
"Kita harus berlatih keras, Nami! Jangan kasihani aku. Kita harus bisa melindungi Wanawa dan Panglima Milind dengan taruhan nyawa kita!"
Semua yang terjadi di hadapan mata bagai benang kusut yang tak ketahuan ujung pangkal. Apa makna perintah Vanantara yang mengatakan bahwa Garanggati dan siapapun yang bersamanya adalah pengkhianat? Kalimat yang diucapkan Sindu dan Nami jauh dari makar busuk untuk menggulingkan penguasa. Mereka tentu tak berpura-pura sebab sama sekali tak menyadari ada pihak lain mengintai mereka.
Namun, mengapa Garanggati memiliki pasukan khusus di belakang sang raja? Apakah tak lebih baik bekerja sama dan mengurai permasalahan sembari bertukar rencana?
Ada yang harus digali lebih jelas lagi.
Pengkhianat pantas dihukum keras, tetapi harus dipastikan mereka benar-benar berseberangan dengan kepentingan Wanawa.
❄️💫❄️
Kehadiran sosok bertopeng di antara mereka mengejutkan Nami dan Sindu hingga keduanya melompat saling menjauh. Sejenak saling bertukar pandang, sebelum firasat segera naik ke permukaan : penyusup memasuki bilik rahasia Garanggati!
Sindu berteriak lantang dan marah.
"Siapa kau, Keparat?!"
Tak menjawab, sosok itu justru menghunus pedang. Milind sengaja menyembunyikan kedua pedang pusaka miliknya, dan hanya mengambil sebilah pedang tajam yang biasa digunakan para hulubalang.
Nami dan Sindu menyerang sosok bertopeng yang tangguh luarbiasa.
Tombak di tangan kedua penyerang bagai sepasang sayap. Menyerang bersamaan dari arah kiri kanan, menuju titik berbahaya bagian tubuh Milind. Walau ayunan senjata prajurit terlatih Garanggati kuat dan gesit, musuh mereka jelas bukan pihak sembarangan yang mudah dijatuhkan dalam belasan jurus. Bahkan, puluhan jurus tak tampak goyah walau sedikitpun!
Ketika Milind mulai mengerahkan sedikit tenaga, jelas dua sosok di depannya mulai terlihat kerepotan. Satu tendangan membuat Sindu terjungkal, satu pukulan membuat Nami terhuyung hingga nyaris terjerembab bila tak bertelekan pada ujung tombak
Keduanya menahan rasa nyeri dan segera mencoba bangkit.
Ketangguhan yang mau tak mau membuat Milind berdecak. Apa yang telah dilakukan padhita Garanggati, pikir Milind, hingga membuat Raja Vanantara sangat khawatir? Bahkan pesan terakhir sang raja terkait pengkhianat sangat menakutkan.
Kehebohan yang ditimbulkan, tak membuat sosok yang dicari tak segera muncul. Mau tak mau, Milind mulai bertanya.
"Kemana pandhita Garanggati?"
Baik Nami dan Sindu terkejut. Suara itu seolah dikenal, entah siapa. Bagaimana pun, caranya menyebut nama Garanggati sangat hormat. Pasti ia mengenal dengan baik salah satu sosok kepercayaan Vanantara yang dulu dikenal sebagai panglima tangguh.
"Apa urusanmu dengannya?!" bentak Nami sengit.
Milind menarik napas panjang.
Ia dapat melihat kemarahan Nami dan Sindu. Walau dalam beberapa jurus keduanya dapat ditaklukkan, Milind tak ingin gegabah memancing keributan di benteng Aswa. Gosha akan terlibat kesulitan bila mendapati Garanggati menyimpan rahasia, melatih pasukan khusus, menempa senjata diam-diam dan sekarang mempersilakan pertarungan di bentengnya!
Mencoba bersabar, Milind melayani serangan kedua prajurit yang sebetulnya adalah bawahannya, walau Sindu mengabdi di Giriwana. Beberapa saat, Milind mencoba mengurai lebih jauh belitan rahasia di antara mereka.
"Mantra bilik pandhita Garanggati melemah," Milind menegaskan. "Apakah pandhita pergi jauh dari tempat ini?"
Sindu tertegun.
Demi melihatnya menahan serangan, Nami pun menahan diri.
"Dari mana kau tahu mantra bilik ini melemah?" bentak Sindu, balik curiga.
"Aku tahu!" desak Milind. "Jawab pertanyaanku!"
Sindu menarik tombaknya, tanda menahan serangan sembari membentak, "Aku tak tahu!"
"Bila mantra bilik ini melemah, Pandhita Garanggati pasti menjauh," gumam Milind, pun menarik pedangnya dari mengarah ke pertahanan musuh.
Sindu tampak kebingungan. Ia menoleh ke arah Nami.
Merasa musuh tak berniat mencelakakan, Sindu pun melunak. Perhatiannya tertuju ke arah gadis di sampingnya.
"Nami? Kau tahu ke mana pandhita?" tanya Sindu.
Nami menarik napas panjang. Dua pasang mata menelisik tajam ke arahnya. Ia memang menjumpai Garanggati karena datang lebih awal dibanding Sindu dan sempat bertukar sapa. Wajah Garangganti tampak murung.
Pelan dan ragu, Nami berbisik, "Pandhita menemui baginda."
Milind mengernyitkan dahi, sementara raut wajah Sindu memucat bagai tersambar geledek.
"Pandhita Garanggati menemui Paduka Vanantara??" setengah berteriak mengulang ucapan Nami. "Celaka, demi jagad Akasha!!"
Kali ini, Milind bertopeng dan Nami ganti menoleh terkejut ke arah Sindu.
"A-apa?" Nami terbata. "Jangan membuat hamba takut, Hulubalang!"
Cepat Sindu menyambar lengan Nami.
"Kita harus menyelamatkan pandhita! Raja Vanantara pasti membunuhnya!"
Bagai tombak dingin Aswa merajam tubuh, Milind nyaris tak percaya mendengarnya.
Nami menepis genggaman Sindu, "Jangan bicara sembarangan, Hulubalang!"
Sindu mengatupkan bibir. Ia menggulung lengan bajunya, memperlihatkan beberapa bekas luka.
"Raja sanggup menyiksaku, bukan hal mustahil beliau akan melakukan itu pada pandhita Garanggati!"
Nami terpana.
Bahkan Milind tak sanggup berkata lebih jauh. Raja Vanantara dan Pandhita Garanggati, bukankah sosok sembarangan bagi wangsa Akasha. Mereka tak akan bertindak dan berkata gegabah; saling menuduh tanpa dasar jelas. Namun, bagaimana dua sosok yang begitu dihormati Milind sekarang berdiri berseberangan? Bagaimana ia harus mengambil sikap?
Apapun yang saat ini tengah terjadi antara Vanantara dan Garanggati, Milind merasa Sindu dan Nami tak berbohong. Mereka berdua juga memegang kunci kebenaran terkait Garanggati.
Milind menyarungkan pedangnya.
"Simpan tombak kalian!" perintahnya.
Aneh, suara sosok yang dianggap musuh oleh Nami dan Sindu memiliki kharisma luar biasa. Bahkan di balik topeng, ia memiliki pesona untuk menundukkan siapapun dengan sebuah perintah.
Tanpa sadar, Sindu dan Nami menyimpan tombak poorva auriga ke dalam sarungnya. Menyelipkan ke belakang punggung, terikat dengan tali pinggang yang kuat.
Dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat, Milind meraih tali pinggang Nami dan Sindu.
"Kita harus menembus lorong rahasia segera. Nistalit, tutup matamu!"
❄️💫❄️