Va mitva zaal bav. Veraddikteva yoga. Sarava ogya! Vera thar anya lave!
Va mitva zaal bav. Veraddikteva yoga. Sarava ogya! Vera thar anya lave!
Va mitva zaal bav. Veraddikteva yoga. Sarava ogya! Vera thar anya lave!
Silva mencoba manghafalkan hingga kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut. Tubuhnya berkeringat. Mantra itu serasa membebani tubuh hingga pundak melorot, bagai buruh memanggul karung-karung beras. Melihatnya seperti itu, Najma sungguh khawatir.
Ragil, yang terus memantau pergerakan mereka, tampak mulai putus asa.
"Bukan begitu cara kerja mantra kuno," kata Ragil. "Kau hafal, bisa mengucapkannya, lalu musuh terbanting tumbang!"
"Trus aku harus gimana?"
"Silva harus yakin dengan dirinya. Harus yakin kalau yang dilakukan benar. Harus tulus melakukannya, tanpa paksaan."
Najma mengangguk.
Jadi setan-setan ini dapat dikalahkan dengan keyakinan, kebenaran, ketulusan? Pikir Najma. Apa itu cukup?
"Di Javadiva, Silva harus ujicoba kemampuannya. Dan kita nggak tau seberapa kuat musuh Salaka," Ragil mengingatkan. "Hasilnya bisa menakjubkan atau sebaliknya."
Najma tegang mendengarnya.
Apakah mereka meletakkan Silva dalam bahaya?
๐ ๐๐
Javadiva berlangsung seperti biasa.
Kelas berjalan normal. Anak-anak bersekolah seperti biasa. Initta dan Zaya tetap menjadi pusat perhatian seperti biasa. Mencari perhatian, seperti biasa. Tak ada yang tampak berubah. Kantin, ruang kelas, ruang guru, kesibukan yayasan dan tamu-tamu yang ingin belajar dari keunikan Javadiva tak pernah putus berkunjung.
Najma, bergaya seorang eksekutif muda yang berdandan, sepatu hak tinggi hampir membuatnya terjerembab beberapa kali. Ia menyumpah-nyumpah dalam hati, mengapa tak menggunakan sepatu kets saja. Silva dan Sonna mendandaninya seperti ini, agar sesuai dengan rencana untuk memuluskan mereka masuk ke Javadiva.
Nekat, ia menerobos masuk ke ruang indah dan artistik milik para pengelola dan pengajar Javadiva yang terletak di sudut strategis Javadiva. Andai berpakaian biasa seperti penggali artefak yang berdebu, ia pasti sudah ditendang sejak melangkah masuk.
Untunglah, pakaian dan asesorisnya yang terlihat berbeda dari hari-hari biasa menyelamatkannya. Betul kata pepatah Jawa.
Ajining rogo soko busana. Ajining ilat soko lathi.* Seseorang dihargai dari pakaiannya. Seseorang terhormat karena lidahnya.
Jikalau menggunakan pakaian ala kadarnya masuk ke Javadiva dan ngotot berbusana sesuai kenyamanan, tentu tak akan diizinkan masuk. Bagaimana pun, orang harus tahu tata krama. Najma mulai belajar hal itu ketika harus berurusan dengan Rendra dan kehidupannya.
"Saya wakil dari tuan Rendra, salah satu asistennya," Najma memaksa memperkenalkan diri, sembari mengulurkan tangan. "Ia donatur terbesar di sini."
Nagina dan Gayani yang sedang sibuk melayani tamu terperanjat sesaat. Bagaimana mungkin Najma bisa lolos begitu saja dari penjaga tamu di depan?
"Kebetulan Tuan Rendra sedang menginvestasikan dana pada resor yang memelihara nilai-nilai tradisional," Najma menekankan. "Apalagi wilayah Jawa dipenuhi peninggalan sejarah yang kaya. Kami dengar bangunan Javadiva sebagian masih berupa bangunan kuno. Bahkan areal ini diperkirakan merupakan sebuah wilayah besar kerajaan dahulu."
Gayani, kepala sekolah yang baru, mencoba bersikap ramah.
"Kami memang menjaga nilai-nilai budaya dengan sangat ketat, Buโฆ?"
"Luna."
"Bu Luna, kami pasti satu paham dengan pimpinan anda. Tuan Rendra, begitu?"
Najma masih terhenyak dengan nama yang dipilihnya. Kenapa harus Luna? Bukankah itu asisten Rendra yang seksi? Sayangnya, satu nama itu yang langsung terbayang di kepala. Namanya sendiri Najma Laila. Tak mungkin menggunakan nama asli yang mungkin saja dapat langsung terdeteksi. Apa yang mirip dengan nama Najma dan Laila ya hanyaโฆLuna.
"Bu Luna sudah membuat perjanjian sebelumnya dengan sekolah atau yayasan?" suara Nagina lembut menegur.
Najma terdiam.
"Bu Luna?"
Eh, dia manggil aku? Pikir Najma konyol. Ya, itu kan nama kamu! Bentak benaknya yang lain.
"Maafkan," Najma mengangguk sopan, "saya sangat sibuk mendampingi pak Rendra. Kadang harus ke luar negeri dan ke luar kota. Jadi, agenda tumpang tindih."
Najma menyumpah dalam hati.
Kenapa bohong sedemikian sulitnya? Kalau nanti ditanya : luar negeri mana? Apa yang akan dikatakannya? Paling jauh ia hanya ke luar pulau Jawa. Apalagi kalau ditanya-tanya tentang Rendra, tahu apa dia tentang Samurai X itu?
Kepalang tanggung.
"Karena sedang berada di Jawa Tengah, saya putuskan segera mampir ke beberapa titik asset perusahaan. Javadiva salah satunya," Najma berkata.
Gayani dan Nagina berpandangan.
Memberikan ruang khusus dan ekslusif kepada tamu di hadapan mereka.
"Apa yang bisa kami bantu, Bu Luna?"
๐ ๐๐
Mobil mewah milik Rendra. Supir pribadi. Asisten yang mendampingi. Lengkap dengan pengawal. Hidup seperti berubah sesaat.
"Supir pribadi?" Ragil mengejek dirinya sendiri. "Apa nggak ada bagian yang lebih keren?"
"Kaki Mas kan belum beres," Mawar tersenyum manis. "Ntar disuruh bag bug, patah tulang lagi."
Bara mendehem. Menggulung lengannya lebih ke atas, memperlihatkan otot terlatih. Membuat Ragil makin senewen.
"Makanya, Mas," Mawar menambah minyak ke dalam api. "Angkat beban. Angkat beban! Jangan cuma ngadepin batu."
"Ngangkat batu juga ngangkat beban," Ragil menggerutu.
Ia masih mau mengomel tapi panggilan video memotong.
"Back up! Back up!" bisik suara di seberang.
"Serasa masuk dunia spionase," Ragil masih menggerutu.
"Kalian ngapain? Ngobrol aja! Cepetan!"
"Siap, Ndan!"
"Oke, boss!
"Baik, Buuuuu!"
"Aku kepanasan pake kosmetik kayak gini!"
"Tapi cantik, kok," Ragil spontan berkata.
"Cieeeeee! Hah!" Bara dan Mawar serentak.
Nyaris lupa dengan tugas utama saat sudah bersama-sama teman tercinta seperti ini. Bahkan Silva pun terhanyut dalam kegembiraan.
"Apakah kita akan bersama-sama ke Nirvana?" tanya Najma. "Atau aku terus menempel ke para petinggi Javadiva? Supaya Silva bisa bebas mendekati ke arah Nirvana."
Semua terdiam.
"Ayo gimana, nih!" desak Najma.
Hening sesaat.
"Mas Ragil?" Najma bertanya.
"Kita bersama-sama," Ragil memutuskan. "Jangan biarkan Silva sendirian."
Silva menatapnya penuh terima kasih.
"Kita harus gerak cepat!" Najma memberi perintah. "Keadaan Rasi dan Bhumi pasti sulit."
Menggunakan alasan meninjau Javadiva bersama tim, Najma mendesak Gayani dan Nagina untuk segera mengantarkan mereka ke daerah Nirvana. Bara dan Mawar tampak mengesankan dalam baju pengawal serba hitam, sementara Silva dan Sonna tampak seperti buruh yang dipekerjakan di bawah umur.
Gayani merasa keberatan tamunya meninjau area sekitar Nirvana. Tapi Najma terus mendesak dan mengatakan, bahwa Rendra langsung menelepon dari luar negeri dan memerintahkan mereka harus meninjau ulang bantuan ke Javadiva. Bahkan, demi meyakinkan Gayani dan Nagina, Najma benar-benar menelepon Rendra.
Berkali-kali.
Rendra tampaknya tengah menghadapi pertemuan penting hingga tak dapat mengangkat segera. Najma merasakan perutnya tegang. Ia butuh Rendra sekarang dan dari pesan singkatnya, Najma meminta Rendra menelpon pihak Javadiva dan memberinya wewenang untuk berkeliling. Atau Javadiva akan kehilangan salah satu donatur besarnya.
Satu langkah berat akhirnya bisa terselesaikan ketika Rendra berhasil meyakinkan Gayani. Walau Rendra tampak memberikan sinyal kesal ke arah Najma yang mengganggunya dengan panggilan berkali-kali. Berikutnya, menuju Nirvana benar-benar membutuhkan keberanian semua.
๐ ๐๐
Bangunan itu mulai dirubuhkan.
Benar-benar bukan ancaman gertak sambal belaka. Ketika Najma berkeliling dipandu anak buah Gayani, Bara dan Mawar mengikuti dengan waspada. Silva dan Sonna menguntit di belakang, berlagak membawa alat tulis. Semua menggunakan masker kecuali Najma, simbol bahwa anak buah Rendra bukan orang yang senang didekati dan cenderung tertutup.
Para buruh bertubuh tegap mulai menghancurkan dinding-dinding Nirvana. Semua peralatan seni telah dipindahkan ke tempat lain. Calya, Dahayu dan Janaloka mendadak kosong dalam kesenyapan misterius. Najma dapat melihat bahwa buruh yang diperintahkan bukan seperti sosok biasa. Tubuh tegap, berpakaian hitam, membisu dan sama sekali tak mau diajak melakukan kontak. Tak mau tersenyum, menolak pandangan mata, tak menyahut ketika Najma mengucapkan salam sopan santun.
Lalu bagaimana?
Apakah di sini harus mengucapkan mantra, atau mencari tahu di mana letak Salaka bersembunyi?
๐ ๐๐