Kavra berjanji pada Milind untuk memberikan bantuan Nistalit terlatih.
Bertopang pada selendang kuning sang panglima, para Nistalit mampu menempuh jalur Gangika ke Girimba lebih cepat dan memberikan bantuan di saat tepat. Melihat Dupa dan Wulung mulai mampu menguasai keadaan, Nami berpikir hal lain.
"Panglima Kavra! Hulubalang Wulung!" teriak Nami. "Bisakah kita ke bilik para tuan putri?"
Kavra dan Wulung berpandangan, terhenyak.
Berpegangan pada lengan Wulung, Nami menunggang angin, menuju tingkat teratas bilik bangsawan yang berseberangan dengan bilik panglima Wanawa. Jauh di bawah mereka, di gerbang belakang Girimba, Dupa dan para Nistalit sedang berupaya membersihkan medan dari Pasukan Hitam.
"Kita butuh bantuan para pandhita untuk menutup gerbang lebih kuat!" gumam Wulung gusar.
"Bawa hamba ke bilik putri," pinta Nami cemas. "Setelah itu, Tuan kerjakan rencana Tuan."
Entah mengapa, hati Nami merasa gelisah mengingat Putri Yami dan Putri Nisha berada di Girimba. Ia pun sempat mendengar keberadaan Putri Calya yang tengah melarikan diri dari kekacauan di Aswa. Gerakan Pasukan Hitam tak tertebak, siapa yang sesungguhnya mereka incar pun, masih tanda tanya. Yang jelas, tak mungkin mereka mengincar budak rendahan macam Nistalit!
Kavra dan Nami dihantarkan Wulung menuju bilik putri yang tampak tenang. Prajurit berjaga. Dayang berdiri anggun sepanjang selasar. Melihat kehadiran Wulung yang mengendap, para prajurit bersiap wasdapa. Wulung memberikan isyarat pada semuanya untuk tenang dan diam; ia menoleh ke arah Nami untuk bergerak masuk ke bilik putri. Tak mungkin Kavra dan Wulung yang masuk ke dalamnya!
Nami berjalan perlahan, merasakan hawa dingin dan suasana tegang. Ia mengajak Kavra yang tampak canggung untuk masuk lebih dalam.
"Kau melihat sesuatu?" bisik Kavra.
"Hamba merasakan sesuatu," Nami mendongakkan kepala. Mendengar langkah kaki di atap bilik putri.
"Aku akan membantumu tapi katakan, apa yang bisa kulakukan!"
"Harap Paduka dengar aba-aba hamba," pinta Nami. "Hamba merasa para putri dalam bahaya!"
"Ke mana Milind?!" Kavra tampak menahan amarah.
"Panglima Milind ke Giriwana, Tuan," bisik Nami.
Nami meminta Wulung untuk menyampaikan pada penjaga dan dayang untuk membukakan pintu.
"Sarungkan pedangmu!" perintah Kavra pada Nami. "Kau membuat penjaga curiga dan para dayang takut. Bersikaplah biasa."
Nami menurut. Pintu bilik terbuka.
Yami, Nisha dan Calya tengah bercakap-cakap di sana. Wajah ketiganya penuh kesungguhan, terkejut melihat tamu yang hadir.
"Panglima Kavra banna Gangika?" Yami menegakkan dagu, waspada. Matanya menatap Nami tajam.
Kavra dan Nami memberikan hormat yang dalam kepada ketiga putri.
"Sangat tidak sopan," tegur Yami. "Tidakkan ada hulubalang yang mengantar Tuan Kavra dan …kau, Nistalit Nami?"
Kavra mencoba tenang, menoleh ke arah Nami yang tetiba berdiri tegak. Tegang. Sama sekali tak memberikan sikap hormat pada ketiga putri bangsawan di hadapannya.
"Putri Yami," suara Nami bergetar. "Hamba membawa tugas khusus dari Panglima Milind. Bisakah Tuan Putri sekarang bersegera ke bilik Kahayun?"
Yami mengerutkan kening, "Milind tidak mengatakan apapun."
"Panglima Milind berpesan sangat kepada hamba," Nami memohon. Matanya menghitung Pasukan Hitam yang telah berjajar di belakang ketiga putri. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Berapa jumlah mereka? Dua puluh?
Mengapa hanya aku yang bisa melihatnya? Teriak batin Nami.
"Nistalit Nami," Yami berkata hati-hati. "Bukankah kau…prajurit setia Panglima Kavra?"
Nami menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa.
"Di mana Milind?" tanya Yami. "Mengapa Kavra tetiba berada di sini, bersamamu? Makar apa yang kalian coba lakukan?"
Pasukan Hitam tampak bergerak.
Nami maju, memberi isyarat kepada Kavra. Tangan gadis itu terentang. Semoga Panglima Kavra paham, batin Nami. Jemarinya memberi isyarat sepuluh di kanan, sepuluh di kiri.
"Kalau kalian berniat buruk, kami mampu mempertahankan diri," Yami berkata tegas. "Nisha! Keluarkan cundrikmu!"
Nami panik bukan kepalang.
"Panglima Kavra! Di belakang para putri!"
Nami bergerak ke arah Yami, yang tengah mengayunkan cundriknya ke arah Nami. Lengan kiri, yang tadi terkena goresan senjata Mandhakarma, tertusuk makin dalam. Mata Nami memandang ke arah Nisha dan Calya, mencoba meraih keduanya agar menunduk. Nisha berteriak.
Arrrggggh.
Telapak tangannya tergores oleh senjata dari sosok tak tampak.
Gerakan yang tak sempurna membuat Nami terhuyung, punggungnya terkena sabetan pedang Mandhakarma. Walau hanya goresan tipis, rasa nyerinya tak tertahankan.
Meski ketiga putri tampak marah dan balas menyerang, Nami telah mengambil kedudukan lebih dekat kepada Pasukan Hitam. Ia mengayunkan pedang, bertahan, melukai. Suara dentingan senjata membuat ketiga putri kali ini benar-benar kebingungan.
Satu sosok dirobohkan Nami.
Tubuhnya tersungkur, menjadi berwujud.
"Belakang Panglima!" teriak Nami ke arah Kavra. "Kiri!"
Kavra merobohkan dua pasukan.
"Kanan! Belakang!"
Nami mencoba terus merangsek, walau tenaganya makin melemah. Lukanya mulai mengucurkan darah akibat terlalu banyak bergerak. Keringat mengucur di dahi, membasahi luka yang semakin menambah nyeri. Nami dan Kavra bergerak mendekat, saling menopang satu sama lain. Mereka mencoba melindungi ketiga putri yang tampak mulai mempercayai mereka. Keahlian Kavra yang ditopang mata Nami, membuat Pasukan Hitam mulai bertumbangan.
"Panglima…"
"Apa?!"
"Ada yang mengincar putri…"
Belum sempat menyelesaikan ucapan, Nami melihat sosok hitam yang tampak memiliki kemampuan tinggi melibas Putri Calya. Tidak berniat melukai, tapi membawanya pergi. Bersamaan bayang hijau hadir ke tengah mereka memberikan kekuatan pada kedudukan Kavra dan Nami.
Milind dan Kavra bertukar pandang, melempar isyarat.
Milind mengejar Calya, menunggang angin. Ia menatap sang putri yang melayang di antara pepohonan raksasa Girimba. Bodoh, pikir Milind. Menculik Calya juga membuat kedudukan para penyerang terlihat. Milind mengerahkan kekuatan angin untuk membangun pusaran dahsyat di sekeliling Calya, sang putri naik membumbung ke atas, sementara para penculiknya terhempas kuat ke bumi. Milind menarik Calya mendekat, memeluk sang putri yang gemetar dalam ketakutan. Membawanya kembali ke bilik putri.
Nami menyelesaikan putaran terakhir pertarungan dengan terengah. Tentu, ia tak mengatasi seorang diri. Kavra lebih banyak berperan kali ini.
Wajah Milind tampak marah melihat carut marut bilik putri. Yami memeluk Calya, menenangkannya.
"Putri Nisha," Milind terlihat sangat khawatir, "Putri terluka? Ini adalah senjata Mandhakarma!"
Nisha mencoba tersenyum, wajahnya pias menahan sakit. Mata indahnya berlinangan air mata. Milind memegangi tangannya, mengelus kepalanya. Persis seperti yang ia lakukan terhadap Usha.
Nami terdiam. Mematung.
Kakinya gemetar menahan nyeri luka dan rasa sakit yang berbaur dengan kelelahan sangat di sekujur tubuh. Kavra mendekat ke arah Milind, bergabung bersama para putri. Para prajurit dan dayang membersihkan bilik putri segera, mengabaikan dirinya yang seolah hanya sebuah tiang tak bernyawa.
Perlahan, dalam kebisuan dan diam, Nami berjingkat menjauh. Menarik langkahnya yang lemah dan sedikit terseok. Ia berbalik, mengerahkan tenaga sisa untuk segera berlari ke tingkap paling bawah ruang bilik Nistalit.
❄️💫❄️
"Nami? Kau butuh bantuan?" tanya Dupa, mengetuk biliknya.
Serbuk obat yang diberikan Janur dan Sin masih cukup banyak tersisa. Nami menaburkannya di paha, membebatnya dengan kain bersih kuat-kuat. Ia menelan teriakan kecilnya ke dalam relung hati. Lengannya terluka oleh senjata Mandhakarma dan cundrik Yami. Cukup dalam, tapi tak mengenai tulang. Ia dapat mengobatinya sendiri, walau airmata kesakitan bercucuran. Punggungnya terluka.
Nami menguatkan diri. Janur mengajarkannya cara mengobati luka di punggung : bentangkan kain panjang, alasi daun dewa, taburi serbuk, perkiraan tempat luka lalu berbaringlah. Ujung kain panjang sebagai tali pembebat. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tak berteriak. Terengah-engah, dada naik turun mengatur napas tak beraturan. Isak tangis tanpa suara lepas dari tenggorokan.
Menangis? Untuk apa? Nami menyumpahi diri sendiri.
"Nami," terdengar ketukan lembut. "Kalau kau sudah selesai dengan dirimu, kita dipanggil menghadap Panglima Milind dan Panglima Kavra."
Nami menarik napas panjang sepenuh dada.
Bolehkah ia istirahat sejenak, melepas penat? Ia tak ingin bertemu siapa-siapa.
Setiap kali harapan bertunas, kuncup seakan tumbuh merona, ia jatuh kembali terseret kenyataan murni : ia hanya Nistalit. Bukan siapa-siapa.
"Nami," Dupa terdengar khawatir.
Nami menelan ludah, berdehem kecil, mengusir parau.
"Ya. Aku akan segera ke sana, Dupa."
❄️💫❄️