Jangan!
Jangan tenggelamkan aku!
Aku masih ingin hidup lebih lama. Bila mungkin seribu tahun lagi. Mengapa hanya Akasha yang berhak atas kehidupan panjang? Mengapa Pasyu mampu bertahan ratusan tahun? Mengapa Nistalit hanya hidup puluhan tahun?
Jangan biarkan aku tersesat dalam kehidupan yang singkat ini.
Bisikan panjang mendesis, begitu dekat di telinga. Samar. Seperti gesekan pedang, seperti suara belati diasah di atas batu.
"…kau akan menderita selamanya…"
Rasa sakit muncul dari arah bawah kaki, merayap perlahan melewati betis, bergeser naik ke atas menyisir perut. Dada. Terus ke bahu, leher, dan seluruh wajahnya terasa kaku. Ia ingin berteriak tapi suara-suara itu mencekiknya dalam air bah ketakutan.
"…kau akan menderita selamanya…"
Berusaha mengumpulkan kekuatan yang tersisa. Walau sedikit, selapis di kawah paling dasar relung hati, semoga cukup untuk melepaskan bongkahan ketakutan yang menutup jalan ke luar pikiran kacau nan liar.
❄️💫❄️
Nami berteriak keras.
Napas satu-satu. Keringat membuat rambut dan kepala hingga leher beserta punggung basah kuyup. Tubuhnya terasa tercelup dalam kubangan air kental hitam yang menyeretnya hingga nyaris tenggelam. Tak ada bayang apapun di sini kecuali samar-samar tawa terbahak dan ancaman. Rasanya ia mendekati ajal dengan sorakan kegembiraan di sekeliling.
Sesuatu yang panjang dan halus terlempar lembut ke arahnya, menariknya untuk duduk dan bangun.
Kejang badannya. Perlahan layu dan lunglai.
Pada akhirnya ia dapat merasakan jari jemari tangannya memeluk diri sendiri, duduk menekuk badan. Memeluk lutut. Menyembunyikan wajah di sana dan melepaskan tangis.
"Mimpi buruk lagi, Nistalit?! Kau tertidur selama sepekan."
Suara tegas dan kaku yang dulu seolah pernah dikenalnya. Nami merasakan kekacauan yang luarbiasa di dalam dirinya. Sebagian besar ingatan yang menghilang. Kekuatan yang melemah. Kesadaran yang jauh dari sempurna.
Ia menggigil dalam ketakutan dan kebingungan.
Tak pernah mengenal tempat ini. Tak pernah mengingat tempat ini. Satu-satunya yang membuatnya sedikit nyaman adalah selendang kuning yang diberikan entah oleh siapa.
Ia berada dalam ruangan yang dipenuhi hiasan kayu. Beberapa gadis cantik dalam pakaian hijau tampak meramu. Sesosok lelaki yang tampak seperti tabib berkeliling. Ada banyak tubuh-tubuh yang terbaring di luar sana, sepertinya ia ditempatkan di bilik khusus, entah karena apa. Biliknya seperti ruang pengobatan yang dipenuhi aroma harum ramuan akar, dedaunan dan kulit pepohonan. Asap menguar dari rempah-rempah yang dibakar di atas tungku tanah kecil.
Nami merapatkan kain selendang yang diberikan kepadanya. Ia sama sekali tak mengenali siapa sosok yang ada di dekatnya, tapi segera mengenali dua lagi yang tetiba hadir masuk ke dalam biliknya.
"Hulubalang Sin?" bisik Nami. Matanya terbelalak dan tampak gembira melihat yang berdiri di sebelah sisinya, "Hulubalang Janur? Tuan…baik-baik saja?"
Janur dan Sin, walau belum sepenuhnya pulih, terlihat lebih bertenaga dari dirinya sendiri.
"Kau benar-benar Nistalit gila!" desis Sin, tanpa bermaksud mengejek dan justru terlihat bangga. "Aku berhutang budi dua kali padamu."
"Aku pun demikian, Sin," Janur berkata. "Entah dengan apa aku bisa membayarnya."
Nami termenung, tak terlalu mengingat dengan jelas. Kepalanya tetiba didera sakit yang demikian berat.
"Kau masih harus beristirahat, Nistalit," Sin berkata cemas. "Kau aman di sini, di Girimba. Apalagi, kedua panglima bergantian menjengukmu."
Panglima, Nami berusaha mengingat.
Ia mencoba berdiri, bangkit dari duduk dan goyah sedikit, menolak tangan Janur dan Sin yang terulur bersamaan. Berjalan perlahan menuju sebuah jendela yang terbuka. Dari arah biliknya, hamparan hijau Girimba yang berbatasan dengan sungai wilayah Gangika terlihat jelas.
Ada pemandangan yang tampak asing dan berdebu di kejauhan. Sesuatu yang tampak mengepulkan asap, seperti puing-puing. Mata Nami menangkap gerakan-gerakan titik hitam yang samar. Kepalanya menoleh ke arah Janur dan Sin. Sesuatu melintas di benak.
"Pasukan Hitam…?"
"Kau beristirahatlah dulu," Janur berkata. "Kami pun masih memulihkan tenaga."
"Girimba aman dalam mantra para panglima," Sin menjelaskan. "Wilayah kerajaan dan daerah penting terbentengi oleh mantra para pandhita, bahkan para raja dan ratu."
Kavra, yang hanya diam memperhatikan percakapan di depannya, memandang Nami dengan teliti.
"Pasukan Hitam…?" Nami bertanya marah, tampak tak puas dan kepalanya dijejali berbagai ketidakpastian.
"Kau sudah menghabisi mereka cukup banyak, tenangkan dirimu," Janur berkelakar. "Melihatmu seperti ingin melabrak Pasukan Hitam lagi, membuatku terasa kembali sakit."
Nami mencoba mengingat lebih banyak.
Ia menggosok telapak tangannya, tetiba teringat gelang manik jali-jali yang biasa dikenakannya.
"Aji! Usha!"
Nami berlari ke luar bilik.
"Hei, hei!"
Kaki-kaki tanpa sadar menuruni tangga dan jembatan.
Di selasar luar, bilik pengobatan yang hijau dan indah, ternaungi kanopi-kanopi dedaunan hijau raksasa. Pilar-pilar kayu berukir yang menopang lampu-lampu dalam wadah indah. Jembatan kayu dengan pegangan yang terbuat dari tali temali kokoh yang dijalin dari akar-akar pohon raksasa. Bilik pengobatan Nami terletak di tengah-tengah tingkat, jauh lebih tinggi dari tempatnya dulu bermukim saat berlatih di bawah asuhan Janur dan Sin. Walau tentu, bilik pengobatan Nami masih jauh di bawah tingkat pengobatan para hulubalang yang terluka.
"Aji! Usha!" Nami berteriak. Suaranya menggema, memantul, menabrak batang-batang pohon raksasa.
Rasa resah dan khawatir meliputi dada Nami. Ia meninggalkan anak-anak itu di pepohonan, ketika mereka diam-diam memasuki Girimba dan melarikan diri dari Gangika. Di mana mereka? Apakah mereka selamat? Titik-titik hitam yang dilihat Nami dari jendela bilik pengobatan, memperlihatkan samar-samar Pasukan Hitam masih berkeliaran tanpa terlihat. Keadaan sama sekali jauh dari kata aman.
"Namiii!"
Suara-suara kecil yang ringan, berlarian di jembatan bawah.
Nami menoleh ke arah mereka, yang tengah berlarian naik ke bilik pengobatan khusus di tingkap tengah. Gadis itu tersenyum lebar, merasakan kegembiraan setiap kali bertemu Aji dan Usha. Keduanya segera bergelayut manja di lengan Nami, terutama Usha.
"Aji, Usha," tegur Sin, "biarkan Nami beristirahat."
Nami kembali ke biliknya, diikuti Aji dan Usha. Janur dan Sin membuntuti.
Di pintu bilik, rasa sakit luarbiasa menyergap. Suara-suara asing yang tetiba masuk telinga dan kepala tanpa diundang. Ia harus bersandar sesaat di tiang pintu. Merapatkan tangannya yang terlipat ke depan dada, sembari berdiri tegak, menggigil. Meremas kuat selendang kuning yang menyelimuti tubuh.
"Nami?" Aji memeluknya. "Kau sakit?"
Nami terdiam sesaat, "Tidak, aku baik-baik saja."
Baru saja berkata demikian, Nami tanpa sadar bertelekan pada bahu Aji, menekannya kuat hingga Aji merintih pelan.
"Nami?" bisik Aji, menahan sakit dan mencoba menjauhkan tangan Nami dari bahunya.
Di dalam bilik, sosok yang memberinya selendang kuning, tampak berbincang dengan lelaki muda berjubah hijau bersulam.
Aji membimbing Nami yang tampak kesulitan bahkan untuk berdiri.
Sosok berjubah hijau itu menoleh ke arah Nami, sepasang matanya bersinar teduh, walau raut mukanya tampak berubah ketika meleihat selendang kuning yang melilit pundak Nami. Senyumnya sesaat menghilang, terlihat garis kaku di rahang, meski tetap mencoba berbicara tenang.
"Kau sudah jauh lebih baik, Nistalit?" tanyanya lembut.
Nami menggigit bibir.
"Dia tampaknya masih sakit."
Suara dua sosok di hadapannya, ketika berbicara, bagai ribuan jarum menghampiri telinga. Berbeda dengan Janur dan Sin yang tak memberikan pengaruh apapun.
"Untuk apa kau berikan selendang kuningmu? Ambillah kembali."
"Aku memberikannya sebagai perlindungan dari…"
"Bisakah kalian berhenti bicara?!!" teriak Nami.
Ia memejamkan mata. Keringat mengucur deras.
Janur dan Sin terbelalak. Kavra terdiam, Milind pun demikian.
"Nistalit," tegur Milind. "Sangat tidak sopan demikian! Kau baru saja membentak Panglima Kavra banna Gangika!"
Nami memijit kepala dengan kedua belah jemarinya
"Aku…aku tak mengenal kalian berdua," bisik Nami.
Milind menahan napas. Kavra menoleh ke arah panglima Wanawa.
Nami benar-benar tak peduli pada dua sosok di hadapannya.
Rasa sakit yang menyerang kepalanya kali ini, membuatnya harus duduk berlutut. Ia mengencangkan selendang kuning, meremasnya kuat-kuat demi menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan.
"Milind, selendang Gangika bahkan tak dapat menolak mantra Mandhakarma," Kavra berbisik cemas. "apakah Pandhita Garanggati dapat membantunya?"
Nami menutup kedua belah telinganya dengan telapak tangan.
❄️💫❄️