Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 203 - ●Musuh Nami

Chapter 203 - ●Musuh Nami

Yang terlemah dan terpinggirkan, dapat menjadi yang paling cemerlang bila waktu telah berpihak padanya. Perjuangan dan kesempatan adalah sepasang nasib baik yang harus diperjuangkan.

Pertempuran di pihak Gangika sama sengitnya dengan Wanawa baik di Girimba dan Giriwana. Namun Akasha dan Pasyu tampak seperti prajurit pejuang yang penuh semangat, namun kerepotan menghadapi bayangan semu. Sosok Nami mengejutkan prajurit Akasha dan Pasyu yang belum banyak mengenalnya.

"Panglima Kavra!" seru Sin. "Nistalit perempuan itu menumbangkan banyak pasukan hitam. Persis sama seperti yang dulu terjadi menimpa hamba!"

Kavra tegang. Berpikir cepat.

"Minta Dupa dan teman-temannya segera bergabung!"

Kavra menunggang angin, mengayunkan selendang dan pedangnya untuk menghalau pasukan tak tampak yang tetiba melemparkan senjata ke arah prajurit Gangika. Mereka yang dapat berkelit, selamat. Yang tak dapat menduga, tewas seketika. Milind menghadapi hal yang sama. Jagra pun demikian. Pertempuran itu terpaksa memanggil para Nistalit, budak Gangika yang telah dipersiapkan untuk mendukung pasukan bila terpojok.

❄️💫❄️

Berdiri di hadapan Nami.

Sosok bagai pinang dibelah dua, amat serupa dengan Janur. Berpakaian hitam legam, dengan rambut perak yang sangat berlawanan dengan rambut Janur.

"Kau siapa?!" tanya Nami.

"Aku Janur!"

"Aku memanggil sosok yang asli dengan sebutan Hulubalang Janur. Tapi kau, sama sekali bukan Janur!"

"Terserah! Kau boleh memanggilku Janur, atau Janur Hitam, atau apapun yang kau suka!"

"Apa yang kau lakukan pada Hulubalang Janur?!"

"Hanya memberinya sedikit pelajaran," Janur Hitam terkekeh. "Kalau dia mati, aku rasa takdir buruk berpihak padanya. Lagipula, seribu tahun apa tak cukup untuknya?!"

Nami geram. Mengayunkan pedangnya, membersihkan belati Sin dengan kain celana.

"Kau akan membunuhku dengan pedang rapuhmu, Nistalit?" Janur Hitam terbahak keras.

"Prajuritmu mati dengan senjataku," Nami menyeringai. "Pasti aku bisa mengalahkanmu. Entah bagaimana ceritanya, Nistalit seperti kami bisa melihat sosok jelas sepertimu!"

Janur Hitam menyuruh pasukannya menyingkir, untuk memberikan ruang baginya dan musuh bergerak leluasa. Pukulan Nami yang pertama hanya mengenai angin. Pedang dan ayunan belati mengenai banyak ruang-ruang kosong yang mudah dihindari oleh Janur Hitam.

"Janur-mu tak akan bertahan lama," Janur Hitam menyudutkan. "Kau akan mendapatinya esok hari membusuk. Senjatanya dan mantra hitamku melapukkan usianya!"

"Keparaaat!"

Janur Hitam melayani serangan Nami dengan lentur dan baik. Gerakannya sama ahli dan kuat seperti Janur banna Wanawa yang dikenal Nami selama ini.

Kemarahan sempat membuat Nami kehilangan kendali, sebelum pada akhirnya ia menarik diri beberapa langkah ke belakang untuk menenangkan diri dan mencoba berpikir jernih. Beberapa tarikan napas cukup membuat gadis itu mulai menemukan kekuatan diri dan menyerang dengan jauh lebih baik dari langkah awal.

Lengan kiri Janur Hitam terkena tusukan.

Eiiirrrrrhgh.

Wajah Janur Hitam berubah. Nyala kekejaman meledak di matanya. Bagaimana pun, Janur Hitam belum memasuki ruang pertempuran seperti Nami yang telah menumbangkan puluhan pasukan. Tenaga Nami cukup terkuras sementara Janur Hitam masih dalam keadaan bugar. Kata-kata yang dilontarkan Janur Hitam pun ditujukan untuk lebih menggoyahkan keyakinan.

"Kau telah melihat pasukan Wanawa dan Aswa yang kami robohkan! Semua hulubalang dan panglima Akasha serta Pasyu akan merasakan hal yang sama. Lalu Nistalit?" Janur Hitam terbahak. "Menjadi budak sudah mengenaskan! Apalagi yang lebih rendah dari itu? Apakah lebih baik dimusnahkan??"

Kemarahan Nami membuatnya lengah.

Satu hardikan keras Janur Hitam dan pukulan ke arah bahu kanan membentur Nami.

Pedangnya terlepas.

Tangan kanan Janur Hitam memukul tangan kirinya hingga belati terlempar.

"Akan kubunuh kau di depan teman-temanmu!" ejek Janur Hitam. "Mereka pasti akan senang melihat pertunjukan ini!"

❄️💫❄️

Tak ada yang melihat sosok Janur Hitam kecuali Nami dan teman-teman Nistalitnya. Dalam mata Milind, Kavra dan Jagra; tubuh Nami terangkat ke atas. Terdesak ke dinding Mandhakarma. Pukulan. Tendangan. Tamparan. Rasa sakit tak terjabarkan menjajah seluruh tubuh.

"Apa…apa yang bisa membunuhmu?" Nami terengah bertahan.

"Aku??" Janur Hitam menaikkan alis. "Hanya golonganku yang bisa membunuhku!"

Nami terbanting. Tertendang. Terpukul telak. Tubuhnya melenting menjadi bulan-bulanan Janur Hitam.

Walau Milind dan Kavra geram melihatnya, mereka tak dapat gegabah melepaskan senjata karena Nami dapat menjadi sasarannya.

Nami merangkak di dekat kaki Janur Hitam.

Darah menetes dari hidung dan ujung bibirnya. Kepala pening bukan kepalang.

Berpikir. Berpikir!

Jangan putus harapan!

Janur Hitam pasti bisa dibunuh. Dia juga makhluk; sama seperti Akasha, Pasyu dan Nistalit yang bisa mati.

Tanpa senjata, kekuatan Nami berkurang banyak. Ia mencoba menahan pukulan Janur Hitam, mencoba membalas melemparkan serangan. Sesekali pukulan Nami mengenai sasaran, namun rasa sakit membuat Nami harus membagi perhatian.

Penguasa Langit, teriak hati Nami. Pasti ada yang bisa membunuhnya!

"Kau tak bisa membunuhku, Nistalit. Kau, hanya wangsa ketiga. Para budak hina!"

Hanya golonganku.

Hanya golonganku!

Janur Hitam membawa pertarungan itu mendekat ke bibir Mandhakarma yang corongnya jatuh ke Girimba.

"Nikmati perlahan kematianmu," bisiknya. "Kau mau memilih apa? Pisau, cekikan, atau kuhajar sampai mati?"

Janur Hitam memilih yang terakhir. Ia menikmati betul perlakuannya yang tanpa belas kasih kepada gadis Nistalit yang telah melemah di hadapannya.

"Nistalit Namii!" teriak Sin tanpa sadar.

"Oh? Jadi ada yang menyukaimu rupanya? Biarkan aku melemparkan senjata ini kepadanya. Sepertinya ini punyanya!"

"Awas, Hulubalang Sin!" teriak Nami dengan tenaga tersisa.

Nami menggigit lengan Janur Hitam, hingga ia berteriak kesakitan dan belati Sin terlempar, menggores sedikit. Janur Hitam menamapar keras pipi Nami hingga terhuyung.

"Kuberikan kau waktu untuk bernapas sejenak, sebelum maut menghampirimu!"

Nami berhitung.

Hanya golonganku.

Hanya golonganku!

Janur seorang hulubalang. Kalau demikian…

"Hulubalang Sin!" teriak Nami dengan sisa tenaga. "Tolong aku! Mendekatlah kemari!"

Sin terbelalak.

Nami dalam bahaya, tapi bila ia mendekat, iapun dalam bahaya. Walau demikian, ia punya hutang budi yang harus dibayar. Nami pernah menyelamatkannya, sekarang ia harus menyelamatkannya.

"Tahan, Sin!" Kavra berteriak.

Sin tak menggubris. Ia berlari ke arah Nami, membantunya berdiri.

"Hulubalang Sin, percayalah padaku," bisik Nami gemetar. "Pegang baik-baik pedangmu."

Dalam kegelapan Mandhakarma, Janur Hitam tertawa keras. Merasakan kebodohan gadis Nistalit di depannya hanya mengada-ada.

Nami memegangi lengan kanan Sin, mereka bagai sepasang petarung yang menggunakan satu tangan. Tangan Nami memegangi pergelangan Sin, mengarahkannya ke arah Janur Hitam yang menyombongkan diri.

Sungguh, kemarahan dan kesombongan musuh dari kewaspadaan. Janur Hitam sama sekali tak menyangka ucapannya merupakan celah kelemahan yang dapat ditembus Nistalit.

"Tikam keras depanmu!" perintah Nami.

Sin menurut. Ia merasakan sesuatu yang padat dan berisi menghadang di depan, tertembus pedangnya.

Eiirrrghhhhh.

"Lagi!" teriak Nami.

Janur Hitam terbelalak. Tiga luka di tubuhnya, membuat sosoknya terlihat nyata sekarang. Roboh, matanya terbelalak tak percaya ketika satu serangan terakhir Sin dan Nami menghabisinya.

"Janur...?" Sin berbisik tak percaya.

Tumbangnya Janur Hitam memancing kemurkaan para petinggi pasukan hitam yang mengamati sejak tadi. Teriakan marah menggema memenuhi lorong sepanjang gerbang Mandhakarma.

Nami menajamkan telinga.

"Kau membunuh Janur kepercayaanku!" sebuah suara meraung marah.

Dua sosok berdiri berjajar, menatap garang ke arah Nami. Sin tak dapat melihat mereka.

Jantung Nami berhenti berdenyut.

Lidah kelu.

Matanya terbelalak.

"Aku akan membuatmu menderita!" ancam suara itu. Dingin. Tajam. Kejam. "Giliran pertama, hulubalang temanmu itu!"

Nami menatap tak percaya sosok-sosok di hadapannya, beralih ke arah para panglima di gerbang Mandhakarma. Sin tampaknya tak mengerti ancaman berbahaya bagi dirinya.

"Jangan sentuh dia!" teriak Nami.

Di gerbang Mandhakarma, para panglima menajamkan mata batin. Kavra bersemedi memejamkan mata. Milind pun demikian. Mencoba menangkap suara-suara dan gerakan yang tak dapat ditangkap gerakan mata biasa. Jagra berjaga-jaga di sekeliling beserta Turangga, menangkis serangan tiba-tiba dari pasukan hitam yang hingga kini tak terlihat wujud mereka.

Hanya terdengar suara-suara desisan yang tak dimengerti.

Nami berlari ke arah Sin, menjadi perisai bagi dirinya.

Tepat sebelum sosok yang mengancam itu mengirimkan angin yang mendorong mereka berdua terpelanting ke bibir Mandhakarma.

❄️💫❄️