Berkubang dalam kesedihan terlalu lama, hanya akan membuat kegelisahan berjalan lebih panjang dan debu-debu kegelapan semakin menyamarkan kehidupan.
Milind menyumpahi dirinya sendiri.
Ia berlarut dalam duka, menyaksikan Gosha terbaring penuh luka di Giriwana. Tanpa diketahui siapapun, Milind memberikan sebagian usia panjangnya kepada Gosha, tapi terlihat tubuh Gosha menolaknya. Tampaknya, sang panglima Aswa sengaja membentengi diri dengan kristal pelindung agar ia tak menerima bantuan dari siapapun. Penolakan Gosha membuat Milind marah, tapi ia tak dapat berbuat apapun. Pandhita Garanggati memintanya segera bergabung dengan Janur dan Jagra. Hasilnya, ia kembali terpukul telak.
Jagra membawa tubuh penuh luka Janur ke Giriwana.
Walau Mandhakarma tampak luluh lantak sebagian, Wanawa sama sekali tak diliputi kegembiraan.
❄️💫❄️
Satu pukulan keras menyambut Milind ketika ia baru saja mendarat di tanah.
Ia mengenali pedang dengan hiasan permata kuning di hulu, kilatan cepat yang untungnya dapat ditangkis dengan pedang Dahat miliknya. Pertarungan dua kekuatan yang menimbulkan angin kencang di sekeliling. Dedaunan dan debu tanah naik ke udara. Jubah hijau dan selendang kuning bergantian muncul dari lingkaran pertarungan.
"Kavra? Apa yang kau lakukan?" teriak Milind.
"Aku yang seharusnya bertanya padamu, Milind! Apa yang kau lakukan??!"
Milind ingin menjawab, tapi pedang milik Kavra lebih dahulu menyasar bagian-bagian penting dari tubuhnya. Mau tak mau ia menghindar, bertahan dan memusatkan perhatian penuh kepada serangan lawan. Jelas Kavra bukan lawan sembarangan.
"Kau berpihak pada Vasuki, maka menyerangku?" Milind berkata gusar.
Kavra tak menjawab, justru mencecar gencar.
Milind meladeni serangan tanpa alasan dari Panglima Gangika dengan tegang. Walau benaknya dipenuhi kebingungan : atas dasar apa Kavra menyerangnya?
"Aku ingin memberi pelajaran bagi panglima ceroboh sepertimu sebelum menjawab!" bentak Kavra.
Bayang coklat dan kuning melayang ringan di udara, selendang panjang menutupi terang cahaya matahari hingga menimbulkan kegelapan sesaat. Milind terhenyak, pedang Kavra seolah terkait ke Dahat miliknya. Mengunci hingga tak dapat digerakkan. Kedua tangan Milind menggenggam kuat pedang Dahat yang mendapatkan dorongan luarbiasa dari pedang Kavra. Kaki keduanya saling mendesak lawan di hadapan. Selendang kuning Kavra yang menolak cahaya matahari serasa menyerap kekuatan Milind.
"Aku tahu kau lebih sakti dariku, Milind!" desis Kavra. "Tapi jangan lawan kekuatanku jika aku sangat marah seperti ini!"
Milind mencoba tenang. Bertahan. Tak ingin mengucapkan mantra, mencoba mengalah dan membiarkan Kavra menguasai pertarungan. Satu sentakan pedang Kavra melukai sedikit lengan kirinya. Milind merasakan sakit luarbiasa. Ia dapat merasakan, Kavra tak berniat membunuhnya tapi jelas-jelas kebencian dan kemarahan terasa meledak di matanya.
"Kau tahu apa yang kau lakukan, heh??!" suara Kavra pelan dalam sentakan.
Milind mencoba bangkit, bertopang pada ujung pedangnya yang tertancap di tanah.
"Kalau aku berbuat salah, aku minta maaf padamu," Milind menarik napas.
"Kadang aku berpikir kau itu malaikat atau iblis berwajah elok!" cecar Kavra tanpa ampun.
Milind terdiam. Ia membiarkan lukanya tetap menganga tanpa berniat mengobati sendiri. Berharap Kavra melihat kesungguhan hatinya untuk menerima hukuman dan rasa sakit bila ia memang berbuat di luar batas.
Kavra meletakkan pedangnya di leher kiri Milind.
"Kau mengeringkan Gangika," ujar Kavra. "Kau tahu, penghuni Gangika bertopang pada aliran sungai. Rakyat Gangika dan seluruh yang hidup di dalamnya dalam keadaan kesakitan sangat, sebagian bahkan sekarat karena ulah yang kau lakukan!"
Milind menelan ludah.
"Apa kau tak memikirkan pihak lain, Milind?" bentak Kavra.
"Aku melindungi Wanawa," ujar Milind. "Janur terluka parah. Apa yang akan kau lakukan jika hal yang sama terjadi pada Sin?"
Kavra menarik pedangnya.
"Aku akan sangat marah bila Mandhakarma melukai Sin," Kavra mengiyakan. "Tapi aku akan berpikir ratusan kali untuk membela Gangika dengan cara mencelakakan Wanawa!"
Kavra menyarungkan pedangnya kembali. Meninggalkan sosok berjubah hijau di depannya yang berdiri mematung dengan wajah lelah dan pias.
Milind terhenyak mendengar kata-kata Kavra. Rasa sakit di lengan terasa tak memiliki arti dibandingkan makna kata-kata yang barusan menyerang benaknya. Ia melihat punggung panglima Gangika berjalan menjauhinya dengan tegap. Seperti pernah mendengar kata-kata yang sangat mirip seperti itu.
"Akan terlihat sesudah ini, apakah kau berhati mulia atau sebetulnya, di balik keluhuran tersembunyi kekejaman yang terselimuti," terngiang ucapan Vanantara.
Apakah raja Wanawa dan panglima Gangika sebetulnya telah melihat separuh topeng dirinya yang justru tak dapat dilihat Milind sendiri?
"Kavra!" tanpa sadar Milind memanggil.
Langkah Kavra terhenti, hanya menolehkan sedikit kepala, melihat bayangan Milind dari ujung mata.
"Kau…benar-benar berpikir bahwa suatu saat aku…bisa menjadi demikian jahat?" tanya Milind bergetar.
Kavra terdiam sejenak. Menarik napas panjang.
"Kadang," ucapnya termenung, "…aku lebih takut menghadapimu daripada menghadapi Raja Tala, Milind."
Milind menatap punggung Kavra yang segera bergabung dengan pasukannya. Mengapa kali ini ia merasa memiliki kemampuan sangat jauh di bawah?
Mandhakarma yang terhempas di Girimba, Gangika dan Giriwana segera memecah perhatian kedua panglima. Pasukan kedua kerajaan Akasha bersiap terlibat pertempuran kembali. Walau sekarang para musuh berada di wilayah kerajaan Wanawa dan Gangika sendiri, belum tentu semua berjalan mudah.
❄️💫❄️
"Hulubalang Janur terluka parah."
"Kudengar ia terkena tombaknya sendiri."
"Apakah ia akan mati seperti Panglima Gosha?"
"Panglima Gosha belum mati, ia sedang sekarat."
Berita simpang siur sampai di telinga Nami. Bersamaan pertempuran yang pecah kembali antara Pasukan Hitam melawan Wanawa, Aswa dan Gangika. Di mata Nami, pertempuran itu tampak tak dapat dipahami. Mengapa pasukan Akasha dan Pasyu tampak kelimpungan, bagai mabuk, terhuyung-huyung mengayunkan senjata? Panah dan tombak mengenai udara kosong.
Geram mendengar berita tentang Janur, Nami mengambil senjatanya. Ia melepaskan kain lebar yang biasa ia gunakan untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin, kain tipis lebar yang menyelimuti leher hingga separuh tubuhnya.
"Prajurit Hijau!" teriak Nami pada pasukan Wanawa, tak peduli. "Beri aku jalan!"
Sosok berbaju hitam yang tampak ceroboh, malas dan lamban. Sebagian pemarah dan kuat. Apapun itu, Nami melihatnya sangat jelas. Kapak bertalinya terlempar dan tertarik cepat, mengenai tubuh lawan yang segera tersungkur tak bernyawa.
Clap.
Clap
Clap!
Jarak jauh adalah sasaran yang bagus bagi kapak bertali. Namun jarak dekat lebih menguntungkan menggunakan pedang. Mayat-mayat yang roboh ditarik, ditendang Nami hingga ke luar dari kubangan buih. Lima pasukan bergerak mengerubunginya, pedang Nami ringan menyerang tubuh-tubuh yang bergerak lamban, seolah tak pernah berlatih sama sekali. Lima lagi bergerak serentak menyerang, yang mudah dirobohkan. Lima lagi, sepuluh lagi.
"Majulah, Keparat!" Nami berteriak. "Majulah kalian semua! Ini akibat kalian melukai Hulubalang Janur!"
Dinding Mandhakarma yang tampak seperti buih dari sudut pandang Akasha dan Pasyu, dapat menjadi tempat pijakan yang cukup keras bagi sepasang kaki Nami untuk melentingkan tubuh. Menyerang dengan pedang, menancapkan ke bagian-bagian berbahaya tubuh lawan.
Teriakan nyaring. Kematian yang menyakitkan.
Kemarahan Nami tampaknya telah sampai di ubun-ubun. Ia mengingat dengan jelas pertarungan macam ini yang pernah dilaluinya bersama Hulubalang Sin. Prajurit Akasha Gangika kelabakan dan kewalahan, sementara ia dan Dupa, dapat melaluinya dengan baik. Mengingat Sin, Nami teringat belati Gangika yang diberikan sang hulubalang. Ia menggunakan pedang di tangan kanan dan pisau kecil di tangan kiri. Pasukan Hitam semakin banyak yang roboh karena amukan Nami.
Gadis itu menarik satu prajurit hitam yang terlihat ketakutan.
Melingkarkan lengan di lehernya dari belakang, menariknya ke dinding, membuatnya tercekik.
"Cukup katakan padaku, di mana pemimpinmu!"
Eiiiirrrgggh.
"Aku akan membiarkanmu hidup, jika kau katakan di mana dia!"
Eiiiikkkkkhhh.
"Kau lebih memilih mati?!"
Si korban yang tercekik, menunjuk ke satu sosok, yang tampak tinggi tegap. Wajah bodoh dan ceroboh, dengan tubuh lamban yang terbelalak. Nami semakin mengetatkan cekikan.
"Bukan dia! Pemimpinmu, yang menyerupai Hulubalang Janur! Bawa dia kepadaku, Keparat!"
Nami mengenyahkan para penyerang yang berusaha mecelakainya. Ketika tubuh roboh, mudah mereka dilempar ke luar dari lingkaran Mandhakarma.
"Aku di sini, Nistalit!!"
❄️💫❄️