"Apapun yang terjadi," Najma memutuskan, "kami akan ke Javadiva dan mencoba menolong kalian sebisanya."
Salaka tersenyum aneh, senyum yang tampak asing bagi Candina sekalipun.
"Najma," sebut Salaka tanpa memanggil 'mbak', "Silva pun tak bisa menolong kami sekarang."
"Kenapa?'
"Yang menyerangnya adalah Barsadu atau Barbaljag, anak buah terkuat Dubiksa. Silva sebentar lagi akan menjadi seperti mereka," pelan suara Salaka bagai petir bagi semua.
Bhumi yang menyandarkan kepala karena nyeri di kaki berdenyut, terduduk seketika. Rasi menatapnya tak percaya. Di seberang, terdengar Silva dan Sonna terpekik bergumam entah apa.
"Sonna, kau harus cari cara untuk menjauh dari Silva," Salaka memperingatkan.
๐ ๐๐
Mobil yang membawa Ragil dan Najma membelah jalan dengan kecepatan tinggi.
"Bisa lebih cepat lagi, nggak?" Najma berseru.
"Cepat sampai rumah sakit, mau?" galak si pengemudi menyahut.
"Berapa jam lagi?" tanya Najma kalut.
"Satu atau dua jam!"
Gawat, pikir Najma. Keadaan tak akan sebagus itu jika hanya tersisa satu atau dua jam. Nyawa Sonna dan Silva dalam bahaya, di sisi lain nyawa Bhumi dan kawan-kawan terancam. Siapa yang akan diselamatkan lebih dahulu? Najma berdoa dalam hati.
Tuhan, tolonglah! Jangan buat aku bingung ambil keputusan!
"Pokoknya kita harus cepat sampai!" Najma berseru tanpa pikir panjang.
"Najma!" Ragil memotongnya. "Coba kamu tarik napas dulu. Apapun yang diputuskan tergesa, gak pernah bagus hasilnya!"
Najma menggigit bibir. Ia tak bisa tarik napas, tak bisa berpikir tenang, tak bisa memutuskan apapun.
"Dinginkan kepalamu!" Ragil berkata. "Kalau kita tenang, akan kelihatan celah-celah solusi, walau kecil."
Di jok mobil, Najma berusaha duduk menyandarkan punggung. Memejamkan mata sejenak, melemaskan otot. Hatinya tak berhenti berdoa. Ada yang berkunang-kunang di kepala, ada yang membuat jejak tak beraturan di pikiran. Ada jawaban yang samar sekali tampak, seperti anak kecil mengintip di tengah ribuan penonton pawai.
Satu atau dua jam.
Satu atau dua jam.
Tenang Najma, tenang, bisik hatinya.
Dering telepon menyalak. Mata Najma nanar melihat nama kontak yang masuk.
"Kalau yang mengontak kamu membuat pikiranmu tambah kusut, abaikan saja untuk sementara ini. Kecuali telepon dari ayah ibumu," Ragil mengingatkan.
Najma tak mengangguk, tak menggeleng; kembali terpejam. Benar kata Ragil, dalam ketenangan hati dan pikiran, jalan ke luar perlahan terlihat walau tentu merupakan pilihan terbaik.
"Mas Ragil," pinta Najma, "kita bagi tugas, oke? Mas ngontak Sonna dan Silva. Pastikan keduanya baik-baik saja. Ada yang mau kutanyakan sama Salaka. Kuharap ponsel Rasi dan Bhumi gak kehilangan sinyal atau kehabisan baterai."
Najma mengontak Rasi.
Suara dering tersambung yang berbunyi dalam jumlah normal, seperti berlipat kali panjangnya.
Tuuuut.
Tuuuut.
Tuuuuut.
"Cepetan, cepetan, cepetaaan!" geram suara Najma.
Ragil menoleh ke arahnya dengan galak, memberi peringatan. Najma menarik napas kembali, memejamkan mata.
Rasanya ingin berteriak lega ketika telepon akhirnya tersambung. Suara Rasi terdengar jernih dan tenang. Anak itu tampaknya bisa cepat menguasai keadaan, pikir Najma. Permintaan Najma untuk mendengarkan kisah utuh Salaka terkait mantra kuno yang baru ditemukan, tak ditolak. Suara sang pangeran, salah satu prajurit perak yang tersisa itu, terdengar berat dan sendu.
Dari asrama putra kuno tempat Salaka berdiam diri selama ini, mengalir penggalan peristiwa yang entah, tersembunyi berapa lama.
๐ ๐๐
"Empat wangsa Akasha yang elok menguasai dunia : Wanawa di hutan. Gangika di sungai, Giriya di gunung, Jaladhi di lautan. Sementara empat wangsa perkasa Pasyu memiliki kekuatan dan senjata masing-masing ; mereka tinggal di wilayah tertentu. Aswa bertahta di awan, berbentuk kuda-kuda bersayap. Paksi adalah bangsa yang menyerupai burung, Mina adalah mereka yang berada di perairan. Vasuki, bangsa bercakar memiliki beberapa klan menyerupai ular, macan dan buaya.
Uniknya, Vasuki ternyata tak memiliki wilayah khusus seperti Aswa, Paksi dan Mina.
Vasuki berbagi wilayah dengan Wanawa, Giriya dan Gangika.
Konon, karena kekuatan cakarnya yang menakutkan; kekuatan Vasuki sengaja dibagi antara beberapa klan. Wilayahnya pun tak ditentukan. Kekuasaan Akasha yang sakti dan elok mengungguli wangsa Pasyu. Namun, karena Aswa, Mina dan Paksi bersahabat erat dengan Akasha; mereka tak mempermasalahkan. Para pandhita, bangsawan, cerdik pandai bekerja sama.
Vasukilah yang merasa dendam. Mengapa ia yang kuat harus berbagi wilayah dan kekuasaan?
Dalam sudut pandang delapan kerajaan, Vasuki memang yang terlihat paling lemah. Hingga para tetua wangsa mengambil keputusan yang kelak di kemudian hari akan disesali selama beribu-ribu tahun.
Mantra terkuat yang akan membuka pusaka dan sarung pusaka, sebagai mantra kunci, akan diserahkan kepada wangsa terlemah.
Mengapa?
Jika diserahkan kepada wangsa terkuat seperti Akasha Wanawa atau Pasyu Aswa; besar kemungkinan mereka akan jumawa. Ketika kondisi pelik terjadi, kemungkinan mantra itu akan tertahan. Di tangan wangsa terlemah, tentu ia akan takut dan tunduk pada perintah yang lain.
Tetapi, perkiraan terkadang meleset.
Justru Pasyu Vasuki berbalik menguasai kedudukan. Ya, ia memang teidak serta merka merebut kesaktian Akasha dan keperkaan Pasyu; namun dengan mantra kunci Vasuki dapat mengendalikan kehendak tujuh wangsa yang lain.
Terlebih, ketika dunia digegerkan dengan serangan Mandhakarma yang dahsyat, Vasuki semakin berjaya. Vasuki memang cerdik. Ia mengambil keuntungan dari kemelut dan bekerja sama dengan musuh untuk melemahkan kekuatan Akasha dan sekutunya."
Salaka mengakhiri kisah singkatnya.
"Apakah tak ada yang bisa mengalahkan Vasuki?" Najma bertanya. "Pasti ada. Di atas langit, masih ada langit."
"Dalam hukum Wangsa Akasha dan Wangsa Pasyu, berlaku hukum yang sama dengan hukum alam pada umumnya. Siapa kuat, dia menang. Siapa cerdik, dia bertahan. Siapa unggul, dia memimpin. Sebaliknya pun demikian. Sesiapa lemah akan kalah. Sesiapa bodoh akan musnah. Sesiapa rendah, dia binasa. Tapi hukum itu tak berlaku bagi Mandhakarma.
Vasuki telah menjadi bagian dari Mandhakarma. Walau ia tak sepenuhnya diakui sebagai Mandhakarma, Vasuki adalah sekutunya. Dalam hukum Mandhakarma : mereka hanya bisa dikalahkan oleh diri mereka sendiri."
Najma meremas kepalanya yang berdenyut.
Ia mengalihkan pandangan ke arah Ragil yang tampak tengah bercakap-cakap dengan Silva dan Sonna.
Heran rasanya, melihat cowok dapat tenang ketika cewek sudah kalang kabut menghadapi masalah. Apakah ia terlalu kekanak-kanakan? Emosi lebih mudah meledak karena lonjakan perasaan muncul lebih dahulu dibanding logika? Bukannya cowok tak berperasaan, tapi melihat Ragil yang emosinya muncul belakangan, membuat Najma sadar kenapa Ragil bisa berpikir cepat.
"Kasihan Silva dan Sonna," ucap Ragil bersimpati, setelah ia melakukan berbagai langkah.
Mungkin, Najma lebih cepat merasa kasihan pada Silva dan Sonna, tapi berpikirnya belakangan.
"Kamu ngomong apa sama mereka, Mas?" Najma bertanya.
"Aku ngomong baik-baik sama Silva dan Sonna. Kuminta mereka berjauhan, masing-masing masuk kamar dan saling mengunci. Khusus ke Sonna aku bilang kalau dia harus bisa melihat celah melarikan diri. Silva masih sadar, dan ia pun takut kalau yang dikatakan Salaka benar," ujar Ragil.
Najma menatapnya kagum.
Telepon berdering.
Najma menarik napas panjang melihat nama masuk. Merasa sudah sedikit tenang, ia mengangkatnya.
"Apa kamu sedang bersama Ragil sampai susah banget kutelpon?!" sembur suara di seberang.
Najma memijit kening, entah kali ke berapa. Kalau sekarang wangsa yang diceritakan Salaka masih ada, orang di seberang masuk jenis apa? Vasuki? Ia cepat naik darah, tajam mulut dan terkadang suka menindas. Kasihan sekali orang-orang terdekatnya.
Tersedak.
Najma tersedak ludah sendiri.
Mengkhayalkan Rendra bercakar dan bertaring. Silva yang berubah menjadi seperti yang dikatakan Salaka. Hanya Mandhakarma yang dapat memusnahkan dirinya sendiri, apakah Vasuki juga demikian?
๐ ๐๐