"Dahayu akan dirubuhkan," suara Silva dipenuhi kemarahan.
Najma berpikir keras.
"Kita harus segera bertemu Salaka dan Candina," Silva mendesis bingung, mondar mandir tak karuan.
"Kurasa, berbahaya kalau kamu balik ke Javadiva," lamat suara Najma.
Silva menatapnya heran.
"Kenapa, Mbak?"
"Ular yang masuk ke kamarmu, aku curiga mengincarmu dan Sonna."
"Buat apa?"
"Entahlah," Najma angkat bahu. "Untuk memancing Salaka? Memperingatkannya?"
"Apa Salaka dalam bahaya?" Silva terlihat khawatir.
"Bisa jadi."
Rasi dan Bhumi menatap semuanya bingung, "Pada ngomongin apaan sih?"
"Mas Bhumi gak ngerti," Sonna menggeleng. "Lebih baik gak usah ikuti-kutan."
Najma menatap Rasi dan Bhumi teliti.
"Aku justru berpikir, cowok berdua ini ada gunanya buat kita," Najma mengedipkan mata.
Bhumi mendengus. Rasi tertawa.
"Kalian apa bisa ketemu Salaka diam-diam?" tanya Najma.
"Dia sering di ruang Dahayu...," ujar Sonna.
"...atau di kapuk randu!" potong Silva.
"Dia sekamar sama siapa?" tanya Bhumi, mengerutkan kening.
Silva dan Sonna berpandangan. Bahkan mereka tak tahu siapa teman sekamar Candina!
"Apa Salaka dan Candina akan diajak ke sini?" tanya Rasi.
"Nggak bisa!"
"Bahaya!"
"Salaka hanya bisa ke luar dari Javadiva sejauh tiga kilo, Candina bisa sampai tigapuluh kilo. Bila dipaksa, mereka bisa mati," jelas Silva lirih.
"He, Guys," Rasi berkata. "Aku nggak tau kita terlibat apa. Tapi aku harus segera balik ke Javadiva. Ada pameran yang akan digelar pekan depan. Kupikir Candina juga ikut."
Silva menatap Rasi sedih. Bagaimana dengan gambar-gambar Candina? Istana, pendopo, gapura dengan ukiran-ukiran rumit nan indah?
"Aku akan coba cari Salaka. Javadiva emang luas, tapi nyari dia pasti bisa," Bhumi berujar akhirnya.
๐ ๐๐
Salaka terdiam lama dalam semedinya di kamar terujung asrama putra, tanpa seorangpun menjadi temannya. Bu Santi dan pak Gatot menyediakan kamar khusus untuknya, kamar khusus yang lain juga disediakan bagi Candina. Lewat sebuah pintu rahasia, Candina dan Salaka memiliki ruang sendiri untuk merancang banyak hal.
"Bu Santi tewas, Salaka," Candina terdengar berduka.
"Ya, aku dengar."
"Pak Gatot tak sadarkan diri," gumam Candina resah. "Kedua pelindung Javadiva -dan pelindung kita- telah disingkirkan."
Salaka dan Candina mencurigai dua pengganti Javadiva : Gayani dan Nagina. Kehadiran yang misterius, kecantikan yang sempurna, gaya anggun dan gerak gerik penuh rahasia; tampaknya mereka punya tugas penting di Javadiva.
"Kau dengar Silva terkena gigitan ular?" tanya Candina.
Salaka menggertakkan gerahamnya, menahan kemarahan.
"Beberapa malam kita bertempur dengan Pasukan Hitam," gumam Salaka. "Kita tak awasi Javadiva. Cadar Perak masih harus bekerja keras."
"Silva hampir saja tak selamat," mata Candina resah. "Tapi ada yang menyelamatkannya."
"Siapa?"
"Mbak Najma."
"Siapa dia?"
"Dia bekerja di...ahya, semacam kantor benda-benda kuno."
"Bagaimana caranya menyelamatkan Silva?" Salaka terdengar curiga.
Candina angkat bahu, "Aku benar-benar tak tahu."
"Utusan Pasukan Hitam ingin menghancurkan Dahayu," geram suara Salaka.
"Mereka menyisir tepian sungai dan halaman belakang Javadiva, tempat kita biasa berkumpul di kapuk randu."
"Candina, bagaimana cara mengontak Silva? Kita butuh bantuannya, sebelum Dahayu dirubuhkan!"
"Akan kucari cara. Elang jawa mengatakan Silva dirawat di satu rumah sakit, lalu pergi agak jauh bersama teman-temannya. Aku akan menyisir sekitar dan mencari tahu bagaimana caraku ke sana!"
"Berhati-hatilah! Biarkan elang jawa menuntunmu!"
"Perak simpanan kita, bagaimana?"
"Aku akan cari cara melindungi harta wangsa kita."
๐ ๐๐
"Ras?"
"Hmh?"
"Udah dengar berita pendamping asrama kita?"
"Ya. Dia cuti besar."
"Aneh aja! Cowok kan gak melahirkan. Kenapa cuti besar, saat seperti ini?"
"Kita fokus nyari Salaka aja!"
Bhumi dan Rasi tiba di Javadiva, menghadapi interogasi. Beruntung, banyak walimurid datang dan puluhan siswa harus ditenangkan, interogasi terhadap keduanya berjalan cepat.
"Aku gak mau balik sini lagi, Ma!"
"Ularnya gak biasa, mereka bergerombol."
"Padahal ular kan solitaire, ini kok..."
"Pokoknya aku mau pindah..."
"Sekolah ini baiknya ditutup sementara!"
Bhumi merenung gundah. Kalau ditutup, ia tak tahu harus singgah di mana. Sekolah ini juga rumah baginya. Keduanya berniat masuk ke kamar, untuk mengemasi beberapa barang jika dibutuhkan untuk bergerak ke apartemen Rendra. Penjaga asrama putra yang baru, terlihat dingin dan mengancam. Bhumi memberikan senyum hormat yang hanya dibalas dengan tatapan tajam. Di kamar, Bhumi menghembuskan napas lega.
"Kamu liat, Ras? Potongannya tegap kayak gitu. Serem banget sih, sekolah kita," gerutu Bhumi.
"Padahal cuma serangan ular," gumam Rasi.
"Cuma?? Banyak anak pejabat di sini," sanggah Bhumi.
"Ya, ya, ya," tukas Rasi. Mungkin itu sebabnya penjaga asrama yang baru sepertinya seseorang yang sangat terlatih.
Rasi membuka laptop. Bhumi menatapnya heran. Dalam situasi terdesak seperti ini apa yang akan dilakukannya? Bermain game?
"Ngapain kamu?" tanya Bhumi.
"Sssh," Rasi memberi isyarat diam. "Kamu masih ingat, waktu awal masuk ke mari? Kita dikasih banyak informasi terkait sekolah ini. Mulai sejarah, sampai ruangan-ruangannya supaya kita kenal mulai ruang kepala sekolah sampai kantin. Supaya kita tahu rumah-rumah guru dan para penjaga asrama. Aku mau cari ruangan yang mencurigakan, barangkali itu jadi kamar Salaka."
"Kamu simpan di mana file-nya?"
"Nah, itulah aku lupa!"
"Search aja."
"Kata kuncinya aku juga lupa," gerutu Rasi.
Demi melihat tampilan layar laptop Rasi, Bhumi seketika paham.
"Berantakan banget," ejek Bhumi. "Layar sampai penuh gitu."
"Ah diem lo, ah!"
"Kamu kan suka nyimpen kontak pake nama aneh-aneh. Aku pernah ngecek namaku," sahut Bhumi enteng. "Kamu kasih aku nama apa : Titan Abnormal?"
Rasi nyengir.
"Coba kamu cari pake nama tokoh anime, atau kata-kata ajaib lainnya," saran Bhumi. "File terbuang, file sampah, atau apa ajalah."
"Pinter!" Rasi menjentikkan jari. "Aku kayaknya bikin folder 'file gak penting'."
Rasi mengetik 'file gak penting'. Walau judul foldernya demikian, yang didalamnya sangat banyak, sampai-sampai Bhumi heran mengapa tak dimasukkan ke recycle bin dan dihapus saja bila memang tak penting?
"Kayaknya watak pencemasku bikin aku gak mudah menghapus sesuatu," Rasi menarik napas. "Tapi kali ini ada gunanya."
Rasi menunjukkan satu ruangan.
"Apa itu?" gumam Bhumi.
"Sebagian Javadiva merupakan gedung lama. Asrama putri adalah bangunan baru, tapi asrama putra ternyata separuhnya bangunan kuno," Rasi menunjuk.
"Bangunan sekolah terletak ke atas, sementara asrama putra agak ke bawah. Ujung asrama putraโฆ," suara Bhumi terpotong.
"Ruang Nirvana," sela Rasi, "gak langsung nyambung sih."
"Tapi ruangan itu udah lama gak digunakan," Bhumi menggumam.
Rasi mengamati file-nya, gambar-gambar dan penjelasan dari bangunan awal Javadiva.
"Dulu, tempat itu adalah ruang bawah tanah yang dipugar menjadi bangunan bertingkat. Desas desusnya tempat Belanda menyiksa tawanan. Konon banyak hantu di situ, noni-noni Belanda."
Rasi dan Bhumi berpandangan.
Ada rasa bergidik ngeri, tapi juga tanda tanya. Adakah yang tak masuk akal?
"Coba pikir," Bhumi menganalisa. "Yang disiksa orang pribumi, harusnya hantunya orang pribumi dong. Kok malah noni Belanda?"
Rasi mengangguk, "Ataukah itu hanya rumor untuk menjauhkan orang."
"Biasanya, sebuah gedung disebut angker karena ada yang disembunyikan di dalamnya," gumam Bhumi.
"Teori konspirasi," celetuk Rasi, yang suka menghubung-hubungkan berbagai cerita tak masuk akal dengan data dan fakta yang lebih tak masuk akal lagi.
Mereka segera mengambil beberapa baju, perlengkapan belajar, memasukkannya ke ransel. Berat hati Rasi meninggalkan Javadiva karena pameran yang akan digelar, walau ia menyangsikan rencana itu tetap akan berjalan mengingat peristiwa buruk yang tengah menghantui Javadiva.
Rasi membuka kamar.
Terkejut dan melompat ke belakang!
Lari atau pukul?
๐ ๐๐