Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 168 - Si Penakut (10)

Chapter 168 - Si Penakut (10)

Sebuah homestay tradisional dengan hamparan sawah di sekeliling, disewa Rendra bagi tim yang disebutnya sebagai 'kelompok delapan hektar' ; diskusi panas terjadi hingga hampir larut. Ragil memimpin diskusi. Najma mengetik laporan sembari berkubang dengan berbagai gambar sketsa. Bara mengumpulkan berbagai macam foto dan menganalisa, Mawar merapikan berbagai macam file. Silva berada di tengah-tengah mereka sembari mengerjakan tugas membuat artikel dalam bahasa Inggris. Bergelas-gelas kopi terhidang.

Rendra berada di sana, Luna dan Vira pun mendampingi. Meski Luna bolak balik menggerutu akan minimnya fasilitas.

Ketua tim paling senior, yang disebut Najma sebagai Profesor Batu telah lama minta izin untuk beristirahat terlebih dahulu. Menyerahkan pada Ragil hasil laporan yang akan dilepas ke media.

"Aku teringat film Prometheus dan Alien Covenant," Mawar berasumsi. "Sebuah kultur dominan di sebuah planet, bisa jadi berawal dari sebuah penjajahan. Mungkin saja manusia datang ke bumi ini sebagai alien, lalu kita menguasai peradaban."

"Itu bertentangan dengan teks kitab suci," Bara menyanggah.

"Tidak juga," Ragil membela Mawar, menyeruput rokoknya yang ke sekian. "Narasi bahwa manusia datang ke bumi punya banyak makna. Menggeser dinosaurus, menggeser makhluk dari dimensi lain. Semua legenda menyebutkan demikian. Kisah kaum Elf di barat yang populer di kisah Lord of The Ring, bisa menjadi contoh."

Najma bangkit, mengambil kotak rokok Ragil.

"Hei, hei!" Ragil protes. "Kembalikan!"

"Sudah minum obatmu?" tanya Najma.

"Aku belum makan malam," dengus Ragil.

"Roti bakar dan martabak itu bukan makan malam?" Najma menyindir. Ia bangkit, mengambil air putih, menyodorkannya ke Ragil. Bersama beberapa butir obat.

"Mesra sekalliii!" Bara menyembur, bertepuk tangan.

"Melaksanakan amanat seorang perawat cantik yang menitipkan pesan," Najma mendengus. "Dia terpesona sosok yang menurutnya mirip Eren Yaeger. Rambut panjang, macho. Andai dia tau bagaimana rupa Eren saat menjadi titan."

Bara terkekeh, "Ada yang cemburu rupanya."

Najma melempar gulungan tissue ke arah Bara.

"Cinta datang terlambat…," Mawar menirukan lagu Maudy Ayunda.

Ragil mendehem, "Jangan ganggu Najma."

Cieeeee.

Serentak semua mahasiswa arkeolog dan tim penggali ikut mendehem.

"Selera Najma itu Yamaken atau Tomoyo Nakamura," Ragil santai menjelaskan, mengedipkan mata. "Ya…atau agak-agak senior dikit macam Takeru Sato."

Najma melotot.

"Agak malaman lagi, aku gampang ngamuk," Najma mengancam.

"Sudah, ah," Mawar berlagak membela. "Nanti mbak Najma gak bisa tidur, lho. Kepikiran terus sama pangerannya."

Najma menatap Mawar dengan senyum masam, walau Mawar berlagak tulus.

"Tentang pangeran kita, bagaimana kabarnya?" Najma melurus pembicaraan.

Bara mengubah wajah lucunya menjadi lebih serius. Ia duduk di depan meja, sebuah bantal menjadi sandaran di kursi.

"Raut wajah ini," telunjuknya melingkari foto di laptop, hasil jepretan penggalian yang memperlihatkan bagian kepala, "apakah bisa kita tebak maknanya?"

Ragil bangkit mendekat, mengamati, "yang pasti, itu bukan wajah penuh derita. Dia bukan sosok korban persembahan atau korban kematian."

Najma juga bergerak mendekati Bara.

"Sepakat," ia membenarkan Ragil. "Aku nggak bisa bilang wajahnya tersenyum. Wajah bahagia berarti menunjukkan perayaan, atau penobatan sebagai raja, atau mungkin pernikahan."

"Bukan pernikahan," Ragil menggeleng. "Kita nggak nemukan pasangannya."

"Belum menemukan," Najma meralat.

"Kalau pernikahan, patung mereka harusnya dikubur bersama."

"Mungkin saja demikian, kita aja yang belum menggali lebih dalam dan lebih luas," Najma bersikukuh. "Atau bencana alam memisahkan patung pasangannya."

"Oke," Ragil mengangkat tangan, agak menyerah. "Masukkan itu ke dalam dugaan."

Rendra, yang sedari tadi menyimak dari sudut sofa, mencoba ikut berpendapat.

"Apakah kita tidak bisa menggunakan peralatan lebih canggih untuk mendeteksi wajah?" ucapnya. "Agar pekerjaan lebih cepat."

"Bisa, sih," Najma mengangguk. "Tapi butuh alat yang mahal."

"Kau harus perhitungkan cash flow," Luna menyela. "Kita nggak bisa berharap dari proyek yang belum menguntungkan."

Rendra terdiam. Tak mengiyakan, atau menyanggah. Najma dan Ragil berpandangan, saling angkat bahu.

"Apakah kita yakin kalau dia bangsawan?" Bara bertanya lagi.

"Ya," Najma menjawab cepat. "Wajah prajurit tidak akan dipahat seperti itu. Apalagi mahkota di kepalanya, terlihat istimewa. Lihat bentuk dahi, dagu dan pipinya?"

Najma melingkari dengan telunjuk.

"Wajah yang dipahat hati-hati seperti ini, dengan bentuk bulat telur yang indah, adalah wajah aristokrat. Wajah prajurit atau rakyat jelata biasanya dibentuk lebih bulat dengan ukuran hidung yang lebih kecil," tambah Najma.

Ragil, Bara dan Mawar meraba wajah masing-masing.

"Haaah, aku merasa bagian dari rakyat jelata," gumam Mawar.

"Wajahku kurang aristokrat ya, Naj," Ragil menggoda.

Najma menatapnya tajam, "Aku mulai ngantuk, Mas Ragil!"

"Apa…apa aku boleh lihat?" Silva bertanya pelan.

Rendra menoleh ke arahnya.

"PR-mu sudah selesai, Sil? Kamu harus tidur segera," tegurnya.

Silva tersenyum masam, merasa dianggap anak bawang, meski ia mengangguk ke arah Rendra.

Najma memberikan isyarat pada Silva untuk mendekat. Silva berdiri di belakang punggung Bara, mengamati wajah patung yang terpejam itu dengan seksama. Sebentar kemudian, ia membuka gawainya, mencari sesuatu di galeri.

Tak banyak foto yang dimilikinya. Ia bukan jenis orang yang suka selfi atau mencuri-curi foto orang lain dengan cara candid camera. Ada sebuah foto yang ingin diamatinya, sembari menjajarkan dengan gambaran patung.

"Siapa itu?" goda Najma. "Pacarmu?"

Pipi Silva memerah dan langsung menyanggah.

"Hm, good looking," tebak Mawar. "Apalagi pakai baju tradisional kayak gitu. Tambah keluar auranya."

Silva mendapatkan foto itu dari Sonna, hari ketika Javadiva menerima tamu-tamu dari Eropa. Ia memperbesar wajah seseorang di sana, mengamati bergantian dengan roman wajah di laptop Bara.

Najma mengerutkan kening.

"Kamu ngapain, Sil?" tanyanya.

Silva tak menjawab, hanya ingin memantapkan hati. Ia bukan ahli benda-benda purbakala, bukan mahasiswa arkeologi yang trampil membuat dugaan benda-benda prasejarah. Tapi sesuatu mengusiknya. Garis mulut patung dan foto di gawainya, seolah selarik garis yang mirip. Caranya menahan senyum, caranya menarik ujung bibir.

"Itu…," Najma menggantung tanya, menatap ke arah Silva.

Silva mengangguk, tanpa suara bibirnya memberi tahu Najma sebuah nama : Sa-la-ka.

Najma menahan napas, jelas terlihat kantuk di matanya mulai menguap.

"Mas Ragil…aku mau nanya," Silva berujar.

"Nanya aja," Ragil menjawab, mematikan rokok. Rasanya tak sopan mengepulkan asap di depan wajah belia Silva.

"Kata mbak Najma, tentang makara yang ditemukan itu," Silva membuka tanya, "kata mbak Najma bukan makara, ya?"

"Itu bukan makara," jelas Ragil, mengiyakan. "Aku belum bisa memastikan, sepertinya mahkota. Atau potongannya."

Silva merenung. Najma memperhatikannya seksama, merasa Silva ingin melakukan sesuatu.

"Bara, coba kamu minggir. Biarkan Silva duduk sebentar ngeliat foto-fotomu," pinta Najma.

Bara bangkit, mempersilakan. Silva ragu-ragu duduk, mengamati sekeliling. Najma memberikan isyarat semua baik-baik saja. Rendra pun tanpa sadar bangkit, mendekat ke arah Silva.

"Kita…kita belum lihat wajahnya dengan sempurna," suara Silva takut-takut. "Tapi sepertinya…sepertinya di atas kepala patung ini adalah…adalah mahkota."

Ragil mengangguk, mengiyakan, "ya. Dia memang mengenakan mahkota."

"Mahkotanya sepertinya…," Silva menahan napas, "…sepertinya…terpotong…"

Najma mengerutkan kening, tak mengerti.

"Maksudmu?" Ragil pun mengernyitkan dahi. Baginya, semua asumsi menarik untuk disimak ketika membahas benda purbakala.

"Makara…makara…eh, bukan makara," Silva terdengar gugup, "…potongan mahkota maksudku. Apakah…apakah potongan mahkota dari…dari patung ini?"

Ragil mencondongkan tubuh. Najma juga demikian. Mengamati lebih dekat bagian yang ditunjukkan Silva.

"Kenapa memangnya?" Ragil bersedekap.

"Bisa jadi terpisah dari kepalanya, karena bencana alam dan sejenisnya," Najma mengulang dugaannya.

"Atau sengaja dipisah…," gumam Silva.

Ragil dan Najma berpandangan. Rendra ikutan melipat tangan di depan dada, seperti Ragil.

"Kita tahu," Silva sedikit bergairah, melihat sekelilingnya menyimak. "Ada bandul kalung yang dipecah dua, sebagai tanda cinta. Atau sebetulnya tanda perpisahan. Simbol kerajaan yang dipecah, menandakan persatuan dua kerajaan sudah berakhir."

Silva menatap lurus ke layar.

"Mahkota itu…apakah sengaja diputuskan…dipisah…menandakan…," ucapan Silva menggantung.

"Sang pangeran dipisahkan dari kedudukannya. Tahtanya. Kerajaannya. Atau menjalani hukuman," Najma menggumam.

Ragil tanpa sadar menepuk pundak Silva sembari berseru lirih, "clever girl. Anak siapa kamu, heh?"

Rendra menarik napas pelan, melirik ke arah Silva.

Silva menelan ludah. Tertegun tetiba, ia bangkit berdiri, menghadap ke arah Najma.

"Apakah berarti…Salaka sebetulnya…sedang menjalani…hukuman dan bukan sekedar utusan?"

🔅🔆🔅