Rendra tidak tahu, mengapa ia akhirnya menyisihkan waktu lebih banyak untuk Silva dan menunda beberapa agenda penting. Bu Candra sempat naik pitam ketika ia menjelaskan bahwa untuk sementara tak bisa ke Kalimantan mengurus segala hal terkait tambang batubara mereka. Pekerjaan di Jakarta dan wilayah Indonesia Timur yang seharusnya sudah mulai berjalan pun tertunda.
"Aku harus segera menyelesaikan rencana hotel dan resor kita yang terganggu dengan penemuan-penemuan arkeologi, Ma," jelas Rendra. "Aku mulai berpikir bahwa kita perlu menggeser rencana, dan mempertimbangkan, siapa tahu perusahaan kita dapat meng-claim penemuan benda purbakala dan membuatnya sebagai cagar budaya. Kita bisa membuat keuntungan besar seperti tempat wisata sekitar Borobudur."
Segala yang berbau keuntungan akan mematahkan kemarahan bu Candra. Terlebih ketika Rendra menyinggung perihal Silva.
"Mama perlu sesekali menghabiskan waktu bersama Silva," Rendra menyarankan. "Anak itu benar-benar butuh pengakuan."
Teringat pertemuaan terakhir ketika Rendra meminta Silva segera mengakhiri kegiatan petualangan macam Tomb Raider dan berhenti berlagak ala Lara Croft. Hidupnya harus segera berpsuat di Javadiva, menajamkan bakat minat dan segera lulus untuk masuk kuliah demi mempersiapkan masa depan. Entahlah, apakah ia mulai bersikap lunak pada Silva hingga gadis belia itu mulai kurang ajar padanya dan bersikap berani.
"Selama ini aku selalu jadi bulan-bulanan," Silva mencoba menjelaskan. "Sejak …sejak…pertemuanku dengan Candina dan Salaka…dengan mbak Najma; aku merasa…aku lahir nggak sia-sia. Ya, mungkin aku bukan siapa-siapa bagi Mas Rendra. Aku cuma anak haram."
Rendra risih mendengar kata-kata itu, dilihatnya Silva mencoba tegak dan tegar ketika mengucapkannya.
"Aku…aku cuma anak haram yang sedang cari jawaban," Silva mengusap matanya yang basah sembari menegakkan dagu. Berusaha menatap Rendra dengan sedikit keberanian. "Sekali ini saja, seumur hidupku. Aku selalu takut menghadapi masa lalu dan masa depanku. Kalau akhirnya semua ini bukanlah apa-apa, setidaknya aku sudah mencoba apa yang kuyakini sebagai kebenaran."
🔅🔆🔅
Hari-hari yang biasa dilalui dengan jas dan kemeja licin, berganti celana jins, sepatu dan kaos lengan panjang. Topi dan masker tak dilupakan. Segera Rendra menjadi pusat perhatian di area penggalian.
"Mau ngapain Samurai X itu ke mari?" Ragil bertanya sebal.
"Dia penyandang dana, ingat?" Najma menekankan. "Pak Rendra mengontak kantor cagar budaya dan bersedia mencairkan dana besar untuk penggalian ini. Lihat saja ketua tima senior kita, Pak Profesor Batu, tersenyum lebar tiap kali ketemu dia."
"Cewek-cewek di sini jadi lebay sejak ada dia," Ragil menggerutu.
"Tenang saja," Najma berbisik. "Sebentar lagi para asistennya yang cantik-cantik datang. Gantian kalian para cowok yang akan terhibur. Sekali-kali cuci mata dengan benda hidup. Selama ini hanya melihat barang mati, kan?"
Penggalian penuh semangat dan ketelitian itu memakan waktu berhari-hari, memunculkan beberapa potongan benda yang menimbulkan berbagai dugaan. Semua potongan-potongan alat, bangunan, senjata, atau apapun yang berupa dugaan peninggalan; dikumpulkan.
Sore hingga senja hari, Silva akan hadir untuk bergabung dan melihat-lihat kemeriahan situasi. Rendra membantunya untuk mengontak Javadiva agar diizinkan mengikuti pelajaran secara daring untuk sementara waktu. Walau Rendra pun mengingatkan Silva, jika ia terlalu banyak melanggar peraturan, besar kemungkinan sekolah akan memberikan sanksi dan ia harus mengulang kelas. Tampaknya, Silva tak keberatan bila harus mengulang setahun lagi demi mempertahankan apa yang sedang dilaluinya saat ini.
Senja itu, langit masih terang.
Cuaca bersih.
Angin dingin yang syahdu membawa berita burung-burung pulang ke sarang.
"Mas Ragil! Mbak Najma!"
Teriakan Bara, Mawar dan berbagai anggota tim yang serentak mengejutkan. Najma baru saja menghabiskan nyaris satu botol penuh air mineral. Rendra yang sedang berkoordinasi dengan Luna dan Vira ikut mengangkat kepala. Seperti dugaan Najma, kehadiran Luna dan Vira benar-benar menyedot perhatian. Bukan hanya karena cantik dan berkilau, pakaian keduanya tampak tak sesuai dengan area penggalian. Terutama Luna, yang senang mengenakan hak tinggi serta memamerkan keindahan kaki.
"Kami menemukan sesuatu! Kalian harus melihatnya!"
Ragil menyeret tongkat. Najma berlari diikuti Silva. Rendra meninggalkan Luna dan Vira yang ternganga.
Jauh lebih ke tengah, terpisah dari dinding-dinding talud dan bongkarahan makara yang diduga sebagai mahkota, sebuah lubang besar dan panjang digali. Kedalamannya lebih curam dari yang sebelumnya. Bentuk keseluruhan benda purbakala itu belum diketahui. Terlihat setiap yang bekerja berusaha tak merusak, atau menggali tanpa perkiraan.
"Apakah ada yang patah?" Ragil berteriak.
"Nggak!" teriak Bara. "Setelah dugaan talud, kita berusaha menggali kotak lebih luas, sedikit demi sedikit."
Najma berdiri di tepi lubang. Ia berlutut, Silva pun demikian. Ragil bertelekan pada tongkat kruk.
"Apa itu?" bisik Silva ingin tahu.
"Najma!" ujar Ragil. "Bantu aku turun ke bawah!"
Najma mengangguk, membiarkan Ragil bertumpu pada lengannya untuk turun ke lubang lewat tangga sementara yang tersusun dari tumpukan tanah. Rendra mengamati keduanya lewat ujung mata, merasa aneh. Dari sekian banyak para penggali, mengapa Najma yang harus dipilih oleh Ragil?
Setiap yang hadir mencondongkan tubuh, berlulut berkeliling menatap areal persegi panjang penggalian. Orang-orang menjulurkan leher, berusaha mengamati dengan kedua belah mata. Desir darah dirasakan semua, denyut jantung terpompa lebih cepat. Degup-degup terdengar mengetuk dari rongga dada. Bagai terhubung dengan masa lalu, bagai membuka kunci rahasia yang tak mudah dibicarakan.
"Ini…," Najma tak sanggup melanjutkan.
"Sebuah patung," Ragil menyelesaikan kalimat. Ia mengabaikan tongkat kruk, mencoba berjalan tertatih, meraba bentuk yang masih belum tampak terlihat jelas. "Kasih aku kuar besar. Kape juga!"
Ragil mencoba membersihkan bagian yang diduga kepala, namun tanah yang telah menumpuk selama berabad-abad atau bahkan ribuan tahun itu seolah menyatu. Ia mulai terlihat gemas dan tak sabaran.
"Mas Ragil!" sebuah suara menegur keras. Semua menoleh ke arah suara. "Mas Ragil! Biar aku yang lakukan!"
Rendra menatap Silva tak mengerti.
Gadis itu meluncur turun. Ia sama sekali tak berpengalaman dengan penggalian, salah-salah akan merusak. Apakah Najma dan Ragil akan memarahinya?
"Silva!" Najma mengingatkan. "Jangan sembarangan! Ini harus dikerjakan oleh ahlinya!"
Silva menatap ke arah Najma, mencoba meyakinkan.
"Aku coba pelan-pelan," Silva mengangguk ke arah Ragil yang tampak gusar.
"Kamu kan belum pernah…" Ragil memprotes.
Najma menoleh ke arahnya, memberikan isyarat agar Ragil memberikan kuas dan kape kecil yang berfungsi untuk mengikir.
Silva memegang bagian kepala, menyentuhnya pelan. Rasa dingin dan asing menghampiri permukaan telapak tangan. Jemarinya mengetuk pelan, suara denting muncul dari jari manis yang dilingkari cincin perak. Entah mengapa, melihat Ragil bersikap sedikit keras pada benda purbakala itu membuatnya sedikit marah dan ingin mengambil alih. Tidak seharusnya orang bersikap kasar pada sesuatu atau seseorang yang pernah menjadi bagian dari nafas dunia ribuan tahun silam.
Di tangan Silva, tanah itu melunak. Walau tetap keras, tampaknya menurut untuk disingkirkan. Lapis demi lapis. Gumpalan demi gumpalan. Terkikis pelan, tersingkap. Tak mudah untuk menyingkirkan kotoran yang menimpa permukaan patung. Berharap semoga setiap gesekan tak menimbulkan kerusakan.
Senja makin temaram.
Warna oranye keemasan menggantung di kanopi langit.
Lampu-lampu penerang yang dinyalakan dari genset mulai terpasang. Tampaknya, proyek ambisius ini ingin lekas dikerjakan dan diselesaikan. Sayup, suara alam mengabarkan bahwa matahari akan digantikan rembulan. Suara panggilan sahut menyahut dari rumah-rumah ibadah bergaung.
Silva, Najma, Ragil dan semua merasa harus mengakhiri.
Sungguh sayang, tak dapat dituntaskan segera. Siapapun tahu, ketergesaan hanya akan menimbukan penyesalan. Patung itu tampak kuat dan perkasa, walau pastinya waktu melapukkan banyak hal. Ragil tampak memandangi patung itu dengan sejuta rasa. Silva pun menatapnya dengan kedalaman emosi yang tak terjabarkan.
Wajahnya masih terselimut debu-debu tanah. Patung itu tertimbun bersama sejuta sejarah manusia di atasnya : sejak zaman kerajaan kuno, era penjajahan, masa kemerdekaan dan melintasi abad modern. Raut mukanya belum seutuhnya muncul. Namun gambaran sekilas terlukis.
Matanya terpejam, dengan alis rapi dan menonjol. Hidungnya tinggi, bentuk mancung yang sesuai dengan rahangnya yang tegas. Garis bibirnya tak tampak kaku, walau kehidupan tampak meredup di wajahnya yang aristokrat. Sebagian mahkotanya mulai tersingkap, ukiran-ukiran yang menunjukkan guratan alam.
Tapi guratan apa?
🔅🔆🔅