Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 164 - Si Penakut (6) 

Chapter 164 - Si Penakut (6) 

Jauh di lubuk hati, Rendra sebetulnya terbahak melihat hadiah yang diberikan Silva. Barang itu sama sekali tidak mewah, bahkan cenderung tak memiliki kegunaan apapun bagi dirinya. Ia bahkan bisa membeli barang seperti itu yang harganya seribu kali lipat lebih mahal.

Tapi ada yang mengusik hatinya.

Ia sering bersikap kasar pada Silva. Berusaha untuk menunjukkan kebencian. Mencoba memperlihatkan bahwa kehadiran gadis itu sama sekali tak berharga di tengah keluarga. Ada atau tak ada, tak menimbulkan kerugian. Bahkan lenyap pun tak masalah. Namun gadis itu justru memberinya hadiah yang terlihat tulus dan menunjukkan kesungguhan hati.

Ucapan bu Candra terngiang.

"Kalau kamu mengenalnya, mungkin kamu bisa jatuh cinta dengan adikmu."

Apa iya ia sudah jatuh cinta pada si bungsu?

🔅🔆🔅

Rendra menemani Silva menyantap masakan pesanan resto hotel yang diantar ke kamar. Setidaknya, percakapan mulai mengalir dan ia melihat sisi lain diri Silva. Bahasan ringan yang kaku kadang muncul antara mereka berdua, hingga makanan habis dikunyah.

Rendra merenung. Benar, Silva anak haram mama dan lelaki yang tak ingin dikenalnya sama sekali. Benar, ia adalah luka keluarga dan tiap kali melihatnya, wajar kebencian timbul. Fuji, Kikan dan Pandu pasti akan merasakannya. Tapi apakah semua kesalahan itu milik Silva?

Sekali waktu, pernah ia menyampaikan di grup keluarga yang terdiri dari empat anak Cahyadiningrat –minus papa mama – bahwa Rendra tengah bersama Silva di Javadiva. Fuji jelas-jelas mencemoohnya.

"Jangan kotori tanganmu dengan urusan anak haram itu, Mas!"

"Dia mirip siapa sekarang? Mama atau pebinor?" Kikan menghujat cepat dengan sebutan pebinor untuk ayah Silva – perebut bini orang.

"Gak usah ngatain orang lain pebinor," Rendra mengingatkan. "Mama kita juga pelakor."

"Amit-amit!" seru Kikan. "Walau aku cewek nakal, gak akan pernah ngganggu suami orang. Biasanya anak ngikuti orangtua. Jangan-jangan dia masih SMA udah nakal. Ya, nakal gatel."

"Untung anaknya waras," Fuji berkata kejam. "Biasanya ada aja minusnya. Minus otaknya, minus kepribadiannya. Syukur dah fisiknya normal. Biasanya anak hasil kayak gitu nyoba digugurin berkali-kali."

"Cewek-cewek kalo ngomong gak punya filter, ya," Pandu mengingatkan. "Ingat! Karma itu bisa mbalik ke diri sendiri!"

"Ah, dasar kesayangan mama!" gerutu Kikan. "Kamu pasti belain mama."

"Cowok selalu punya excuse buat perselingkuhan. Ya 'kan??" Fuji menambahkan.

"Nggak! Bukan itu maksudku! Kalian itu kalau udah ngomongin mama, kayak mama itu bakal masuk neraka jahannam selamanya. Kayak Silva itu haram jaddah sejelek-jeleknya."

"Lah…emang iya!"

"Mama emang udah ngelakuin dosa, Mbak-Mbak!" jelas Pandu. "Tapi nuduh beliau terus-terusan seolah kalian paling suci, itu juga nggak bener. Apalagi ngata-ngatain Silva yang belum tentu juga seburuk tuduhan kita."

"Jiiiah! Ceritanya kamu belain anak setan itu? Papanya aja gak mau ngakuin dia!" celetuk Kikan.

"Aku cuma kasihan sama dia, titik. Dia masih terlalu muda buat nerima hujatan yang sama sekali gak pantas dialamatkan ke dia!" pungkas Pandu.

Mengingat semua perbincangan itu, Rendra merasa diskusi mereka terlalu kelewat batas. Terutama saat ia berhadap-hadapan dengan Silva seperti ini. Gadis itu sama sekali tidak seperti yang selalu mereka bahas : cewek nakal, kurang akal dan sederet tuduhan tak layak lainnya.

Silva mendongakkan kepala. Rendra tampak tengah menatapnya sembari berpikir.

"Mas Rendra…dengerin aku?" tanya Silva pelan.

"Hmh?" Rendra terkejut.

"…"

"Eh, apa?"

"Aku…aku …tadi ngomong sesuatu."

"Sorry. Aku lagi banyak pikiran. Bisa diulangi?" Rendra meminta.

Silva menarik napas panjang. Ia mengambil piring kotor mereka berdua, meletakkannya di pantry kamar. Mengambil dua gelas air putih, menyodorkan satu gelas ke arah Rendra.

"Aku…aku mau minta tolong," pinta Silva.

Rendra meneguk minumannya.

Silva pun demikian.

Rendra masih menunggu ucapan Silva yang berikut.

"Kamu tuh bilang berkali-kali mau minta tolong, tapi aku gak tau mau nolongin apa," Rendra menegur.

"Aku...aku...aku mau ketemu mbak Najma," terbata suara Silva. Ia menggigit bibir, "Mas...Mas Rendra bisa temenin aku?"

Alis tebal Rendra naik separuh.

Di dunia bisnisnya yang dipenuhi transaksi ratusan ribu dollar, ia harus mengurus remahan permintaan seperti itu?

"Kamu gak bisa nemuin dia sendiri?" tanya Rendra.

Silva menunduk.

"Aku...," suaranya gemetar. "Aku udah buat salah sama mbak Najma. Dia...dia pasti benci banget sama aku."

Rendra bangun, mengambil beberapa persediaan suplemen vitamin dari tasnya.

Urusan pondasi di area resor yang direncanakannya belum selesai. Artefak-artefak yang muncul di sana sangat mengganggu, dan pekerjaan terbengkalai tanpa tahu kapan memenuhi tenggat waktu.

Pekerjaan itu harus selesai.

Menemui Najma sepertinya merupakan salah satu jalan ke luar juga. Gadis itu pasti punya koneksi dengan orang-orang aneh yang kemungkinan dapat membantunya mengatasi masalah tak masuk akal.

"Mas Rendra...gak punya sekeretaris atau asisten kayak mama? Seperti mbak Vira," tanya Silva hati-hati.

"Kenapa emangnya? Aku punya banyak asisten," Rendra menjawab, sembari menuang air dan melarutkan sebuah vitamin.

Silva terdiam.

"Ngapain juga aku nanya-nanya," ucapnya dalam hati, sebal pada diri sendiri.

"Oke," kata Rendra. "Aku mungkin bisa nemanin kamu ketemu Najma. Tapi jadwalku udah padet banget. Bulan depan mungkin."

Alis Silva naik.

Bulan depan?

Ia tak punya waktu selama itu!

"Bisakah...bisakah lebih cepat?" Silva memohon. "Besok atau lusa, gitu?"

Rendra mendengus.

"Kamu pikir aku nggak ada kerjaan??" ketus suara Rendra. "Aku nggak bisa!"

Silva menunduk, menahan agar tangisnya tak terlepas. Kenapa harus menangis di depan Rendra? Selama ini ketika di bully, benar-benar disimpannya air mata agar tak mudah orang mengira dirinya lemah.

Keheningan yang kaku menguar di antara mereka.

Rendra mengambil kotak beludru hadiah Silva, terselip cincin perak berukir yang tampaknya tak muat di jari manis. Ia mencoba mengenakannya, yang hanya bisa lolos di jari kelingking.

Demi melancarkan perbincangan kembali, Rendra berujar, "Ini seperti punyamu, kan?"

Silva menatapnya, terdiam. Cincin di jari kelingking Rendra terlihat pas di sana, bukan sebagai pemanis. Tampak seperti simbol yang memperkuat jati diri si pemakai. Memang, tampak mirip seperti miliknya sendiri. Tapi itu tak punya makna apapun, apalagi upayanya meminta bantuan Rendra selesai sampai sini. Ia tak punya keberanian membujuk lebih lanjut. Gadis itu meraih ransel, menutup risleting, memasang salah satu talinya di pundak kanan. Bangkit berdiri.

"Heh, kamu mau ke mana?" tegur Rendra, tak mengerti.

"Balik Javadiva," gumam Silva.

"Ini sudah jam sebelas malam lebih!"

Silva hanya berpikir, bahwa tujuannya bertemu Rendra tak tercapai. Jadi untuk apa tinggal lebih lama? Ia melangkah gontai ke arah luar, menuju pintu.

"Ya, Tuhan!" Rendra menggerutu. "Kamu ngambek?"

Silva terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Mungkin ia harus menemui Najma seorang diri. Candina dan Salaka membutuhkan bantuannya. Sonna mungkin tak bisa berbuat banyak.

"Silva!"

Silva tak mendengarkan, bergerak menuju pintu.

Rendra mengejar, memegang lengannya. Di depannya Silva menekuk wajah dengan kaku, tanpa ekspresi.

"Oke! Oke!" lelaki itu mengumpat pelan, kehabisan akal. "Kita ketemu Najma besok!"

Silva tertegun.

🔅🔆🔅

Ia berlari.

Menembus gulungan buih hitam. Menerobos ilalang, semak, perdu, batang-batang menjulang. Bersembunyi di balik rapatnya pepohonan. Suara-suara liar mengejar di belakang, tak dapat dimengerti apa yang mereka teriakkan. Namun jelas, bunyi yang dikeluarkan serupa ancaman.

Ia terus bergerak.

Langkah semakin berat, seolah beban menggelayut di kedua telapak kaki. Seolah, gerak larinya menjadi 'slow motion' yang memperlihatkan gerakan patah-patah. Walau, kaki harus terus berlari. Berlari. Menjauh dari bahaya yang tak diketahui.

Samar telinganya mendengar aliran sungai. Berikut gemuruh yang bergerak di awan bersama kilat perak yang menyambar.

Sesak dadanya mencari udara.

Tercekik. Terengah.

Terbangun seketika.

Dilihatnya selimut telah tersingkap, bantal terlempar ke lantai. Dengkur halus Rendra terdengar di sofa seberang.

🔅🔆🔅