"Aku tak tahu kita melindungi pembunuh," desis Kavra banna Gangika. "Kau tahu, Sin? Kau pasti pernah dengar desas desus ini ketika di Girimba!"
Sin memucat, menggeleng kemudian penuh hormat.
"Nistalit perempuan itu ada di Gangika. Bukan hal sulit bagiku untuk menyerahkannya ke Vasuki," Kavra mengepalkan tangan.
"Kau gegabah, Kavra," Haga hal Paksi menyela. "Aku tak punya kepentingan apapun dengan Nistalit. Tapi begitu berkaitan dengan Raja Tala, kita harus pertimbangkan."
"Apa ada yang ingin dengar pendapatku?" Rakash banna Giriya, yang sejak pertemuan awal lebih banyak terdiam karena tak ingin banyak terlibat, buka suara. "Kau pada akhirnya akan sepaham denganku, Kavra, bahwa bahasa yang kami pakai kepada Nistalit adalah cambuk Kuncup Bunga. Lagipula, siapa yang menyerobot budak-budak kami tanpa izin?"
Kavra menatapnya tajam,"Keinginan Nistalit sendiri untuk berpindah hidup ke Gangika. Mereka mendapat kehidupan lebih layak dan ketrampilan lebih banyak."
Rakash menggeram, "Dan sekarang kau harus menghadapi Vasuki!"
"Tak masalah!" sahut Kavra tegas. "Aku tahu apa yang harus kulakukan!"
"Suatu saat kau akan tahu mengapa sebagian Nistalit terpaksa kami habisi!" desis Rakash.
"Begitulah watak para pembela Vasuki," Gosha hal Aswa sinis menyela. "Memikirkan kepentingan sendiri! Menghabisi pihak lain!"
"Kau pikir Aswa tak punya kepentingan di sini, heh?" Rakash berucap telak. "Aku yakin, bila pilihanmu menyelamatkan ratumu atau menyelamatkan Nistalit, kau pasti tahu mana yang punya nilai lebih!"
Pelipis Gosha menegang.
Bahar banna Jaladhi, sedari tadi hanya mengunci mulut, tampak berpikir keras.
"Mengapa Tala sangat ingin mendapatkan Nistalit itu?" gumamnya.
"Apa kau tak mendengar, Bahar?" Rakash berkata pedas. "Dia telah membunuh pangeran putra Raja Tala!"
Bahar tertawa pelan, "hanya itu? Ada pepatah samudra mengatakan 'di dalam cangkang, tersembunyi mutiara dan lendir'. Pasti ada keinginan tampak, ada yang tak tampak. Aku juga tak punya kepentingan dengan Nistalit. Tapi menyerahkannya pada Tala? Memuaskan Tala? Itu hal paling akhir yang ingin kulakukan!"
Guni hal Mina ikut berpendapat.
"Seluruh panglima hadir di sini," ucapnya bijak. "Mengapa tak ambil suara?"
Rakash tertawa lirih, "Sudah pasti aku yang kalah. Kalian semua bersekongkol melawan Vasuki dan siapa yang menjadi sekutunya."
"Jaga mulutmu, Rakash!" Gosha menegur keras.
"Gangika sekutu Vasuki, Rakash," Kavra mengingatkan.
"Dulunya! Sampai kalian menikam kami dari belakang dan menculik para Nistalit!" sengit suara Rakash.
"Siapa yang tak membutuhkan benteng lebih kuat untuk menahan Mandhakarma, heh??" Kavra bangkit berdiri, menggebrak meja. "Mengapa tak kau tanyakan para Nistalit, kepada siapa mereka berpihak dan lebih setia?"
"Menanyakan Nistalit?" Rakash bangkit, mendekatkan wajah ke arah Kavra. "Wangsa Akasha, dinasti Giriya tak pernah berunding dengan budak. Kasta kami lebih tinggi dari mereka!"
"Aku menyayangkan Giriya yang hebat harus punya panglima sepertimu," Kavra mengejek. "Kau bahkan tak bisa melindungi budak-budakmu sendiri dari pelarian."
Rakash meloloskan pedang dari pinggangnya.
"Bisakah kalian berhenti?!" Milind berkata keras, mengerahkan kekuatan hingga langit-langit balairung gelap dan perlahan menghijau kembali kemudian.
Di satu sisi; Yami, Nisha dan Calya menyatu saling berpegangan. Perang mulut para panglima benar-benar menciutkan nyali. Rakash menyarungkan kembali pedangnya yang hampir terhunus.
"Kavra, kenapa kau mempekerjakan Nistalit dan memperlakukan mereka lebih baik dari Giriya?" Milind bertanya, menatap sang panglima Gangika tepat di manik mata. "Dan kuharap, kalian menahan diri. Hargailah Putri Yami, Putri Nisha dan Putri Calya di sini."
Kavra, perlahan melepaskan genggamannya dari hulu tombak pendeknya di pinggang. Matanya yang nyalang menatap Rakash, perlahan tenang. Ia mengangguk hormat kepada ketiga putri.
"Kami membutuhkan mereka," Kavra berkata jujur. "Mantra Gangika dan ketrampilan Nistalit, dapat membangun bendungan lebih baik dan lebih kuat. Harus kuakui, Nistalit bukan hanya pekerja keras. Buah karya mereka halus dan indah. Suatu saat kalian akan kuundang menghadiri peresmian Bendungan Gangika yang megah dan menakjubkan."
Kavra mengatakan itu bukan hanya untuk memanas-manasi Rakash. Pada kenyataannya, Bendungan Gangika menjadi dam air yang kuat dengan gua-gua menjorok ke dalam yang dihiasi patung-patung leluhur Raja Nadisu dan Ratu Mihika. Gerbang yang menuju ke kediaman para bangsawan dipahat dengan cermat, gapuranya dibangun tinggi menjulang dengan ukiran-ukiran rumit di atas bebatuan.
"Mereka juga prajurit yang tangguh," Sin tak dapat menjaga mulut untuk berkata-kata.
"Benar!" Janur menambahkan segera.
Kavra menatap ke arah Sin bagai ingin melumat hingga sang hulubalang menundukkan wajah.
"Ahya," Rakash tertawa mengejek. "Kau menggunakan tenaga para budak sebagai prajurit? Kenapa? Prajurit Gangika loyo dan kurang bertenaga?"
"Mereka mampu membunuh Pasukan Hitam Mandhakarma," Sin mendesis. Desisan pelan yang dapat terdengar oleh semua. Kali ini, Kavra melunakkan pandangannya ke arah Sin.
"Nistalit yang kita anggap budak rendah," Janur menggaris bawahi, "ternyata memiliki keahlian yang tak terduga. Saat kita kesulitan dan kehabisan daya menghadapi Madhakarma, mereka mampu melihat dengan mata mereka – entah kenapa mata mereka bisa melihatnya."
"Mereka membunuh puluhan, menarik keluar Pasukan Hitam dari buih Mandhakarma," Sin menjelaskan, merasa lega mendapatkan dukungan dari Kavra yang mulai melepaskan pandangan tajamnya.
"Demi Jagad Aswa!" Gosha berbisik. "Andaikan Nistalit dapat kami bawa ke awan, kami pun ingin memiliki prajurit seperti itu!"
"Kalau begitu," Kavra menyimpulkan, "alih-alih membunuhi Nistalit seperti yang dilakukan Vasuki, mengapa kita tidak mengambil sebagian yang memang berbakat untuk menjadi pasukan tambahan?"
Semua terdiam, tampak berpikir.
"Lalu, bagaimana permintaan Raja Tala?" Rakash kembali ke titik permasalahan.
"Kalau banyak Nistalit seperti yang disebutkan Sin dan hulubalang Janur, apa salahnya kehilangan satu Nistalit? Apalagi taruhannya adalah mantra Gerbang Ambara."
Rakash tersenyum lebar, senyum yang tampaknya menggembirakannya sesudah sempat bertikai dengan Kavra. Tapi itu bukanlah keputusan akhir dari pertikaian panjang para panglima yang belum menemukan kata sepakat. Bahkan, hingga pertemuan itu usai, masing-masing masih menggenggam pendapatnya sendiri.
❄️💫❄️
Milind sulit memicingkan mata hingga larut malam. Bukan hanya pertikaian antar sesama panglima yang membuat keadaan semakin sulit. Meminta mantra Vasuki saja sudah membahayakan, apalagi panglima Akasha dan Pasyu tak satu pendapat. Boleh jadi, yang tampak di permukaan pun tak akan sama dengan yang diucapkan.
Tanpa sadar, Milind ke luar dari biliknya. Melangkah menaiki tunggangan angin hingga tiba di bilik terbawah, ruang-ruang gelap yang lebih tersembunyi dari kamar para prajurit kelas rendah. Suara-suara Kavra dan Rakash memenuhi kepalanya. Budak. Kasta rendah. Tak punya nilai. Seolah makhluk paling hina tak pantas hidup layak.
Ia memasuki satu bilik, tak terkunci. Dijentikkannya jari tengah dan telunjuk, cahaya seketika menerangi ruangan dari lampu dalam bejana kaca di luar. Ruangan itu sunyi. Tanpa penghuni. Tak ada jejak kehidupan di sana, seperti telah lama ditinggalkan pemiliknya. Ia berjalan berkeliling tanpa sadar, lalu tersandung sesuatu.
Milind mengambilnya.
Boneka jerami, dalam baju dedaunan. Senyum di wajahnya mengembang samar.
"Apakah nyawa Nistalit itu begitu berharga, Milind? Lebih berharga dari Ratu Varesha?" Nisha berucap sendu, menatapnya dengan mata berkaca, usai pertemuan para panglima yang tak menghasilkan kesepakatan.
Milind tak mampu menjawab. Semua tidak sesederhana yang dibayangkan.
"Kalau Putri Calya tak berhasil mendapatkan mantra Vasuki," Nisha berujar, "aku punya keberanian cukup untuk menghadap Raja Tala."
"Tidak," Milind menggeleng. "Hamba tidak akan menyerahkan Nistalit, atau Putri Nisha ke kerajaan Vasuki. Raja Tala hanya memancing kita untuk semakin tak berkutik dengan ancaman-ancamannya."
"Bagaimana kalau janji Raja Tala ternyata benar?" Nisha bersikukuh. Milind tak sanggup memandang matanya yang memohon.
"Hamba yang akan berangkat ke Vasuki, Tuan Putri," kokoh ucapan Milind.
Alis indah Nisha naik. Milind tersenyum memandangnya.
"Hamba berjanji akan mendapatkan mantra pembuka Gerbang Ambara," Milind berkata, memotong ujung rambutnya sedikit, menyerahkannya ke dalam genggaman Nisha.
Di sinilah ia, malam ini. Dalam bilik kamar Nistalit yang pernah dilatih para hulubalang Akasha. Milind memejamkan mata, mendengar jeritan dan cetar cambuk Giriya. Seorang gadis merangkak ke arahnya, memohon pertolongan sementara ia amat marah hingga menendangnya. Ia, dengan tubuh penuh luka menyelamatkan kaumnya dari ceruk air terjun, bertarung mati-matian melawan Vasuki, berjuang memasuki Girimba. Ia, yang mencoba membawa kelompok pelarian dari Giriya menuju Gangika, dan mengulangi kehidupan budak yang sama beratnya ketika membangun Bendungan Gangika atau Gerbang Batu Giriya.
Milind menatap boneka jerami dalam pakaian daun.
Mengelusnya pelan.
Meletakkan boneka itu di jendela yang menghadap ke arah jembatan kayu dan air terjun.
❄️💫❄️