Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 145 - Prajurit Perak (7) : Teka-teki Tukang Kayu

Chapter 145 - Prajurit Perak (7) : Teka-teki Tukang Kayu

Javadiva di pagi hari, setelah badai hujan mengerikan tempo hari, cerah berseri. Siswa siswa berpakaian bebas bagai Citayam Fashion Week yang dipindahkan ke area sekolah. Silva kehilangan minat pada apapun. Apalagi setelah Sonna sering menghilang di pagi hari dan baru kembali ke kamar menjelang dini hari. Di mana pun dari belahan bumi ini, ia hanya terbuang dan tersudutkan. Sesaat, pernah kehidupan terasa lebih indah. Lebih elok dari purnama sempurna. Lebih imajinatif dari mimpi-mimpi di malam beku.

Seharusnya tidak di sini. Seharusnya tidak di tempat ini.

Apakah lebih baik melarikan diri dari Javadiva? Ke mana? Andaikan ia punya tempat berlabuh : seorang ibu atau seorang kakak. Uang bukan jawaban bagi rasa sepi yang demikian menggigit. Tak ada yang dapat dinikmati di dunia saat tak menemukan sosok yang mencintai dan dicintai. Mengapa hidupnya terasa seperti mimpi yang bercampur lelucon buruk?

Bagai robot tanpa nyawa, Silva menghabiskan hari-hari di perpustakaan. Melahap buku. Mencari jawaban atas kemalangan hidupnya sembari terus memelajari bahasa kuno yang barangkali, suatu saat akan mengubah hidupnya.

Ketika pagi itu ia melihat punggung teman-temannya berhamburan menuju bangunan Javadiva, hatinya tumpul. Segala harapan memudar, kemauan lebih lemah dari helai-helai kapuk di pohon randu. Rasi menuju Daniswara, tempatnya menemukan surga sains dan matematika. Initta dan Zaya menyukai segala yang berbau keuntungan, wajar mereka memilih gedung Darbala, tempat anak-anak menyukai pembelajaran finansial dan enterpreneur. Silva tak akan pernah menginginkan satu ruangan dengan Initta dan Zaya, walau harus mengorbankan pelajaran yang disuka. Bhumi menuju titik tertinggi demi cita-citanya sebagai animator dan komikus : ruang Dahayu.

Ke manakah Sonna dan Candina?

Sekilas terlihat gadis berjilbab yang tampak mirip Sonna. Silva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menguntit dalam jarak jauh, mendapatinya memasuki ruang Paramasastra, tempat anak-anak belajar literasi dalam segala bentuknya. Sudut paling belakang adalah tempat rahasia paling pantas bagi anak introvert sepertinya.

Kelas hampir dimulai. Beberapa pengajar yang tampak seperti mahasiswa magang didampingi seorang mentor berdiri di depan. Mereka sepakat mengenakan pakaian tradisional yang dimodifikasi

Seorang guru cantik, mengenakan baju kebaya warna merah dilengkapi rok panjang batik. Rambut legamnya disanggul sederhana. Riasan naturalnya menonjolkan kulit warna coklat yang eksotis. Setelah mengucap salam dan berkenalan singkat; guru tersebut mengingatkan daftar absensi kelas sembari memperkenalkan diri dengan nama bu Lastri. Ia menceritakan kisah hidupnya sebagai peneliti benda-benda kuno dan pecinta bahasa Jawa. Lawatannya ke Javadiva kali ini untuk mendampingi para mahasiswanya mengajar.

🔅🔆🔅

"Saya akan mulai kelas dengan sebuah teka teki," bu Lastri memberikan pancingan yang disambut sorak sorai anak-anak. "Yang berani menjawab, apalagi tepat, ada hadiahnya. Kakak-kakak Guru, tolong disiapkan hadiah."

"Hadiahnya apa, Kak?"

"Tiket nobar!"

"Gadget baru?"

"Makan-makan!"

"Libur satu semester!"

"Potongan uang pangkal!"

"Tiket konser!"

Suasana ribut, saling menimpali.

Suasana semakin ribut ketika di depan pintu, Initta dan Zaya tetiba menampakkan batang hidung, disambut teriakan kaum Adam yang berebut ingin memberikan tempat duduk. Silva menegakkan tubuh dengan tegang.

Bu Lastri, tampak memiliki cukup wibawa untuk mengarahkan Initta dan Zaya menuju bangku kosong – bangku belakang, berdekatan dengan Silva. Walau terlihat bermuka masam, Zaya menarik lengan Initta sembari mengedipkan mata. Ketua kelas memberikan isyarat dengan tangan agar kelas tenang. Lantunan suara bu Lastri mendendangkan sebuah lagu kuno, menyihir kelas.

---

Yogyanira kang para prajurit

Lamun bisa samiyo anuladha

Duk ing nguni caritane

Andelira sang Prabu

Sasrabau ing Maespati

Aran Patih Suwanda

---

Sepantasnya para prajurit

Hendaknya bisa mencontoh

Seperti cerita zaman dahulu

Kepercayaan Sang Prabu

Sasrabau di Maespati

Bernama Patih Suwondo

---

Serta merta kegaduhan berubah senyap. Ketika kelas kembali tenang, tertuju ke depan tanpa gangguan, bu Lastri melanjutkan permainannya.

Bibirnya melantunkan kisah sebagai berikut :

Ada seorang tukang kayu, menemukan kayu nangka. Ia merasa sayang mengapa kayu sebagus itu tak digunakan sebaik-baiknya. Sang tukang kayu memahatnya menjadi sebuah golek* yang sangat cantik. Ketika boneka kayu cantik sudah terbentuk, boneka itu ditinggalkannya begitu saja.

Seorang pelukis lewat, melihat betapa pucatnya si boneka. Ia lalu mewarnai rambutnya, alisnya, bibirnya, juga mewarnai giginya; hingga boneka itu pun makin cantik terlihat.

Lewatlah tukang emas yang berpikir, "Sayang sekali, boneka secantik ini tidak pakai perhiasan!" Tukang emas memberikan boneka itu gelang, cincin dan subang –sejenis anting. Tukang emas pun meninggalkannya.

Seorang nahkoda melewati jalan tersebut, lalu berkata, "Boneka ini sangat cantik, apalagi pakai perhiasan. Sayang, ia tidak berbusana!" Nahkoda pun memberikan kain dan kemben** lalu meninggalkannya.

Terakhir, seorang dewa hadir dan berkata, "Sungguh sayang! Boneka secantik ini tak bernyawa!" Ia lalu meniupkan ruh dan boneka cantik itu bernyawa. Ketika membuka mata, golek itu bertanya ,"Siapa suamiku?"

Maka, berebutlah tukang kayu, pelukis, tukang emas dan nahkoda mengaku-ngaku sebagai suami si Golek Kayu."

Bu Lastri mengakhiri ceritanya, mengedarkan pandangan pada sekeliling, menatap mata-mata takjub dan dipenuhi gairah atas kisah yang mengesankan.

"Siapa yang tahu jawabannya, sekaligus memberi alasan?"

Banyak anak angkat tangan. Bu Lastri menunjuk salah satu.

"Si tukang emas!"

Bu Lastri tersenyum. Menunjuk yang lainnya.

"Si nahkoda!"

"Si pelukis!"

"Si tukang kayu!"

"Si tukang emas, sudah pasti dong!"

"Iya tukang emas! Soalnya tukang emas ngasih hadiah paling mahal!"

Anak-anak ribut berebut memberikan pendapat, namun belum ada yang sangat sesuai dengan rumus yang disiapkan si guru cantik. Bu Lastri berkeliling kelas, menebarkan pesona yang memukau dengan kecerdasan dan teka tekinya. Ia tertarik pada wajah paling ayu yang mengangkat tangan di belakang.

"Ya?"

Initta menaikkan telunjuk tinggi-tinggi. Tersenyum manis, lalu berkata, "Ibu! Anak di sebelah saya ini ingin ngejawab tapi malu angkat tangan!"

Sontak, seluruh mata tertuju ke arah Initta, berikutnya ke arah Silva.

Bu Lastri menatap Silva, "ya?"

"Katanya, dia punya jawaban lengkap, Bu," Initta meyakinkan, mengedipkan mata ke arah Zaya yang terkikik menutup mulut.

Silva menelan ludah. Ia sama sekali tak ingin mengangkat tangan. Saat menoleh ke arah Initta, tahulah ia mengapa dua gadis itu rela berpindah dari ruang Darbala ke ruang Paramasastra. Bayangan Salaka duduk tenang di salah satu bangku bagian tengah, menjadi latar belakang keduanya.

"Ayo, nggakpapa," bu Lastri berkata lembut. "Nggakpapa kalau kamu salah."

Silva menarik napas, mengangguk, mengucap doa dalam hati.

Ia mendehem sebentar, merasakan kelenjar ludahnya mengering.

"Semua jawaban salah, Bu," bisik Silva lirih.

"Ohya?" alis bu Lastri naik.

Silva makin gugup, "eh…maksud saya…masih kurang tepat."

Initta mengucapkan 'huuu' panjang yang disambut sorakan sesaat, namun tetiba semua terhenti oleh rasa ingin tahu hingga Initta terlihat jengekel setengah mati.

"Jelaskan."

Silva menatap bu Lastri, mendapatkan kekuatan dari sorot matanya yang tenang dan menyejukkan. Sejurus kemudian ia berkata.

"Tukang kayu adalah ayahnya, pelukis adalah ibunya, tukang emas adalah tetangganya. Yang berhak mengaku sebagai suami adalah nahkoda, karena ia yang telah memberikan pakaian."

Silva masih terbata memberikan jawaban yang membuat bu Lastri terkesima.

"Jawabanmu memang tepat," puji bu Lastri. "Kamu dapat info dari mana? Menebak-nebak ataukah baca?"

Silva melirik ke arah Initta dan Zaya yang tersenyum masam.

"Saya…saya…baca sebuah buku tentang Jawa kuno di perpustakaan…"

Bu Lastri mengangguk.

"Siapa namamu?"

Silva tertegun. Alangkah sulit menyebutkan siapa dirinya pada orang lain. Sekedar menyebutkan nama pun sangat berat di mulut.

"Namanya Silva," Initta mencoba menjawab, terdengar ketus.

"Silva?" bu Lastri tersenyum. "Kamu tahu apa arti namamu?"

Silva tertegun untuk yang kedua kalinya, menggeleng kemudian.

"Saya akan beri tahukan arti nama kamu, nanti di akhir pelajaran. Dengan syarat, kamu bisa menebak teka-teki saya yang berikut."

🔅🔆🔅

__________

*Golek (bhs. Jawa) : boneka

** kemben (bhs. Jawa) : sejenis pakaian untuk perempuan, biasanya hanya menutupi area dari dada hingga perut