Inilah satu-satunya tempat lapang untuk melepas beban pikiran.
Jauh dari keramaian, tak ada Initta dan gang famous-nya. Tak ada guru yang mengintai gerak geriknya. Pun tak ada Sonna atau siapa pun yang merasa perlu berhubungan dengannya.
Di bawah kapuk randu, tempat ia pertama kali bertemu Cookies yang sekarang menghilang entah ke mana. Di sini, tak perlu memeluk lutut untuk menyembunyikan wajah yang berderai airmata. Bebaskan saja rasa untuk berteriak, mengumpat, memaki, melepaskan emosi. Mengenakan celana panjang jins dan blus lengan panjang warna hitam, ia tak perlu takut tanah akan mengotori pakaiannya. Silva menyandarkan kepala ke batang besar kapuk randu, membiarkan air mengalir melewati ujung mata. Membasahi pipi, hingga kering tertiup angin.
Beberapa kali hadir ke mari, tempat ini sepertinya sudah tak pernah dijamah lagi sejak ia dianggap salah mengambil keputusan terkait artefak perak.
Silva membuka hadiah kecil dari bu Lastri, terbungkus kertas kado. Dua batang coklat bercampur kacang mete, hadiah yang menyenangkan untuk disantap di saat seperti ini.
Satu potong, dikunyah habis. Tak terasa manisnya di langit-langit lidah, gigi langsung menggerus kacang. Potongan kedua, habis dilahap, tetap tak terasa legitnya sama sekali. Potongan ketiga. Potongan keempat.
Air mata tetap mengucur. Sekarang, bulirnya turun satu-satu. Terasa kosong ruang-ruang di dalam dada, setidaknya, sesak itu menghilang perlahan.
"Kau yakin, mau memakan semuanya sendiri?"
Silva terhenyak. Tak menyangka mendengar suara seseorang di tempatnya menyepi. Gadis itu mengusap pipinya kasar, memotong lagi batang coklat. Memasukkannya ke mulut, mengunyahnya cepat.
Terdengar seseorang melangkah mendekat, menghempaskan tubuh tak jauh dari sisinya, tepat di seberang.
Silva menunduk, mengamati potongan coklatnya yang hanya tersisa sedikit.
"Boleh kuminta?" suara itu bertanya.
Silva membungkus dua potong coklat dengan kertas sobekan yang masih menempel, mengulurkan tangan, memberikannya tanpa berkata-kata.
"Jawabanmu tentang teka-teki tukang kayu tadi mengesankan," ujar sosok di depannya. "Aku tak menyangka kau menjawab demikian."
Silva terdiam.
"Apa yang kau baca?"
Silva masih terdiam, tak ingin menjawab. Atau tak ingin menjawab, agar dunia mimpinya saat ini tak lekas menghilang? Ia menyandarkan kepala kembali, memejamkan mata. Mendengarkan desau angin. Cicit burung. Tupai melompat. Daun bergesekan. Suara samar anak-anak Javadiva beraktivitas. Denting suara dari ruang seni Nirvana. Nyanyian siswa yang terus berlatih olah suara.
Dering telepon. Ringtone bernyanyi berkali-kali.
"Silva, telponmu berbunyi," tegur suara berat dan tenang di depannya.
Sesungguhnya, tak ingin membuka mata. Enggan Silva merogoh kantung tas ranselnya.
Layar ponsel menampilkan sebuah nama, baterai ponselnya berkedip seketika. Ia bahkan tak pernah cemas harus mengisi daya atau repot-repot membawa power bank. Nyaris tak ada yang mengontaknya sekian lama, kecuali kali ini. Satu panggilan masuk langsung menguras baterainya yang tinggal limabelas persen.
Silva menggeser tombol hijau. Terdengar suara salam di seberang.
"Ya?"
"Kamu di mana?" suara Sonna terdengar penuh selidik.
Silva enggan menjawab, hanya menghela napas.
"Silva, kamu tuh di mana?" tanya Sonna terdengar cemas dan mendesak.
Sekarang, Silva justru menahan napas.
Jeda beberapa detik.
"Kamu nggak papa, Silva?" Sonna merasa khawatir akhirnya.
Silva tak ingin menjawab sebetulnya, tapi tak ingin memperpanjang masalah.
"Aku nggak papa. Kenapa?" tanya Silva getas.
"Kamu jangan gitu…aku bener-bener pingin tau kabarmu," Sonna menghela napas di seberang.
Bukankah kita setiap malam bertemu di kamar? Pikir Silva. Tak ada percakapan ketika Sonna menghilang seharian, lalu masuk kamar dengan mulut terkunci.
Hening beberapa saat. Suara baterai menjelang ajal terdengar.
"Sil," Sonna bertanya hati-hati, "apa Salaka di situ?"
Silva menatap sosok di seberangnya. Pemuda itupun tengah menatapnya.
"Ya," sahut Silva pendek.
"Katakan, aku butuh ketemu."
"Akan kusampaikan. Bateraiku mau habis," ujar Silva, menutup percakapan. Mematikan ponselnya.
Sosok itu, Salaka, hanya menggenggam coklat pemberian Silva tanpa menyantapnya.
"Sonna," Silva berkata. "Ia mau ketemu kamu."
Silva memasukkan ponsel ke dalam kantong ransel, meraih tali tas, bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana?" Salaka ikut bangkit berdiri.
"Perpus."
"Silva!"
Gadis itu menoleh ke arah sosok yang membelakangi matahari, dedaunan lebat kapuk randu menjadi payung hijau yang membuat siluetnya terlihat artistik.
"Ini," Salaka mengulurkan sesuatu, "coklatmu."
Walau situasi ini menyebabkan kecanggungan, Silva sedikit heran.
"Aku tak bisa memakannya. Aku hanya ingin kamu bisa menguasai dirimu dengan baik," ujar Salaka. "Seperti Candina."
Alis Silva naik.
"Candina gadis yang hebat. Dia banyak berjuang sendirian. Dia sangat memikirkanmu dan…," ucapan Salaka terhenti melihat raut wajah Silva.
Bahkan orang paling introvert pun punya perasaan dan emosi terpendam! Silva tetiba merasa gusar mendengar perkataan Salaka hingga ia membalikkan badan.
"Silva!"
Silva berjalan cepat.
Salaka menarik lengannya, hingga Silva terkejut dan menepiskannya dengan kasar. Apa-apaan?
"Ada banyak yang ingin kubicarakan…ya, yang ingin kami bicarakan," Salaka menarik napas pendek. "Aku, Candina dan Sonna ingin bicara denganmu!"
Silva berhadap-hadapan hingga ia terpaksa mendongak saat menatap lawan bicaranya yang tinggi.
"Malam ini," Salaka berkata, "ruang Dahayu."
Silva menggeleng. Pikiran yang letih membuat tubuhnya lunglai
"Aku nggak bisa. Aku ingin tenang, Salaka. Aku…," Silva menggigit bibir, membalikkan badan kembali. Melangkah pergi dengan cepat.
Salaka masih berusaha mengejar langkahnya. Di sisi tubuhnya, tanpa meminta Silva untuk menghadapinya, Salaka mengucapkan sesuatu sebelum mereka berpisah.
🔅🔆🔅
Candina terluka, ucap Sonna di pesan singkat.
Mereka ingin bertemu Silva dan meminta pertolongannya.
Sebuah pujian, kesempatan, atau sebenarnya sekedar pemanfaatan? Jika Candina tak terluka, maka Salaka tak akan pernah berbicara dengannya? Sonna juga akan tetap menjauhinya? Apakah ia akan menerima permintaan Salaka untuk berkumpul kembali di ruang Dahayu?
Ruang perpustakaan Javadiva yang dipenuhi buku-buku dari tahun terbit terbaru hingga yang sudah berusia lebih dari setengah abad, biasanya menjadi tempat Silva berangan-angan menjadi sesuatu yang lain. Ia pernah berkhayal menjadi seekor kucing, yang selalu didekap banyak orang. Atau juga ditendang karena tak semua orang suka makhluk berbulu, seperti Candina.
Ingatan akan Candina membuat matanya panas.
Pertemuan pertama mereka yang tak disengaja. Gadis kuno berwajah cantik dengan rambut panjang dikepang dua, yang selalu menjadi bulan-bulanan Initta dan Zaya. Candina yang selalu menguntitnya, menemaninya ke manapun, termasuk ke apartemen Casablanca. Menghadapi mamanya, menghadapi Rendra, menghadapi Najma.
"Candina terluka," Salaka sempat memberitahukannya.
Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikannya begitu saja? Walaupun gadis itu punya kepentingan terhadap dirinya, Silva dapat merasakan ketulusannya. Tak ada yang pernah menemaninya menjalani hari-hari sulit seperti Candina. Oh, Sonna pun gadis baik. Tapi Sonna masih punya Bhumi. Walau mereka yatim piatu, teman sekamarnya memiliki seorang saudara yang sangat perhatian.
Candina?
Tak seorang pun pernah menengoknya. Ia pun tak pernah ke luar dari Javadiva, menikmati kesenangan hidup seperti yang sesekali pernah dicicipi anak-anak Javadiva. Candina hidup sebatangkara di masa kini, mengemban tugas yang tak pernah diketahui kapan akan selesai. Salaka pun demikian. Mereka anak-anak sebatangkara yang memiliki beban kehidupan besar untuk dituntaskan.
Apa salahnya berkorban rasa, untuk ke sekian kali, demi sebuah kebaikan? Hidup terlalu singkat untuk diisi kedengkian dan kejahatan.
Silva menatap cincin perak di jari manisnya. Teringat seorang lelaki tua di pojok Kotagede, Yogyakarta. Matanya kabur oleh kacamata tebal, beban kerja keras sepanjang hidup membungkukkan punggungnya, kemiskinan satu-satunya karib hingga usia tua. Ia masih tetap bisa berbuat baik. Cincin perak ini yang membawanya bertemu Candina, juga…Salaka.
🔅🔆🔅