Gulungan Hitam terkutuk itu bergerak!
Setelah berdiam selama sekian lama usai menelan benteng timur laut Aswa, ia bergerak pasti dan perlahan menelan tapak demi tapak wilayah di depannya. Warna gelapnya menyesatkan pikiran dan mematikan detak keberanian seorang prajurit. Seluruh zat yang dilaluinya rusak, dunia penuh guncangan dan jejak abu penuh hawa busuk kematian.
Kecepatan gerak Gelombang Hitam tak seperti topan.
Namun laju geraknya, menimbulkan derita kecemasan yang tak terbayangkan.
❄️💫❄️
Gosha membawa berita penting bagai ancaman maut mengintai di pintu masuk.
"Gelombang Hitam mulai bergerak menuju Jaladhi," ujarnya geram. "Pintu gerbang kedua wangsa kita sepertinya mulai diintai setelah sebelumnya melemahkan wilayah timur laut Aswa. Jaladhi dan Gangika berada dalam bahaya!"
Milind berpikir keras.
"Bila Mandhakarma menelan Jaladhi dan Gangika, hutan Giriwana adalah sasaran berikutnya. Raja Vanantara berada dalam ancaman," Milind menyimpulkan.
Gosha menatap Milind. Sang Panglima Wanawa meraba hulu dua pedangnya, meremas kuat, tanda kepalanya dipenuhi berbagai rencana dan pertimbangan. Kedua matanya terpejam sejenak. Bersama mereka, hulubalang dan panglima muda berkumpul. Semua tampak tegang, terkepung hening, hingga bila sebutir biji jatuh akan menimbulkan dentuman.
"Kalau kau, apa rencanamu, Gosha?" Milind pada akhirnya bertanya.
Mereka berpandangan dalam diam, masing-masing merasakan kekhawatiran yang dalam.
"Kami mulai menyiapkan Sembrani dan Turangga," Gosha berkata pelan. Matanya menatap ke arah Jagra dan Gundha, mengangguk ke arah mereka. Mempersilakan bicara.
Milind memusatkan perhatian ke arah pandangan Gosha.
"Jagra akan memimpin Sembrani. Gundha memimpin Turangga," Gosha menambahkan.
Baik Milind maupun Gosha, tidak merasakan kebanggaan ketika mendengar pasukan khusus wangsa Pasyu Aswa akan dilepaskan. Ketika Sembrani dan Turangga dikerahkan, keadaan benar-benar di titik genting yang meresahkan.
"Panglima Milind," Jagra membuka suara, "pasukan Sembrani akan bertahan dan menyerang dari angkasa. Sementara Turangga, menyerang dari daratan."
"Kami butuh bantuan Wanawa untuk mempersiapkan jalan bagi pasukan Turangga," Gundha berkata penuh kesungguhan. "Berbeda dengan Sembrani yang dibekali sepasang sayap, kekuatan Turangga adalah menyerang dengan kecepatan dan kekuatan. Panglima Milind, Aswa tidak bersayap ketika berperang sebagai Turangga."
"Giriwana dan Girimba akan menyiapkan jalan bagi Turangga," Milind berjanji.
Gundha terlihat menunduk, mempertimbangkan sesuatu.
"Kami ingin menyerang Gelombang Hitam sebelum mencapai Giriwana," jelas Gundha. "Apakah mungkin, Gangika dan Jaladhi menyiapkan jalan bagi Turangga?"
Milind menatap ke arah Gosha. Menarik napas panjang.
"Hubungan kita cukup tegang saat ini dengan Gangika dan Jaladhi," suara Milind diliputi keresahan. "Walau, beberapa waktu yang lalu Wanawa membantu Gangika untuk mendapatkan pasokan tenaga Nistalit demi membangun Bendungan Gangika."
Gosha melipat tangannya. Berkali-kali mengepalkan genggaman.
"Bagaimana dengan Jaladhi?" tanya Gosha.
"Jaladhi belum mengangkat panglima baru setelah kematian Vurna," Milind terlihat muram.
"Panglima Milind akan memimpin pasukan sendiri untuk membantu Jaladhi, sebagai pertahanan pertama menghadapi Gelombang Hitam," Hulubalang Janur berkata cepat.
"Janur!" tegur Milind.
"Maafkan, Panglima," Janur merapatkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat yang dalam.
"Apa maksudmu?" Gosha mengerutkan kening, bertanya.
Milind terdiam. Gosha mengalihkan pandangan ke arah Janur.
"Janur?" desak Gosha.
"Panglima Milind akan membantu sepenuhnya kerajaan Jaladhi, termasuk jika dibutuhkan menjadi panglima perangnya," Janur menarik napas berat sebelum berkata.
"Kau tak harus menjawab pertanyaan Gosha," tegur Milind ke arah hulubalangnya.
"Kau sudah terlalu sibuk menjadi panglima Wanawa. Kenapa harus menjadi panglima Jaladhi? Lagipula itu bukan urusanmu, Milind," Gosha berseru pelan.
Milind terdiam, menatap tajam ke arah Janur tanpa bermaksud menyalahkan.
"Demi Langit!" Gosha tetiba menggumam. "Kau merasa bersalah atas Vurna??"
Janur mengangkat wajah, menatap Gosha tanpa suara. Seolah membenarkan.
"Kematian Vurna bukan salahmu," Gosha berkata getas. "Itu kesalahan Tala!"
"Aku yang menyebabkannya mati, Gosha!" Milind berkata penuh tekanan. "Seorang panglima Akasha yang dianugerahi hidup ribuan tahun, harus mati di hadapanku. Aku yang memaksanya melawan Tala!"
Bahkan, mengingat bagaimana tubuh Vurna terbakar dalam bola api Tala masih menyisakan rasa sakit luarbiasa di tubuh Milind. Kubah pelindung Aswa di bawah mantra Ratu Laira tak mampu mengobati. Kesaktian apa yang dimiliki Tala hingga mantra umur panjang Akasha tak lagi dapat menawar kematian?
"Biarkan Raja Jaladri mencari sendiri pengganti panglimanya. Ada banyak prajurit sehebat Vurna di Jaladhi!" Gosha berseru.
"Gosha," Milind menegur, "bisakah kita memusatkan perhatian pada rencanamu? Kita harus pikirkan Sembrani dan Turangga."
Gosha tampak gusar.
"Kau sudah mendengar rencana kami. Apa rencanamu sendiri selain mengajukan diri untuk mati demi Jaladhi?" ketus suara Gosha.
"Kami juga punya rencana," Milind tersenyum. "Tidakkah kau pikir, akan sangat hebat bila Panglima Gosha menahan Gelombang Hitam dari angkasa dan aku, Milind, menahannya di daratan?"
"Maksudmu di lautan," sela Gosha, masih gusar.
"Apa kau ingin aku menunggu saja Gelombang Hitam tiba di Giriwana?" Milind menyudutkan Gosha. "Tidakkah menurutmu lebih baik aku menyambut serangan itu di gerbang wangsa kita, tepatnya di kerajaan Jaladhi? Aku akan bersiap di sana dengan pasukan Wanawa dan pasukan Jaladhi."
"Aku tak pernah menang bila berdebat denganmu!" sungut Gosha, tanpa merasa malu di depan Jagra dan Gundha.
Milind tersenyum.
"Sepertinya, kali ini pasukan kita harus benar-benar bekerja sama. Prajurit Wanawa memang terlatih menunggang angin. Tapi bersama Turangga, kekuatan kita akan jauh lebih dahsyat," ujar Milind.
Gosha termenung, mengangguk kemudian, "aku juga berpikir demikian. Walau Turangga berada di bawah kepemimpinan Gundha, aku serahkan kendali pasukan darat berada di bawahmu, Milind. Aku akan memimpin sendiri pertahanan dan serangan di angkasa."
Milind menatap ke arah Jagra dan Gundha.
"Kalian pasti bangga memiliki panglima sepertinya," Milind berkata sembari tersenyum. "Keberanian dan semangatnya selalu menulariku."
Jagra dan Gundha mengangguk, tanda menyetujui pendapat itu.
"Atau mencelakaimu," Gosha bergumam.
Milind menggeleng.
"Panglima Milind sering berkata bahwa ia banyak berhutang budi pada Panglima Gosha dan kerajaan Aswa," Janur menyela lagi, mencoba menggugurkan rasa bersalah Gosha atas peristiwa tombak kristal yang dilepaskannya ke arah Milind di bawah pengaruh mantra Tala hal Vasuki.
Untuk kali ini, Milind tak menegurnya.
"Tentang rencanamu untuk memimpin pasukan Wanawa sebagai pertahanan Jaladhi, apakah sudah kau sampaikan pada Raja Vanantara?" Gosha bertanya.
Milind menghela napas.
"Aku akan mengirimkan utusan ke Giriwana. Selebihnya, aku akan meminta izin Putri Yami sebagai perwakilan kerajaan Wanawa di wilayah Girimba," Milind menutup perbincangan.
"Menurutku," saran Gosha, "kau harus menghadap Raja Vanantara segera. Walau keadaan saat ini sangat mendesak, meminta restu rajamu adalah hal yang mulia, Milind."
❄️💫❄️
Pasukan Wanawa bersiap.
Prajurit berpakaian hijau, dengan pedang di pinggang dan perisai di tangan. Sebagian membawa tombak sebagai senjata lempar jarak jauh yang kuat untuk membungkam musuh-musuh bertubuh besar. Sebagian membawa panah dan busur untuk menyerang lawan dari jarak jauh. Rambut-rambut panjang para prajurit, diikat satu ke belakang, dengan untaian sehelai daun yang menandakan kedudukan serta keahlian tempur. Prajurit pedang menyelipkan helai sejenis daun bambu, prajurit tombak menyelipkan helai sejenis daun trembesi dan prajurit panah menyelipkan sejenis dedaunan cemara.
Milind, mengenakan pakaian tempur dengan jubah yang dijahit Ratu Varesha, menunggang angin untuk segera sampai ke Giriwana.
"Kita bertemu di medan Mandhakarma, Gosha!" Milind berseru, melepaskan sang panglima Aswa.
Gosha, beralih rupa menjadi Pasyu Aswa dalam bentuk kuda bersayap yang perkasa, tersenyum ke arahnya.
❄️💫❄️