Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 111 - ●Langkah Nami (8)

Chapter 111 - ●Langkah Nami (8)

Alunan lembut, mengalir bersama angin.

*Malam, bulan dan bintang

Setiap yang hidup beristirahat

Kaupun demikian, jiwa yang tenang

Dalam dekapan, melepas penat*

Petikan alat musik. Senandung lirih membelai mimpi. Merdu, membawa suasana hati resah terobati. Nyeri, luka, derita, perlahan menguap lenyap.

Tidur.

Tidurlah.

Esok, hari baru menjemput.

❄️💫❄️

Tenggelam hingga ke dasar. Tak sanggup bergerak, bahkan sekedar menggerakkan kepala ataupun jemari. Napas tercekik, sesuatu menindih dadanya kuat. Membekapnya hingga sulit mengambil udara. Seseorang menariknya paksa dari kedalaman tekanan air, melemparkannya ke tepi permukaan yang dipenuhi kehijauan.

Ia menjerit. Tubuh berkeringat. Terengah-engah menarik napas dalam-dalam ke arah paru-parunya yang membutuhkan kehidupan lebih panjang.

Barulah disadari, tangan dan kaki terikat akar-akar pohon yang kuat. Jangankan melarikan diri, bergerak pun tak leluasa.

Apakah ini neraka? Bagaimana tangan kaki terbelenggu di tempat asing yang mirip penjara? Jeruji kayu liat dengan lantai dan dinding yang mustahil ditembus.

"Bagaimana keadaan mereka?" suara berat bertanya.

"Hamba pikir, sebagian besar membaik, Tuan."

"Ada yang terluka parah?"

"Hamba rasa demikian."

"Bukankah obatmu yang terkuat, Tabib?"

"Ya," terdengar suara cemas. "Tampaknya, luka mereka disebabkan racun yang sama sekali baru."

Hening.

"Kita perlu bawa berita ini ke panglima."

"Baik, Tuan."

"Prajurit!"

Suara derap langkap tegap teratur.

"Jangan kendorkan rantai Nistalit!"

"Siap!"

❄️💫❄️

Istana sederhana nan mungil menawan dibangun dengan mantra Wanawa di pucuk-pucuk pohon raksasa hutan Girimba.

Yami dan Nisha menyingkir, menjauhi Mandhakarma, sementara raja Vanantara bertahan di Giriwana. Berpisah dari ratu Varesha yang masih tertidur panjang, dirasakan sangat berat.

"Bagaimana lukamu?" Gosha bertanya.

"Aku sudah pulih," Milind tersenyum.

"Putri Yami dan Putri Nisha mengerahkan segenap kemampuan untuk menyembuhkanmu," Gosha terpekur.

"Ratu Laira pun mengorbankan dirinya," Milind menghela napas.

"Seharusnya aku yang melepaskan mantra panjang umur!" Gosha membuang pandangan, membenci diri sendiri.

"Hei, hei!" Milind memotong. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri! Kita tak tahu, kedahsyatan kekuatan Tala hingga panglima hebat sepertimu bisa dikelabuhi."

"Semua salahku, Milind," Gosha memejamkan mata sejenak, membayangkan tubuh Ratu Laira terdiam layu. Kesedihan Putri Calya dan Raja Shunka hal Aswa tak tergambarkan.

"Kau ingin menebus kesalahanmu, Gosha?"

"Apapun itu!"

"Jangan larut dalam kesedihan. Teguhlah! Gelombang Hitam Mandhakarma dan Vasuki menantimu."

Gosha menatap Milind. Mengangguk kemudian. Tugas Gosha mengantarkan Milind kembali ke Wanawa, hampir usai ditunaikan. Ia mengawal sahabatnya yang terluka parah dan mendapatkan mantra umur panjang Ratu Laira, setelah Milind disembuhkan dalam kubah pelindung Aswa.

Hulubalang Janur, menghampiri.

"Panglima! Kami sudah mengamankan Girimba. Sejauh ini, Girimba bersih dari ancaman."

"Bagus!" Milind mengucap terimakasih. "Adakah ancaman yang berat, Hulubalang?"

Janur terdiam sesaat, tampak berpikir keras.

"Hulubalang Janur?"

Janur mengangkat wajah, menatap Milind penuh hormat.

"Kami ...meringkus rombongan Nistalit, Panglima."

"Rombongan Nistalit?" Milind mengernyitkan dahi. "Di Girimba?"

Janur mengiyakan.

Gosha dan Milind berpandangan.

"Apa yang mereka lakukan di sini?" Gosha bertanya.

"Kami tidak tahu," Janur mengaku. "Sebagian terluka parah dengan racun misterius. Tapi tabib berusaha menyembuhkan mereka."

Gosha menaikkan alis, tersenyum.

"Menyembuhkan? Akasha Wanawa memang terkenal dengan kebaikan hati mereka," puji Gosha. "Kalian masih bisa berbaik hati pada Nistalit, di saat yang lain memperbudak mereka."

Janur tampak salah tingkah.

"Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, Panglima Gosha," jelas Janur. "Mengingat luka-luka mereka...kami curiga ada kekuatan asing yang belum kami pahami."

"Apa yang kau temukan, Hulubalang?" tanya Milind, sembari mengangguk.

"Kami menemukan mereka dikepung...ah, bagaimana hamba menggambarkannya? Seperti Nistalit, beringas, tapi memiliki kekuatan Akasha dan Pasyu. Mereka bercakar seperti Vasuki," Janur menjelaskan.

"Nistalit bercakar," gumam Milind, merenung. "Seperti Nistalit, tapi juga Vasuki?"

Janur ingin menjelaskan.

Belum sempat bibirnya membuka, beberapa prajurit Akasha Wanawa menghadap.

"Tuan Panglima! Telah hadir utusan Akasha Giriya dan Pasyu Vasuki."

Milind memandang Gosha dan Janur bergantian. Akasha Wanawa belum mengumumkan secara resmi perpindahan istana, namun utusan Akasha Giriya dan Pasyu Vasuki sudah terlebih dahulu menyambangi. Tampaknya, bukan acara ramah tamah.

Di balairung utama Wanawa Girimba, beberapa utusan Akasha Giriya dan Pasyu Vasuki terlihat tegang. Milind mengenali mereka dari pakaian warna kelabu milik Giriya dan jubah hitam khas Vasuki.

Semua memberikan penghormatan yang dalam pada Milind dan Gosha. Gosha mengepalkan tangan kuat-kuat, demi melihat utusan Vasuki yang mengingatkannya pada Raja mereka, Tala. Milind menepuk pelan bahunya, memberikan rasa tenang sesaat hingga Gosha mengendurkan kemarahan.

"Kami senang menerima tamu Akasha Giriya dan Pasyu Vasuki," Milind berujar tenang. "Adakah kabar penting yang Tuan-tuan akan sampaikan?"

Setelah ucapan basa basi sebagai bentuk sopan santun, para utusan menyampaikan berita langsung.

"Tuan Panglima!" utusan Vasuki angkat bicara. "Di Girimba, tersembunyi para pembunuh Nistalit berbahaya."

Milind dan Gosha berpandangan.

"Pembunuh?" Milind mengerutkan kening.

"Salah satu Nistalit perempuan membunuh pangeran Vasuki kelima, putra Gayi. Melukai pangeran kedua dengan parah. Ia juga membunuh beberapa prajurit penting Akasha Giriya."

Gosha menarik napas.

Bagi Giriya dan Vasuki, Nistalit yang disebutkan adalah ancaman. Gosha berpikir sebaliknya. Sang panglima Aswa, menatap Milind di sampingnya. Berharap sahabatnya tak menuruti permintaan Giriya dan Vasuki hanya demi persekutuan.

"Kalau begitu, Tuan-tuan datang ke tempat yang tepat," Milind berucap tegas. "Kami akan mengadili mereka."

"Berikan mereka semua pada kami, Panglima Milind," utusan Vasuki meminta. "Ratu Gayi halla Vasuki secara langsung akan memberikan hadiah."

Milind tersenyum.

Berharap pada janji Vasuki? Mereka sudah tahu jawabannya. Vasuki kerap menyelisihi perjanjian, menikam dari belakang, memutuskan tanpa musyawarah.

"Aku berjanji akan membantu Tuan-tuan," Milind berkata. "Untuk sementara ini, kami masih menahan dan mengikat mereka."

"Mengapa repot-repot, Tuan Panglima?" utusan Giriya angkat bicara. "Serahkan saja mereka pada kami, biarkan kami membereskannya."

"Benar. Tapi mereka telah memasuki Akasha Wanawa wilayah Girimba. Kami punya hukum dan aturan sendiri," jelas Milind.

" Tuan Panglima ingin melindungi mereka?" utusan Vasuki sinis bertanya.

"Tidakkah kalian dengar ucapan Panglima Milind?" bentak Gosha lugas. "Girimba adalah wilayah Wanawa. Hormati dan hargai keputusannya!"

"Kami tak meminta nasihat dari Aswa," utusan Giriya membalas sengit.

"Tuan-tuan!" Hulubalang Janur maju menengahi. "Saya dan pasukan kami yang menangkap para Nistalit. Menjadi tanggung jawab kami untuk mengurus mereka dan menghukum mereka. Beri kami waktu!"

Setelah percakapan sengit yang belum menemukan titik temu, utusan Akasha Giriya dan Pasyu Vasuki terpaksa undur diri. Sebelum pergi, utusan Vasuki mendekati Milind. Berujar pelan ke arahnya.

"Tuan Panglima Milind, Ratu Gayi menitipkan pesan khusus bagi Tuan," bisiknya.

Milind menatap tajam ke arahnya.

"Jika Tuan Panglima memberikan para pembunuh Nistalit pada kami, Ratu akan memberikan mantra pembuka Kawah Gambiralaya dan Gerbang Ambara," ucap utusan Vasuki.

Milind berdiri kaku.

Tubuhnya tegang.

Napasnya tertahan kuat ketika melihat para utusan itu undur diri.

❄💫❄