Tenang.
Sepi.
Damai.
Tanpa suara.
Kesunyian yang menyisakan kecurigaan. Para Nistalit menghempaskan tubuh yang lelah di lantai gua yang lembab. Sebagian langsung tergeletak, tak peduli kotor dan basah. Lengket. Sebagian duduk memeluk lutut. Sebagian menyandarkan kepala ke bebatuan.
Nami dan Suta berdiri tegak. Bersisian. Mengedarkan pandangan.
"Kita akan masuk gua?" tanya Suta.
"Aku sedang berpikir," Nami menggosok hidungnya. "Apakah ada lubang di dalam yang mengarah ke Girimba atau lebih baik menyusuri tebing di seberang - seperti saat kita masuk tadi?"
"Aku tak mengenali daerah ini," gumam Suta.
"Ya, aku juga."
Nami menghadap ceruk gelap yang menyimpan misteri, membelakangi tirai air terjun. Menebak-nebak. Berhitung-hitung. Lalu segera benaknya memutuskan.
"Nistalit! Kita segera menyeberang tebing di sisi berlawanan untuk turun."
"Sekarang?"
"Biarkan kami istirahat dulu!"
"Kami masih lelah!"
"Bolehkah duduk sebentar lagi?"
Nami menghela napas pendek. Ia tahu kesulitan dan kelelahan para pelarian. Tapi terlalu lama di gua yang belum dikenal, akan berbahaya. Lebih baik menyingkir.
"Apakah tidak lebih baik beristirahat lebih lama?"
Nami terkesiap!
Suara siapa itu?
❄️💫❄️
Seorang pemuda tegap, berjubah hitam dengan sulaman berbentuk ulir dihiasi tali merah di pinggang muncul. Rambut panjangnya yang halus diikat ke belakang. Matanya berkilau dingin.
"Kalian sudah tiba di kediaman kami," ujarnya, mencoba terlihat ramah. "Bermalam saja di sini."
Darah di tubuh Nami berdesir. Seluruh permukaan kulit bagai mencium cambuk Kuncup Bunga. Dadanya bergetar.
Di sisinya, Suta tak kalah tegang dan bekeringat.
Para Nistalit yang teronggok lelah, kebingungan. Yang berbaring segera duduk, yang duduk mencoba lebih waspada.
"Nami...?"
"Persiapkan dirimu, Suta."
Mata Nami tajam mengawasi.
"Kau pemimpin mereka?" tanya pemuda berjubah hitam, menunjuk Nami dan Suta yang terlihat paling berani.
"Siapa, Tuan?" Nami mencoba menyembunyikan getar suaranya.
Pemuda itu tak menjawab. Ia menatap Nami tajam, menyeringai, memberikan isyarat kematian. Nami meraba kantong berisi beberapa senjata di pinggangnya. Gua gelap di balik tirai air terjun, menyembunyikan rahasia yang mencekik keberanian.
Satu.
Dua.
Tiga.
Muncul dari balik temaram kelam. Bila dihitung, lima pemuda tampan dengan pakaian sama berdiri berjajar di sana.
"Dupa?" bisik Nami.
"Y-y-ya..."
"Kau ingat tugasmu?"
"Y-ya..."
"Camkan baik-baik perintahku. Lakukan sekuat yang kau bisa!"
Dupa melangkah perlahan, mundur ke belakang. Merapat ke teman-temannya, mencolek punggung mereka. Memberikan isyarat terus bergerak menjauhi gua, mencoba tanpa suara.
"Hei! Kami mempersilakan kalian tinggal. Tak sopan seperti itu!" ejek pemuda yang paling ujung kanan, tampaknya yang termuda.
"Kalian akan mendapatkan perlakuan istimewa," seringai pemuda tertua. "Anggap saja, ini sambutan penghormatan dari pangeran-pangeran putra Gayi halla Vasuki."
Nami terkesiap.
Gadis itu segera mengeluarkan senjata yang dimilikinya. Sebilah kapak dan pisau, ada di kantung.
"Cepat, cepat, cepat!" Nami berbisik ke belakang, ke arah rombongannya yang mencoba menyelamatkan diri.
"Putra-putra Gayi!" teriak pemuda tertua, yang sepertinya pangeran pertama. "Habisi mereka!"
Bentakan.
Teriakan.
Jeritan.
Makian.
Heeeeaaaaarrrrgg.
Aiiiiih.
Para pangeran Vasuki jelas bukan sosok sembarangan. Terlatih dengan baik, dilengkapi senjata berbisa, sangat lentur dan gesit bergerak. Sekali bergerak, beberapa Nistalit tumbang dengan tubuh penuh luka.
Tapi tak mudah untuk melukai beberapa Nistalit. Para pekerja keras yang terbiasa melatih otot mengangkut batu dan bertahan hidup dalam kekerasan. Ditambah kapak, pisau dan tombak di tangan; beberapa pangeran harus menarik langkah dan waspada.
"Nami, hati-hati!" teriak Suta.
Nami cepat membaca keadaan. Ia melompat ke kanan, ke kiri. Beberapa kali naik ke bebatuan dinding gua yang mungkin dipijak. Pisaunya bagai tangan ketiga.
Pangeran pertama dan kelima, tampaknya mengincar Suta yang paling jangkung. Pangeran kedua memburu Nami. Pangeran ketiga dan keempat menyerang Dupa dan rombongan. Dupa, yang harus melindungi kelompoknya tampak kerepotan.
Aaaaaargh.
Uuuuuurrrgggh.
"Tolooooong!" teriak Nistalit, yang terluka dan terdorong ke luar, menembus tirai air terjun. Terdengar tubuhnya masuk ke deras pusaran air.
Tawa para pangeran Vasuki melengking menyakitkan.
"Salah siapa kalian melewati gua kediaman para putra Gayi, heh???"
Nami memusatkan perhatian pada serangan pangeran kedua, sembari melindungi Nistalit dan memerintahkan mereka terus bergerak menuju tebing di bibir gua sisi seberang.
Selamat dari pangeran kedua, dilahap pangeran ketiga dan keempat.
"Namiiiii!"
Entah itu teriakan para Nistalit, Suta ataukah Dupa.
"Lebah-lebah pohon ara, bantu kami!!!" bisik Nami.
Angin bersiut pelan.
"Kami tak bisa membantumu!" terdengar bisikan di telinga.
Nami berkeringat. Mencoba mengayunkan pisau dan menghindar dari serangan ganas pangeran kedua. Melompat. Menghindari terkaman. Batu-batu remuk oleh terjangan cakar sang pangeran.
"Penguasa Langit," batin Nami bersungguh-sungguh, "tolong kami yang tertindas. Jangan biarkan mati di sini."
"Namiiiii!"
Eaaaaarrrghhh.
Suta terdesak. Pangeran pertama mencengkram lengannya, pangeran kelima mencengkram pahanya. Wajah Suta dipenuhi kepedihan dan sakit yang mengkhawatirkan. Napasnya tersengal.
Dari pijakan dinding gua, Nami memandang ke bawah dengan nyeri.
Suta, bertahan! bisik batin Nami.
"Pemimpinmu sekarat! Haha, kau yang selanjutnya!!" bentak pangeran kedua.
Dari arah Nami berpijak, pangeran kelima memunggunginya.
Sedetik berpikir.
Sedetik keberanian.
Sedetik kesempatan.
Tangan Nami berhati-hati mengambil kapak di kantung. Gadis itu memicingkan mata, mengukur ketepatan. Dengan ayunan lengan yang terlatih membelah batu, ia lemparkan kapak menuju pangeran kelima.
Eeeeeyyyyaaaaaarrhhh.
Kiiiiiiiieeeeeeekhhh.
Teriakan melengking yang aneh meluncur ke luar. Kapak itu menancap tepat di punggung! Cengkraman di paha Suta mengendur, demikian pula pangeran kesatu melepaskan serangan. Memburu tubuh adiknya yang menjerit menahan sakit, menegang, meregang.
"Hiyaaaa!" teriak Nami mengepalkan tangan. Berseru menang.
Pertarungan terjeda.
"Kau lihat??" teriak Nami, seolah tumbuh keberanian bagai pohon-pohon raksasa di dadanya. "Kapak itu kami lumuri dengan racun Kuncup Bunga!!"
Tubuh tegap tampan pangeran kelima layu. Lumpuh. Lunglai. Bagai ranting kering yang dihajar kemarau berkepanjangan. Pipinya mendadak tirus, bola mata cekung yang mengisyaratkan usia telah tersedot habis oleh maut.
"Tidak! Jangannnn!!" teriak pangeran pertama.
Pangeran kedua menatap Nami beringas.
"Keparaaaaat! Kau akan mati mengenaskan, Nistalit Budak!!"
Nami tertawa lirih.
Kematian dan kehidupan baginya sama. Lalu apa bedanya, dengan berani mengambil langkah kematian diimbangi perlawanan telak?
"Aku mungkin mati di tanganmu, Vasuki," bisik Nami, "tapi kaupun akan hidup menderita sesudah ini. Kau tak tahu, racun-racun apa saja yang kami oleskan di senjata-senjata ini!"
Kemarahan membuat pangeran kedua membabi buta. Keberanian membuat tenaga dan kekuatan Nami berlipat dari semula. Lincah gadis itu melayani serangan, walau sesekali pula, goresan cakar melukai bagian tubuh.
Pertarungan berlangsung kembali. Serangan, pertahanan, kematian, kemurkaan.
Aiiiiiih.
Nami berteriak.
Cakar Vasuki menancap ke lengan. Sakitnya membuat mata berkunang dan kepala pening. Diikuti nyeri yang terasa hingga ke ulu hati.
"Nikmat bukan, Nistalit???" bisik puas pangeran kedua.
Nami terdorong ke belakang.
Kalau tak ada bebatuan dinding gua ia pasti tumbang. Darah mengucur. Keringat menetes.
"Kutambahkan racunnya, jadi kau bisa mati lebih cepat," pangeran kedua menyeringai bahagia.
Tubuh Nami lunglai, merosot ke bawah.
"Kubantu kau mati lebih cepat," ujar pangeran kedua, meletakkan lengannya ke leher Nami, menekannya kuat. Mencekik.
Kehabisan napas.
Berkunang.
Kelelahan.
Tak mampu berpikir.
Satu-satunya gerakan terakhir yang mungkin dilakukan adalah mengayunkan kaki ke arah punggung lawan.
Kiiiieeeeeerrrrhhh.
Pangeran kedua melepaskan cengkraman. Berdiri terhuyung memegang pinggang. Nami terbatuk-batuk,mencari sedikit udara segar.
"Kau...??"
Beberapa batu bergerigi diselipkan di tali pengikat alas kaki. Racun lebah ara teroles di sana. Walau tak sehebat kapak, dua butir menancap di punggung, lumayan memberikan dampak.
"Kembaliiii!" terdengar teriakan. "Kita harus selamat pangeran kelima!"
Pangeran kedua menatap Nami penuh kebencian.
"Kita belum selesai Nistalit," ucapnya penuh dendam.
Kaki Nami gemetar.
"Walaupun, kau tak akan selamat ke luar dari sini," tawa pangeran kedua.
Mereka lenyap segera ke balik gua.
Meninggalkan tubuh-tubuh bergelimpangan. Mati. Meregang nyawa. Terluka parah. Sebagian masih mencoba meraih tebing, yang tergelincir akan jatuh menabrak tirai air terjun.
Suta merayap mendekati Nami. Tubuh mereka terluka.
"Dupa...?" tanya Nami.
"Dia...dia masih bisa merangkak...ke...luar."
"Bagus..."
"Nami?"
"Aku...kubantu kau sampai tebing seberang..."
"Tak mungkin! Kita berdua terluka parah..."
"Salah satu dari kita harus selamat, Suta!"
Suta terengah. Wajahnya pucat.
"Aku akan membantumu, Nami!"
Nami menggeleng cepat, "percuma, Suta...racun di tubuhku jajh lebih dahsyat dari racun ...yang lain..."
"Diamlah, Nami!"
"Sssh...ayo bergerak..."
Saling bertopang, saling berpegangan, mereka menangkak pelan. Susah payah, tiba di dekat celah tebing seberang.
"Suta, kau turunlah."
"Aku akan membopongmu..."
"Kau gila? Berdiri saja kau sulit!"
"Jalma berpesan padaku..."
"Hhhsssh, dengarkan!" bentak Nami terengah. "Dengarkan aku! Kau harus bantu para Nistalit melewati Girimba."
Suta tercekat. Terdiam.
"Obati lukamu dengan daun dewa dan lendir siput," Nami berpesan.
"Kau...bagaimana?"
"Tinggalkan aku. Aku baik-baik saja."
Suta memejamkan mata. Air menetes.
"Lukamu...," Nami berujar, sembari menyobek kain lengannya, "kuikat dulu."
Susah payah, Nami membebat luka Suta.
Suta menatap Nami.
Mengelus kepalanya.
"Lukamu, Nami..."
Nami tertawa.
Mengedipkan mata.
Ada kebahagiaan dan kepedihan menyaksikan Suta merangkak perlahan. Di celah gua, di tebing seberang, Suta berhenti. Membalikkan tubuh, menatap Nami.
Gadis itu melambaikan tangan ke arahnya, menyuruh bergegas.
❄️💫❄️