"Sil, kamu tuh gak bisa ikut Mbak terus!" Najma berusaha lembut dan tegas.
"Aku harus, Mbak."
"Mbak berterimakasih banget sama bantuan keuanganmu. Mbak janji akan kembalikan, insyaallah. Mbak gak mau kamu kena marah mama kamu karena uangmu tetiba habis."
Silva menggeleng, "bukan itu masalahnya. Pokoknya aku ikut."
Najma menarik napas.
Ia dengar semua masa lalu Silva dari ibunya, mantan koki keluarga Cahyadiningrat. Najma bersimpati pada Silva sejak pertama kali bertemu, tapi ini bukan saat yang tepat untuk berbaik hati. Hidupnya sendiri sedang kacau dan sibuk.
"Kamu mau ngapain ikut Mbak? Kamu kan harus sekolah? Mbak gak bisa ngantar jemput kamu. Gak bisa jagain kamu sepanjang hari."
Silva sendiri bingung. Sekolahnya?
"Mama kamu. Abang kamu. Semua bisa ngamuk kalau tau kamu gak sekolah...lagi."
Ngamuk?
Biasa.
Dipukul?
Udah gak terasa. Kekerasan udah jadi makanan sehari-hari sejak aku kecil, pikir Silva.
"Nanti kalau situasi udah agak tenang, Mbak kontak kamu deh. Atau kalau kamu mau dijemput, aku usahain."
Silva memandang Najma lekat. Haru. Itu sebabnya aku mau lindungi kamu, Mbak! Teriak benak Silva.
Tapi gimana ngomongnya? Batin Silva bingung sendiri.
Tak ada yang bisa dilakukan dalam kondisi terdesak kecuali berbohong. Atau jujur dan berterus terang, sekalipun penjelasan yang disampaikan terlalu absurd bin ajaib.
Silva berpikir, Najma tentu akrab dengan 'magical world' sejak ia berkubang dengan naskah kuno, candi, altar pemujaan, pemakaman tua dan artefak.
Tapi tidak.
Najma menolak.
Silva tak diterima kali ini.
๐ ๐๐
Tak ingin kembali ke Javadiva.
Tak mungkin bisa berbuat sesuatu bila di sana. Apa yang harus dilakukannya? Bahkan malam ini tak tahu harus menginap di mana atau melarikan diri ke mana
Berpikir, Silva. Berpikir! Gadis itu menggosok-gosokkan kedua belah tangan hingga tercipta permukaan hangat di telapak. Ia mengatupkan keduanya, meletakkan di depan mulut. Menempel.
Perak.
Keris Salaka.
Jam bandul Candina.
Lemari jam di rumah bu Tina.
Cermin antik Najma.
Cermin di apartemen.
Casablanca?
Tanpa berpikir dua kali, Silva mengontak asisten bu Candra. Setelah alasan yang dicari-cari, dua jam kemudian Silva telah meluncur dengan aman menuju apartemen mewah di pinggiran kota.
๐ ๐๐
"Mama nginap di sini, Mbak?"
"Nggak. Kamu aman di sini, Dek," Vira tersenyum manis.
"Maafin aku tempo hari bikin Mbak kesel dan repot, ya," tulus Silva berkata.
"Just...don't mention it," Vira angkat bahu ringan. "Kata bu Candra kamu bebas ngelakuin apapun di apartemennya. Kamu masih pegang uang kan?"
Silva mengangguk. Ia tak berbohong.
Malam hari, Silva kembali mengulang-ulang memelajari berbagai bahasa kuno yang telah diajarkan Salaka, Candina dan Najma. Membacanya. Menuliskannya. Mengucapkannya. Mencoba menuliskan namanya sendiri menggunakan huruf-huruf kuno.
Sebagaimana ia suka menuliskan nama lengkapnya menggunakan hangeul, hiragana dan katakana.
Silva. Silpa? Silba? Atau sireuppa sireuba seperti hangeul?
Memelajari bahasa kuno Nusantara seasyik memelajari bahasa baru dari negara lain.
Ia tengah berkutat dengan bahasa bahasa kuno ketika didengarnya suara berisik di luar.
"Aku nggak perlu izin kamu meski kamu asisten mama," bentak suara lelaki.
"Tapi Pak, ini asset bu Candra. Bapak gak boleh seenaknya ke sini!"
"Ya Tuhan! Asset bu Candra? Dia itu mamaku, Vir! Aku anaknya!"
Hening.
Silva turun dari kasur.
Berjingkat. Menempelkan telinga ke pintu.
"Lagian aku cuma pingin nginap semalam di sini," ketus suara si lelaki.
"Saya pesankan hotel royal suite segera," tegas suara si perempuan. "Supaya Bapak lebih nyaman."
Terdengar tawa tertahan.
"Segitunya kamu belain mama aku, ha? Emang ada yang disembunyikan di Casablanca ini? Lelaki lain lagi?"
"Pak! Bu Candra nggak seburuk itu!"
"Kamu gak tau mamaku. Kalau mama gak sebrengsek itu, dia gak bakal punya anak jahannam kayak Silva!"
Silva gemetar.
Jemarinya tremor. Kata-kata itu berulangkali didengar. Anak haram. Anak jahannam. Anak brengsek. Anak sial. Tetap saja, walau sudah makin kebal mendengarnya, sesekali hatinya diguncang gempa kemarahan yang nyaris tak terkendali. Jari jemarinya bertaut, membentuk pola gunung atau lembah. Ia memainkan cincin di jari manis gelisah. Memindah-mindahkanya. Kuku-kuku tangannya mulai berbicara.
"Kalau gitu, biarin aku nginap di sini!"
"Nggak bisa, Pak!"
"Ya ampun, ribet banget sih kamu. SOP kerja kamu apa aja? Kamu urusin aja mama dan perusahaannya, bareng sama semua rekan bisnisnya. Aku cuma mau istirahat. Titik."
Silva mengambil ponselnya.
Mengetik beberapa pesan.
Huruf-huruf berantakan.
Terdengar pintu kamarnya digedor-gedor dari luar. Silva terlonjak hingga ponselnya terlempar. Untung lantai kamar diselimuti karpet tebal.
Jedarrrrrr.
Jedorrrrrr.
Brrrrrrak.
"O, dikunci?" ejek si lelaki. "Mana kuncinya, Vit? Ada orang di dalam sini, pasti!"
"Kalau Bapak gak ke luar, saya panggil security!"
"He! Kamu yang di dalam. Ke luar kalau kamu berani!" si lelaki memanggil, seolah bicara dengan Silva.
"Pak! Cukup! Bapak keterlaluan!"
"Diam! Kubilang diam : DIAM!"
Pintu itu diguncang. Dihantam. Digedor.
Suara bentakan. Makian. Teriakan.
Lalu suara kunci terdengar.
Daun pintu perlahan terbuka.
Satu tendangan membuat lapisannya nyaris rontok.
Seorang lelaki muda dengan wajah merah padam berdiri penuh amarah. Kemeja bajunya tergulung hingga siku. Wajah tampannya terlihat bengis dan dingin. Raut muka yang sudah sangat dikenal Silva. Lelaki muda itu tak menemukan apa yang dituduhkannya. Tapi yang ditemukan di sana pun tak mengurangi kemarahannya. Ia bersiap menumpahkan emosi saat melihat gadis kurus di hadapannya gemetar ketakutan dan kepanikan.
Telepon Silva berdering.
Jemari basah Silva berkeringat , hingga tombol hijau berkali gagal dibuka.
"M-m-mbak..."
"Buka videonya, Silva. Biar Mbak yang ngomong!"
Silva mencoba memencet tombol ganti video, dari posisi 'call'. Rasanya sulit sekali melakukan hal sesepele itu.
Wajah Silva dipenuhi keringat dan airmata.
"Kamu gakpapa kan?" tanya suara di seberang.
"N-n-nggak..."
"Kasihkan hapemu sama Pak Rendra!" perintah suara itu.
Gemetar hebat, Silva mengulurkan ponselnya ke arah lelaki muda yang tampak mencoba menguasai diri. Hampir saja ponsel itu terjatuh saat jemari Silva nyaris menyentuh ujung jari Rendra. Ia menjerit lirih, seolah menyentuh kabel listrik tegangan tinggi.
"Pak Rendra! Ini Najma!"
Rendra menatap Silva dengan kemarahan terpendam.
Jadi adiknya berurusan dengan Najma? Dua gadis yang sama-sama kacaunya!
"Kalau Bapak sampai ngapa-ngapain Silva, saya gak akan bantu sama sekali ngurusin artefak-artefak di lokasi resor. Paham?"
๐ ๐๐