Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 101 - Perebutan Perak (4)

Chapter 101 - Perebutan Perak (4)

Apa yang membuatmu merasa kalau hidupmu dipenuhi kejutan, hadiah, keajaiban dan sekaligus ancaman serta penindasan?

Silva tak pernah merasa kehidupan berjalan lurus, linear, sesuai abjad atau deret hitung angka. Kadang hidupnya ada di angka 7, lalu mendadak -5. Sesekali di angka 6 lalu meluncur -12. Seperti kelipatan, tapi berkebalikan. Pernahkah di angka 10? Sepertinya tidak. Sebab bila berada di angka tersebut, bisa dipastikan hidupnya sebentar lagi ada di angka unlimited buruknya.

🔅🔆🔅

Apakah satu mobil bersama Rendra dan Najma adalah keajaiban? Boleh jadi.

Atau masa akhir dunia, itu yang dikhawatirkan. Pagi itu mereka bertiga tampak tenang dan bersahabat berada dalam satu mobil, menuju ke titik lokasi. Ketenangan yang sebetulnya semu sebab hanya Najma yang tampaknya mencoba santai.

"Kita antarkan Silva ke Javadiva dulu," Najma berkata tegas. "Lalu ke tempat penggalian."

Rendra hanya diam. Antara menyetujui atau sebaliknya. Namun ia terlihat mencoba waras di balik kemudi. Najma tak berada di sebelahnya, lebih memilih di belakang bersama Silva.

Aku seperti supir pribadi, pikir Rendra jengkel.

Najma menggenggam tangan Silva yang sedingin frozen food yang baru saja dikeluarkan dari lemari pendingin. Ia memberi isyarat agar Silva tenang. Gadis itu memainkan kuku-kuku, menancapkan ke telapak tangan. Lembut Najma mengalihkan perbuatan Silva yang merusak diri. Sekarang, ia bermain dengan cincin di jari manis.

Itu lebih baik, pikir Najma.

"Aku harus sama Mbak Najma," Silva berbisik, di dekat telinga Najma.

Najma menggeleng tegas.

"Harus, Mbak!" Silva mendesak, penuh kebingungan dan panik. Bayangan Ragil, Vlad dan Cristoph berkecamuk di benak silih berganti.

"Aku bisa jaga diri, Silva."

"Gak bisa," Silva menggeleng cepat. Najma tak tahu seperti apa dua pangeran Eropa yang pernah menyerang mereka di ruang bawah tanah Dahayu.

"Trus, kamu bisa jagain aku?" bisik Najma geli.

Silva mengepalkan tangan kanan, tanda kuat dan perkasa.

Najma mengusak rambut Silva, "sama abangmu aja kamu nggak berani. Kenapa sih?"

Rahang Silva menegang.

Rendra mengamati kedua gadis di belakangnya lewat kaca mobil.

"Aku dengar kalian bicara apa," ketus suara Rendra.

"You're not invited to join," Najma bersenandung, mengejek.

Rendra medengus. Najma memang bisa menyebalkan hingga ia langsung kebelet ke kamar mandi tiap kali harus bersitegang dengannya. Ia mencari tempat pemberhentian, syukurlah, sebuah toko berlabel 'mart' ditemukan. Sembari berlagak membeli air minum dan coklat, ia menumpang ke kamar mandi. Waktu jeda yang dipergunakan sedikit bagi Najma dan Silva untuk bercakap penting.

"Mbak, percaya aku enggak?" tanya Silva pelan.

"Mbak percaya, Sil."

"Kita dalam situasi berbahaya," bisik Silva.

"Karena pak Rendra?"

Itu juga, pikir Silva keruh.

"Ada yang lainnya, Mbak," Silva berkata pelan. "Seperti yang pernah kuceritakan tempo hari."

Najma menatap Silva dalam. Waraskah gadis di depannya? Kadang ia terlihat sangat pintar, sangat pendiam, sangat aneh, sangat unik…sangat tak masuk akal. Apalagi, 'circle' teman-temannya pun tampak bukan seperti remaja pada umumnya.

"Silva, kamu mau lapor polisi?" Najma bertanya. "Karena hal-hal seperti ini, apalagi ada penganiayaan, harus melibatkan polisi."

Silva menaikkan alis. Oh, no! pikirnya. Polisi tak akan mengerti dan tak akan bisa memahami apa yang tengah dialaminya.

"Kalau mau lapor, aku temani," Najma menepuk punggung tangan gadis itu.

"Enggak," Silva menggeleng-gelengkan kepala cepat. "Enggak, Mbak."

"Trus? Kamu mau hadapin semua sendirian?" Najma mengerutkan kening, tak percaya.

Silva mengatupkan bibir. Ada Salaka dan Candina. Ada Sonna juga. Ohya, jangan lupakan, ada Cookies, pikir Silva mengejek dirinya sendiri.

Rendra kembali dari toko, tampak mencuci muka. Ujung rambutnya yang basah jatuh sebagian menutup dahi. Najma melihatnya sekilas dan tetiba merasakan pipinya bersemu merah. Apaan sih kamu, Naj? Rutuknya pada diri sendiri. He's is a bad boy!

Satu kresek berisi air putih, coklat dan camilan diulurkan Rendra ke belakang tanpa menoleh.

"Wah, terimakasih, Pak Rendra, " Najma berujar sopan. "Tau aja perut kami lapar. Iya gak , Sil?"

Silva menarik ujung bibir ke atas dengan gugup. Sedikit, lalu tegang lagi.

Najma menendang betis Silva pelan, sembari memberikan isyarat dengan kepala.

Mata Silva membulat. Apa maksud mbak Najma? Pikirnya.

T-e-r-i-m-a k-a-s-i-h, mulut Najma bergerak tanpa suara.

Silva mendadak pucat, menggeleng lemah.

Najma menendang betisnya lagi, sedikit lebih keras. Mobil mulai berjalan.

"Terrr..rima kasih," suara Silva parau.

"Kurang keras, Silva!" bisik Najma agak ribut.

Silva menatap gadis di depannya jengkel. Mbak Najma bisa nyebelin kayak gini, ya? Sungut batinnya.

"Terrrrima kasih…," Silva agak keras bersuara.

"Sebutin namanya, Silva!" Najma mengarahkan.

"Terrrima…terima kasih…Pak Rendra," Silva berucap pelan, kaku, sengau.

Dua detik hening.

Lalu tawa Najma meledak keras hingga tubuhnya terguncang.

🔅🔆🔅

"Ngapain ketawa?" tanya Rendra di jok depan.

"Yang manggil pak Rendra itu aku, Silva," Najma mencubit pipi Silva gemas. "Kamu ya manggilnya…apa ya…mas? Abang? Aa? Oppa? Rendra-san?"

Mulut Silva manyun. Dahinya sedikit berkeringat.

"Dia nggak pernah nganggap aku kakaknya," Rendra berujar kasar.

Silva membelalakkan mata.

"Pak Rendra aja yang duluan manggil Silva dengan sebutan 'Dek'," sahut Najma kalem.

Rendra terdiam. Silva pun demikian.

Gurauan Najma terdengar menyakitkan bagi kedua kakak adik yang dipisahkan oleh status halal- haram, pernikahan-perselingkuhan, ayah kandung-ayah lain.

Tetiba Najma merasa agak keterlaluan. Ia mengambil coklat, memotong coklat sedikit, memberikannya pada Silva. Awalnya Silva menggeleng, lalu akhirnya menyerah oleh paksaan.

Ponsel berdering.

Terdengar perbincangan.

"Ya.. ..oke....aku ke sana," pungkas Rendra.

Mereka mengambil jalan menyimpang, dari jalan semula menuju Javadiva.

"Pak, kita harus antar Silva ke sekolahnya!" Najma berseru gusar.

"Aku harus segera sampai lokasi."

"Pak!"

"Aku harus segera sampai lokasi, Najma!" Bentak Rendra keras hingga Najma terlonjak dan Silva mematung, menyudut dekat pintu mobil.

Terdengar helaan napas.

"Aku akan antar Silva balik ke Javadiva sore nanti!" Rendra berjanji.

Silva menelan ludah.

Semoga ia tak semobil sendirian dengan Rendra.

🔅🔆🔅

Areal berdebu penggalian pondasi kawasan resor yang terhenti penundaannya itu terlihat agak terbengkalai.

Alat berat masih teronggok di sana. Beberapa pekerja hilir mudik. Sebagian terlihat panik.

"Lari, Pak!" Seru seorang pekerja.

Rendra, yang terkejut dan tak mempersiapkan diri dengan baik, tertabrak-tabrak pekerja yang tampak menjauh.

"Ada apa? Kenapa lari??" Teriak Rendra.

Orang-orang tak menjawab.

"Gila!"

"Dari mana mereka?"

"Bisa mati kita!"

Najma dan Silva, yang berdiri tak jauh dari mobil, kebingungan. Keduanya memutuskan mencari tahu.

"Lari, Mbak! Bahaya!" Teriak orang-orang yang bergerak berlawanan arah dengab mereka.

Najma mencengkram lengan Silva.

"Jangan mendekat ke sana!"

Silva menoleh ke kanan ke kiri, tak mengerti.

"Emang ada apa sih?" Najma menghadang seorang pekerja uang tampak ketakutan.

"Orang gila ngamuk!" Serunya.

"Orang gila siapa?" Najma tak mengerti.

"Wong Londho*, Mbak!" Teriak si pekerja sambil berusaha menyeret Najma menjauh.

Najma menepis tangan si lelaki yang menatapnya dengan pandangan : sebodo amat lah!

"Kenapa?" Silva terkurung rasa ingin tahu dan khawatir.

Najma angkat bahu, "katanya ada bule ngamuk!"

Tubuh Silva menegang.

Darah seolah mengalir berbalik arah.

Kepala pusing, telinga berdenging.

Apakah dua orang yang menyerang Ragil dan timnya juga berada di area ini?

"Sil?" Najma menatap Silva. "Pak Rendra?"

Silva menelan ludah.

Rendra menuju ke arah bahaya!

🔅🔆🔅

______________________

*Wong Londho (bhs. Jawa) : arti aslinya 'orang Belanda' tapi kemudian mengacu khusus pada orang bule