Wajah Najma sembab.
Silva memeluknya.
Rumah sakit itu ramai pengunjung, pasien dan paramedis yang sibuk lalu lalang. Ragil masih di ruang ICU yang mengharuskannya istirahat tanpa gangguan. Najma menunggu di luar ruangan saat Silva bersama dua temannya berkunjung. Sulit sekali mendapatkan izin ke luar dari Javadiva, tapi Candina dan Salaka punya cara untuk menyelinap.
"Mbak, kami akan menjaga mas Ragil," Candina berkata.
Mata Najma terbelalak.
"Gak usah, Dek. Kalian harus sekolah, kan? Sebentar lagi orangtua mas Ragil datang."
"Tidak," ucap Candina."Izinkan kami menemani mas Ragil."
Najma menatap pemuda tampan berwajah pucat di sisi Candina.
"Ini Salaka, temanku di Javadiva. Kami belajar di ruang Janaloka," Candina menjelaskan tanpa diminta.
Silva menatap heran. Perlukah informasi itu?
Najma sepertinya tak terlalu menggubris.
"Aku harus kerja. Tugas numpuk. Apalagi mas Ragil kena musibah," Najma menjelaskan, wajahnya kusut. "Ada tugas lapangan juga."
"Aku ikut," ujar Silva.
Najma mengerutkan kening.
"Ikut? Ikut ke mana?"
"Ikut Mbak Najma."
Najma menarik napas. Terlihat mencoba bersabar.
"Aku mau kerja, Dek, bolak balik ke sana ke mari..."
"Pokoknya aku ikut ke mana Mbak Najma pergi."
Anak ini butuh obat, pikir Najma.
Aku mau melindungimu, Mbak, pikir Silva.
"Silva...bisa bicara?" Candina menggamit lengan Silva, menjauhi Salaka dan Najma.
Silva memberikan isyarat pada Najma untuk menunggu.
🔅🔆🔅
"Kamu jangan pergi-pergi jauh dari aku," pinta Candina.
"Kenapa?"
"Kekuatan Salaka melemah saat jauh dari Javadiva. Ia hanya bertahan dalam jarak sekitar tiga kilometer. Aku? Aku masih sanggup lebih jauh, tiga puluh kilometer. Tapi kekuatanku digunakan untuk menopang Salaka hingga sejauh ini."
"Kenapa Salaka gak di Javadiva aja?"
Candina membuang napas pelan, "ada hal-hal yang harus diputuskan Salaka. Dia memiliki keahlian yang aku tidak punya."
"Keris Salaka dan jam bandul perakmu," Silva bertanya, "apa itu gak cukup melindungi?"
"Kami tetap butuh bantuanmu," pinta Candina.
Silva berpikir keras.
"Kamu tau luka mas Ragil, kan?" bisik Silva. "Seperti sayatan pedang. Kupikir, pangeran-pangeran Eropa itu mengincarnya."
Candina mengangguk.
"Aku khawatir mereka mengincar mbak Najma juga," bisik Silva lagi.
Candina merenung.
"Aku tahu, kamu ingin membantu mbak Najma. Tapi jangan tinggalkan kami berdua seperti ini. Kekuatan kami tak akan sanggup melawan para pangeran Eropa itu jika mereka muncul di sini," Candina mengharap sangat.
Silva menatap Candina.
Ya.
Candina bukan gadis yang mudah merengek. Peristiwa di Dahayu membuktikan bahwa ia dan Salaka adalah ksatria tangguh yang tak mudah dipatahkan. Kalau sekarang ia meminta tolong, pasti karena kondisi terdesak. Tapi membiarkan Najma sendirian berkeliaran tanpa tahu bahaya yang mengancam, juga membahayakan.
"Kamu ngapain ikut ke rumah sakit kalau nggak bisa ngapa-ngapain, Can?" Silva sedikit kesal.
"Aku butuh tahu apa tujuan utama para pangeran Eropa itu, ingat?" Candina berujar sabar. "Kalau mereka memburu perak di luar Javadiva, kita harus menyelamatkan perak di tanah ini. Jangan biarkan lolos ke luar."
Silva mengangguk pelan pada akhirnya.
Gadis itu menggosok-gosokkan tangan, mengatupkannya di depan bibir, kebiasaannya jika berpikir keras. Satu lintasan pikiran menyala tetiba.
"Can?"
"Ya?"
"Aku ingin bicara pada Salaka."
"Silakan."
Candina menoleh ke arah Salaka, mengajaknya bergabung bicara.
"Salaka, Silva ingin bicara," Candina berkata.
Salaka mengangguk.
"Aku harus dampingi mbak Najma, Salaka," ujar Silva. "Berbahaya kalau dia dibiarkan sendiri. Tapi Candina bilang, kalian berdua sedang melemah karena jauh dari Javadiva."
"Ya," Salaka berkata pelan. "Itu betul."
"Kalau gitu kita harus minta bantuan pihak lain yang bisa bantuin kita."
Silva menatap kedua sosok di depannya bergantian, menerka-nerka kira-kira apa tanggapan mereka mendengar pendapatnya. Ia bahkan sempat menertawakan dirinya sendiri dengan kebodohan lintasan pikiran yang sering melompat-lompat tak jelas.
"Bantuan?" Salaka dan Candina mendesis, merasa tak mungkin. "Siapa, Silva?"
Silva menatap Candina dan Salaka bergantian, "Cookies."
Candina menggeleng-gelengkan kepala sembari membelalakkan mata.
Meminta pertolongan pada kucing kembang telon itu? Si manja bermata biru-hitam yang hanya tahu mengeong dan minta dilayani?
"Tidak, Silva. Tidak mungkin!" pekik Candina lirih.
Salaka tampak berpikir keras.
"Kenapa?" Silva bertanya pelan. "Salaka! Kondisi genting seperti ini kita harus bareng-bareng!"
Semakin banyak kekuatan, semakin baik. Kamu liat Cookies kan, gimana perkasanya dia? Dia bangsa kamu, Salaka, dia bisa bantu jagain kamu dan Candina di sini sampai kita benar-benar dapat informasi tentang perak yang diburu sama pangeran Eropa itu! Silva menambahkan dalam hati.
Candina masih menggelengkan kepala.
Alis tebal Salaka bertaut. Perang batin tampak di raut mukanya.
"Kulihat Cookies tidak jahat dan dia ada di pihak kita," cetus Silva.
Walau mungkin kita semua punya beberapa perbedaan pendapat tentang perak termasuk Cookies, tambah Silva dalam hati.
"Kenapa ragu, Candina?" Silva ingin tahu.
"Kita…kita belum pernah melakukannya," Candina ragu.
"Tapi kita harus coba kali ini," desak Silva.
Silva menatap Salaka memohon. Dari balik bahu Salaka, Najma tampak berdiri dan sibuk dengan ponselnya. Wajah gadis itu tegang, lelah, kusut dan tampak sedih.
"Cookies belum pernah ke luar Javadiva," Salaka berkata jujur.
"Aku akan minta Sonna untuk cari dan bawa Cookies ke mari, kalau kamu izinkan," Silva bekata.
"Hai…kalian udah ngobrolnya?" tetiba Najma muncul di sela-sela. "Mbak harus segera pergi, Silva. Gak usah khawatir, teman-teman dan orangtua mas Ragil mau datang, kok. Kalian bisa balik ke sekolah."
Silva menatap tajam ke arah Candina dan Salaka.
"Ngomong-ngomong, kalian gak usah bawa kue buat nengok mas Ragil," Najma mencoba tersenyum tipis. "Dia masih dalam perawatan intensif. Belum bisa makan apapun termasuk kue kering macam kukis. Sorry aku tadi nguping dikit."
Silva mencoba menarik ujung bibir ke atas.
Najma berjalan meninggalkan mereka, menuju tempat parkir.
"Cookies akan dibawa ke mari," Silva berbisik keras ke arah Candina dan Salaka, sembari mengejar langkah Najma.
🔅🔆🔅
"Apa? Gak mau aku!"
"Son! Aku minta tolong!" Silva memohon di telepon.
"Minta tolong apa aja, tapi gak usah nyuruh bawa Cookies!" sewot suara di seberang.
"Son, plis banget. Ini penting. Dunia ada di tanganmu."
"Ogah, Sil. Lagian aku banyak tugas. Mas Bhumi juga, Rasi juga. Gak ada yang bisa ngebantu aku."
"Sonna," Silva berbisik memohon. "Kamu mau liat Candina dan Salaka celaka seperti mas Ragil? Juga aku?"
Hening di seberang.
"Aku butuh bantuan kamu banget, Son. Kamu tuh penyelamat hidup aku di mana-mana."
"Haha! Kamu punya mau, muji-muji kayak gituh!" sindir Sonna.
"No, no, no. Kamu itu seperti pohon besar yang selalu naungi aku," ujar Silva tulus. "Kita gak tau yang kita hadapi ini apa. Makanya, segala kemungkinan harus dicoba. Kamu udah tahu, Cookies itu siapa. Bawa dia ke rumah sakit ya, Son. You're the hero!"
Silva melihat Najma mengenakan jaket dan helm, bersiap meninggalkan parkiran. Ia berlari mengejar dan bersitegang ingin ikut Najma ke manapun gadis itu pergi.
🔅🔆🔅