Vurna, terdesak sepuluh pangeran yang sangat mahir menggunakan cakar.
Dua tentakelnya terluka, kuku-kuku berbisa menancap di sana. Permukaan kulit membiru hingga mengeluarkan aroma busuk yang menyengat. Lendir tubuh Vurna membantu lukanya terawat segera. Walau kemampuan pangeran-pangeran putra Gayi belum sempurna, jelas, mereka mewarisi kehebatan sang raja.
Vurna meringis kesakitan.
Mantra Samudera yang diucapkan sang panglima mengakhiri sementara perkelahian mereka. Seluruh lengan pangeran sebatas siku membeku, tak dapat digerakkan. Bersamaan teriakan Nagen yang mengagetkan semua hingga arena berdebu gerbang Vasuki yang dipenuhi amarah, tetiba tenang mereda.
❄️💫❄️
Sang raja turun ke bawah, mendekati kedua panglima, menuruni tangga dengan cepat dan gesit. Jubah hitam berkilaunya menyapu lantai. Tubuh tinggi tegapnya berjalan yakin. Alas kakinya berderap berat dan mantap.
Seluruh putranya berdiri rapi berjajar. Serentak membentuk barisan yang seolah telah ditetapkan secara baku. Pangeran-pangeran putra Gayi di sisi kiri, pangeran-pangeran putra Nagen di sisi kanan. Tala menatap satu demi satu putra-putranya yang menunduk dalam. Di ujung barisan para pangeran, Gayi dan Nagen menjadi simpul penutup.
"Ratuku yang cantik dan baik hati ini, memintaku menghentikan pertarungan," Tala berkata dingin, menatap Nagen yang berdiri dengan gemetar. Sang ratu dipenuhi rasa takut, amarah dan seribu macam kecamuk perasaan yang tak dapat diungkapkan. Ia ingin putra-putranya menjadi pangeran yang lebih dipandang dibanding putra-putra Gayi. Melihat kemahiran pertarungan Milind, siapa yang bisa meyakinkan Gayi bahwa putranya tak akan terluka?
Tala mengalihkan pandangan ke arah Vurna.
"Apa hebatnya kemampuan bertarung seorang panglima yang merapal mantra? Semua pun bisa melakukannya. Mantra hanya layak digunakan para ratu, para putri dan bangsawan perempuan!" rendah suara Tala menghina. "Jelas kau tak mampu melawan putra-putraku, Vurna!"
Milind masih menghunus pedang, walau tak tertuju para dua belas pangeran.
"Para pangeran sangat hebat dan terdidik baik, Paduka Tala hal Vasuki," Milind memuji. "Hamba dan Vurna kewalahan menghadapi mereka."
Vurna terlihat menahan napas, sekaligus menahan kemarahan yang masih memuncak.
"Jika dilanjutkan pertarungan ini, kami berdua pasti akan tumbang," Milind merendah. Kata-kata yang tentu saja tak disetujui oleh Vurna. Sang panglima Jaladhi menatap Milind dengan mata berkilat tak setuju.
Tala menantang pandangan Milind, tepat di manik mata.
"Aku kecewa melihat permainanmu," Tala berujar. "Membosankan! Panglima sepertimu seharusnya lebih berani bersikap!"
Milind mengangguk hormat.
Tala menggamit lengan pangeran tertua, putra Nagen yang terluka. Ia mencengkramnya kuat hingga sang pangeran mengaduh kesakitan. Dalam ketenangan yang membekukan, Tala mencampakkan putranya ke hadapan Milind.
"Kau boleh melakukan apapun padanya, Milind!" tegas Tala.
Nagen terbelalak menatap putra dan sang raja bergantian.
"Aku menjanjikan putra-putraku hadiah bagi yang dapat mengalahkan kalian," Tala berujar dingin. "Sebaliknya, mereka akan mendapat hukuman berat ketika kalah dari kalian! Tidak mudah menjadi pangeran. Tidak mudah pula menjadi raja. Bukankah tidak mudah pula menjadi panglima, wahai Milind dan kau, Vurna?"
Rahang Vurna mengeras. Milind mengatupkan bibir.
Pangeran tertua Nagen, tersungkur di hadapan Milind. Lengannya yang terluka belum mendapatkan penanganan semestinya. Ia hanya mengobati cabikan pedang Tanduk yang mematikan dengan menekan lukanya sekuat mungkin menggunakan jari jemari. Susah payah ia mencoba berdiri, walau hanya mampu setengah duduk demi menahan rasa sakit dan memberikan penghormatan ke arah sang ayah yang tengah murka.
"Pangeran Pertama! Anakku!" teriak Nagen halla Vasuki dengan kepanikan dan ketakberdayaan.
Nagen memburu putra pertama, mengikat lukanya menggunakan cabikan jubahnya. Wajah Nagen keruh. Kesedihan dan rasa malu membebani dirinya sangat, terlihat di gurat raut muka.
"Kau bahkan boleh menghukum ratuku Nagen, wahai Milind! " Tala menawarkan. Sang raja melepaskan sabuk hitamnya, melentingkan ke udara hingga terdengar suara berdesir bagai suara pedang diasah. Dengan satu kibasan ia menyabetkan sabuknya pada putra dan ratunya yang tengah bersimpuh.
Terdengar pekik tertahan menahan sakit.
Seluruh putra Tala semakin menundukkan wajah, dagu merapat ke dada. Gayi tak berani mengucapkan sepatah kata pun, walau ujung ekornya melihat kejadian Nagen dan putranya dengan perasaan kacau.
Vurna menatap Nagen dan putranya penuh rasa iba, namun tak berkutik untuk menolong. Milind, segera mengayunkan pedangnya kembali untuk menangkis kibasan sabuk Tala yang melayang untuk kedua kali.
Pertarungan sabuk Tala dan pedang Milind berlangsung singkat. Sang raja tak berniat seutuhnya melakukan pertempuran mati-matian menghadapi panglima Wanawa. Ketika kemarahan Tala mereda, Milind menyarungkan pedang, menyimpan keduanya di sabuk pinggang. Mantra penyembuh Wanawa ia kirimkan ke tangan pangeran Nagen tertua yang terluka oleh pedang Tanduk. Luka itu terlihat segera membaik dan rasa sakit di wajah sang pangeran perlahan mengendur.
"Raja Tala hal Vasuki," Vurna tak kuasa menahan lisan, "kau benar-benar tak punya hati! Bagaimana mungkin kau melukai Ratu Nagen dan putramu sendiri?!"
Tala melilitkan kembali sabuk hitamnya. Tali panjang warna gelap, bersisik dan liat.
"Sudah kukatakan, tak mudah menjadi Raja! Hatimu harus kuat dan ganas!" sahut Tala berdesis, "tanpa keberanian yang menyala, kau hanya akan menjadi raja tertindas!"
Nagen membawa putranya menepi.
Milind menarik napas panjang. Semoga aroma kebencian dan permusuhan dalam pertarungan ini tak bertahan lama, pikirnya.
"Paduka Yang Mulia," Milind berusaha menyampaikan maksud awal kedatangannya. "Apakah kita sudah bisa berbicara?"
Tala tak menjawab pertanyaan Milind. Ia memegang ujung jubah hitamnya, menutup seluruh tubuh hingga hanya tampak sosok serupa tiang batu menjulang, lalu bibirnya seolah mengucapkan nyanyi-nyanyian panjang. Jubahnya terbuka, terlempar ke bawah. Tubuh anggunnya dalam bentuk A-Pasyu yang menyerupai Nistalit dalam bentuk paling indah, seketika berubah.
Makhluk gilig dengan sisik gemerlap, kepala bermahkota dan ekor gada muncul. Sayapnya mengepak lebar, ia menerobos gesit melewati pilar-pilar gerbang Vasuki. Terbang bebas menuju angkasa.
"Aku akan menyusulnya," Milind berujar kepada Vurna. "Kau tetaplah di sini! Tubuhmu terluka."
"Tidak," Vurna menolak. "Jaladhi pun butuh jawaban!"
Milind tak kuasa menahan Vurna. Keduanya, menunggang kekuatan angin, mengejar Tala yang melayang di udara dengan cepat dan kuat.
❄️💫❄️
Melewati batas ruang dan waktu, Milind dan Vurna lincah mengikuti gerakan Tala yang telah mengubah diri sepenuhnya ke bentuk naga raksasa. Tala, seolah menuntun kedua panglima menuju satu titik yang tak dimengerti.
"Yang Mulia!" teriak Milind. "Paduka tak boleh mendekati kerajaan Aswa!"
Pertikaian yang disulut Vasuki sekian lama, menyebabkan wilayah kekuasaan Aswa di lapisan-lapisan awan tak boleh dilewati Vasuki dan pendukungnya tanpa izin. Begitupun sebaliknya. Peringatan Milind tak digubris.
Tawa menggelegar Tala menciptakan halilintar.
"Aku bisa bebas berkelana, Milind!" bentak Tala. "Aku selalu ingin menjelajah daerah-daerah tak terjamah dan mencari rahasia-rahasia paling tak terjabarkan. Rahasia dunia! Rahasia semesta! Rahasia langit!"
Vurna melihat Tala dengan kebencian dan kemarahan yang makin mengkristal. Jika tak mengemban tugas, ingin rasanya ia melemparkan semua kemampuan mantra Samudra dan membekukan sang naga lalu menghancurkannya hingga serpihan.
"Tuanku, Paduka Yang Mulia Tala hal Vasuki," Milind melayang di depan Tala. "Kami ingin menyampaikan maksud kedatangan kami yang sesungguhnya. Bersediakah Paduka membuka Kawah Gambiralaya dan Gerbang Ambara?"
❄️💫❄️