Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 87 - Waktu Sisa (6)

Chapter 87 - Waktu Sisa (6)

Ha Na Ca Ra Ka

Da Ta Sa Wa La

Pa Da Ja Ya Nya

Ma Ga Ba Ta Nga

🔅🔆🔅

Najma memperkenalkan pada huruf Jawa kuno, pallawa dan Kawi kuno. Bentuk halus, melengkung, dipenuhi irama dan keindahan ketika menuliskannya. Cara memahami abjad yang berbeda dengan huruf sekarang, cara mengucapkan yang tidak biasa, budaya yang melatar belakangi huruf itupun ikut dipelajari. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran ketika memelajari ulang huruf-huruf kuno yang nyaris punah dari kehidupan sehari-hari.

Terbayang kesulitan dan kesungguhan orang zaman dahulu, menuangkan gagasan dan perjanjian di atas lempeng batu. Sekarang, bahkan kita menuliskan kalimat saja enggan. Lebih suka emoticon serta kata-kata singkatan.

Mereka belajar di kamar Najma yang mungil. Bu Tina bolak balik mengantarkan makanan kecil : pisang goreng, tahu isi, bakwan jagung. Silva cepat belajar saat Sonna terkantuk-kantuk mendengarkan dan bolak balik berkata, "Kapan pulang?"

"Kamu keren, Sil," sanjung Najma. "Cepet banget belajar."

"Dia bisa menguasai huruf Hangeul cuma sehari, Mbak," Sonna menambahkan. "Hiragana sama katakana juga cepet."

"Ckckck."

"Silva emang pinter," Sonna tulus memuji.

"Kamu bisa kuliah di mana aja kalau pinter kayak gini," Najma melanjutkan.

Silva tersenyum datar.

Kuliah? Ia belum memikirkan.

"Kapan aku bisa menguasai bahasa kuno?" tanya Silva ingin tahu.

"Pertama, kamu kuasai dulu tulisannya. Pengucapannya. Nanti pelan-pelan belajar."

"Aku belum hafal semua, sih," ujar Silva. "Perlu bolak balik liat catatan."

"Emang seharusnya begitu. Kamu juga gitu kan pas memelajari Hangeul?" ujar Najma, mengedipkan mata.

Cewek-cewek sekarang banyak yang belajar bahasa Korea karena gandrung dengan idol dan drakor.

Silva tetiba menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Candina mana?"

Najma juga memutar kepala.

Jangan-jangan ia…

Silva dan Najma seketika bangkit berdiri. Membuka pintu kamar. Mencari-cari Candina yang ternyata tengah memperhatikan beberapa benda kuno di rumah Najma. Bu Tina, senang hati memberikan penjelasan yang diperlukan. Perhatian terbesar Candina masih berkutat pada cermin dan jam lemari besar.

"Ibu…," tanya Candina. "Ibu suka bercermin?"

Pertanyaan aneh, pikir Silva.

Bu Tina tertawa.

"Cermin ini ditaruh di ruang tengah, dekat ruang tamu, biar ibu dan Najma bisa bolak balik lewat sambil ngaca, Nak."

"Kalau Ibu bercermin, Ibu melihat apa?" tanya Candina lagi.

Agak-agak kurang ajar, pikir Silva. Ia khawatir bu Tina tersinggung, tapi ternyata tidak. Bu Tina justru maju ke depan cermin, melihat dirinya dan berputar-putar. Ia menggamit Najma yang berdiri tak jauh, mereka bercermin berdua.

"Waktu Ibu muda dulu, ya kayak Najma ini. Tembem, berisi, berjerawat," bu Tina mencubit pipi Najma. "Diliat di cermin, wajah kami mirip, ya. Cuma, Ibu versi tuanya. Najma versi mudanya."

"Halah, Ibu nih!" sungut Najma. "Ibu tuh masih muda."

"Muda gimana?" bu Tina mengamati bayang dirinya di cermin. "Ibu udah mulai tua, Naj. Lihat keriput di mata, garis senyum. Leher. Rambut putih. Ibu juga mulai gampang tambah gemuk."

"Iya iya…tapi Ibu masih cantik kok," puji Najma. "Soalnya Ibu kayak…akuuuuu!"

Najma mengangkat lengan, kedua jemari tangan menyatu di atas kepala hingga tampak bayang 'love' dari gerakan tubuhnya.

Candina tersenyum tipis.

Sonna membuka pintu kamar sembari berteriak kecil, "Mbak Najma! Ada telpon!"

"Kamu ngapain sih tanya-tanya tentang cermin," bisik Silva, saat Najma beranjak kembali ke kamar. "Aneh banget."

"Aku ingin tahu beberapa hal, Silva," tegas Candina.

Candina menguntit bu Tina ke dapur, yang tengah membereskan perkakas masakan.

"Ibu…apa Ibu pernah bercermin di kaca yang lain?" tanya gadis itu.

Bu Tina mengernyitkan dahi.

"Ya…pernah," sahut beliau. "Di kamar Ibu ada lemari yang ada kacanya. Trus di kamar mandi juga ada kacanya."

"Apa …bayangannya sama?" Candina terus mengejar, ingin tahu.

Bu Tina menatapnya heran.

"Ya…sama, Nak. Gak ada bedanya. Kan Ibu yang ngaca. Jadi ya…yang kayak gitu tadi. Agak gendut, rambut mulai putih, keriput. Untungnya rambut Ibu keriting ya, jadi ubannya gak terlalu keliatan."

"Kalau…kalau di luar rumah ini, Ibu pernah bercermin?" tanya Candina lagi.

Silva mencubit lengan Candina.

Apa-apaan sih, nanya kayak gitu, sungut batin Silva.

Bu Tina terheran-heran dengan pertanyaan Candina. Tapi ia maklum. Anak muda banyak punya pertanyaan tak masuk akal!

"Ibu suka ke pasar," sahut bu Tina. "Lewat penjual gerabah dan toko alat rumah tangga. Ibu suka beli sapu, ember, atau piring di situ. Kadang ada cerminnya juga. Macam-macam bentuknya."

"Ibu pernah bercermin di situ?" Candina bertanya ulang, seolah tak peduli pertanyaannya menjengkelkan.

Bu Tina menghentikan pekerjaannya. Mulai merasa risih.

"Memangnya…kamu pingin tahu tentang apa, Nak?" tanya beliau lembut.

Candina gelagapan, Silva menginjak telapak kakinya. Makanya jangan kurang ajar!

"Saya…maafkan, Ibu. Saya sedang meneliti tentang cermin," sahut Candina lirih dan sopan, sembari mengambil tangan bu Tina dan menciumnya.. "Saya minta maaf sekali, barangkali menyinggung perasaan Ibu. Saya harap Ibu tak marah."

Hm, hati siapa yang tak luluh menghadapi sopan santun tingkat tinggi seperti itu?

"Oh…jadi kamu sedang mengadakan penelitian?" bu Tina mengangguk mengerti. "Ibu nggak tau hal-hal begitu, Nak. Ibu gak sepintar kalian. Gak sekolah tinggi kayak Najma."

Candina mengangguk.

Silva menggamitnya, mengajak kembali ke kamar.

"Nak Candina…," bu Tina memanggilnya. "Kalau bicara masalah bayangan, sih, semuanya sama aja ya. Ibu kan udah tua. Ya, gini-gini aja kalau bercermin. Tapi bayangan paling jelas itu ada di rumah ini. Kalau pas ke toko di pasar, atau pas jalan-jalan ke toko meubel , kadang Ibu suka gak percaya sama cerminnya. Di situ Ibu bisa keliatan jauh lebih muda. Wajahnya halus banget. Putih. Kadang, kalau ada cermin besar, Ibu keliatan lebih kurus dan langsing. Kata Najma : cermin itu suka nipu! Gak memperlihatkan wujud asli."

Wajah Candina tampak tegang.

Ia mengucapkan terima kasih.

Baru saja akan kembali ke kamar Najma, terdengar keributan. Suara pintu dibanting. Langkah tergesa. Kepanikan. Najma ke luar dari kamarnya dengan baju lengkap, tas, dan wajah dipenuhi airmata.

"Lho…kamu mau ke mana? Katamu, Silva mau nginap di sini. Kok malah ditinggal pergi?" tegur bu Tina.

"Bu," suara Najma tercekik. "Sebentar lagi aku dijemput pak Sugi, senior di kantor!"

"Mau ke mana malam-malam begini, Naj? Ibu gak izinkan!" bu Tina tegas melarang.

"Bu," Najma berlinang air mata. "Ragil, Bu."

Bu Tina menaikkan alis.

"Ada apa sama anak itu?"

"Ragil sama teman-teman…," suara Najma tercekat. "Mereka…"

Najma menoleh ke wajah tiga gadis di dekatnya.

"Kalian aku antar aja ke Javadiva naik mobil lapangan, bareng pak Sugi," Najma tak menjawab pertanyaan ibu, justru memberikan perintah pada tiga tamunya.

Silva dan Candina kebingungan. Sonna yang tampaknya lebih mengerti keadaan, terlihat ketakutan sembari menggigit-gigit ujung kuku. Silva menarik lengan Sonna.

"Mbak Najma kenapa? Kamu tadi dengar? Kayaknya habis terima telpon. Ada berita apa?" desak Silva

Wajah Sonna pucat pasi.

Dung. Dung. Dung.

Tong. Tong. Tong

Jam lemari besar berdentang sepuluh kali.

Mereka baru akan tiba di Javadiva lewat tengah malam. Gerbang sekolah dan asrama pasti telah dikunci. Tapi bukan itu yang paling harus dikhawatirkan! Kejadian yang didengar Sonna dari percakapan Najma di telpon, lebih menciutkan nyali.

🔅🔆🔅