Jam tujuh malam, Kirana membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, dia baru menyelesaikan urusannya tadi siang.
Hanna sudah menunggu Kirana di ruang tamu sambil membawa selembar kertas. Melihat itu, Kirana merasa ada sesuatu yang tidak enak dalam benaknya.
"Ini apa Bu?," Tanya Hanna sambil memberikan satu lembar kertas yang di pegangnya kepada Kirana.
Kirana pun menerima selembar kertas itu dari Hanna dan melihatnya. Tak lain dan tak bukan, itu adalah selembar kertas pengajuan surat perceraian Haris dengan dirinya.
"Hanna kamu dapat ini dari mana?," Tanya Kirana cemas karena dia belum siap untuk memberi tahu Hanna soal perceraiannya dengan Haris.
"Di dalam lemari kamar ibu, maaf sudah tidak sopan, tapi pointnya bukan Hanna mau minta maaf, tapi Hanna ingin bertanya kepada ibu, apa maksud dari surat itu?," Tanya Hanna tidak mengerti.
"Ini surat pengajuan perceraian yang ibu terima dari pengadilan."
"Maksud ibu, ayah menceraikan ibu?."
"Sesungguhnya ibu yang memaksa ayahmu untuk menceraikan ibu."
"Emm.... Iya, sudah pasti, seharusnya aku tidak perlu bertanya soal itu. Jadi sudah sejauh mana pengajuan perceraian ini?," Hanna pertanyaan sambil memegangi kepalanya.
"Kami sudah menyelesaikan sidang pertama, untuk tahap selanjutnya akan di lakukan Minggu depan."
"Kenapa ibu tidak memberi tahu Hanna? Hanna itu siapa sih sebenarnya di rumah ini?."
Jika Hanna tahu lebih awal, Hanna pasti akan menghibur ayahnya yang tinggal sendiri di desa karena Hanna tahu apa yang ayahnya rasakan. Padahal Haris dan Hanna sangat memperjuangkan keluarga mereka utuh kembali, namun Kirana yang enggan kembali bersama.
"Maaf Han, ibu bukan bermaksud tidak memberi tahu mu, tapi ibu mencari waktu yang tepat agar tidak mengganggu ujian akhir semester mu."
"Oke, Hanna menerima alasan ibu," Hanna terdiam dan membelakangi Kirana.
Hanna dan Kirana terdiam saat Hanna duduk di kursi sofa ruang tamu yang masih memegangi kepalanya.
Tak lama, Kirana menanyakan keadaan Hanna
"Apa kamu tidak apa-apa Han? Apa kepalamu sakit sayang?," Tanya Kirana yang melihat Hanna sedari tadi memegangi kepalanya.
Namun Hanna tidak menjawab pertanyaan Kirana, Hanna mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
Kirana duduk berlutut di bawah Hanna dan berkata.
"Apakah kamu marah dengan ibu?," Kirana menatap mata Hanan dan memegangi tangannya yang sedari tadi menutupi wajahnya.
Hanna pun menatap mata Kirana dan berkata.
"Tidak, Hanna tidak marah, ini sudah menjadi keputusan ibu, Hanan tidak memiliki hak sepenuhnya untuk mengatur hidup ibu, apalagi kebahagiaan ibu."
Mendengar perkataan Hanna, Kirana menahan tangisnya, bola matanya penuh dengan air mata yang enggan jatuh.
"Apakah kamu sudah sedewasa ini nak?," Tanya Kirana sambil memegang kedua tangan Hanna.
"Bukankah selama ini yang seperti ini yang ibu minta, Hanna pasti mengerti kan?."
Kirana pun menunduk dan menganggukkan kepalanya lalu memberitahu Hanna bahwa, setelah perceraian dengan Haris selesai, Kirana akan menikah dengan seorang direktur utama di perusahaan yang sekarang ini dia bekerja.
Kirana memberi tahu Hanna karena ini momen yang tepat untuk berterus terang dengan Hanna, Kirana tidak ingin menutupi selama mungkin agar perasaan Hanna tidak lebih hancur dari hari ini.
Mendengar itu, Hanna kaget dan berkata.
"Hanna masih tidak mengerti menjadi dewasa itu apakah seperti yang Hanna lakukan saat ini, berusaha mengerti perasaan ibu atau memberi kebebasan kepada ibu untuk melakukan apa yang ibu inginkan, Hanna masih tidak mengerti diantara keduanya," setelah berbicara seperti itu, Hanna meninggalkan Kirana yang berlutut di lantai dan segera masuk kedalam kamarnya.
Kirana yang sedari tadi menahan air mata, akhirnya menetes juga, memendamkan wajahnya ke sofa dan menangis sesenggukan.
Sampai saat ini Hanna menyalahkan ibunya yang tidak sabar menunggu ayahnya mengembalikan kondisi perekonomian mereka.
Namun yang tidak di ketahui Hanna ialah, Haris menolak ajakan Kirana untuk bertahan hidup di kota dan mencari pekerjaan untuk membayar semua hutang yang telah di pinjamnya di bank.
*****
"Lalu kita mau tinggal dimana Kir? Untuk biaya kontrakan di kota tidak murah, biaya hidup di sana juga lebih mahal," kata Haris kepada Kirana sebelum Kirana memutuskan untuk meninggalkan Haris.
"Untuk sementara kita bisa tinggal di rumah papa, mama mas, jadi kita tidak perlu memikirkan biaya kontrakan apalagi biaya hidup di sana," jawab Kirana memberi solusi yang menurutnya tepat.
Namun sebagai laki-laki, Haris malu jika orang tua Kirana harus mengetahui keadaannya sekarang.
Maka dari itu Haris membujuk Kirana untuk tetap bertahan di desa. Namun dengan berjalannya waktu, melihat dirinya selalu di tagih petugas bank setiap Minggu, maka muncullah perdebatan antara Kirana dan Haris.
Perdebatan itu awalnya saling membujuk satu sama lain agar menuruti keinginan mereka masing-masing, lama kelamaan perdebatan itu menjadi pertikaian yang berlangsung hampir satu tahun.
Pada puncak pertikaian antara Kirana dan Haris adalah berpisah, malam itu, mereka berdua meminta Hanna untuk memilih, apakah Hanna tinggal bersama Kirana di kota atau tinggal bersama Haris yang Hanna sendiri mengetahui bahwa ayahnya sedang kesulitan ekonomi di desa.
*****
Kirana berdiri dan bertanya kepada Hanna.
"Malam-malam kamu mau kemana nak?."
"Hanna mau mencari udara di luar sebentar bu," sambil berjalan keluar dan memasukkan handphonenya ke dalam saku sweaternya.
Namun Karina bersikap lebay, dia mengira bahwa Hanna akan pergi lagi dari rumah dan entah akan tidur dimana semalaman.
Kirana menarik tangan Hanna dan memohon agar Hanna tidak pergi dari rumah.
"Hanna mau ke mini market Bu," sambil melepaskan tarikan kencang Kirana yang menarik bajunya.
Mereka berdua seolah sedang berlomba tarik tambang di tujuh belas Agustus. Kegiatan tarik menarik mereka terhenti ketika Hanna memperlihatkan handphonenya dan meminta Kirana untuk melacak posisinya jika tidak pulang semalaman.
Kirana pun mempercayai perkataan Hanna dan melepas tarikan tangannya yang sedari tadi menarik baju Hanna.
.....