Adakah manusia yang mampu memperlambat waktu yang telah Allah jalankan? Tentu saja tidak akan ada. Allah menciptakan waktu yang terus berjalan dan berputar tanpa mengenal lelah. Waktu tak pernah bertanya pada setiap insan apakah mereka ingin berhenti sejenak atau memperlambat langkah dalam dentingan jarum jam.
Seperti yang saat ini Kinayya rasakan. Wanita cantik itu seakan tak punya pilihan untuk menjadi anak buah sang waktu. Andai saja ia dapat bernegosiasi dengan sang waktu, mungkin saat ini ia tidak akan duduk di pelaminan bersama seorang lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Waktu memang terus berjalan dan mengalir seperti air. Aliran waktu bagaikan busur panah yang mampu menembus Neptunus. Siapa pun tidak akan mampu mengalahkan sang waktu. Walau jerit kian membelit, sang waktu tetap akan berjalan hingga bertemu dengan waktu-waktu lainnya.
"Selamat ya atas pernikahan kalian berdua. Semoga rumah tangga kalian selalu dalam Rahmat dan Karunia Allah," ucap Anisa pada sahabatnya yaitu Kinayya.
Kinayya tersedu mendengar ucapan selamat dan doa dari sahabatnya. Semua orang mungkin mengira jika dirinya saat ini sangat bahagia atas pernikahan yang terjadi. Namun, jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Kinayya justru sedang menahan derita yang menjalar hingga ke rongga dadanya.
"Aamiin. Terima kasih doanya, Nisa. Terus doakan aku sampai benar-benar sakinah," pinta Kinayya seraya memeluk hangat sahabat baiknya itu.
Anisa mengangguk. Ia tahu jika Kinayya benar-benar berat menjalankan perintah yang tidak main-main ini. Menjadi seorang istri tentunya bukanlah hal yang mudah. Akan banyak cobaan dan rintangan yang menghadang di depan jalan.
Ghaisan sibuk dengan ponselnya. Sejak tadi, lelaki tampan itu hanya diam dan bersikap cuek pada wanita yang kini sudah menjadi istrinya. Untung saja ia meriset acara hanya sampai jam tiga sore. Jadi tidak akan lama-lama ia duduk di pelaminan dengan wanita yang sama sekali tidak ia cintai.
"Andai saja kamu tidak pergi, Syakila. Pasti bukan dia yang ada di sampingku. Tapi ... kamu." Ghaisan bermonolog di dalam hatinya.
"Apakah kamu benar-benar tidak datang, Aa Akmal? Aku tahu pernikahan ini begitu membuatmu menderita. Tapi ... tidakkah kau prihatin pada luka di hatiku yang mungkin akan sedikit terobati jika memandang wajahmu?" ucap Kinayya di dalam hati.
Sejak tadi Kinayya memang tidak melihat keberadaan Akmal. Ia sedikit resah dan gelisah. Akmal mungkin memilih tidak hadir karena tidak ingin semakin terluka atas pernikahan wanita pujaan hatinya itu. Namun, tentu saja hal itu membuat Kinayya sedikit takut. Ia sangat takut Akmal akan melakukan sesuatu yang membahayakan.
Pernikahan tanpa cinta itu telah dilakukan. Ghaisan telah sah menjadi suami untuk Kinayya. Lelaki tampan itu bahkan terlihat biasa saja dan seperti tidak bersemangat. Banyak luka yang Ghaisan maupun Kinayya rasakan.
"Acaranya sudah selesai. Kinay, habis ini langsung pulang ke kediaman Ghaisan, ya. Pak Harun sudah minta izin pada kedua orang tuamu," ucap Nyai Inayah pada sang pengantin wanita yaitu Kinayya.
Kinayya mengangguk pasrah. "Iya, Umi."
"Kinay, Umi harap kamu ikhlas menikah dengan Ghaisan. Bagaimanapun, ini semua sudah takdir dari Yang Maha Kuasa," ucap Nyai Inayah dengan hangat.
Kinayya terdiam dan menundukkan wajahnya dalam. Jika ditanya ikhlas atau tidak, jujur saja ia belum mampu mencapai keikhlasan yang haqiqi. Hatinya masih berat dan sulit untuk menerima ketentuan yang telah terjadi.
"Jika ikhlas, in syaa Allah akan diberi kebahagiaan dunia akhirat," sambung Nyai Inayah.
Kinayya menarik napasnya dalam lalu membuangnya berat. Andai saja gurunya itu tahu jika putra beliau lah lelaki yang sangat Kinayya cintai. Andai saja Nyai Inayah tahu jika putra beliau lah yang membuat Kinayya merasa berat menikah dengan Ghaisan. Sudah pasti ia tidak akan duduk di pelaminan bersama Ghaisan, melainkan duduk berdua dengan anggun dan penuh cinta bersama Akmal.
Mengingat soal Akmal, Kinayya merasa penasaran ke mana perginya lelaki tampan itu. Ia pun kini berniat untuk bertanya pada Nyai Inayah. Tidak salah bukan jika ia menanyakan orang yang tidak ada? Jika ada di hadapan mata, sudah pasti tidak akan Kinayya tanyakan.
"Umi, dari tadi Kinay tidak melihat Aa Akmal. Ke mana beliau pergi, Umi?" tanya Kinayya yang kini memberanikan dirinya. Tak peduli apa tanggapan dan pandangan Nyai Inayah terhadap dirinya.
"Akmal mendadak ada urusan di Surabaya, Neng. Beliau meminta maaf karena tidak bisa hadir di acara pernikahanmu ini," jawab Nyai Inayah tanpa berbohong.
Ya! Akmal memang berangkat ke Surabaya pagi tadi. Lelaki tampan itu sengaja mencari kesibukan di tempat lain. Kebetulan ia memiliki banyak teman di daerah Jawa. Maka tidak sulit untuknya pergi ke luar kota hanya untuk menenangkan diri atau menjauh dari derita yang ada di dekatnya.
Kinayya tampak sedikit tersentak kaget mendengar jawaban Nyai Inayah. Tentu saja ia tidak tahu jika ternyata Akmal pergi ke Surabaya. Ia sungguh tahu apa maksud lelaki tampan itu.
"Pernikahanku memang membawa derita untukmu, Aa. Jadi, wajar saja jika kamu pergi ke Surabaya," ucap Kinayya di dalam hati.
"Kinay, apakah kamu siap langsung pulang ke kediaman Ghaisan?" tanya Bu Ratna pada putrinya.
Kinayya menatap berat pada Ibunya. Lagi-lagi ia harus mengangguk pasrah dan terpaksa. Tidak mungkin ia menolak dan berkata belum siap. Mereka semua pasti akan heran dan kebingungan.
"Ya harus siap dong! Kinayya 'kan sudah menjadi istri Ghaisan," timpal Mama Hana seraya tersenyum hangat.
Kinayya menoleh dan tersenyum. Kesan pertama yang ia dapatkan saat bertemu dengan wanita paruh baya yang kini sudah menjadi mertuanya, sungguh menyenangkan dan mengagumkan. Mama Hana begitu hangat dan lembut padanya. Ia yakin jika wanita paruh baya itu akan menjadi mertua yang care dan solid padanya.
"Benar sekali. Di mana-mana juga, istri itu harus ikut dengan suami. Iya 'kan, Umi?" sambung Bu Ratna seraya menoleh pada Nyai Inayah.
"Tentu saja. Karena, istri itu ibarat makmum. Sedangkan suami itu ibarat imam. Jadi, makmum harus mengikuti imam. Sebagaimana jika kita sedang shalat berjamaah. Tidak mungkin imam yang mengikuti makmum," jawab Nyai Inayah penuh penjelasan.
Kinayya manggut-manggut tanda mengerti. Tentu saja ia sudah paham akan hal itu. Istri memang ikut suami. Namun, ia sungguh tidak tahu apakah ia akan sanggup atau tidak hidup dengan suaminya itu.
"Bu Ratna, sekarang kita sudah menjadi besan. Semoga putra putri kita bisa saling mencintai dan menyayangi, ya," ucap Mama Hana pada sang besan.
"Iya, Bu Hana. Alhamdulillah, sungguh tidak disangka sebelumnya bisa memiliki besan seperti Bu Hana. Aamiin, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah," balas Bu Ratna.
Ghaisan yang sedang duduk di tempat lain tampak menatap sinis pada Kinayya yang berbincang dengan orang tuanya. "Aku tidak akan menyentuhmu, Kinayya." Ia bicara di dalam hati.
BERSAMBUNG...