Chereads / Hikmah Cinta Kinayya / Chapter 11 - Harusnya

Chapter 11 - Harusnya

Mobil sport hitam itu masuk ke halaman rumah yang begitu besar dan mewah. Rumah itu bahkan tak pernah Kinayya lihat sebelumnya. Sebuah rumah yang sangat besar itu tak lain dan tak bukan adalah milik kedua orang tua Ghaisan. Ya! Sesuai permintaan sang mertua, begitu acara pesta di gedung selesai, ia langsung dibawa ke kediaman Ghaisan. Tak peduli pakaian dan segala kebutuhannya. Kedua orang tua Ghaisan bisa dengan mudah membelikan segala kebutuhan Kinayya.

"Maa syaa Allah, ini rumah atau istana?" gumam Kinayya yang tampak tertegun melihat rumah suaminya.

Kinayya mengedarkan pandangannya saat kakinya sudah menginjak masuk rumah besar itu. Ini adalah rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya. Mulai hari ini, mulai detik ini, ia akan mengabdi pada suami dan penghuni di rumah itu yaitu kedua orang tua Ghaisan.

"Kinayya, ayo Mama antar ke kamar. Kamu pasti lelah," ucap Mama Hana dengan hangat.

Kinayya tersenyum dan mengangguk. Ia masih sangat canggung pada mertuanya itu. Hari ini adalah pertemuan pertamanya dengan sang mertua maupun dengan Ghaisan. Kinayya tidak pernah menyangka jika ia akan menjadi bagian dari keluarga Pak Harun dan Mama Hana. Bahkan, sampai saat ini pun ia masih berharap bisa menjadi menantu sang guru yaitu Abah Salahuddin dengan Nyai Inayah.

"Ini kamar kamu dengan Ghaisan. Mulai hari ini, rumah ini akan menjadi tempat tinggalmu, Kinay. Jadi, Mama harap kamu tidak sungkan-sungkan untuk melakukan apa pun," ucap Mama Hana saat telah masuk ke dalam kamar yang sudah dihias sedemikian rupa.

"Iya, Mama. Mohon maaf jika suatu saat nanti Kinayya tidak bisa menjadi menantu yang baik untuk Mama. Kinay harap Mama senantiasa membimbing Kinay." Kinayya bicara dengan pelan namun begitu jelas.

"Kamu bicara apa, Kinayya? Baru saja hendak menjalankan rumah tangga, kenapa bicara seperti itu. Jangan pesimis, dong! Harus yakin dan semangat, ya. Ghaisan itu lelaki yang pendiam. Tapi, dia itu aslinya penyayang. Kalau sudah sayang sama orang, nyawa pun berani ia pertaruhkan. Percaya deh sama Mama." Mama Hana meletakkan kedua tangannya pada bahu Kinayya.

Tentu saja Mama Hana mengerti pada perasaan menantunya itu. Ia yakin Kinayya pasti tahu apa penyebab dirinya dinikahi oleh Ghaisan secara tiba-tiba. Tidak menutup kemungkinan bahwa Kiyai Salahuddin memberi tahu Kinayya apa yang terjadi pada Ghaisan. Ya! Ditinggalkan oleh calon istri yang tak lain adalah Syakila.

Kinayya hanya mengangguk lemah. Ia sendiri bicara seperti itu karena masih ragu dengan statusnya saat ini. Akmal masih saja bertahan di dalam hatinya. Pasti tidak akan mudah menghapus sebuah nama yang sudah bersarang dan menetap lama. Sama halnya seperti menghapus coretan pena menggunakan penghapus pensil. Itu sungguh sulit dan membutuhkan waktu yang lama.

Mama Hana meninggalkan Kinayya di dalam kamar setelah berbincang sebentar dan memberi tahu apa saja yang digunakan di kamar itu. Kini, Kinayya hanya sendiri di dalam kamar yang begitu luas dan mewah itu. Sebuah ranjang king size itu benar-benar cantik dan mewah. Kelopak bunga menghiasi ranjang yang pasti untuk sepasang pengantin baru.

Sungguh indah dan patut dibanggakan. Mungkin, jika Kinayya tidak terpaut dengan seorang lelaki yang bernama Akmal, ia akan sangat bahagia dan merayakan moment pengantinnya ini. Namun, nyatanya hatinya masih saja terasa remuk dan perih atas pernikahan yang tidak diinginkan ini.

Ghaisan, di mana laki-laki itu sekarang? Mengapa dia tidak ikut pulang ke rumah setelah acara pernikahan? Kini Kinayya mulai berpikir bahwa pernikahan tanpa cinta itu akan terasa hambar dan membosankan. Buktinya, Ghaisan pergi setelah acara di gedung itu selesai. Tidak dapat diragukan lagi jika Ghaisan begitu tidak tertarik padanya.

"Ya Allah, pantaskah aku bahagia hari ini? Tapi aku tidak bisa berdusta bahwa hatiku begitu sakit dan perih. Andai saja Engkau jodohkan hamba dengan Akmal, sudah pasti hamba akan sangat bahagia. Andai saja hamba menikah dengan Akmal, saat ini kami sudah bermanja berdua dalam balutan cinta. Namun kini, apa yang terjadi pada hamba, Ya Allah! Akmal pergi ke Surabaya dan lelaki yang menjadi suami saya pun pergi entah ke mana."

Kinayya bermonolog di dalam hatinya. Dadanya begitu sesak dan hatinya terasa nyeri. Orang lain mungkin akan sangat bahagia di hari pengantinnya. Namun, Kinayya justru menderita dan hampir putus asa.

"Apa pun yang akan terjadi nanti, aku sungguh pasrah. Statusku saat ini adalah seorang istri. Wajib bagiku bakti pada suamiku sendiri. Masalah cinta ataupun tidak, itu tidak akan aku permasalahkan. Hanya satu yang aku yakinkan, yaitu ... Allah senantiasa memberikan cinta pada setiap hambanya. Dan Allah jualah yang maha membolak-balikkan hati manusia," ucap Kinayya seraya mengusap air matanya.

Kinayya bangkit dari duduknya. Ia harus semangat dan berusaha melupakan masa lalunya. Akmal boleh saja menetap di hatinya, tapi kedudukan suaminya tidak boleh terkalahkan.

Sementara itu di tempat lain, Ghaisan duduk lesu di sofa malas tanpa bantal. Lelaki tampan itu kini sedang berada di kediaman Syakila. Alih-alih pulang bersama istrinya ke rumah, ia justru pergi ke rumah wanita yang begitu ia cintai.

"Sebaiknya kamu pulang saja sekarang, Ghaisan. Keberadaanmu di sini tidak akan bisa membuat Syakila kembali padamu. Dia sudah memilih jalannya sendiri. Ayah juga tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk Syakila agar kembali," ucap Ayah Syakila dengan lemah.

Ghaisan menggeleng cepat. Ia tidak akan pulang sebelum kedua orang tua Syakila menghubungi putri mereka. Ya! Sejak tadi nomor telepon Syakila tidak dapat dihubungi. Entah apa penyebabnya, yang jelas saat ini Syakila seperti sedang sengaja menghindar.

"Saya tidak akan pulang sebelum mendengar suara Syakila, Ayah. Syakila harus tahu bahwa hari ini hati saya begitu hancur!" Ghaisan bicara dengan suara yang begitu berat.

Ayah Syakila menunduk lesu. Ia tidak bisa menyalahkan tindakan Ghaisan saat ini. Sebagai sesama lelaki, tentunya Ayah Syakila sangat mengerti pada perasaan Ghaisan saat ini. Namun, ia sungguh tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mencoba membujuk dan mengancam Syakila sudah ia lakukan, namun hasilnya nihil. Syakila justru seperti tidak peduli pada setiap ancamannya.

"Harusnya hari ini saya menikahi putri Ayah. Harusnya hari ini saya dan Syakila menjadi pasangan pengantin baru. Harusnya hari ini kami pergi ke luar negeri untuk bulan madu. Harusnya ... argh!" Ghaisan menghempaskan tinjunya pada sofa. Rasanya begitu sesak dan ingin mengeluarkan emosi yang menumpuk di dada.

"Ayah paham, Ghaisan. Untuk itu Ayah minta maaf. Tapi, apa yang sudah terjadi, tidak akan bisa dihindari. Saat ini kamu sudah menjadi seorang suami. Jadi, Ayah rasa sudah waktunya melupakan Syakila," ucap Ayah Syakila.

BERSAMBUNG...