Seolah-olah Febi akan menghilang jika Julian mengendurkan pelukannya.
Febi merasa curiga, tapi hanya berlangsung sesaat. Detik berikutnya, dia kehilangan akal sehatnya dan tidak bisa berpikir terlalu banyak lagi.
Febi hanya bisa memeluk Julian dengan erat.
Mengetahui bahwa Febi sudah bangun, Julian membungkuk dan menciumnya dalam-dalam.
Ciuman yang lembab dan berlama-lama itu seakan menjalar masuk ke dalam hatinya. Febi merasa hangat dan manis.
...
Keesokan harinya.
Sebelum fajar, Febi telah mendengar dering telepon. Dia sedikit lelah dan tidak ingin membuka matanya.
Semalam, Julian terus mengganggunya hingga larut malam, jadi Febi hanya tidur selama beberapa jam. Setelah beberapa saat, suara telepon berhenti dan pipinya ditepuk, "Febi?"
"Hmm?" Dia membuka kelopak matanya dengan linglung
Julian menatap Febi dengan kepala tertunduk, wajahnya terlihat tak berdaya. "Sudah jam lima."
"?" Febi masih tidak bisa bangun, matanya sangat mengantuk. Julian mengingatkan, "Kamu meminta Caroline untuk memesankanmu penerbangan pada pukul 6.30 pagi. Kalau kamu tidak bangun sekarang, kamu akan terlambat."
"Ah!" Ketika mendengar kata penerbangan, Febi tiba-tiba terbangun. Dia langsung bangun dari ranjang dengan tergesa-gesa. Jika Julian tidak menghindar dengan cepat, dahi Febi akan mengenai pangkal hidung Julian yang tinggi dan tampan.
Melihat bagaimana Julian menghindar, Febi meregangkan pinggangnya sambil terbahak-bahak. Julian tidak berdaya, dia melingkarkan lengannya di pinggang Febi dan menepuk dahinya dengan tangan yang lain, "Dasar ceroboh."
Febi menggosok dahinya, lalu meletakkan pipinya di leher Julian selama satu menit dan berkata dengan lembut, "Kamu tidurlah sebentar lagi. Aku akan mandi dan pergi. Nanti, aku tidak akan memanggilmu lagi."
"Aku akan mengantarmu ke bandara."
"Jangan, ini masih terlalu pagi. Kamu tidur lagi saja. Aku akan naik taksi sendiri." Hari ini, Julian masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan sepanjang hari. Febi secara alami tidak tega melihatnya bangun sepagi ini.
"Ikuti kemauanku." Julian tidak memberikan Febi kesempatan untuk berdiskusi.
Mengetahui temperamennya, Febi tidak lagi bersikeras. Dia juga tidak berani bertele-tele lagi, dia dengan cepat mengangkat selimut dan turun dari ranjang.
...
Setelah dua jam penerbangan, Febi kembali ke kota yang familier.
Febi ingat betapa kesepian dan depresi yang dia rasakan ketika dia pergi beberapa hari yang lalu. Namun sekarang, dia berdiri di tempat yang sama dengan bahagia.
Pukul 9,30, Febi kembali ke rumah Tasya. Awalnya Febi berpikir Tasya sudah pergi bekerja. Namun, saat pintu didorong hingga terbuka sedikit, dia langsung mendengar suara pria yang marah, "Tasya, Kamu berani pergi kencan buta?"
Febi tahu masalah Tasya pergi kencan buta.
Mereka semua sama, sudah menginjak usia untuk menikah. Selain itu, Tasya memiliki seorang anak, jadi ibu dan ayahnya cemas tentang pernikahan putrinya. Setiap hari, mereka menawarkan kencan buta pada Tasya.
Sebelumnya, Tasya juga sering pergi kencan buta. Bagaimanapun juga, Delvin juga membutuhkan seorang ayah.
Namun, sejak Agustino muncul, Febi tidak pernah melihat Tasya kencan buta lagi. Febi berpikir cepat atau lambat mereka berdua akan menjadi pasangan dan mewujudkan impian Delvin.
Namun, sekarang sepertinya temannya itu jelas tidak punya rencana itu.
"Ya, aku memang pergi kencan buta. Tapi Pak Agustino, ini masalah pribadiku dan tidak ada hubungannya denganmu." Nada suara Tasya dingin dan asing. Namun ... Febi bisa dengan mudah mendengar kemarahan dalam nada suaranya.
"Aku tidak peduli apakah itu masalah pribadi atau bisnis, aku sudah bilang tidak boleh! Tasya, kalau kamu kekurangan pria, aku dapat memuaskan kamu. Kamu tidak perlu menjadi penjilat untuk menyenangkan orang-orang tua yang bercerai itu!"
Kata-kata Agustino jelas menghina.
Apa arti penjilat?
Apa arti menyenangkan?
Kesehatan ibunya Tasya tidak sehat. Dia tidak ingin menikah sekali pun, dia masih selalu harus memberi penjelasan kepada orang tua.
Kehidupan sosial saat ini dan identitas Tasya yang merupakan ibu yang belum menikah, apakah ada pria lajang yang bersedia menerima Tasya dan anaknya?
Tasya sangat marah sehingga seluruh tubuhnya gemetar, bahkan suaranya pun bergetar, "Pergi! Agustino. Keluar sekarang!"
"Tidak mungkin! Tasya, aku tidak akan membiarkan putraku memanggil lelaki tua lainnya sebagai ayah! Selain itu, kamu sangat kekurangan pria, apakah aku tidak cukup untuk memuaskanmu?"
Kata-kata Agustino jelas menusuk Tasya.
Bagaimana bisa seorang tuan muda yang kaya dari lahir tahu betapa sulitnya seorang wanita lajang yang merawat anak hidup di dunia sosial ini?
Mungkin semua orang berpikir mata yang menghina itu adalah yang paling menusuk, tapi sebenarnya jauh dari itu!
Hal yang paling menusuk adalah ketika anak menginginkan mainan, dia tidak punya cukup uang. Ketika tangan dan kaki anak itu bengkak dan bernanah karena kedinginan, dia tidak bisa memberikan pemanas.
Rasa frustrasi itu bisa menghancurkan Tasya dalam hitungan menit, dia membenci ketidakmampuannya sendiri.
Untungnya, sekarang semua hari-hari sulit telah diatasi dengan kemampuannya sendiri. Satu-satunya hal yang dia belum dia wujudkan adalah penjelasan kepada orang tuanya.
Jadi, dari awal hingga akhir, Tasya tidak pernah berpikir ada yang salah dengan kencan buta.
Semakin Tasya memikirkannya, dia semakin merasa sedih hingga matanya memerah, tapi mulutnya masih tidak mau kalah, "Ya, aku kekurangan seorang pria dan kamu tidak dapat memuaskanku! Jadi, tolong menghilang dari rumahku sekarang. Agustino, aku tidak ingin melihatmu lagi!"
"Aku tidak bisa memuaskanmu?" Agustino benar-benar kesal. Dia mencibir, lalu tubuhnya yang tinggi dan lurus mendekati Tasya.
Mata Agustino menatap Tasya dengan dingin, memancarkan aura bahaya yang kuat.
Tasya tahu dia benar-benar membuat Agustino marah, tanpa sadar dia berjalan mundur selangkah, tapi Agustino tiba-tiba mengulurkan tangan dan meraih lengannya, lalu menariknya ke dalam pelukannya.
"Lepaskan!" teriak Tasya sambil memberontak.
Agustino begitu kuat sehingga seakan bisa menghancurkan Tasya kapan saja. 'Wanita sialan! Beraninya dia mengajak putraku pergi kencan buta dengan pria lain? Benar-benar tidak tahu diri!' pikir Agustino.
Agustino bukan saja tidak melepaskannya, tapi dia malah memegang Tasya semakin erat, memaksanya dengan napas yang berat.
Bulu mata Tasya bergetar, hingga hatinya pun bergetar hebat. Semakin dekat dia dengan pria seperti itu, dia semakin takut.
Tasya bukan anak berusia tiga tahun. Dia sudah memiliki Delvin, dia tahu bahwa hidup bukanlah dongeng.
Jika dia ingin menghilangkan jarak antara dia dan Agustino, mungkin mereka harus mengambil risiko yang sangat tinggi.
Sementara Tasya ....
Tidak begitu berani!
Saat Tasya masih berpikir, dia merasa telinganya tiba-tiba dikulum. Sebelum Tasya bisa kembali ke akal sehatnya, Agustino sudah menyesap telinganya dengan kuat, hingga membuat suara yang jelas dan ambigu.
Wajah Tasya dengan cepat memerah. Tubuhnya bergetar sesaat, lalu dia berkata dengan marah, "Agustino, apa yang kamu lakukan?"
"Memakanmu!"
"Kamu ... kamu bajingan!" Tasya tidak punya pilihan selain memarahi dan mendorong lelaki mesum seperti itu.
"Bukankah kamu mengatakan aku tidak bisa memuaskanmu? Hari ini aku ingin melihat seberapa lapar dan hausmu. Seberapa sulitnya memuaskanmu!" Agustino terengah-engah. Dia mengulurkan tangannya untuk menarik baju tidur tipis di tubuh Tasya.
"Ada apa denganmu!" Tasya mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Agustino. Namun, Agustino dengan mudah menepisnya, "Untuk apa kamu berpura-pura polos sekarang? Tasya, bagian tubuhmu yang mana belum pernah aku lihat dan aku sentuh?"
Tasya tidak bisa membantah. Kejadian Tasya yang tidak bisa menahan diri sebelumnya, sekarang digunakan sebagai senjata oleh Agustino, yang menusuk langsung ke dada Tasya.
Tasya merasa terhina dan sakit.
...
Febi benar-benar tercengang.
Febi tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi seperti itu ketika dia kembali di pagi hari. Ketika dia kembali ke akal sehatnya, dia mengangkat koper di tangannya dan ingin segera melarikan diri.
Bagaimanapun juga, adegan seperti itu benar-benar tidak cocok untuk orang luar.
Selain itu, Febi masih membuka pintu. Dia tidak tahu apakah suara ledakan dari mereka berdua terdengar oleh tetangga sebelah?
Astaga! Jika ini masalahnya, Tasya mungkin akan langsung membunuhnya.
"Febi! Jangan pergi!" Saat Febi baru berbalik dan belum sempat melangkah, terdengar teriakan minta tolong di belakangnya.
"Agustino, lepaskan. Febi sudah kembali!" ucap Tasya segera seolah-olah dia telah melihat penyelamatnya.
Jika Febi memiliki ilmu tembus pandang, dia benar-benar ingin tidak terlihat dan segera melarikan diri. Namun, tentu saja dia tidak bisa melakukan itu!
Febi merasa canggung, malu dan sedikit kewalahan.
Febi menyisir rambutnya sambil berdeham ringan dan berbalik. Tiba-tiba dia melihat tatapan sangat tidak puas Agustino, dia merasakan kulit kepalanya mati rasa.
Febi berusaha keras untuk tersenyum dan berkata, "Itu ... aku baru saja turun dari pesawat. Maaf, tidak mengganggu kalian, kan?"
"Tidak!"
"Iya!"
Dua suara yang berkata dalam waktu bersamaan.
Febi bahkan lebih tidak berdaya. Dia dengan hati-hati mendorong barang bawaannya ke sudut. Merasakan pandangan Agustino, telapak tangan Febi berkeringat dingin.
Namun, dia secara alami tidak bisa menolak permintaan bantuan Tasya yang sangat jelas.
"Hmm … kalian sudah sarapan? Bagaimana kalau aku membuatkan sarapan untuk kalian?" tanya Febi sambil tersenyum dan mencoba menenangkan situasi.
Apanya sarapan? Mungkin saat ini Agustino sudah hampir murka. Karena mata Agustino begitu tajam sehingga seolah-olah ingin melempar Febi langsung ke planet lain.
"Oke, aku akan menemanimu," jawab Tasya segera dan melepaskan diri dari tangan Agustino.
Ketika Tasya melewati Agustino, dia berhenti sebentar. Terlihat sedikit perasaan rumit di wajahnya.
Tangan Tasya yang tergantung di sisinya juga mengepal, "Pak Agustino, kelak jika tidak urusan, tolong jangan muncul di sini lagi. Aku percaya kamu tidak ingin pacarmu salah paham lagi. Untuk anak ... bahkan aku bangkrut sekalipun, aku tidak akan pernah memberikannya padamu!"
Agustino tertegun sejenak.
Tasya melewati Agustino. Dengan cepat berjalan menuju Febi, lalu mengulurkan tangannya. Mereka berdua saling berpegangan tangan.
Febi menatapnya dengan bingung dan khawatir. Pandangan itu membuat Tasya hampir menangis.
Keduanya langsung pergi ke dapur, Tasya menutup pintu dapur, dia sengaja membuat suara keras dan tidak lupa untuk mengunci pintu. Tindakan ini sama saja dengan mengusir tamu.
Segera setelah itu, hanya suara berat lain yang terdengar di luar pintu. Suara langkah kaki Agustino benar-benar menghilang dari ruangan itu.
Tasya ragu-ragu, tapi masih membuka pintu dapur. Dia menjulurkan kepalanya untuk melihat. Benar saja, ruangan itu kosong dan sosoknya telah menghilang.
Jelas-jelas Tasya yang mengusir Agustino. Namun pada saat ini, hatinya merasa sedikit tidak nyaman.
Dia ....
Bagaimanapun, dia masih ayah kandung dari Delvin.
"Tenanglah, kalian terlalu banyak berdebat." Febi menepuk pundaknya untuk menenangkannya dan menyerahkan segelas air, "Minum seteguk, redakan emosimu."
Tasya mengambil cangkir dan menyesapnya.
Febi mencari kursi dan duduk, lalu menatap Tasya dengan prihatin, "Apa yang terjadi padamu? Bukankah kamu sudah lama tidak pergi kencan buta?"
"... Aku masih harus menikah," ucap Tasya dengan lelah.
"Kalau begitu ... ada apa dengannya?" Febi memandang Tasya dengan bertanya, "Sebelumnya, Julian memberitahuku dia tidak memiliki pacar tetap."
Tasya menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan santai, "Aku tidak banyak bertanya. Lagi pula, itu tidak ada hubungannya denganku .... Ngomong-ngomong, jangan bicarakan aku, kenapa kamu kembali tiba-tiba? Bukankah kamu bilang akan memakan waktu beberapa hari?"
Tasya sengaja mengubah topik pembicaraan. Bagaimana mungkin Febi tidak mengerti?
Febi juga mengikuti maksud Tasya, memutar topik pada dirinya sendiri dan memberitahunya tentang masalah pindah rumah.
Setelah itu, Tasya membantu Febi berkemas, lalu menuju ke hotel. Febi pergi menemui pemilik rumah dan segera membereskan rumahnya. Febi membersihkan sepanjang pagi sampai pukul 2 siang.
Melihat sudah waktunya untuk menjeput, Febi buru-buru berkemas, mengambil tasnya dan keluar dengan cepat.
Ketika Febi sampai di pintu keluar bandara, dia melihat sosok yang dia kenal di kejauhan. Dia tertegun sejenak, dia merenung dan berjalan mendekat.
"Ayah," panggil Febi. Dia masih belum mengubah panggilannya.
Samuel berbalik, melihat itu adalah Febi, dia menghela napas. Samuel ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia tidak mengatakan apa-apa. Febi tersenyum sedikit, "Aku mendengar Nando berkata hari pernikahan dia dan Vonny telah ditetapkan."
Samuel sepertinya merasa bersalah, "Aku tidak menjagamu dengan baik hingga membuatmu menderita."
"Ayah, kamu sangat baik padaku. Sungguh, dalam dua tahun terakhir, kamu baik padaku dan keluargaku. Aku akan selalu mengingatnya," kata Febi.
"Sayang sekali kamu bukan lagi anggota Keluarga Dinata." Samuel menatapnya dengan mata yang terlihat menua dan menghela napas, "Pada saat itu, aku yang tidak mendengarkan nasihat sehingga menundamu di Keluarga Dinata selama dua tahun. Kalau tidak, sekarang kamu sudah menikah dan memiliki anak dengan orang lain, kamu sudah menjalani hidup dengan bahagia."
Febi menggelengkan kepalanya, "Setiap orang memiliki hal-hal yang harus lalui. Aku tidak merasa sia-sia menjalani dua tahun terakhir ini, aku sudah menjadi dewasa. Setidaknya aku tahu pernikahan tidak sesederhana yang aku pikirkan."
"Kamu bisa berpikir terbuka, Ayah juga merasa jauh lebih baik. Dalam dua tahun terakhir, Ayah tidak memberimu apa-apa. 10% dari saham yang aku katakan sebelumnya masih milikmu. Anggap saja itu sebagai hadiah dari Ayah." Samuel tampaknya tahu Febi ingin menolak, jadi dia menambahkan, "Jangan buru-buru menolak. Aku hanya tidak ingin ibumu kembali dan menjalani kehidupan yang sulit. Kamu memiliki saham ini, kamu, ibumu dan adikmu akan hidup dengan baik."
Hal ini adalah impian Febi untuk membuat mereka menjalani kehidupan yang baik. Namun, Febi sudah menerima cukup banyak hadiah dari Samuel, jadi dia tidak bisa lagi menerimanya. Dia merasa dirinya sudah tidak bisa membalas kebaikan itu.
Tepat ketika Febi berpikir seperti ini, dia mendengar Samuel berkata, "Keluar! Sudah keluar!"
Samuel adalah orang yang tegas, terutama setelah pengalaman yang lama, dia memiliki rasa introvert sebagai seorang senior. Namun ....
Pada saat ini, kegembiraan di mata itu terlihat sangat jelas.
Febi sekilas tahu bahwa ibunya sudah keluar.
Dia mengalihkan pandangannya dan mengikuti garis pandang Samuel.
Di tengah keramaian, dua sosok yang perlahan muncul sudah cukup menarik perhatian.
Pertama, secara alami karena pemuda yang lembut dan bersih. Dia mengenakan t-shirt putih, celana abu-abu muda dan sepatu kets putih. Wajahnya terlihat tampan dan lembut. Ada semacam perasaan tidak ternodai oleh kerumunan.
Satu-satunya yang disayangkan adalah ....
Dia duduk di kursi roda.
Sementara wanita yang mendorongnya. Meskipun dia berusia lebih dari lima puluh tahun, tubuhnya tidak terlihat berubah. Bahkan di usia ini, fitur wajah masih terihat cantik yang memesona seperti ketika dia masih muda.
Ya, ini adalah keluarga Febi.
Febi berjalan cepat, "Bu, Ferdi."
Febi memeluk ibunya, Meisa. Meisa masih tidak memiliki banyak ekspresi di wajahnya, tapi dia tidak mendorong putrinya menjauh.
Febi bersandar di bahu kurus itu, hidungnya terasa sedikit perih, "Bu, aku sangat merindukan kalian ...."
Ekspresi Meisa melunak. Dia berbicara dengan nada lembut, "Sudahlah, ada begitu banyak orang yang bolak-balik. Jangan hanya berdiri di sini dan menghalangi jalan orang lain."
...