Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 132 - ##Bab 132 Romantis

Chapter 132 - ##Bab 132 Romantis

Julian bisa merasakan tatapan Febi padanya, tapi dia tidak menoleh ke belakang, hanya terus bertanya, "Bagaimana situasi saham di sana?"

"Sebagian besar saham selain dari Keluarga Dinata telah dikumpulkan. Namun, Keluarga Dinata, termasuk Nona Febi, memiliki 60% saham, jadi ...."

Jadi, bahkan jika Julian membeli semua saham selain Keluarga Dinata, itu hanya 40%. Hal itu tidak akan mengguncang Keluarga Dinata sama sekali.

Ryan berkata, "Pak Julian, bahkan kalau kita membeli 10% saham Nona Febi, kita hanya akan memiliki 50%."

"Yah, aku tahu itu." Julian tidak mengatakan apa-apa lagi. Mendengarkan nadanya yang yakin, Ryan menebak Julian pasti sudah memiliki rencana, jadi dia langsung menghentikan topik itu, kemudian berkata, "Semua orang telah pergi, apakah Anda ingin melanjutkan rapat tadi?"

"Hmm, lanjutkan."

Setelah menutup telepon, Julian berbalik dan duduk di sofa.

Febi melirik wajah Julian yang tampak sedikit lebih serius dari sebelumnya. Dia menekan jarinya dengan ringan di antara alis Julian, "Ada yang kamu pikirkan?"

"Hanya masalah pekerjaan." Julian menggelengkan kepalanya dengan pelan.

Jari-jari Febi yang lembut dan hangat mendarat di alis Julian, membuatnya merasa sangat nyaman.

"Orang-orang sistem di lokasi konstruksi sedang menungguku untuk melanjutkan rapat. Aku harus pergi ke sana sekarang."

"Yah, pergilah, pekerjaan lebih penting." Febi mengambil mantel Julian yang dilepaskan di sofa dan meletakkannya di pundak Julian, "Kita sudah membicarakan semua yang perlu kita bicarakan. Jangan menunda pekerjaan. Ayo, rentangkan tanganmu. Kenakan pakaianmu dulu, jangan sampai kedinginan lagi."

Suara Febi sangat lembut seperti bulu yang terbang.

Julian memasukkan lengannya ke dalam pakaiannya dengan patuh. Febi menundukkan kepalanya dan mengancingkannya satu per satu dengan saksama.

Febi menundukkan kepala hingga rambutnya jatuh ke dahinya.

Di lihat dari atas, Julian bisa melihat mata Febi yang penuh kelembutan. Penampilannya itu seperti istri yang baru saja menikah ....

...

Julian pergi rapat, hanya Febi yang tersisa di ruangan itu. Febi duduk di sofa sambil memeluk dirinya sendiri. Saat Febi teringat Julian mengatakan dia tidak akan bertunangan, kemudian melihat akta cerai yang dilemparkan ke lantai, senyum cerah tiba-tiba muncul di wajahnya.

Depresi dan tekanan yang telah menumpuk di hati Febi untuk waktu lama semuanya lenyap pada saat ini. Sebaliknya, semua itu tergantikan oleh kebahagiaan.

Febi mengambil akta cerai, lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Pak Kenedy.

"Kak Kenedy, apakah listrik sudah menyala? Apakah aku perlu segera pergi untuk mengawasi pekerjaan?" Memang benar Febi ketakutan, tapi dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja hanya karena ketakutan kecil yang dia alami.

"Jangan, aku tidak berani membiarkanmu menyentuh lift apa pun lagi. Aku baru merasa tenang. Bagaimana mungkin aku berani membiarkanmu melakukan pekerjaan itu lagi?" Memikirkan wajah Pak Julian sebelumnya, hingga saat ini Pak Kenedy masih merasa takut.

"Tidak berlebihan seperti yang kamu katakan. Aku yang ketakutan, bukan kamu." Febi merasa lucu.

"Kamu tidak tahu betapa jeleknya wajah Pak Julian dan betapa gugupnya dia! Tampaknya kalau terlambat sedikit saja, kamu akan hancur. Saat dia mendengar kamu menangis di atas, dia sudah tidak bisa tenang. Kalau aku membiarkanmu naik lift lagi, dia pasti akan menyuruhku berkemas dan pergi."

Febi tertawa pelan.

"Kamu masih tertawa! Ternyata kamu adalah pacar Pak Julian. Kenapa kamu tidak memberi tahu kami?" Jika dia tahu Febi adalah pacar Pak Julian, Pak Kenedy pasti tidak akan berani membiarkannya naik ke lift.

Febi teringat Julian berkata dia ingin mengakhiri lajangnya, dia pun tersenyum manis, "Jangan salahkan aku, aku juga baru tahu."

"Baiklah, hari ini kamu sudah ketakutan, jadi istirahat saja di hotel. Pak Julian telah mengirim seseorang untuk melanjutkan pemantauan pekerjaan di ketinggian, mereka akan tiba besok. Jangan khawatir tentang itu."

"Baiklah. Untuk area lain yang perlu direvisi, aku akan mengeluarkan gambarnya paling lambat besok pagi."

"Oke, itu kerja keras."

Setelah menutup telepon dengan Pak Kenedy, Febi mengenakan pakaian kasual, lalu dia duduk di sofa sambil memegang laptop dan menggambar ulang gambar. Sesekali dia berdiskusi dengan Tasya.

Memikirkan apa yang dikatakan Pak Kenedy tentang bagaimana Julian gugup dan khawatir tentangnya, Febi merasa menyesal. Terlihat seperti apa penampilan Julian saat itu?

...

Julian sibuk di lokasi konstruksi sampai jam 9 malam baru kembali ke hotel.

"Pak Julian, sudah jam 9 lewat, bagaimana kalau Anda pergi ke restoran untuk makan dulu?" saran Ryan sambil membuka pintu mobil untuknya.

"Kamu pergi saja, ada hal lain yang harus aku lakukan." Julian memikirkan seorang wanita bodoh di ruangan itu, jadi dia langsung menolak sambil berjalan ke lift di lobi hotel dan naik ke atas.

Tentu saja Febi harus menemaninya makan.

Julian langsung pergi ke kamar Febi, lalu dia mengambil kartu kamar lain dan membuka pintu.

Lampu di ruangan itu menyala terang, seluruh ruangan terdengar sangat sunyi. Hanya suara napas yang datar dan dangkal yang bisa terdengar.

Julian mengikuti asal suara dan melihat Febi memeluk laptop sambil meringkuk di sofa dan tertidur. Di sampingnya ada sebuah lampu kecil.

Lampu itu sedikit redup, tapi cahaya itu membuat wajah tidur Febi terlihat lebih lembut.

Di ruangan Febi berada, bahkan suhunya terasa sangat nyaman.

Kelelahan sepanjang hari dan masuk angin Julian seakan menghilang dalam sekejap karena kehadiran Febi. Bahkan Febi tidak melakukan apa-apa sekali pun, hanya napas yang dangkal saja sudah membuat Julian merasa sangat nyaman dan puas.

Nando rugi karena telah membiarkan Febi pergi.

Julian mendekat perlahan, lalu menarik laptop dari tangannya. Bulu matanya bergetar sejenak, tapi Febi tidak bangun. Febi meletakkan tangannya di bawah pipinya dengan lembut.

Julian langsung menggendong Febi dari sofa dan membiarkan Febi duduk berhadapan di pangkuannya. Febi bersandar di dadanya dan membuka matanya dengan malas.

Keduanya saling memandang dan tersenyum satu sama lain.

Julian mencium Febi dengan penuh gairah dan Febi juga menanggapi ciuman itu.

Semuanya masih berlangsung ....

Setelah lama berlalu ....

Udara masih penuh nafsu yang menggoda dan ambigu.

Febi berbaring dengan lembut di bahu Julian.

"Lelah?" Julian membelai rambut Febi yang terurai.

Setelah bermesraan, kulit Febi yang seputih salju menjadi sedikit memerah, seperti bunga persik yang mekar di musim semi.

"... Yah." Febi meletakkan dagunya di bahu Julian, lalu mengangguk dan berkata, "Sedikit dingin ...."

Julian memeluknya erat-erat, lalu dia meraih bajunya dan mengenakannya pada Febi.

Febi menyelipkan tangannya ke dalam lengan baju. Julian membantunya mengancing satu per satu. Febi yang mengenakan kemeja Julian yang lebar itu terlihat lebih mungil.

"Jam berapa sekarang?" tanya Febi dengan linglung.

" Sudah lewat jam sembilan. Mungkin sudah jam sepuluh."

"Sudah larut malam? Apa kamu sudah makan malam?" tanya Febi dengan malas.

"Aku hanya memakanmu." Julian mengeluarkan rambut Febi yang terselip di bajunya.

"..." Febi memukulinya dengan marah, tapi dia juga merasa tertekan, "Sudah selarut ini kamu masih belum makan, apakah kamu tidak takut sakit mag?"

"Awalnya aku ingin memintamu untuk makan bersamaku, tapi ...." Julian sedikit menyipitkan matanya, "Sepertinya kamu tidak memiliki tenaga untuk menemaniku ke bawah lagi."

"Panggil layanan kamar." Febi duduk tegak, "Aku akan mandi, kamu pesanlah makanan, jangan kelaparan lagi."

Julian melingkarkan tangannya di pinggangnya dan menatapnya dengan tajam, "Pacarmu kelaparan. Bukankah sebagai pacar, kamu harus bertanggung jawab?"

Jantung Febi berdetak sedikit lebih cepat.

Jadi ....

Sekarang, apakah keduanya sudah menjadi pasangan?

"Aku yang tidak pengertian." Febi menyetujuinya.

Pipi Febi memerah dan jantungnya berdebar kencang. Dia terlihat seperti gadis yang belum pernah jatuh cinta sebelumnya, hingga hubungan mereka menjadi begitu tegang dan menyenangkan.

Febi tersenyum dan berbisik dengan suara lembut, "Lain kali, begitu waktunya makan malam, aku akan segera meneleponmu."

Julian mengangkat alisnya dengan mata berbinar-binar.

Julian menundukkan kepalanya dan mencium bibir Febi dengan penuh cinta, dia juga tidak lupa untuk memperingatkan, "Kelak saat bersama sekelompok pria, jangan katakan kamu tidak punya pacar!"