Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 127 - ##Bab 128 Aku Sangat Mencintaimu

Chapter 127 - ##Bab 128 Aku Sangat Mencintaimu

Efek alkohol yang tersisa mengalir ke atas kepalanya, Julian merasakan kepalanya berdengung. Pada saat ini, semua depresi, kemarahan dan pikiran Julian berubah menjadi perasaan yang mendalam dan langsung masuk ke setiap sel di tubuhnya.

Namun ....

Julian tidak segera bergerak, dia hanya menahan diri, lalu mengangkat tangannya dan menepuk wajah Febi.

"Febi."

Febi bergerak sedikit, membuka bulu matanya dan menatap Julian sambil memperlihatkan senyum centil di sudut bibirnya, "Kamu sudah kembali?"

Suara lembut itu, seolah menunggu suami yang sudah lama tidak kembali. Nada suaranya tidak terdengar risi, tapi malah ada kegembiraan yang seperti seorang istri muda.

Apakah di hadapan Nando biasanya Febi juga seperti ini?

Julian merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras hingga suaranya menjadi serak, "Apakah kamu menungguku?"

"Um ...." Febi mengangguk dengan linglung, berusaha keras untuk menopang dirinya bangun dari lantai. Namun, Karena menunggu terlalu lama, kakinya sedikit lemah. Saat dia berusaha untuk bangun, dia hampir terpeleset karena kakinya yang tidak bertenaga.

Julian bangkit, melingkarkan lengannya di pinggang Febi dan menstabilkan tubuhnya. Mata Julian yang gelap terus menatap Febi, "Berapa lama kamu menunggu?"

Berapa lama Febi menunggu hingga kakinya mati rasa seperti ini?

"Aku tidak tahu." Febi menggelengkan kepalanya dengan linglung, lalu dia meraih kera kemeja Julian sambil bersandar di pintu. Setelah berdiri tegak, Febi baru bertanya, "Jam berapa sekarang?"

" Sudah lewat jam 12."

"Ah ...." Febi menghitung, "Seharusnya lebih dari tiga jam ...."

Tiga jam?

Sebelumnya, Febi mengatakan untuk mengakhiri hubungan dengan Julian. Dalam sekejap, dia malah menunggu di pintu Julian selama tiga jam?

Julian mendekat ke Febi. Tubuhnya yang tinggi tiba-tiba mendorong Febi ke pintu. Julian yang berjarak begitu dekat dengannya, membuat Febi merasa sesak napas dan pikirannya yang linglung seakan menjadi lebih jernih.

Tanpa sadar Febi mengangkat tangannya, lalu menekan dada Julian dan menjaga jarak darinya. Telapak tangan Julian yang besar menggenggam pergelangan tangan Febi, lalu dengan mudah menekan tangan Febi ke pintu.

Febi menatap dengan heran. Wajah Julian yang tampan mendekati Febi dengan perlahan, membuat pikirannya menjadi kosong sejenak. Febi sama sekali tidak dapat berpikir jernih.

Bibir Julian tiba-tiba berhenti di jarak yang hanya terpaut beberapa milimeter dari bibir Febi.

Napas yang berbahaya dan berat Julian menerpa ke wajah Febi. Nafsu di mata yang gelap itu terlihat sangat jelas, membuat hati Febi bergetar hebat hingga dia tidak berani menatap mata Julian.

"Febi, apa yang kamu mainkan?" tanya Julian dengan suara dalam.

"Apa?" Febi menatap Julian dengan polos.

Tangan Julian menggenggam Febi lebih erat. Karena Julian menekan amarah di dadanya, gerakannya pun menjadi kuat.

"Apakah menurutmu sangat menarik berulang-ulang bersikap seperti ini padaku? Hari ini kamu bisa mendekatiku dan mengandalkanku, besok kamu bisa mendorongku menjauh dan menghapus hubungan antara satu sama lain. Mungkin kamu bisa memainkan permainan semacam ini dengan sangat lancar, tapi aku tidak akan meladenimu!"

Juian berkata dirinya tidak akan meladeni Febi, tapi dia sama sekali tidak melepaskan tangan Febi.

"Aku tidak ingin memainkan permainan emosional dengan kamu dan aku juga tidak mampu menanggungnya ...." Febi tidak ingin Julian salah paham tentang seperti ini. Febi menundukkan kepala untuk dokumen di kakinya sambil menjelaskan, "Aku mau menyerahkan dokumen itu padamu. Karena orang itu berkata ini adalah kerjaan mendesak, aku tidak ingin menunda pekerjaanmu, jadi aku menunggu di sini."

Julian mengikuti garis pandang Febi. Benar saja, ada dokumen tergeletak di sana.

Julian mencibir sambil menatap Febi, "Febi, kami tidak bodoh. Kalau kamu benar-benar ingin menyerahkan dokumen kepadaku, ada banyak cara yang bisa kamu lakukan."

Wajah Febi sedikit berubah, jari-jarinya menusuk masuk ke dalam dagingnya.

"Kamu dapat menyerahkannya ke resepsionis atau kamu dapat menelepon Asisten Ryan dan memintanya untuk mengambilnya. Kalau tidak, kamu dapat memasukkan satu per satu dokumen ini melalui celah pintu! Kenapa kamu harus menungguku selama tiga jam?"

Pertanyaan Julian yang berulang-ulang itu membuat Febi merasa malu hingga hatinya merasa sakit, seakan dilemparkan ke dalam blender.

Bahkan jika Febi tidak mau mengakuinya, kata-kata Julian membuatnya mau tidak mau harus menghadapinya.

Ya, Febi sangat ingin pergi dari hidup Julian, tapi hatinya benar-benar di luar kendali.

Ada banyak cara baginya untuk dengan cepat menyerahkan dokumen itu. Menunggu di sini adalah cara terbodoh, tapi ....

Akan tetapi, ini adalah satu-satunya cara untuk bertemu dengan Julian lagi dan berbicara dengannya.

Sekarang ....

Bagi Febi, pertemuan singkat ini harus direncakan dengan saksama.

Febi telah jatuh cinta pada Julian, hingga dia tidak dapat melepaskan diri darinya.

Febi berkata dapat dengan tenang memperlakukan Julian sebagai orang asing, semua itu hanyalah omong kosong untuk menipu diri sendiri. Setiap saat ketika Febi dalam waktu senggang, pikirannya penuh dengan Julian ....

Febi yang seperti itu, selain menggunakan metode bodoh ini untuk mengobrol dengan Julian, apa lagi yang bisa dia lakukan?

Ujung hidung Febi terasa perih, lalu dia mendorong Julian menjauh, "Aku sudah menyerahkan dokumennya, aku akan kembali dulu. Selamat tinggal ...."

Febi mengucapkan selamat tinggal, tapi langkah kakinya terasa sangat berat. Saat mereka berpapasan, Febi ditangkap oleh Julian. Febi menoleh, dia melihat Julian membuka pintu dengan wajah dingin, kemudian Febi diseret ke dalam ruangan dengan sangat mendominasi.

Kamar sangat gelap. Febi mendengar jantungnya berdetak terus menerus.

Febi mengingatkan dirinya untuk mendorong Julian menjauh, tapi saat Julian mendekat, gemetar dan antisipasi di hatinya benar-benar di luar kendali.

Ciuman Julian penuh dengan dendam dan amarah. Febi tersentak, tangannya tiba-tiba menarik baju Julian dengan erat.

Bibir Febi terasa sedikit sakit. Ciuman Julian seperti kekerasan, tidak ada rasa kasihan sedikit pun. Seketika, air mata Febi mengalir karena ciuman itu.

Setelah merasakan cairan pahit, Julian terengah-engah dan mundur satu inci. Febi pikir Julian akan melepaskan dirinya, tapi Julian hanya terus menatapnya dengan tajam dan telapak tangannya yang besar menjulur masuk ke dalam pakaian Febi.

Tanpa ragu-ragu, tanpa belas kasihan, bahkan dengan kemarahan, telapak tangan besar itu mendarat ke bagian yang menonjol.

"Kenapa menangis?" tanya Julian dengan suara rendah, kekuatan tangan Julian yang meremas Febi tidaklah ringan.

Namun, air mata itu juga membuat mata Julian memanas. Sebenarnya kenapa Febi merasa sedih?

"Jangan seperti ini ...." Febi kesakitan hingga memegang tangan Julian. Febi berharap mereka bisa lebih dekat, tapi dia tidak mengharapkan keintiman yang mempermalukannya seperti ini.

"Kamulah yang berbalik dan memprovokasiku lagi. Karena kamu ingin seperti ini, kamu harus bertanggungjawab!" Julian menggigit bibir Febi, mencium dan tampak enggan untuk melepaskannya. Pada akhirnya, Julian tidak bisa menahan diri lagi. Ujung lidahnya langsung menjulur masuk ke mulut Febi, dengan dominan menghisap lidahnya, seakan ingin menelan semua kecantikan dan suara genitnya.

Pada saat itu, semua kegigihan di dalam hati Febi menghilang oleh ciumannya itu.

Di bawah napas Julian, Febi sudah tidak bisa merasakan sakit di bibirnya lagi. Pada saat berikutnya, Febi tiba-tiba melepaskan kendalinya, bibir merahnya sedikit terbuka dan dia telah sepenuhnya menerima Julian. Bahkan, tangan Febi yang memegang tangan Julian pun melonggar.

Febi memejamkan mata yang gemetar, dia merasakan belaian kasar pria itu inci demi inci.

Gerakan Julian menjadi lebih bersemangat. Keinginan dari tubuhnya terpancing dan tidak bisa ditekan.

"Dia juga melakukan ini padamu?"

Julian tidak bisa tidak memikirkan pria itu. Saat memikirkan keterikatan mereka, tangan Julian menjadi lebih kuat, jari- jarinya yang panjang menjulur ke belakangnya dan langsung melepaskan pakaian dalam Febi.

Febi menarik napas dalam-dalam. Dia ingin memberitahu Julian, tidak, Nando belum pernah menyentuhnya seperti ini.

Namun, sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, Julian sudah bertanya dengan suara yang dalam, "Ketika kamu melakukan hal-hal ini dengannya, apakah kamu memikirkan aku?"

Julian bukanlah pria yang cemburuan. Namun pada saat ini, dia hampir gila karena cemburu.

Bahkan pria lain telah mendengar suara centilnya, kecantikannya hingga dia yang kehilangan kendali!

"Aku ...." Febi hendak berbicara, tapi Julian malah kembali mencium bibirnya dengan tegas.

Kemudian, dia mundur satu inci dan berkata sambil terengah-engah, "Jangan jawab aku, aku tidak ingin tahu jawabannya."

Sebelum Febi kembali ke akal sehatnya. Pada saat berikutnya, dia sudah digendong oleh Julian.

"Ah ..." seru Febi, dia dilempar ke ranjang besar yang empuk. Febi bangkit, yang terlihat olehnya adalah mata Julian yang terbakar seperti binatang buas.

Jari-jari Julian yang panjang telah melepas kemejanya, hingga memperlihatkan dadanya yang kekar dan kuat. Febi mencengkeram seprai di bawahnya. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika dia bisa lebih tenang, dia akan menolak, tapi ....

Bagaimana ini?

Febi tidak bisa menolak sama sekali!

Febi merindukannya ....

Benar-benar merindukannya ....

Kerinduan semacam itu begitu kuat sehingga Febi tidak bisa menghentikannya lagi. Selain cara ini, dia tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Julian melepas bajunya, lalu menarik Febi ke dalam pelukannya dengan lengannya yang panjang. Kemudian, kemeja di tubuh Febi ditarik hingga terlepas dan roknya terlempar ke tanah jauh.

Hati Febi bergetar.

Jari-jari Julian yang panjang menembus langsung di antara kedua kaki Febi. Julian mengelus dan menggoda bagian yang tertutup oleh lapisan kain tipis sambil menggigit daun telinga Febi dengan kejam, lalu meniup telinganya, "Apakah kamu ingin menolak? Kamu masih memiliki kesempatan sekarang."

Febi menggigit bibirnya dan tidak mengatakan apa-apa. Dia memalingkan wajahnya ke sisi lain dan menutup matanya rapat-rapat, tidak berani menatap Julian.

Reaksi ini berarti ....

Tidak menolak!

Febi tidak tahu bagaimana perasaan Julian tentang dirinya yang tidak bisa menahan diri. Namun, pada saat ini, Febi hanya ingin mengikuti kata hatinya.

Sadar akan reaksinya, mata Julian menjadi gelap. Pada saat berikutnya, dia memegang Febi erat-erat dengan satu tangan dan menyingkirkan celana dalamnya yang telah ternoda. Di bawah kepanikan Febi, raksasa arogan Julian langsung menusuk masuk ke dalam tubuh Febi yang sempit.

"Sakit ...." Febi terengah-engah dan wajahnya memucat.

Febi membuka matanya dengan perlahan. Dalam pandangannya yang kabur, Febi bertemu dengan mata Julian yang penuh depresi dan rasa sakit. Kemudian, Febi memutar tubuhnya dengan tidak nyaman.

Sebenarnya, Julian benar-benar ingin memiliki Febi tanpa memikirkan apa pun. Semakin Febi merasa sakit, maka semakin dalam pula Febi akan mengingatnya.

"Jangan bergerak !" Telapak tangan besar itu menopang pinggang Febi. Jika Febi bergerak seperti ini lagi, itu sama saja dengan menyiksa Julian, dia tidak akan bisa menahannya.

"Aku ... aku sedikit sakit ...."

Tidak aneh.

Tubuh Febi masih sangat ketat di sana.

Meskipun Febi dan Nando ....

Ketika Julian memikirkan hal ini, dia tiba-tiba berhenti. Dadanya seperti terhalang oleh sesuatu yang dingin dan berat seperti baja. Pada saat berikutnya, emosinya sedikit di luar kendali. Julian sudah tidak tahan lagi, dia memegang pinggang Febi dan menabrakkan dirinya lebih dalam.

Febi menarik napas dalam-dalam, jari-jarinya mencengkeram bahu Julian dengan erat. Julian tidak berhenti. Setiap kali, Julian menyeruduk lebih keras dan lebih dalam.

Dari rasa sakit awal, hingga akhirnya Febi telah sepenuhnya beradaptasi dan menerima Julian ....

Bersama dengan Julian, Febi tenggelam dalam nafsu yang menyakitkan, tapi tak tertahankan ini.

...

Mungkin karena efek alkohol atau mungkin faktor cemburu di hatinya yang membuat Julian gila, hingga sepanjang malam dia menginginkan Febi lagi dan lagi. Julian terlalu bersemangat sehingga dia bahkan tidak ingat untuk mengenakan pengaman dan dia tidak bisa menahan diri untuk menariknya keluar di menit-menit terakhir. Akibatnya, cairan panas tumpah ke dalam tubuh Febi.

Keesokan harinya.

Febi perlahan bangun dari ranjang. Sekujur tubuhnya terasa sakit seakan dilindas oleh benda berat.

Julian yang tadi malam berbeda dengan dua kali terakhir. Julian sangat kasar dan gila.

Namun ....

Hubungan kali ini begitu hangat.

Febi dengan lelah memeluk selimut di tubuhnya, tapi tidak ada jejak Julian di sisinya. Memar di dada Febi terus-menerus mengingatkannya bahwa apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.

Febi sudah gila.

Dia membiarkan ini terjadi ketika dia tahu Julian akan bertunangan dengan orang lain!

Menyebalkan sekali!

Namun, di mana Julian sekarang?

...

Di sisi lain.

Julian masuk ke apotek.

Julian yang masuk segera membuat apotek biasa heboh. Pelayan apotek menyambutnya dengan senyum, "Pak, ada yang bisa aku bantu?"

Mata Julian menyapu rak obat mata, kemudian berhenti pada sebuah obat. Mata Julian menjadi gelap dan berbagai emosi kompleks melonjak. Ada perjuangan dan bingung.

Pelayan juga mengikuti garis pandangnya. Pelayan itu tertegun sejenak, lalu sedikit tersipu dan berkata, "Itu adalah pil kontrasepsi, apakah kamu menginginkannya?"

Julian mengerutkan bibirnya dan terdiam beberapa saat, kemudian bertanya dengan suara rendah, "Merek mana yang terbaik?"

"Yang ini saja. Dengar-dengar yang ini sangat bagus, meski sedikit lebih mahal." Pelayan wanita muda segera mengambil obat yang terbaik untuknya.

Julian memegangnya dan melihatnya sebentar, "Bagaimana dengan efek sampingnya?"

Pelayan itu tersenyum tipis, "Jangan khawatir, selama tidak sering memakannya, efek sampingnya dapat diabaikan. Tapi kalau kamu sering memakannya, itu akan berakibat pada kesehatanmu."

Efek sampingnya bisa diabaikan ....

Julian sedikit kesal karena dia kehilangan kendali tadi malam. Ketika dia meminta kepada Febi untuk pertama kalinya, dia masih bisa menahannya, tapi tadi malam dia tidak bisa menahannya.

Julian benar-benar kehilangan akal sehat karena rasa cemburunya.

"Ini saja, bayar tagihannya." Julian mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan uang dua ratus ribu.

Orang yang menerima uang adalah seorang bibi tua. Dia melirik kotak obat itu dan tidak bisa menahan diri untuk berkata, "Kalau kamu benar-benar tidak menginginkan anak, kelak lebih baik memilih metode kontrasepsi lain. Tetangga kami yang merupakan seorang gadis tidak tahu apa-apa ketika dia masih muda. Dia meminum banyak obat ini, sekarang dia bahkan tidak dapat memiliki anak. Wanita tidak pantas menanggung ini untuk kalian para lelaki. betul, 'kan?"

Mendengarkan orang lain memarahinya, gerakan Julian berhenti sebentar. Dia melihat kotak obat, lalu mengerutkan keningnya.

"Aku sudah mengingatnya, tidak akan ada lain kali lagi," janji Julian pada wanita tua itu, tapi sebenarnya dia berkata pada dirinya sendiri.

Julian tidak akan pernah memberikan Febi kesempatan untuk minum obat lagi. Kali ini adalah pengecualian.

Dalam situasi sekarang, dia tidak dapat memiliki anak.

...

Di sisi lain.

Ketika Febi sedikit lebih sadar, dia bangkit dari ranjang, lalu berpakaian dan hendak kembali ke kamarnya.

Begitu pintu terbuka, dia hampir terjatuh ke pelukan Julian.

Saat Febi melihat Julian, dia teringat dengan kata-kata dan keterikatan yang berapi-api tadi malam, dia merasa malu. Febi menggigit bibirnya, dia berusaha keras untuk mencari topik, "Apakah kamu sudah membaca laporan itu?"

"Yah." Julian mengangguk dan berdiri di depan Febi sambil menatapnya.

"Oh. Baguslah ...." Febi memegang kenop pintu dan menatapnya. Dia tidak tahu apakah itu ilusinya, tapi dia merasa bahwa sepertinya Julian ingin mengatakan sesuatu.

"Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dikatakan?" tanya Febi.

Jari-jari Julian yang panjang menyentuh obat di sakunya dan permukaan logam menembus ujung jarinya.

Julian menatap Febi dalam-dalam. Dia teringat apa yang dikatakan bibi di apotek. Pada akhirnya, dia menggelengkan kepalanya, "Tidak, kembali ke kamarmu dulu. Selesaikan masalah kemarin."

"... Baik."

Febi curiga, tapi dia tidak bertanya balik. Dia berbalik dan bersiap untuk keluar.

"Ngomong-ngomong, apa kamu masih ada obat flu?" tanya Julian.

"Ya." Febi menoleh dan menatap Julian. Wajah Julian tidak terlalu baik, Febi tidak tega, dia tahu bahwa dia tidak boleh bertanya terlalu banyak, tapi dia masih tidak bisa menahan diri untuk berkata, "Apakah kamu masih merasa tidak nyaman? Bagaimana kalau aku akan menemani ... Tidak, biarkan Asisten Ryan menemani kamu ke rumah sakit."

Julian duduk di sofa. Setelah mendengar kata-kata Febi, dia meliriknya. Jelas bahwa Febi masih dengan sengaja menjaga jarak.

"Tidak perlu, cukup minum obatmu saja."

Febi mengangguk, "Baiklah, aku akan membawakan padamu sebentar lagi."

Febi dengan hati-hati meninggalkan celah di pintu, lalu berjalan keluar. Dia kembali ke kamarnya dan mencari obat.

Di sini, Julian duduk sebentar. Dia merasa kepalanya sakit lagi. Julian mendongakkan kepalanya dan bersandar di sofa. Pada saat berikutnya, dia mencium bau darah. Jadi, dia mengulurkan tangan dan menyentuh hidungnya, ujung jarinya terasa dingin.

Tangan Julian penuh dengan darah mimisan.

Dia menutupi hidungnya, melepas jasnya, membuangnya ke samping dan berjalan ke kamar mandi. Di dalam bajunya, pil dan bon belanjaan terjatuh keluar, tapi dia tidak menyadarinya.

Mendengar langkah kaki di luar pintu, Julian mengerutkan kening. Dia menebak Febi sudah masuk, jadi dia mengulurkan tangan untuk mengunci pintu kamar mandi.

Begitu Febi masuk, dia tidak melihat orang.

"Julian?" panggil Febi dengan curiga. Dia mendengar suara percikan air dari kamar mandi. Dia berkata dengan suara keras, "Aku meletakkan obat di sofa, minumlah ketika kamu keluar!"

"Ya." Suara Julian datang dari kamar mandi. Kedengarannya tidak ada keanehan apa pun.

Setelah Febi meletakkan obatnya, dia juga tidak berpikir panjang dan hendak pergi keluar. Begitu dia menundukkan kepalanya, matanya melihat bon dan pil yang jatuh ke lantai. Awalnya, Febi ingin membantu Julian mengambilnya, tapi saat dia memegang bon itu, tubuhnya membeku.

Di bon itu tertulis nama obat dengan jelas. Bahkan Febi tidak meminum obat-obatan ini sekali pun, hanya sekilas dia bisa mengetahui obat apa itu karena iklan di TV yang sangat panas.

Melihat waktu dan alamat pembayaran, itu dua puluh menit yang lalu.

Ternyata ....

Julian menghilang pagi-pagi sekali, karena pergi membeli obat untuknya ....

Benar-benar bijaksana.

Febi mengambil obat di lantai. Mata Febi menegang.

Sebenarnya tidak ada yang salah.

Sekarang Julian sudah memiliki tunangan. Tentu saja dia tidak bisa tiba-tiba memiliki anak untuk menghancurkan situasi.

Jika itu adalah Febi, dia akan memilih cara yang sama!

Berpikir seperti ini, tekanan dan depresi di dada meningkat. Julian diam-diam memasukkan obat ke dalam sakunya dan kembali ke kamarnya.

Febi menuangkan air, lalu mendongakkan kepalanya dan menelan pil kontrasepsi itu.

Pil putih terasa sangat pahit yang menjalar dari mulut sampai ke lubuk hatinya ....

...

Julian menggunakan metode pengobatan tradisional Tiongkok yang diajarkan kepadanya oleh dokter tua untuk menghentikan pendarahan. Setelah wajahnya sudah membaik, dia baru berjalan keluar dari kamar mandi.

Febi tidak di kamar lagi.

Beberapa obat flu tergeletak di sofa.

Julian menuangkan segelas air dan duduk di sofa. Dia mengeluarkan pil dari kotak, tepat ketika dia akan menelannya, matanya sedikit memiring dan sekilas dia melihat bon yang tergeletak di samping.

Bagaimana bisa ada di sini?

Baru saja ... Febi juga sudah melihatnya?

Alis Julian menegang. Pada saat berikutnya, dia meletakkan air dan menarik bajunya.

Dia menyentuh sakunya, di dalam sakunya kosong.

Febi mengambil obat itu?

Julian tersentak. Dia bangkit dari sofa, lalu menjatuhkan kemejanya dan berjalan ke kamar Febi.