Kicau burung dan bunyi tetesan embun menyentuh tanah, menyibakkan bau khas pegunungan. Pangeran Arsana yang terbiasa bangun pagi kini sudah bersiap diserambi rumah menatap kabut putih yang menutup sebagian rumah warga, dinikmatinya dengan secangkir teh yang ia buat sebisanya. Gendhis yang harus berangkat bekerja juga kini bangun dari ranjangnya, tubuhnya terasa sakit dan kepalanya masih ingin menempel dengan bantal. Dinginnya gunung membuat dirinya yang sudah hampir 4 tahun didesa belum bisa menyesuaikan waktu bangunnya, dirinya lalu beranjak dari tempat tidurnya menuju bilik kamar mandi yang dibuat seadaanya untuk sekedar mandi atau menunaikan hajadnya. Namun betapa terkejut dirinya saat mendapati dapurnya bak kapal pecah menghantam karang, segala panci, gelas, gula, teh, dan sendok yang bertebaran dimana saja. Dirinya tahu betul siapa yang melakukan ini semua, Gendhis yang penuh amarah dipagi buta segera menuju serambi rumah. Diliriknya seorang laki-laki berkemeja coklat sedang menikmati teh.
"Kamu! Kenapa dapurku".
"Ini, minum dulu. Lihat, burung saja menikmati paginya" kata Pangeran Arsana memotong amarah Gendhis.
Gendhis yang marah mencoba bersabar dengan tingkah manusia satu itu, dirinya lalu duduk dan menikmati teh yang cukup nikmat. Rupanya manusia pembuat onar itu bisa membuat teh yang enak dan membuat tubuh Gendhis seketika hangat.
"Bereskan dapur saat aku mandi, awas saja kalau aku selesai mandi dan dapur masih berantakan" kata Gendhis yang rupanya teringat dengan masalah dibelakang rumahnya.
Gendhis kemudian berjalan meninggalkan Pangeran Arsana dan pergi kekamar mandi, Pangeran Arsana yang sedang menikmati tehnya hanya bisa mengangguk pelan agar Gendhis tak lagi marah-marah dengannya. Andai saja Gendhis tau siapa yang saat ini dimarahinya, mungkin kepala dan tubuhnya berakhir ditempat pemenggalan penjahat.
Selesai Gendhis membersihkan tubuhnya, segar dan dinginnya air pegunungan membuatnya yang malas seketika menjadi semangat, apalagi jika teringat pada kebutuhan yang harus ia penuhi sendiri. Sedari tadi dirinya mandi, Gendhis mendengarkan bunyi yang bisa saja timbul ketika Pangeran Arsana membereskan dapur. Namun tidak ada sedikit pun kecuali gemercing air didalam kamar mandi yang ia dengar, seketika dirinya murka. Ia erpikir bahwa Pangeran Arsana tidak sungguh-sungguh dengan perintahnya. Dengan pikiran yang pasrah, Gendhis buka pintu kamar manding yang bersebelahan dengan dapur, dilihatnya dapur yang tadi berantakan kin rapi tertata, bahka lebih rapi dari sebelumnya. Sendok dan gelas ditata sesuai tempatnya, segala panci dan teko ditaruhnya disisi lain yang tidak akan mengganggu pemandangan siapa saja yang hendak beraktivitas didapur. Hanya saja, dirinya tidak melihat siapa saja yang membereskan semuanya, yaitu Pangeran Arsana. Dirinya kemudian pergi menuju serambi rumah yang menjadi tempat favorit Pangeran Arsana untuk bersantai. Namun, Gendhis justru dikagetkan dengan keadaan yang membuatnya menjadi khawatir.
"Tangan kamu kenapa, Pangeran?" tanya Gendhis khawatir melihat tangan Pangeran Arsana yang berlumuran darah.
"Aku tidak sengaja menyentuh pisau didapur dan tanganku tersayat" jawab Pangeran Arsana menutup lukanya dengan selembar kain yang entah dari mana ia dapatkan.
"Ini sih gede, harus dijahit. Ayo, kita ke klinik. Biar luka mu cepet diobati" kata Gendhis berusaha menutup pintu dengan terburu-buru.
Mereka akhirnya pergi menuju klinik yang tak jauh dari tempat tinggal Gendhis, darah segar yang tadi mengucur derah kini tertahan oleh 8 jahitan dan mereka disarankan untuk kembali lagi setelah satu minggu.
Gendhis yang khawatir sedikit tenang saat melihat Pangeran Arsana telah ditangani, wajahnya yang lucu membuat Pangeran Arsana tersenyum melihat kekhawatiran Gendhis. Mereka berdua akhirnya menertawakan keadaan mereka tadi pagi, dimana Gendhis yang terburu-buru hingga lupa memakai risana dan membuat matanya yang sebab nampak sangat jelas.
"Oh ya, kita langsung ke kota aja. Beli pakaian buat kamu" kata Gendhis menyela tertawanya mereka.
"Aku pikir tidak papa jika memakai ini, toh aku terlihat gagah bila memakai apapun" jawab Pangeran Arsana membanggakan dirinya.
"Kamunya nggak papa, akunya nggak mau. Aku nggak mau bau kakekku hilang dan berganti dengan bau badan mu" kata Gendhis menjelaskan.
"Apakah aku sebau itu?" tanya Pangeran Arsana dengan mengernyitkan alisnya tanda tak setuju dengan perkataan Gendhis.
"Udahlah, ayo. Kita juga perlu bayar baju dan buah yang kemarin kamu ambil dari warna" kata Gendhis lagi.
"Sudahlah, bayar pakai ini saja" jawab Pangeran Arsana mengeluarkan kepingan uang emas yang sedari awal dibawanya.
"Kita jual ini 1, bisa buat bayar tanah satu hektar didesa. Udah ayo, sisanya kita belikan pakaian mu" jawab Gendhis yang kini menaiki sebuah mobil bak dan menarik tangan Pangeran Arsana yang tidak terluka. Keduanya pergi menuju kota untuk menjual satu keping emas milik Pangeran Arsana dan membeli beberapa potong pakaian untuk pangeran Arsana. Pangeran Arsana yang tidak pernah menaiki mobil bak sebelumnya merasa takut, namun rasa takutnya berubah menjadi takjub saat melihat pemandangan yang amat cantik disepanjang dirinya menaiki mobil bak. Dirinya bahkan beberapa kali berdiri untuk meningkati segarnya hawa pegunungan, namun Gendhis berusaha membuatnya duduk kembali. Gendhis seakan memberi isyarat kepada penumpang lain jika Pangeran Arsana memang agak kurang waras, semua penumpang hanya bisa tertawa melihat kelakukan dua muda mudi itu.