Berlomba lari dengan mimpi
Mengejar ujung pagi yang diselimuti misteri
Berharap ada sisa cinta di sana
Ketika malam meninggalkan remah-remah kegelapannya.
Sang mimpi mencibir kepada sepi
Hidupnya selalu ada di antara hening dan sunyi
Berharap ada sedikit keramaian yang membuatnya tersenyum
Saat jiwanya dipasung dalam pedih tanpa sedikitpun rasa harum.
Sepi kemudian bahkan mendekati
Berbisik lirih terbawa angin masa lalu yang menyerahkan diri
Membawa cinta yang tak pernah padam
Walau dunia selalu bercerita tentang betapa sedihnya kelam.
Lima hari sebelum kebangkitan Naga Merapi-Lereng Gunung Merapi. Dewi Mulia Ratri akhirnya tiba di lereng gunung yang perkasa ini. Gadis ini menghabiskan beberapa hari di perjalanan seorang diri. Dia memutuskan tidak mau berangkat bersama Andika Sinatria yang akhirnya berangkat bersama Putri Anjani.
Sepanjang jalan, Dewi Mulia Ratri mengisinya dengan berlatih keras menyempurnakan ilmu-ilmu dari Kitab Sakti Ranu Kumbolo. Selain untuk persiapan menghadapi kejadian besar puncak Merapi, juga untuk mengalihkan rindunya yang memberat kepada Alka Awahita. Ilmu-ilmu sihir yang dipelajarinya di dalam kitab Ranu Kumbolo memang luar biasa dahsyat. Dia sekarang malah bisa memanggil bantuan penghuni dunia gaib kapan saja dengan menggunakan Ilmu Menaklukkan Roh. Dia juga bisa merubah dirinya menjadi apa saja dengan merapal Ilmu Mancala Sukma. Ilmu ini juga bisa digunakan untuk merubah benda-benda mati menjadi hidup.
Dewi Mulia Ratri memutuskan untuk tinggal di sebuah lereng yang sangat sunyi dan tanpa jalan setapak. Dia ingin tenang menghadapi kejadian lima hari lagi. Setelah menemukan tempat yang sangat tersembunyi di pinggiran jurang yang sangat terjal, Dewi Mulia Ratri membereskan perlengkapannya dan membangun pondok sederhana untuk tempat berteduh jika hujan datang. Lamat-lamat gadis itu mendengar suara gemuruh berulang ulang dari puncak. Rupanya Gunung Merapi sedang pada tahap akan meletus. Atau bisa jadi inilah tanda-tanda awal kebangkitan Sang Naga yang legendaris itu.
Di sisi lereng yang lain, Andika Sinatria juga sedang beristirahat setelah perjalanan yang melelahkan. Dengan ditemani oleh Putri Anjani, pangeran itu menghabiskan waktu hingga belasan hari untuk sampai. Gadis itu mengajaknya singgah ke Istana Laut Utara selama beberapa hari. Andika Sinatria tidak mampu menolak karena alasan Putri Anjani sangat kuat. Memberikan beberapa perintah pada pasukan laut utara agar bersiap-siap membantu jika terjadi perang melawan Majapahit. Meskipun dengan enggan, Andika Sinatria menyeberangi Laut Jawa menuju Pulau Utara di mana Istana Laut Utara berada.
Pangeran itu cukup takjub. Ternyata Istana Laut Utara sangat megah. Barang dan perabotan yang ada juga mewah. Selama beberapa hari di Istana Laut Utara, Andika Sinatria dijamu dengan makanan-makanan laut yang sangat lezat. Sementara Putri Anjani sibuk mengatur dan memberi perintah kepada pasukannya mengenai beberapa hal yang penting jika terjadi pecah perang dengan Majapahit atau Lawa Agung.
Setelah menghabiskan waktu beberapa hari, kedua muda-mudi yang kali ini tidak diiringi oleh pengawal kerajaan menyeberang kembali ke Pulau Jawa. Hingga tibalah mereka hari ini di lereng Gunung Merapi. Begitu menginjakkan kaki di lereng itu, Andika Sinatria dan Putri Anjani juga mendengar suara gemuruh berulang-ulang yang datang dari puncak Merapi. Awalnya mereka kaget, namun kemudian mengabaikannya.
Andika Sinatria dan Putri Anjani melewati jalur umum yang biasa dilalui orang jika menuju puncak Merapi. Tempat mereka berkemah tidak jauh dari jalan setapak itu, tapi cukup tersembunyi dari jalanan. Sehingga mereka bisa bebas mengamati tanpa orang sadar ada yang mengamati. Sedari tadi mereka bisa melihat betapa ramainya orang berlalu-lalang menuju puncak Merapi. Bahkan beberapa wajah sangat bisa dikenali. Rombongan dari Majapahit seperti Maesa Amuk, Siluman Lembah Muria dan Bledug Awu Awu beserta dengan pasukan kecil Sayap Sima lewat baru saja.
Kemudian beberapa orang yang terlihat berilmu tinggi juga lewat di belakang rombongan itu. Putri Anjani mengenalinya sebagai Sumowongso dan Si Kumbang Hitam. Selanjutnya seorang kakek kurus tinggi berwajah murung melewati mereka. Diikuti oleh rombongan dari Lawa Agung. Raja Iblis Nusakambangan, Resi Amamba, dan 5 orang tinggi kekar yang terlihat sangar di belakangnya. Andika Sinatria mengira-ngira pasti inilah yang disebut pengawal Panglima Kelelawar, yaitu Para Hulubalang dari Lawa Agung.
Berturut-turut muncul Ki Biantara bersama muridnya Ardi Brata. Rombongan berikutnya cukup aneh. Terdiri dari beberapa orang berpakaian compang-camping dan semuanya bertongkat seragam. Jika ditilik dari penampilannya, ini pastilah dari Perkumpulan Pengemis Jubah Perak. Perkumpulan silat aneh yang tinggal di ibukota Majapahit.
Setelah itu ada seorang kakek berambut putih namun terlihat gagah bersama Arawinda melewati tempat mereka. Andika Sinatria tidak tahu siapa tokoh itu. Namun terlihat sekali bahwa kakek ini adalah tokoh tingkat tinggi dunia persilatan jika dilihat dari langkah kakinya. Andika Sinatria menduga bahwa ini pasti ayah Arawinda bernama Ki Mangkubumi yang merupakan kakak seperguruan Hulubalang Setan Tanah Baluran yang tewas dalam peristiwa besar perang Blambangan.
Rombongan berikutnya adalah tiga orang yang jika dilihat dari wajahnya adalah orang asing. Apalagi saat mereka bercakap-cakap sesama mereka dalam bahasa Cina. Tiga orang ini juga terlihat berisi dan berilmu. Satu lagi rombongan asing melewati Andika Sinatria dan Putri Anjani. Tubuh lima orang ini tinggi besar dan berkulit kehitaman. Andika Sinatria adalah seorang bangsawan yang sering membaca buku dan juga sering menerima tamu-tamu kerajaan asing. Lima orang yang nampak tangguh ini pasti berasal dari negeri India.
Setelah rombongan orang India itu lewat, barulah Andika Sinatria dan Putri Anjani berbincang-bincang. Mereka bertanya-tanya kenapa para tokoh hebat itu tidak berhenti dan langsung menuju puncak Merapi padahal kemunculan sang Naga masih lima hari lagi. Satu-satunya kemungkinan jawaban adalah mereka lebih baik menunggu di puncak daripada tertinggal momen ajaib yang dinanti-nantikan.
Andika Sinatria bertanya-tanya dalam hati. Seharusnya hari ini adalah saat Dewi Mulia Ratri juga sampai di lereng Merapi. Namun hingga sore hari, tidak ada satupun bayangan atau sosok lagi yang mendaki gunung melewati jalan setapak itu. Hal ini membuat khawatir Andika Sinatria. Dewi Mulia Ratri adalah gadis yang luar biasa tangguh dan lihai. Tokoh yang bisa mengalahkannya hanya bisa dihitung dengan jari. Tapi tetap saja dia adalah seorang gadis yang polos terhadap tipu daya dan muslihat. Inilah yang dikhawatirkan Andika Sinatria.
Putri Anjani juga bertanya-tanya dalam hati. Di manakah Arya Dahana berada? Pemuda itu pasti ada di sekitar Merapi. Dia pasti datang mengejar Mustika Api. Obat satu-satunya untuk menyembuhkan penyakitnya yang aneh. Entah mengapa pemuda itu sering singgah dalam pikirannya. Dia sangat bahagia bisa menempuh perjalanan bersama Andika Sinatria. Pemuda gagah dan menawan yang mengikat hatinya. Namun nama Arya Dahana mempunyai arti juga baginya. Mungkin karena dia berhutang budi kepada pemuda konyol itu. Mungkin.
Kembali kepada Dewi Mulia Ratri yang sedang menyendiri di sisi lereng yang lain. Hari sudah menjelang petang. Namun matahari masih tampak gagah di kejauhan. Gadis itu berencana untuk bersamadi berlatih ilmu Mancala Sukma ketika didengarnya suara-suara tidak jauh dari tempatnya. Dewi Mulia Ratri terheran-heran. Dia sudah memilih jalur yang tidak mungkin dilewati orang jika menuju puncak Merapi. Tapi suara-suara ini malah lebih dari satu orang. Menuju ke arahnya. Gadis lihai ini ingin tahu siapa yang berani melintasi jalur sulit ini. Diayunkan tubuhnya ke atas pohon yang tinggi. Gadis ini kemudian bersila dan mengatur nafas. Menunggu siapa gerangan yang akan muncul.
Suara semak-semak tersibak membawa tiga sosok tubuh muncul persis di depan pondok kecil yang dibuat oleh Dewi Mulia Ratri. Gadis yang sedang sembunyi di atas pohon itu hampir terjatuh saking terperanjat dan girangnya. Arya Dahana ada di bawah sana. Bersama dua orang lain. Dua orang gadis. Aaahhh Dyah Puspita dan Bimala Calya! Hatinya yang begitu gembira berubah marah. Untuk apa sih pemuda tengil itu selalu berjalan bersama Dyah Puspita. Dan sekarang ditambah lagi dengan gadis mengerikan penakluk kelelawar itu.
Tapi gadis dari Sanggabuana itu menahan hatinya yang ingin melayang turun dan memberikan satu dua kali tamparan ke pipi Arya Dahana. Dia ingin tahu kenapa mereka tidak melewati jalur umum menuju puncak.
"Puspa, Mala, sebaiknya kita beristirahat di sini. Hari sudah menjelang malam. Ini jalur yang tidak memiliki jalan setapak. Sangat berbahaya jika kita terjerumus ke dalam jurang atau sungai yang banyak terdapat di sekitar lereng Merapi." Terdengar suara Arya Dahana berkata.
"Benar Arya. Aku akan mencari kayu bakar untuk penerangan kita di sini. Aku juga akan memasak makan malam untuk kalian." Bimala Calya mengiyakan dengan riang sambil hendak melangkah pergi.
Namun lengan gadis itu ditahan oleh Arya Dahana.
"Mala, kau sudah berjanji untuk tidak menempatkan dirimu sebagai pelayan kami. Kau adalah teman seperjalanan kami. Kau setara dengan kami. Aku adalah laki-laki di antara kita bertiga. Sudah menjadi tugasku mencari kayu bakar. Untuk makan malam, kau bisa memasaknya bersama-sama dengan Puspa."
Bimala Calya menundukkan muka. Selama di perjalanan dia selalu mengajukan diri untuk mengerjakan apa saja sebagai balas budi diperbolehkan ikut serta. Tapi mereka memang orang-orang yang baik hatinya. Tidak sekalipun dia diperbolehkan mengerjakan semuanya sendiri. Dia selalu mengerjakannya bersama Arya Dahana dan Dyah Puspita. Perjalanan ini begitu mengharukan bagi Bimala Calya. Gadis yang sedari kecil hidup di lingkungan yang keras dan kasar, sekarang melakukan perjalanan penuh petualangan bersama orang-orang yang sangat peduli terhadap sesama.
Bimala Calya tahu persis bahwa dia jatuh cinta kepada Arya Dahana. Tapi setelah mendengar Dyah Puspita bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya yang penuh dengan pahit dan getir bersama Arya Dahana, gadis cantik dari Lawa Agung ini menjaga dirinya agar tidak terlalu menampakkan perasaan yang sesungguhnya kepada Arya Dahana. Naluri kewanitaannya yang halus membuat rasa simpati kepada Dyah Puspita muncul. Gadis petinggi Sayap Sima Majapahit itu meninggalkan segala-galanya demi pemuda itu. Bahkan dia rela lari dari semua kedudukan, kemewahan dan ayahnya demi Arya Dahana.
Apalagi ketika didengarnya Dyah Puspita jugalah yang berkali-kali menyelamatkan nyawa pemuda itu. Meski hatinya perih dan pedih saat menyaksikan Dyah Puspita begitu penuh perhatian terhadap Arya Dahana, namun perasaan itu disingkirkannya demi bisa terus berjalan bersama pemuda itu. Yang menakjubkan adalah pemuda itu sendiri. Dia tidak pernah bertindak mesra secara berlebihan terhadap Dyah Puspita. Semuanya masih dalam batas yang wajar. Perhatiannya kepada Dyah Puspita sama dengan perhatian yang ditujukan kepadanya. Kadang-kadang Bimala Calya berpikir apakah pemuda ini seorang perayu wanita atau bukan. Sikapnya sangat manis terhadap wanita. Tapi setelah beberapa lama berjalan dengan pemuda itu, Bimala Calya bisa memastikan bahwa sikapnya yang manis itu memang muncul karena sifatnya yang mengagungkan wanita.
Lamunan Bimala Calya terputus ketika Arya Dahana datang dengan membawa seikat kayu bakar dan sekeranjang kecil ikan. Pemuda itu menyalakan api untuk menghangatkan diri sekaligus untuk memasak air dan makanan. Dyah Puspita sibuk mempersiapkan bumbu untuk makan malam. Bimala Calya yang akan memasaknya. Bimala Calya jauh lebih pandai memasak dibanding Dyah Puspita.
Perut mereka sangat lapar. Siang tadi mereka mengisi perut dengan ikan asap buatan Arya Dahana yang terakhir. Bekal beras yang mereka bawa masih cukup untuk beberapa hari. Sayuran kering yang dibawa juga masih tersisa untuk beberapa lama. Dan ikan segar ini lebih dari cukup untuk membangkitkan selera makan setelah perjalanan jauh yang mereka tempuh.
Sambil menunggu Bimala Calya dan Dyah Puspita memasak, Arya Dahana menyempatkan diri untuk memeriksa sekeliling. Tempat ini adalah sebuah lembah yang dipenuhi oleh semak dan hutan lebat. Di sebelah kiri terbentang jurang yang sangat dalam, sementara di sebelah kanan tebing tinggi yang sangat terjal. Mereka sengaja mengambil jalan pintas ini tadi karena hendak menghindari membanjirnya kedatangan para tokoh dunia persilatan di jalanan umum.
Mata pemuda ini terbentur pada sebuah pondok kecil sangat sederhana yang sebetulnya tidak terlihat sebagai pondok. Hanya dua buah kayu tumbang yang di atasnya disusun kayu-kayu kecil sebagai alas duduk. Sementara atapnya terbuat dari daun-daun lebar yang disusun sembarangan hanya untuk mengurangi tetesan air jika hujan tiba. Tapi ini jelas buatan manusia. Dan dibuat baru saja. Belum sampai setengah hari.
Arya Dahana mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada apa-apa. Ditengoknya juga ke atas pohon-pohon tinggi menjulang. Hari sudah sangat gelap. Jangkauan api yang dibuat tidak bisa jauh. Namun Arya Dahana bisa menduga bahwa orang yang membuat pondok ini pasti bersembunyi di atas pohon.
Dewi Mulia Ratri yang melihat Arya Dahana melongok-longok ke atas tercekat hatinya. Pemuda itu memang konyol dan tengil. Namun mempunyai kecerdikan tak biasa dan kelihaian yang luar biasa. Dia harus berhati-hati mengatur nafas agar tidak diketahui tempat persembunyiannya. Dari tadi dia sangat tertarik mendengar percakapan di antara mereka dan bagaimana mereka bersikap dan bertindak. Dia sangat ingin tahu sejauh mana Arya Dahana menyayangi dan mencintai Dyah Puspita. Dia ingin mempunyai alasan untuk menggampar pemuda itu lagi.
Tadi di atas pohon ini. Hatinya sudah memanas ketika dilihatnya kedua gadis itu, terutama Dyah Puspita, sangat perhatian terhadap Arya Dahana. Begitu mesranya gadis itu memberikan baju bersih sebagai baju ganti Arya Dahana yang basah dan kotor karena mencari ikan. Dia juga melihat bagaimana tatapan mata Bimala Calya saat memandang Arya Dahana. Begitu penuh kasih dan cinta. Dewi Mulia Ratri betul-betul penasaran ketika dilihatnya Arya Dahana bersikap manis kepada dua-duanya. Persis seperti saat dulu mereka berdua melakukan perjalanan lama menuju Blambangan dari ibukota Majapahit.
Huh! Dasar pemuda mata keranjang! Jadi dia memang selalu bersikap manis kepada setiap perempuan yang dijumpainya?! Pipi Dewi Mulia Ratri memanas dengan cepat karena malu dan marah setelah teringat perjalanan bersama pemuda itu dahulu. Dikiranya pemuda itu sangat tertarik dan suka kepadanya sehingga bersikap begitu manis dan romantis. Gadis ini hampir tidak tahan untuk melayang turun dan memberikan tamparan keras ke pipi pemuda itu sebagai hukuman atas mata keranjangnya. Namun dia menahan diri. Tidak mungkin dia mau berselisih paham dengan para gadis itu gara-gara pemuda tengil yang telah menggodanya dulu. Huuuuhhh tak sudi aku! Pikir Dewi Mulia Ratri semakin geram.
Untuk mengurangi rasa marah dan jengkelnya yang menggunung, diambilnya beberapa buah ara di cabang pohon di dekatnya. Disentilnya sebiji ke arah Arya Dahana. Arya Dahana yang masih melongok-longok ke atas mengaduh keras saat sebuah benda kecil mampir di hidungnya dengan tepat dan keras. Belum hilang rasa sakit dan terkejut pemuda itu, sebiji lagi benda kecil mengenai telinga kanannya. Lalu telinga kirinya. Dan yang terakhir mampir persis di bawah pusar di atas alat vitalnya.
Pemuda ini berjingkrak-jingkrak menahan sakit sambil memegangi bawah perutnya. Dewi Mulia Ratri menutup mulutnya menahan geli yang teramat sangat. Dia tadi sebenarnya mengincar beberapa bagian tubuh pemuda itu untuk disambit. Tiga pertama tepat sasaran, namun yang terakhir sedikit meleset. Meski begitu, hati Dewi Mulia Ratri sangatlah puas. Rasakan itu pemuda gombal! Sayang sekali bidikannya yang terakhir meleset. Kalau tidak, pasti pemuda itu sudah berguling-guling seperti trenggiling menahan rasa sakit.
Dyah Puspita dan Bimala Calya yang sedang asik memasak sambil berbincang-bincang ringan menoleh dengan cepat saat Arya Dahana menjerit kesakitan. Apalagi ketika dilihat oleh mereka Arya Dahana memegangi bawah perutnya sambil meringis-ringis menahan sakit. Keduanya melompat mendekat sambil memegang bahu Arya Dahana.
"Arya...Arya...apa yang terjadi?...apakah kau sakit?" Dyah Puspita bertanya dengan nada sangat cemas.
Arya Dahana masih terengah-engah menahan sakit sehingga tidak sanggup menjawab. Dia tidak sempat melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam saat serangan benda-benda kecil tadi.
"Arya...apamu yang sakit? Sini aku pijat untuk mengurangi rasa sakitmu?" Bimala Calya ikut ikutan khawatir melihat pemuda itu masih memegangi perutnya dan tidak mampu berkata-kata.
Arya Dahana menggeleng-gelengkan kepala sebagai jawaban terhadap pertanyaan dua gadis yang sedang mencemaskannya itu. Untungnya gelengan kepala bisa menjawab dua pertanyaan sekaligus. Jika tidak, dia bingung harus menjawab dengan isyarat apalagi?
Dewi Mulia Ratri yang terkikik-kikik dalam hati merasa kasihan juga melihat Arya Dahana membungkuk-bungkuk menahan sakit. Tapi bagaimana caranya dia bisa membantu? Sedangkan dialah penyebab sakit pemuda itu? Kalau dia menampakkan dirinya secara terang-terangan, sudah pasti dia akan mengaku. Sudah pasti juga dia akan menanggung malu. Gadis ini menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal.
Perut Arya Dahana akhirnya reda rasa nyerinya. Pemuda itu mengambil nafas dalam-dalam kemudian duduk bersila. Disalurkannya hawa hangat ke bagian-bagian tubuh yang terkena serangan usil tadi.
Melihat Arya Dahana sepertinya sudah pulih dari rasa sakit yang aneh tadi, Dyah Puspita dan Bimala Calya melanjutkan acara masak memasak yang belum tuntas. Tak sampai beberapa jeda, bau masakan yang harum menguar memenuhi udara malam lereng Merapi. Arya Dahana sampai bangkit berdiri dan menyudahi samadinya. Bau masakan ini luar biasa enak. Perutnya yang tadi kesakitan hebat sekarang keroncongan tidak karuan.
Bimala Calya tersenyum senang melihat Arya Dahana sudah bisa bangun dan duduk bersama mereka. Pemuda ini mengangkat kuali tempat memasak, lalu mengipasinya ke segala arah. Dyah Puspita dan Bimala Calya sampai terbengong-bengong melihat kelakuan Arya Dahana yang sangat aneh ini. Malahan sekarang pemuda itu membawa kuali berkeliling sambil terus mengipasinya sehingga uap dan asap yang ditimbulkan masakan panas itu terbang tidak karuan kemana-mana.
Dyah Puspita dan Bimala Calya saling berpandangan dengan wajah bingung dan keheranan. Jangan-jangan rasa sakit yang teramat sangat telah merubah pemuda ini menjadi gila? Tapi mereka segera berhenti bertanya-tanya karena pemuda itu sudah duduk lagi dan mulai mengambil nasi. Keduanya segera mengikuti mengambil nasi dan ikan karena sudah dari tadi menahan lapar yang teramat sangat.
Dewi Mulia Ratri yang tadinya geli bukan main melihat kelakuan Arya Dahana berputar putar berkeliling membawa kuali, kini menelan ludah berkali kali karena bau masakan yang sampai ke tempatnya bersembunyi betul-betul menggiurkan. Duuuhh..pemuda itu sengaja menguarkan bau masakan itu ke atas untuk menyiksa dirinya yang juga sedang kelaparan. Pemuda itu tahu, serangan buah kecil tadi pasti datang dari atas. Nampaknya pemuda itu membalas dendam dengan cara yang unik yaitu dengan mengiming-imingi bau masakan yang luar biasa lezat.
Dewi Mulia Ratri hanya bisa menyesap air liurnya saat melihat tiga orang di bawahnya makan dengan lahap. Tanpa bisa dicegah lagi terdengar bunyi yang cukup kencang di tengah heningnya udara malam.
kruuuuukkk...kruuuukkk...
Belum juga bunyi di perutnya berhenti, tahu-tahu Arya Dahana sudah berdiri di hadapannya dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan masakan ikan yang sangat lezat tadi. Pemuda itu berkata dengan lirih tapi penuh dengan senyum tengil menggoda.
"He he he Ratri...ini makanlah. Aku sudah menduga bahwa kamulah yang usil dari tadi...aroma wangi tubuhmu yang khas melati bisa aku cium dari jauh.."
Dewi Mulia Ratri menatap Arya Dahana, lalu piring di tangan pemuda itu. Lalu beralih lagi kepada Arya Dahana. Tatapan terimakasih dan penuh kerinduan tergambar di wajahnya yang ayu. Tatapan yang tak terlukiskan oleh kata-kata sepanjang apapun atau seindah apapun. Sambil tersenyum mesra namun menyiratkan permohonan maaf, Dewi Mulia Ratri mengambil piring di tangan Arya Dahana dan dengan lahap menikmati makanan yang menggodanya itu.
Arya Dahana nyengir seperti kuda sambil memegang tangan gadis itu dengan lembut.
"Makanlah...aku akan membawakanmu lagi kalau kau masih lapar. Berilah tanda dengan menyambitku lagi. Kali ini usahakan jangan meleset ya?.."
Di tengah-tengah suapannya yang besar, Dewi Mulia Ratri mengulum senyum. Untunglah ini malam. Kalau tidak, Arya Dahana pasti bisa melihat pipinya yang memerah seperti tomat masak karena malu. Tubuh pemuda itu melesat cepat ke pohon-pohon di sebelahnya sebelum akhirnya turun dan berjalan menghampiri Dyah Puspita dan Bimala Calya.
Kedua gadis cantik ini kebingungan melihat Arya Dahana yang datang dengan tidak memegang piring makan lagi. Bukankah pemuda itu tadi mendadak berdiri dan berkelebat sambil memegang sepiring penuh dengan makanan?
Arya Dahana tidak mempedulikan tatapan penuh keheranan dua gadis itu. dengan santainya pemuda itu menyobek daun untuk alas makan dan melanjutkan makan dengan lahap. Dyah Puspita dan Bimala Calya bertukar pandang. Keduanya lalu mengangkat bahu dan meneruskan makan yang tertunda tadi.
Dari atas pohon, Dewi Mulia Ratri geli melihat wajah terheran-heran Dyah Puspita dan Bimala Calya. Arya Dahana secara cerdik memang tidak langsung melompat ke pohon tempatnya bersembunyi, namun terlebih dahulu berputar dari pohon ke pohon sebelum akhirnya sampai ke pohon tempatnya sembunyi.
Pemuda itu memang sengaja menghindari kedua gadis yang bersamanya tahu bahwa dia memberikan makanan kepada seseorang. Jika saja mereka tahu bahwa ada Dewi Mulia Ratri di atas pohon tempat mereka sedang menikmati makan malam, suasana pasti akan ribut dan runyam. Dyah Puspita mungkin tidak apa-apa. Tapi Arya Dahana tidak yakin dengan tanggapan Bimala Calya jika melihat Dewi Mulia Ratri di tempat ini.
Akhirnya malampun dilalui oleh para muda-mudi yang sedang berburu Batu Mustika Api. Pagi menyapa dengan keributan suara burung-burung yang elok suaranya. Bahkan terdengar juga lengkingan siamang yang sedang bermain-main di sarangnya. Sinar matahari meratapi kegagalannya mencoba menembus kabut yang menyelimuti pinggang Merapi.
Arya Dahana terbangun dengan tubuh segar. Tidurnya semalam benar-benar nyenyak karena dengan aneh hatinya terasa damai dan penuh kehangatan. Dilihatnya Dyah Puspita dan Bimala Calya masih tertidur pulas di dalam kantong tidur masing-masing. Pemuda ini teringat sesuatu. Tubuhnya berkelebat lenyap menaiki pohon hingga tiba di pohon tempat Dewi Mulia Ratri bersembunyi tadi malam.
Hati pemuda ini serasa seperti melayang jatuh. Dewi Mulia Ratri sudah pergi. Dahan besar tempatnya duduk tadi malam sudah kosong. Mata pemuda ini tertarik pada sesuatu yang aneh di batang besar pohon itu. Terdapat guratan-guratan aneh di situ. Sebuah tulisan. Ya sebuah tulisan yang dibuat dengan sangat hebat di kulit pohon. Dibacanya tulisan itu dengan hati-hati.
"Dahana...terimakasih untuk makanannya. Jika lain kali aku masih melihatmu merayu perempuan...percayalah...bidikanku tidak akan meleset lagi..."
Arya Dahana tersenyum lebar membaca tulisan itu. Jantungnya tanpa disuruh tiba-tiba berdebar lebih kencang. Apa maksud gadis cantik dari tanah Sunda itu? Aaahhh...Dia pasti berpikir dirinya adalah seorang perayu wanita. Senyum lebar di wajah Arya Dahana menyempit dengan cepat.
Pemuda ini segera melesat turun dan menemukan Dyah Puspita dan Bimala Calya masih meringkuk pulas. Pemuda ini mengambil peralatan memancingnya lalu berlari cepat menuju sungai kecil tempatnya mencari ikan tadi malam.
---
Andika Sinatria dan Putri Anjani tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Ternyata meskipun malam telah tiba, beberapa rombongan tetap naik ke arah puncak Merapi. Mereka tidak bisa tahu dengan pasti siapa saja yang lewat karena hanya suara langkah kaki yang terdengar dan bayangan hitam samar yang nampak. Jalanan umum itu memang diterangi oleh temaram cahaya bulan yang sudah hampir lahir sepenuhnya.
Kebangkitan Naga Merapi selalu pada saat bulan purnama dan terjadi setiap 200 tahun sekali. Setiap bangkit dari tidurnya yang berabad-abad, naga ajaib ini membawa sebuah batu mustika sakti yang ada di kepalanya. Batu mustika tersebut berbeda- beda dalam setiap kebangkitannya. Meskipun begitu, selalu dengan urutan yang sama, Mustika Bumi, Air, Api, dan yang terakhir Udara. Demikian selalu berulang setiap 200 tahun. Batu-batu mustika sakti itu membawa manfaat yang luar biasa bagi siapa saja yang beruntung memilikinya. Umumnya orang yang beruntung mendapatkan akan menelan batu mustika untuk memperkuat hawa murni secara luar biasa, menyembuhkan luka dalam yang tidak mungkin disembuhkan dengan obat ramuan biasa, atau bahkan sebagai campuran ramuan sihir yang hebat.
Jikalau tidak terjadi salah perhitungan dari tokoh-tokoh tua dunia persilatan, maka kali ini Naga Merapi akan membawa Mustika Api. Menurut sejarah yang diceritakan secara turun temurun, untuk mendapatkan Mustika yang dibawa Naga Merapi sangatlah tidak mudah. Meski selalu ada sebuah petunjuk berupa teka-teki yang hanya sedikit orang tahu. Petunjuk itu muncul saat kebangkitan yang sebelumnya. Jadi setiap kebangkitan Naga Merapi, selalu ada batu mustika dan petunjuk untuk mendapatkan batu mustika pada kebangkitan setelahnya.
Kisah ini juga diketahui oleh Andika Sinatria dan Putri Anjani. Kedua muda-mudi ini adalah murid dari orang-orang sakti yang tentu saja memahami benar bagaimana kisah mengenai Naga Merapi. Karena belum mengetahui seperti apa petunjuk untuk mendapatkan batu mustika kali ini, Andika Sinatria dan Putri Anjani hanya berharap pada upaya dan keberuntungan saja.
Setelah menyelesaikan urusan santap pagi, Andika Sinatria membuka percakapan dengan Putri Anjani.
"Putri, sebaiknya kita mulai naik ke atas puncak Merapi dua hari lagi sehingga kita tidak terlalu lama menunggu. Kau tahu betapa heboh dan ramainya keadaan di puncak Merapi saat ini. Berbagai orang dari berbagai aliran dan golongan berkumpul bersama di sana. Bahkan banyak sekali orang-orang yang berseteru juga ada di sana secara bersamaan. Ini cukup berbahaya. Kita tidak mau terlibat dengan urusan apapun di atas sana selain mencoba peruntungan mendapatkan batu Mustika Api. Bagaimana menurutmu?"
Putri Anjani menatap Andika Sinatria sejenak, kemudian membuang pandangannya ke atas.
"Aku akan ikuti apa katamu Pangeran. Jika itu yang terbaik, aku ikut saja."
Andika Sinatria menyahuti dengan senang.
"Baiklah. Kalau begitu kita sepakat. Aku hanya heran. Kemana gerangan Dewi Mulia Ratri? Seharusnya dia sudah ada di tempat ini sekarang."
Putri Anjani menoleh cepat ke Andika Sinatria. Wajahnya nampak tidak senang mendengar nama itu disebut.
"Dia sudah besar pangeran. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Kenapa harus membicarakan dia sementara aku ada di sini?"
Pangeran muda itu memerah mukanya. Dia tadi keceplosan bicara sesuai dengan apa yang dipikirkannya saat ini. Buru-buru pangeran ini berkata.
"Bukan begitu maksudku Putri. Kita harus sama-sama saling menjaga. Kau dan Dewi sama-sama penting bagi Galuh Pakuan. Aku tidak mau salah satu dari kalian ada apa-apa."
Putri Anjani sepertinya agak mereda ketersinggungannya. Dia tersenyum manis kepada Andika Sinatria. Selanjutnya kedua muda-mudi ini sepakat untuk berlatih selama sisa hari sebelum mereka berangkat naik ke puncak Merapi.
---
Dewi Mulia Ratri menghentikan langkahnya saat mendekati puncak Merapi. Dia sengaja tidak buru-buru sampai ke puncak. Dia yakin puncak Merapi sekarang sudah dipenuhi orang-orang dari dunia persilatan. Dia hanya akan muncul saat purnama tiba. Biarlah dia mengambil jalan yang sunyi di bawah puncak Merapi. Toh hatinya sudah terasa ramai sekali semenjak bertemu Arya Dahana tadi malam. Kegaduhan yang dirasakan dalam hatinya membuat gadis itu tersenyum-senyum seorang diri. Pemuda tengil itu memang berbeda dari yang lain. Dia merasa pemuda itu menaruh hati kepadanya namun coba disembunyikannya dengan tingkahnya yang konyol.
Konyol atau bodoh?! Kalau pemuda itu terus-terusan bersikap seperti itu bagaimana dia yakin pemuda itu benar menyukainya? Ah biarlah waktu saja nanti yang membuktikan. Sekarang dia harus fokus pada urusan Mustika Api ini. Arya Dahana sangat membutuhkannya. Gadis ini teringat saat pemuda itu terluka parah di Alas Roban beberapa waktu yang lampau. Dia menyaksikan sendiri betapa untuk bertahan hidup pemuda itu harus bekerja keras.
Gadis cantik itu memutus lamunannya dengan menyibukkan diri membangun lagi pondok untuk tempat istirahat beberapa malam ini. Masih empat hari lagi sebelum purnama tiba. Dia akan memperbanyak bersamadi untuk menenangkan jiwa dan pikirannya. Alka Awahita dan Arya Dahana seringkali menguras pikirannya dalam-dalam.
Dewi Mulia Ratri bersamadi hampir setengah harian. Dilanjutkan dengan berlatih ilmu-ilmu sihir dari Kitab Ranu Kumbolo. Gadis itu baru berhenti saat rasa lapar menerjang perutnya. Mau tidak mau gadis cantik itu menyudahi latihannya. Dia harus mencari makanan di dalam hutan perdu. Dan itu sangatlah sulit. Jarang ada binatang buruan sampai ke atas sini. Terlalu dingin dan sulit air. Mencari ikan lebih mustahil lagi. Tidak ada sungai yang cukup besar tempat ikan berumah tinggal. Yang paling mungkin ada adalah buah atau bunga yang bisa dimakan.
Teringat makanan, Dewi Mulia Ratri tersenyum dikulum teringat bagaimana sepiring makanan lezat yang dilahapnya di atas pohon tadi malam. Rasa makanan sederhana itu sangat luar biasa. Hmmm...mungkin karena ada rasa cinta di dalamnya? Cintanya dan cinta Arya Dahana? Dewi Mulia Ratri menepis pikirannya yang kembali melayang pada sosok pemuda tengil itu. kalau begini caranya kapan aku cari makan? Melamun terus-terusan...Dewi Mulia Ratri merutuk kelemahan dirinya.
Akhirnya meski dengan sedikit susah payah, Dewi Mulia Ratri memperoleh setangkup jamur hutan yang cukup bisa mengenyangkan. Setelah makan, gadis cantik itu meneruskan latihannya kembali. Dia mencoba ilmu mancala sukma. Merubah sebatang pohon kecil menjadi seekor kelinci yang lucu. Berhasil! Dicobanya lagi merubah rumpun perdu menjadi bunga melati yang sangat indah dan berbau wangi. Berhasil!
Gadis itu sebetulnya mau mencoba ilmu sihir Menaklukkan Roh yang bisa membangkitkan dan mengendalikan pasukan dari alam gaib, namun ragu-ragu. Ini di puncak gunung yang jauh dari mana-mana, di tengah-tengah hutan perdu yang suasananya sangat sunyi. Apakah dia sanggup menyaksikan penampakan yang mengerikan seorang diri di sini? Meski dia bisa mengendalikan mereka?
Ilmu Menaklukkan Roh ini sudah dikuasainya dengan baik. Dulu saat pecah perang Blambangan dia hanya bisa sampai menghancurkan makhluk-makhluk gaib. Belum sampai pada tahap membangkitkan dan mengendalikan. Dewi Mulia Ratri sangat bersemangat untuk mencoba ilmu ini, namun dia benar-benar bingung. Bagaimana jika makhluk yang dibangkitkannya tidak bisa dia kendalikan? Tapi jika tidak pernah dicoba, kapan dia bisa tahu?
Dewi Mulia Ratri membulatkan tekadnya. Dia harus mencoba sekarang. Dia tidak akan tahu kapan membutuhkan penggunaan ilmu ini. Jika suatu saat memang dibutuhkan, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Gadis cantik ini memusatkan perhatiannya pada apa yang sudah dipelajarinya dalam Ilmu Menaklukkan Roh. Begitu dia merapal ajian ini, angin tiba-tiba seperti berhenti berhembus. Udara menjadi luar biasa dingin. Jauh lebih dingin dari yang seharusnya. Perlahan-lahan kabut tebal turun menyelimuti area itu. Tidak ada suara apapun yang terdengar. Hening dan sunyi. Dewi Mulia Ratri hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Daun-daun perdu tertunduk membeku. Seolah takut akan menganggu jika melakukan gerakan walau sedikit.
Suasana hening dan mencekam itu berlangsung beberapa lama. Sampai akhirnya kabut tebal itu perlahan-lahan terangkat ke atas. Udara kembali seperti semula dan angin kembali bertiup. Begitu semua kabut telah menghilang dari permukaan, Dewi Mulia Ratri terkejut bukan main saat di depannya berdiri berjajar bermacam makhluk dengan berbagai bentuk. Tentu saja yang sedang berdiri di depannya dijamin bukanlah manusia. Ada genderuwo, banaspati, kuntilanak, dan berbagai jenis makhluk gaib yang hanya ada dalam cerita anak-anak.
Diam-diam dan tanpa terasa, hampir semua bulu di tubuh Dewi Mulia Ratri berdiri. Dia sendirian di sini! Dikelilingi puluhan makhluk aneh yang semua memandangnya dengan rasa ingin tahu!
Dewi Mulia Ratri menenangkan hatinya. Gadis ini melangkah ke depan. Sesuai rangkaian ilmu Menaklukkan Roh, Dewi Mulia Ratri mengangkat kedua tangannya, memutarnya searah putaran bumi, lalu mengebutkannya ke arah makhluk-makhluk itu. makhluk-makhluk itu membungkukkan tubuh kepada Dewi Mulia Ratri.
Gadis itu tahu bahwa semua makhluk di hadapannya sudah siap menerima dan menjalankan semua perintahnya. Sekarang apa yang harus dia dilakukan? Dengan asal gadis ini menunjuk ke arah ke arah bawah gunung. Sontak makhluk-makhluk itu mengeluarkan suara yang tidak lumrah namun menggetarkan sukma. Selanjutnya secara serempak berhamburan menyerbu ke....Arya Dahana.
Benar-benar kebetulan yang sangat sial bagi Arya Dahana. Karena tepat pada saat Dewi Mulia Ratri menudingkan telunjuknya, tepat saat itu pula Arya Dahana muncul dari balik rimbun perdu. Pasukan gaib itu mengeluarkan suara-suara aneh mengerikan. Gerakan mereka cepat dan bertenaga kuat. Cakar-cakar panjang menakutkan berkelebatan menyambar-nyambar Arya Dahana. Gigi-gigi taring berlumuran darah mengincar leher dan tubuh pemuda itu.
Terdengar jerit ngeri melengking waktu Dyah Puspita dan Bimala Calya yang menyusul Arya Dahana dari belakang menyaksikan pemuda itu diserang oleh pasukan yang luar biasa aneh dan menakutkan. Beberapa mahkluk gaib itu mendengar jeritan Bimala Calya. Sebagian dari pasukan gaib itu langsung memisahkan diri dan menyerang Dyah Puspita dan Bimala Calya.
Awalnya tadi Dewi Mulia Ratri berniat menyuruh mundur pasukannya ketika dilihatnya yang diserang adalah Arya Dahana. Namun niat itu ditariknya kembali saat Dyah Puspita dan Bimala Calya muncul di belakang Arya Dahana. Dia tidak hendak mencelakakan kedua gadis itu meski panasnya hati tadi malam meluap lagi. Biar mereka menjerit-jerit ketakutan dulu baru dia akan menarik mundur pasukannya yang mengerikan itu.
Belum sempat kenikmatan yang ditunggu Dewi Mulia Ratri itu datang, pasukannya yang menyerang Dyah Puspita dan Bimala Calya ternyata sudah membeku dan hancur jadi debu satu demi satu. Dyah Puspita terlihat membagi-bagikan pukulan luar biasa yang sangat terasa hawa dinginnya hingga ke tempatnya berdiri. Pukulan Busur Bintang Dyah Puspita memang belum sempurna, namun sudah sampai pada tingkatan tinggi. Dan itu cukup untuk menghadapi pasukan gaib yang tidak akan mempan jika dihadapi dengan ilmu kanuragan biasa. Bimala Calya terus saja berlindung di belakang Dyah Puspita. Matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit tidak karuan.
Rupanya gadis ini sedang mengalami rasa ketakutan yang luar biasa. Bimala Calya terbiasa dengan dunia hitam dan penuh kejahatan. Namun melihat secara langsung makhluk-makhluk dari alam gaib ternyata membuatnya sangat ketakutan.
Di tempat yang tidak terlalu jauh, Arya Dahana mengerahkan ilmu pukulan Geni Sewindu hingga tingkat tertinggi. Karena hanya tingkat tertinggilah yang bisa menghadapi sihir dan kekuatan gaib. Tubuh pemuda itu berkilau keperakan. Saat tangannya dipukulkan ke depan. Berkelebatan sinar-sinar keperakan yang menyambar-nyambar makhluk makhluk itu. begitu tersentuh atau terkena sinar keperakan, tubuh-tubuh fana makhluk-makhluk itu langsung saja gosong menjadi arang dan seketika ambyar menjadi abu. Tidak sampai beberapa jeda, puluhan makhluk yang menyerangnya sudah lenyap dari depan mata.
Dewi Mulia Ratri menggeram marah melihat ini. Tubuhnya meluncur ke depan menyerang Arya Dahana. Tidak main-main, dikerahkannya pukulan sakti Pena Menggores Awan yang terkenal. Asap putih bergulung-gulung seperti badai mendahului serangan. Arya Dahana tentu saja terperanjat bukan kepalang. Gadis ini menyerangnya membabi-buta. Penuh dengan kemarahan yang meluap-luap. Arya Dahana tentu saja tahu betapa hebatnya tingkat ilmu gadis Sanggabuana itu. Pemuda ini berusaha mempertahankan diri tanpa balik menyerang. Akibatnya tentu saja dia kewalahan. Pemuda ini terdesak mundur dengan hebat.
Nampak sekali bahwa Arya Dahana hanya mengalah setengah pasrah. Jika ini dilanjutkan, bisa dijamin bahwa pemuda itu akan terluka. Sedangkan Dewi Mulia Ratri seperti orang yang gelap mata. Serangannya mengalir bertubi-tubi tanpa henti. Dyah Puspita yang berhasil menghancurkan lawan gaibnya yang terakhir, melihat Arya Dahana dalam bahaya besar. Gadis ini berkelebat ke depan dan tanpa ragu-ragu menyerang Dewi Mulia Ratri sepenuhnya. Maksudnya tentu saja agar Dewi Mulia Ratri teralihkan perhatiannya dan Arya Dahana bisa mengambil nafas. Dyah Puspita sama sekali tidak mengerti kenapa Dewi Mulia Ratri menyerang Arya Dahana dengan berapi-api.
Arya Dahana dan Bimala Calya sekarang menyaksikan adu ilmu yang luar biasa. Dua bayangan gadis yang sama-sama cantik ini berkelebatan kesana kemari. Mereka mengerahkan ilmu andalan masing-masing. Dewi Mulia Ratri dengan Pena Menggores Awannya dan Dyah Puspita dengan Geni Sewindunya.
Arya Dahana berdecak kagum. Ini seperti sebuah tarian indah yang sedang ditarikan oleh dua bidadari yang sedang murka. Bimala Calya hampir tak berkedip menyaksikan pertandingan seru dan menegangkan ini. Dia menyadari sekarang bahwa ilmu kanuragannya masih jauh di bawah dua gadis yang sedang bertempur itu. Aku harus belajar lebih keras dari sekarang, pikir Bimala Calya bersemangat.
Rupanya pertempuran itu semakin memanas. Dua gadis jelita itu sama-sama tidak mau kalah. Dyah Puspita yang tadinya hanya berniat menyelamatkan Arya Dahana, sekarang balik menyerang dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Dewi Mulia Ratri yang tadinya hanya ingin melampiaskan amarahnya kepada Arya Dahana, kini mengalihkan kemarahan itu kepada Dyah Puspita.
Arya Dahana melihat pertarungan itu semakin tidak terkendali. Bisa-bisa salah satu atau bahkan dua-dua gadis itu akan celaka. Digerakkan tubuhnya ke depan. Tangan kanannya menyambar lengan Dyah Puspita, sedangkan tangan kirinya memegang lengan Dewi Mulia Ratri. Untuk berjaga-jaga Arya Dahana mengerahkan segenap tenaga dalam melindungi tubuhnya. Dua gadis yang masing-masing dipegang lengannya oleh Arya Dahana seperti tidak berkutik. Bukan karena tidak mampu melepaskan diri, namun keduanya memang tidak ingin melukai Arya Dahana yang berniat memisahkan pertarungan mereka.
Arya Dahana membawa kedua gadis itu duduk di bekas rumpun perdu yang hancur berantakan bekas pertempuran tadi. Sambil menautkan kedua alisnya, pemuda ini memandang marah kepada Dewi Mulia Ratri dan Dyah Puspita bergantian. Sorot matanya yang biasa tengil dan konyol itu kini berkilat-kilat seperti mata pisau. Tidak ada sedikitpun kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Saat Dyah Puspita bertemu dengan sorot mata itu, wajahnya memucat lalu menundukkan kepala menghindar. Hatinya seperti mengkerut. Dia tidak bisa melawan tatapan setajam elang itu.
Dewi Mulia Ratri awalnya menantang tatapan mata Arya Dahana ketika pemuda itu memandangnya dengan marah. Namun hanya seperkian jeda saja gadis itu mampu bertahan. Akhirnya gadis itu menundukkan muka dengan hati kecut. Baru kali ini dia melihat pemuda tengil itu marah. Dan ternyata ngeri sekali. Jauh lebih ngeri dibanding pasukan gaib yang dibangkitkannya tadi.
Suasana menjadi hening seperti di pemakaman. Arya Dahana berkali kali menghela nafas panjang mencoba meredakan amarahnya. Pemuda ini lalu duduk di hadapan dua gadis cantik yang masih menunduk jerih.
"Ratri, Puspa....aku benar-benar tidak mengerti apa yang membuat kalian tadi sampai bernafsu untuk saling bunuh. Kalian adalah gadis-gadis perkasa yang hatinya terbuat dari permata. Kalian adalah nafas kekagumanku. Kalian hidup di jantungku. Tapi hari ini kalian adalah jelmaan iblis yang haus akan darah...."
Arya Dahana menghentikan kalimatnya sejenak. Nafasnya terengah-engah saking menahan amarah yang masih menjelajahi perasaannya.
"Kalau hanya karena aku yang menjadi penyebab kalian mau saling bunuh. Kalian salah besar. Aku tidak layak untuk menjadi sebuah alasan. Aku hanya anak tanpa ibu bapa, tanpa harta, tanpa istana. Aku menyayangi kalian seperti aku menyayangi udara pagi. Kalian memberi kesegaran tanpa imbalan. Aku menyayangi kalian seperti aku menyayangi hujan yang turun di musim kemarau. Kalian memberi hidup sawah dan ladang dengan kemuliaan...aaaahhhh kalian membuatku sedih. Kalian menodai arti sebuah perjuangan, kalian membuat hatiku jatuh di jurang sedalam jurang Tawangmangu...."
Serentak Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri mengangkat muka. Kedua wajah cantik itu dibasahi airmata. Dewi Mulia Ratri bahkan terisak-isak. Kedua gadis cantik itu tanpa sadar lagi memegang kedua tangan Arya Dahana. Dua pasang mata itu menunjukkan rasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh seorang ahli cinta sekalipun saking dalamnya.
Arya Dahana menjadi terharu. Isak penyesalan yang keluar dari mulut-mulut manis itu terasa sekali menyedot sukma. Diremasnya kedua tangan lembut Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri. Jika tidak ada Bimala Calya, ingin dia memeluk dua gadis yang selalu menganggu ketenangan jiwanya ini. Namun Bimala Calya bisa terluka. Dia tidak ingin lagi menjadi penyebab hancurnya hati seorang wanita.
Arya Dahana membimbing kedua gadis itu kembali duduk. Dilambaikan tangan kepada Bimala Calya. Memberi isyarat agar ikut duduk bersama mereka. Ketiga gadis itu sekarang duduk melingkari Arya Dahana. Menunggu apa lagi yang akan disampaikan pemuda ini.
Dan yang terjadi adalah.....hening lagi. Arya Dahana malah menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba tersenyum manis. Namun yang keluar adalah senyum terjelek yang pernah ada di dunia. Membesarkan hatinya dengan batuk-batuk tertahan. Lalu mencoba tersenyum lagi. Hasilnya adalah senyum yang lebih jelek lagi.
Ketiga gadis yang tadinya sudah bersiap hanyut dalam rangkaian kalimat mengayun-ayun. Kini saling pandang sambil merengut sebal. Pemuda ini kembali menjadi orang tengil dan menyebalkan. Tanpa janjian sebelumnya, ketiga gadis ini bangkit serentak, melengos kesal kemudian berjalan pergi tanpa peduli pada Arya Dahana lagi.
Yang ditinggal hanya bisa melongo. Namun menyaksikan ketiga gadis itu pergi bersama-sama, lalu dilihatnya duduk di bawah perdu lebat dan kemudian bercakap-cakap lirih, membuat pemuda ini sangat lega. Dia mengayunkan langkah mencari ranting-ranting kering untuk persiapan nanti malam.
Ketiga gadis itu saling pandang satu sama lain ketika melihat Arya Dahana pergi menghilang di kegelapan semak dan perdu. Dewi Mulia Ratri memegang tangan Dyah Puspita.
"Kakak Puspa, maafkan aku. Aku tadi terbawa perasaan tidak karuan. Kamu adalah gadis yang baik. Aku sebenarnya tidak ingin menyakitimu.."
Dyah Puspita tersenyum dan menjawab tulus.
"Sudahlah Dewi, lupakan saja peristiwa tadi. Aku juga salah karena hanyut terbawa rasa hati. Aku juga tidak ingin menyakitimu atau melukaimu.."
Bimala Calya yang menyaksikan semua itu menjadi terharu. Dilihatnya ada kehangatan dan kerelaan di mata kedua gadis perkasa di depannya. Gadis yang cepat sekali tersentuh hatinya ini, memegang kedua tangan Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri. Matanya yang bening berkaca-kaca. Suaranya bergetar saat kalimat meluncur dari mulutnya yang manis.
"Aku...aku...bolehkah aku mengenal kalian secara lebih dalam?....kalian gadis-gadis yang luar biasa...aku tidak pernah punya saudara...bolehkan aku menjadi saudara kalian...?"
Dewi Mulia Ratri dan Dyah Puspita serentak memeluk Bimala Calya yang sekarang menangis sesenggukan. Ketiga gadis itu bertangisan seperti kehilangan kekasih yang sangat dicintai. Suasana haru itu berlangsung cukup lama. Sampai akhirnya ketiganya tersadar dan lalu tertawa lepas bersama-sama.
Dewi Mulia Ratri melihat ada yang aneh saat tiba-tiba Dyah Puspita berbisik pelan di telinganya.
"Dewi, aku hanya akan rela jika bisa menitipkan Arya Dahana kepadamu...pemuda itu adalah separuh dari jiwaku...pemuda itu adalah tempatku menitipkan hati selama ini...jika aku tidak mempunyai waktu yang lebih lama untuk menjaganya...tolong jagalah dia...demi hatiku....dan aku juga tahu...demi hatimu..."
Jantung Dewi Mulia Ratri berdentam-dentam lebih kencang. Tubuhnya mendadak gemetaran. Dyah Puspita berkata seolah-olah dia akan pergi selamanya. Pesan yang disampaikan gadis cantik itu mengandung makna yang tidak bisa dicerna hanya dengan akal dan pikiran biasa. Ada sesuatu yang berhembus dingin dan hangat dalam getaran-getaran kalimat di situ.
"Kakak Puspa.....aku...aku...tidak mengerti sepenuhnya apa maksudmu. Aku tidak bermaksud merebut Dahana dari sampingmu sama sekali. Aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu...Dahana sangat mengasihimu...mencintaimu...dia akan sangat terlindungi olehmu. Perjuanganmu untuknya...sangat luar biasa."
Dyah Puspita mengetatkan pelukannya. Kembali gadis ini dengan sungguh-sungguh berbisik. Kali ini lebih lirih lagi.
"Dewi, aku tidak tahu kenapa aku berkata seperti ini...rasanya aku tidak punya waktu banyak untuk terus bersamanya....jagalah dia adik yang cantik. Aku sudah bersumpah di hadapan mendiang ayahnya untuk menjaganya baik-baik. Aku teruskan janji itu kepadamu....berjanjilah...kau akan menjaganya dengan sepenuh hatimu..."
Dyah Puspita tidak mampu melanjutkan ucapannya. Lehernya tercekat hebat. Hatinya seperti jatuh ke jurang yang tak terukur dalamnya. Airmata yang mengalir tidaklah deras. Namun semua tetesnya mengandung kasih dan cinta yang tak terhingga. Mewakili jiwa yang kehilangan isinya.
Dewi Mulia Ratri tidak sanggup lagi berkata-kata. Airmata memenuhi kedua belah pipinya. Tenggorokannya seperti tersumbat. Gadis yang sedang memeluknya ini adalah gambaran kesempurnaan dari setianya hati, murninya cinta, setinggi-tingginya kasih sayang.
Dewi Mulia Ratri menelan ludahnya. Tentu saja dia dengan senang hati akan menjaga pemuda tengil itu. Dia sekarang sudah sangat yakin, hatinya sudah tercuri oleh si pemuda. Dia lupa akan rasa sunyi waktu bisa bertemu dengannya. Dia bebas bersikap dan bertindak sesuai dengan kata hatinya tanpa harus memikirkan bagaimana pendapat orang. Selama ini di istana dia selalu menjaga wibawanya. Orang-orang di istana Galuh Pakuan melihatnya sebagai seorang gadis yang tegas, galak dan berwibawa. Sangat sedikit senyum singgah di bibirnya. Meskipun pada dasarnya gadis ini adalah seorang yang periang.
Tapi bersama Arya Dahana, perannya menjadi langit berubah menjadi bumi. Dia bisa tertawa terbahak tak habis-habis. Melenggang cantik seperti putri atau melompat buas seperti harimau. Semua hal bisa dinikmatinya.
Harimau? Dewi Mulia Ratri jadi ingat pada Sima Lodra. Kemana gerangan harimau sakti itu? Kenapa tidak bersama mereka?
"Kakak Puspa? Mana Sima Lodra? Aku tidak melihatnya datang bersama kalian. Aku, merindukannya."
Dyah Puspita melepaskan pelukannya. Wajahnya yang sembab karena airmata tersenyum lebar. Gadis ini sangat cocok dengan Arya Dahana. Perubahan hatinya seperti angin. Bisa semilir sejuk, bertiup nakal atau menjadi badai.
"Sima Lodra kami tinggalkan di Alas Roban. Dia aku suruh menjaga Ayu Wulan."
Dewi Mulia Ratri mengangguk mengerti. Semakin banyak saja lingkaran perempuan di sekeliling Arya Dahana. Gadis itu mengeluh dalam hati. Apakah dia nanti sanggup melihat pemuda itu setiap saat dikelilingi perempuan? Cantik-cantik lagi.
Selama beberapa hari sebelum purnama tiba dengan sempurna dan naga bangkit dari tidurnya, empat muda-mudi itu tinggal dan menunggu di tempat itu. Beberapa hari yang membuat kedekatan antara Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri menjadi sangat erat. Bahkan Bimala Calya pun akhirnya menjadi akrab dengan kedua gadis itu. Banyak tukar menukar kisah dan cerita di antara mereka.
Ketika giliran Bimala Calya bercerita sehari sebelum mereka sepakat untuk naik ke puncak, Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri sampai melongo saking serunya cerita kehidupan gadis dari Lawa Agung itu. Bagaimana sejak kecil dia diangkat anak oleh Panglima Kelelawar yang saat itu masih menjadi seorang pengembara. Mengikuti pengembaraan sang ayah angkat yang penuh dengan petualangan kekerasan dan tumpahan darah. Bagaimana ketika dia diajarkan cara mengendalikan pasukan kelelawar beracun yang dikumpulkan oleh Panglima Kelelawar dari berbagai negeri. Bagaimana juga ketika dia mulai tinggal di Pulau Kabut di lepas pantai Sukabumi.
Kedua gadis yang mendengarkan bergidik ngeri ketika cerita Bimala Calya mengenai kehebatan pasukan kelelawar beracun, diiyakan oleh Dewi Mulia Ratri yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri kengerian saat tubuh manusia habis tersedot darahnya dalam hitungan detik.
Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri menjadi ngenes mendengar cerita Bimala Calya yang tidak pernah merasakan kasih sayang keluarga. Panglima Kelelawar yang menjadi ayah angkatnya hanya mendidiknya menjadi seorang gadis hebat dan tangguh tanpa peduli terhadap yang namanya perhatian dan kasih sayang sedikitpun. Karena itu sewaktu berjumpa dan kemudian dirawat oleh Arya Dahana pada saat dirinya terluka, gadis ini baru merasakan apa yang dinamakan kebaikan dan kasih sayang. Apalagi di sepanjang perjalanan menuju Alas Roban, dia melihat bagaimana Arya Dahana selalu berusaha berbuat kebaikan dan menolong orang. Sejak itulah dia berjanji dalam hati, inilah jalannya.
Tidak terasa, setengah hari penuh mereka berbincang-bincang dan bercerita. Ketiganya sepakat untuk sekuat tenaga berjuang mendapatkan Mustika Api yang nantinya akan mereka berikan kepada Arya Dahana. Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri tahu persis seperti apa perjuangan pemuda itu saat mempertahankan hidup ketika "sakit" yang dideritanya sejak kecil menghantam dirinya sendiri. Dyah Puspita menyaksikannya berkali-kali. Sedangkan Dewi Mulia Ratri sempat melihatnya dua kali. Namun itu sudah lebih cukup. Pemuda itu sangat tersiksa dan selamanya akan tersiksa jika tidak segera pulih dan disembuhkan. Mustika Api adalah obat satu-satunya yang bisa memulihkan kondisi anehnya.
Tekad ini kemudian terpatri di ketiga gadis yang meskipun tidak saling mengaku, sama-sama mengasihi pemuda yang konyol namun baik hati itu. Arya Dahana sebenarnya sangat beruntung. Ketiga gadis yang mengasihinya adalah gadis-gadis pilihan. Dyah Puspita mengorbankan semuanya agar dapat mendampinginya terus sampai bisa mendapatkan mustika naga. Pangkat, kekayaan, dan nama, semua ditinggalkan. Bahkan menjadi buronan pun dilakoninya demi pemuda itu.
Sementara Dewi Mulia Ratri adalah gadis yang lihai bukan main. Mumpuni di olah kanuragan dan sangat hebat luar biasa dalam sihir. belum lagi gadis itu adalah seorang petinggi kerajaan Galuh Pakuan. Seorang kepala pengawal Raja. Seorang pewaris padepokan besar di Jawa bagian barat.
Sedangkan Bimala Calya adalah gadis tangguh yang menjadi kepercayaan Panglima Kelelawar, seorang pemimpin baru dari kerajaan baru. Gadis yang mempunyai kemampuan aneh memimpin jutaan pasukan kelelawar beracun yang dengan mudahnya akan memporak-porandakan sepasukan besar orang-orang pilihan dari kerajaan besar.
Sebenarnya Arya Dahana tidak sepenuhnya menyadari kalau ketiga gadis itu menaruh hati kepadanya. Pemuda ini terlalu tidak paham mengenai urusan-urusan yang berkaitan dengan hati. Dia hanya tahu dan merasakan bahwa Dyah Puspita sangat menyayanginya. Bimala Calya sangat memperhatikannya, dan Dewi Mulia Ratri suka sekali menamparnya.
---
Akhirnya malampun tiba. Keempat muda-mudi itu sepakat untuk naik ke puncak yang tidak seberapa jauh esok paginya. Malam ini malam terakhir, sebelum esok malam mereka dan semua tokoh besar dunia persilatan, akan menyaksikan kebangkitan sang legenda, Naga Gunung Merapi. Malam ini mereka semua harus mengumpulkan tenaga. Semuanya tahu bahwa menaklukkan Naga Merapi dan merebut mustikanya sangatlah berat. Belum lagi para tokoh lain yang pasti juga akan berusaha merebut mustika itu dengan segala daya upaya. Sudah terbayang bahwa esok malam akan terjadi pertarungan-pertarungan hebat. Hampir semua tokoh dunia persilatan berkumpul di puncak Merapi. Bahkan tokoh-tokoh yang biasanya hanya suka menyepi dan menyendiri, bisa dipastikan akan muncul di sini. Mustika Naga sangat berharga untuk diabaikan begitu saja. Apalagi peristiwa ini cuma terjadi 200 tahun sekali.
Dyah Puspita, Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya memilih untuk tidur setelah makan malam usai. Mereka bertiga tidur di sebuah pondok mungil yang disiapkan oleh Arya Dahana tadi siang. Arya Dahana sendiri beristirahat tidak jauh dari mereka. Pemuda itu memilih duduk bersila di bawah semak perdu yang tajuknya cukup lebar untuk menutupi jika hujan tiba-tiba datang.
Suara gemuruh dari atas semakin jelas dari tempat ini. Bahkan terkadang sangat terasa guncangan-guncangan kecil yang ditimbulkan oleh gempa gunung yang terkenal pemarah itu. Setiap Naga Merapi terbangun dari tidurnya yang panjang, gunung itu juga bersiap-siap untuk meletus. Bahkan beberapa ribu tahun yang lalu, hampir semua orang yang datang memperebutkan mustika naga di puncak Merapi, tewas terkena letusan gunung itu. Hanya beberapa orang yang sempat menyelamatkan diri.
Berani datang ke puncak Merapi saat Sang Naga bangkit mempunyai beberapa bahaya. Bahaya pertama datang dari amukan Sang Naga sendiri yang akan mempertahankan sekuatnya mustika di atas kepalanya. Bahaya kedua adalah akibat dari pertarungan-pertarungan hebat yang pasti akan terjadi. Bahaya selanjutnya yang juga tidak kalah seramnya adalah jika terjadi letusan gunung bersamaan dengan munculnya Sang Naga.
Jika tidak cepat-cepat turun menyelamatkan diri saat tanda-tanda meletus akan tiba, mustahil orang bisa selamat dari awan panas yang akan menyapu tempat itu.
Meskipun masih terdengar gemuruh dari atas sesekali, namun malam ini sangat hening. Keempat muda-mudi ini sudah di tempatnya masing-masing untuk bersiap tidur. Udara sangat dingin. Namun angin sepertinya enggan untuk bertiup. Arya Dahana melihat dari kejauhan ketiga gadis itu meringkuk kedinginan. Mereka sudah terlelap dalam tidurnya sehingga enggan untuk mengerahkan hawa murni melawan dingin. Memang ada selimut yang dibawa oleh Dyah Puspita, namun karena dipakai bertiga, selimut itu tidak cukup untuk menyelimuti semuanya.
Pemuda ini bangkit dari duduk bersilanya dan menghampiri tempat tiga gadis yang sedang kedinginan itu. Dia lalu duduk bersila di dekat mereka dan mulai mengerahkan ajian Geni Sewindu secukupnya untuk menghangatkan udara di sekeliling mereka berempat. Udara di sekitar mereka menjadi hangat. Namun Arya Dahana tetap harus duduk bersila agar bisa mengerahkan hawa murni dengan sempurna.
Ketiga gadis yang tadinya dalam posisi meringkuk kini terlihat mulai tenang tidurnya. Suara nafas mereka teratur berirama tanda dalam keadaan pulas. Arya Dahana yang juga sudah mengantuk mengatur posisi bersilanya supaya lebih nyaman dan akhirnya terlelap sembari duduk. Dewi Mulia Ratri membuka matanya. Gadis itu sedari tadi belum benar-benar terlelap karena masih menghayal macam-macam, sehingga dia tahu ketika Arya Dahana mendekati mereka bertiga dan kemudian mengerahkan tenaga dalam untuk menghangatkan udara agar mereka tidak kedinginan.
Dewi Mulia Ratri memperhatikan wajah pemuda yang sedang tidur sambil duduk bersila di hadapannya. Wajah yang tenang dan polos. Mulutnya melongo dan terdengar dengkuran ringan. Kelihatannya sangat pulas. Dewi Mulia Ratri menghabiskan beberapa saat melihat wajah pemuda itu sepuasnya sebelum akhirnya juga bertekuk lutut pada rasa kantuk yang menyerangnya.
Di pagi harinya, tiga gadis ini bangun hampir bersamaan. Ketiganya bangkit lalu membereskan alas tidur dan selimut yang sudah lari kemana-mana. Dyah Puspita mengangkat mukanya mencari-cari. Arya Dahana tidak ada di tempatnya. Gadis itu menduga pemuda itu pasti sedang mencari makanan untuk mereka.
Dan benar saja, tak lama kemudian pemuda ini datang sambil membawa beberapa ekor ikan segar yang baru saja diasap. Pemuda ini lalu menyalakan api dari ranting kering dan mulai memasak air.
Bimala Calya buru-buru bersiap menanak nasi dan mengambil ikan di tangan Arya Dahana untuk dimasak. Gadis ini memang sangat terampil mengerjakan pekerjaan wanita karena terlatih mandiri sejak kecil di bawah bimbingan Panglima Kelelawar.
Tak sampai beberapa jeda, masakan sudah siap. Bau harum masakan menguar di sekitar tempat itu. menerbitkan air liur siapa saja yang membauinya. Mereka serentak membersihkan diri di mata air kecil yang ada di atas tempat mereka bermalam. Setelah itu mereka serentak pula menghadap masakan yang menggiurkan itu.
Keempatnya makan pagi dengan lahap tanpa berkata-kata. Hanya tatapan mata saling bersirobok yang mengandung banyak makna di antara mereka. Tatapan lemah Dyah Puspita kepada Arya Dahana. Tatapan penuh kasih Bimala Calya kepada Arya Dahana. Tatapan penuh selidik Dewi Mulia Ratri kepada Arya Dahana. Serta tatapan tengil Arya Dahana kepada mereka bertiga.
Setelah perut cukup terisi, keempat muda-mudi ini segera mengemasi kelengkapan perbekalan mereka. Pagi ini mereka akan menuju ke puncak Merapi. Perjalanan akan memakan waktu tidak sampai tengah hari jika dilakukan dengan santai.
Perbekalan selesai dikemas. Dyah Puspita, Dewi Mulia Ratri, Bimala Calya dan Arya Dahana kemudian mulai melangkah menuju malam yang sangat penting dalam hidup mereka. Kali ini tidak banyak percakapan yang mereka lakukan. Jalan menuju puncak gunung sangat sulit jika melalui sisi gunung yang ini. Mendekati tengah hari, puncak gunung Merapi yang berpasir dan berbatu tanpa satupun tanaman mulai terlihat. Mulai dari sini terlihat banyak sekali kemah-kemah yang berdiri di sana sini. Ada yang megah dan besar. Ada yang kecil mungil. Ada juga yang hanya seadanya. Semuanya menyebar berjauhan dan tidak terkumpul di satu titik. Ini layaknya seperti hari pasar yang ramai. Hanya saja, tidak terlihat satupun kemah di dekat puncak tertinggi gunung.
Suara gemuruh di sini sangat keras. Mengerikan sekali sebetulnya. Beberapa kali mereka bisa melihat lompatan bunga api keluar dari bibir kawah. Beberapa kali pula mereka bisa merasakan getaran yang cukup kuat di kaki mereka saat gempa melanda.
Keempat anak muda ini kemudian mencari tempat berlindung yang cukup memadai sambil menunggu malam. Mereka menemukan tempat di sisi gunung yang paling terjal. cukup jauh dari perkemahan yang lain namun berada paling dekat dengan kawah. Sebuah ceruk dalam yang dilindungi oleh batu sebesar rumah yang terlihat sangat kokoh. Mereka sudah memasak perbekalan untuk makan siang tadi waktu masih di bawah sehingga tidak perlu repot-repot lagi memasak di sini.
*********