Kerajaan-kerajaan adalah sebuah perlambang
Dari tunduk patuhnya rakyat kepada rajanya
Negara-negara adalah sebuah simbol yang dikarang
Untuk menyatukan kepentingan yang disamakan
Raja-raja adalah sesembahan
Pemimpin-pemimpin negara adalah pemerintahan
Bentuk-bentuk yang diciptakan manusia untuk memberi hak atas kuasa
Perbatasan Galuh Pakuan-Majapahit. Dewi Mulia Ratri mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia sedang berada di sebuah puncak bukit yang terletak di wilayah Galuh Pakuan. Bukit ini tidak terlalu tinggi namun cukup untuk bisa melihat sekeliling daerah perbatasan. Semenjak peristiwa besar di puncak Merapi, gadis cantik yang perkasa ini langsung menuju ke perbatasan untuk menilai keadaan dan memeriksa sejauh mana kesiapan para pasukan Garda Kujang. Berdasarkan hasil pengamatan para telik sandi terpilih, pasukan Sayap Sima Majapahit terus mengalir menuju perbatasan. Pusat kegiatan para pasukan hebat kerajaan Majapahit ini adalah di sebuah pesanggrahan yang dinamakan Pesanggrahan Bubat.
Oleh sebab itu, setelah berunding dengan Andika Sinatria, Dewi Mulia Ratri memutuskan untuk beberapa lama akan berjaga di perbatasan. Sementara pangeran tampan itu melanjutkan perjalanan kembali ke ibukota Galuh Pakuan dengan ditemani oleh Putri Anjani. Mereka harus merundingkan langkah-langkah terbaik apa yang harus diambil Galuh Pakuan bersama-sama para tokoh yang lain.
Sambil tetap berdiri bersedekap di puncak bukit kecil itu, Dewi Mulia Ratri termenung. Dia harus mengatur pengawalan perjalanan panjang dan berat. Mengantar Sang Putri Mahkota pergi ke Ibukota Majapahit untuk menjadi pengantin Raja Hayam Wuruk. Gadis ini membayangkan semua kemungkinan yang bisa terjadi. Di jalan, mungkin perompak jalanan atau pemberontak Lawa Agung menghadang. Di wilayah perbatasan, mungkin pasukan sempalan Majapahit bisa menjadi ancaman.
Dewi Mulia Ratri bergidik. Tugasnya kali ini tidak main-main. Taruhannya adalah seorang putri mahkota kerajaan Galuh Pakuan. Andika Sinatria memang akan mendampinginya. Putri Anjani juga. Namun gadis ini masih merasa cemas. Terlalu banyak tokoh sakti di Majapahit. Dan tidak semuanya tunduk terhadap perintah dan peraturan kerajaan.
Memikirkan itu semua membuat Dewi Mulia Ratri merasa sendiri, sepi, dan sunyi. Ah andaikata ada Arya Dahana di sini. Menghiburnya dengan ulah konyol dan kalimat-kalimat romantis. Dimana pemuda yang sedang terluka hatinya itu sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa yang sedang dilakukan sekarang?
Masih terbayang olehnya bagaimana menyedihkan wajah kehilangan pemuda itu saat Dyah Puspita tewas di pangkuannya. Naga Sakti itu memang luar biasa. Tidak ada satupun yang mampu mengambil Mustika Api di kepalanya. Dewi Mulia Ratri menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. Seharusnya dia berjuang sekuat Dyah Puspita dalam berusaha mendapatkan Mustika Api itu untuk menyembuhkan Arya Dahana. Dia malah sibuk bertempur melawan orang-orang Lawa Agung.
Seharusnya dia membantu Dyah Puspita saat itu. Mungkin jika mereka bahu membahu, mustika itu bisa didapatkan dan Arya Dahana sudah sembuh sekarang. Dia merasa sangat menyesal sekali.
Lamunannya terputus saat dilihatnya ada dua sosok tubuh di kejauhan sedang berdiri berhadapan. Terlihat seperti berbincang-bincang sejenak. Lalu yang seorang memasang kuda-kuda dan mulai memainkan jurus-jurus yang terlihat hebat dan aneh.
Dewi Mulia Ratri memusatkan perhatian pada pandang matanya. Menyalurkan ilmu Sidik Paningal. Matanya terbelalak. Orang yang sedang berlatih itu Pangeran Bunga! Sedangkan yang sedang melatihnya adalah tokoh Sayap Sima!
Dewi Mulia Ratri sejenak kebingungan. Apa urusannya Pangeran Bunga dilatih oleh Madaharsa? Sejak kapan pangeran Galuh Pakuan itu diangkat murid oleh tokoh Majapahit? Hmmm...ini mencurigakan. Gadis ini bergerak hati-hati ke arah mereka dengan menyelinap di antara pepohonan lebat. Dia penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Gadis itu tidak berani terlalu dekat karena tahu betapa lihainya Madaharsa. Setelah dirasa cukup, Dewi Mulia Ratri menajamkan telinganya untuk mendengar apa perbincangan yang mungkin akan terjadi. Rupanya latihan Pangeran Bunga sudah usai. Keduanya kemudian duduk di bawah pohon besar.
"....aku rasa olah kanuraganmu mengalami kemajuan pesat pangeran...kau hanya perlu melatihnya secara rutin.."
"...terimakasih guru. Aku akan melatihnya dengan giat. Jika saat itu tiba, aku ingin menaklukkan dua gadis Garda Kujang itu....dan menikmati tubuh mereka...hmmmm."
"Itu urusanmu pangeran...yang jelas kau harus mengikuti apa yang sudah aku rencanakan sebelumnya..."
Tidak terdengar apa-apa lagi. Dewi Mulia Ratri semakin penasaran. Pasti ada rencana jahat yang akan dijalankan oleh mereka. Gadis yang sedari tadi bersembunyi di balik batu besar dan hanya mencoba menangkap pembicaraan saja, mencoba mengintip hati-hati. Rupanya dua orang yang sedang berahasia itu sudah hilang dari tempatnya.
Dewi Mulia Ratri hanya bisa menduga-duga apa maksud dari semua ini. Namun dia bertekad akan menyelidikinya. Ini sangat mencurigakan. Dia tidak akan bercerita dulu kepada Andika Sinatria atau yang lainnya sampai dia berhasil mendapatkan bukti-bukti yang kuat.
Gadis cantik dari Sanggabuana itu menandai tempat rahasia ini dalam ingatannya. Dia sangat yakin bahwa mereka telah sering melakukan pertemuan rahasia sebelumnya. Dan itu pasti berkaitan dengan kerajaan Majapahit dan Galuh Pakuan. Gadis ini makin dalam menduga-duga, jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan rencana perjalanan putri mahkota ke Majapahit. Pasti mereka akan coba mengacaukannya. Pasti.
Hari sudah mulai sore ketika Dewi Mulia Ratri tiba di markas pasukan perbatasan Galuh Pakuan. Markas itu cukup besar. Cukup untuk menampung ribuan orang. Sementara di sepanjang garis perbatasan yang dibelah oleh Sungai Cipamali, kedua belah pihak menempatkan telik sandi dalam jarak beberapa ratus meter agar dapat mengawasi pergerakan pihak lainnya.
Perbatasan sekarang mengalami perang dingin. Belum ada perselisihan terbuka yang terjadi karena semua diminta untuk menahan diri. Namun semua orang bersikap waspada. Semua orang bersiaga dan siap jika sewaktu-waktu pecah perang terbuka. Sungai Cipamali cukup lebar. Orang hanya bisa menyeberang dengan menggunakan perahu atau getek. Jadi jika pecah perang terbuka, maka pihak penyerang harus mempersiapkan perahu-perahu penyeberangan dalam jumlah besar. Sementara yang ada sekarang hanya beberapa perahu penyeberangan dan satu kapal yang cukup besar untuk tujuan perdagangan.
Masing-masing pasukan perbatasan dari kedua belah pihak dipimpin oleh panglima perbatasan. Dari pihak kerajaan Majapahit dipimpin oleh seorang panglima yang kaya pengalaman dari beberapa pertempuran yaitu Panglima Narmodo. Panglima ini mempunyai pengalaman segudang dalam memimpin pasukan ke medan perang maupun urusan-urusan telik sandi. Sedangkan di pihak Galuh Pakuan, pasukan perbatasannya dipimpin oleh tangan kanan Panglima Candraloka sendiri yaitu Panglima Suwanda.
Selain itu, pasukan perbatasan Majapahit diperkuat oleh pasukan Sayap Sima. Pasukan yang terdiri dari orang-orang tangguh dan pilihan dari dunia persilatan. Sayap Sima menempatkan 200 pasukannya di perbatasan. Dipimpin langsung oleh Ki Tunggal Jiwo. Diperkuat oleh Maesa Amuk, Siluman Lembah Muria, Bledug Awu Awu, Madaharsa dan Tiga Pendekar Malaikat dari negeri Cina. Hampir semua kekuatan dikerahkan oleh Mahapatih Gajahmada ke tempat itu. Sang Mahapatih menyadari bahwa sangatlah penting untuk menguasai jalur lintas perbatasan agar penyusup-penyusup yang tidak diharapkan bisa diketahui sejak dini.
Pasukan perbatasan Galuh Pakuan juga tidak mau kalah. Ada 200 pasukan Garda Kujang di antara mereka. Sementara ini dipimpin oleh Birawa, orang kepercayaan Dewi Mulia Ratri. Tokoh-tokoh lain seperti Panglima Candraloka, Ki Mandara, Ki Sampaga dan Ki Gularma yang sepulang dari Gunung Merapi langsung bergabung ke ibukota Galuh Pakuan, masih mempersiapkan segala sesuatu terkait dengan keberangkatan Sang Putri Mahkota ke Majapahit.
Pihak Majapahit telah berkirim surat ke Galuh Pakuan bahwa pengawalan dari Pasundan harus dibatasi orangnya dan tidak diperkenankan membawa senjata. Karena nantinya setelah melewati perbatasan, pengawalan akan diambil alih oleh pihak kerajaan Majapahit. Jika berkeras membawa pengawal dalam jumlah besar dan bersenjata lengkap, maka Majapahit menganggap Galuh Pakuan tidak mempunyai niatan baik untuk menjalin perdamaian karena rombongan tersebut adalah rombongan pengantin agung.
Baginda Raja Galuh Pakuan memutuskan bahwa mereka tidak boleh menolak permintaan Majapahit mengenai syarat-syarat itu. Hanya saja, orang-orang yang mengawal akan benar-benar orang pilihan. Andika Sinatria, Dewi Mulia Ratri, dan Putri Anjani adalah orang-orang yang diputuskan oleh Sang Baginda Raja untuk melakukan pengawalan. Sedangkan Ki Mandara, Ki Sampaga, Ki Gularma, Pangeran Bunga, dan Panglima Candraloka akan memusatkan perhatian untuk melindungi ibukota kerajaan terutama dari ancaman Lawa Agung.
Rombongan nantinya akan berhenti terlebih dahulu di markas perbatasan untuk menilai situasi sebelum memasuki wilayah Majapahit. Dewi Mulia Ratri sudah menunggu di sana untuk menyampaikan situasi terakhir. Baginda Raja menyerahkan semua keputusan di perbatasan mengenai lanjut atau tidaknya rombongan kepada Andika Sinatria.
Kembali kepada Dewi Mulia Ratri yang sedang berada di perbatasan untuk menilai situasi. Gadis cantik ini memeriksa seluruh markas untuk melihat kesiapan pasukan. Dia ditemani oleh Panglima Suwanda yang sejak dahulu selalu menaruh hormat kepada putri dari Pendekar Sanggabuana ini. Birawa juga ikut menemani Dewi Mulia Ratri saat memeriksa pasukan Garda Kujang.
Pasukan Garda Kujang yang saat ini sudah ada di perbatasan adalah pasukan Garda Kujang. Ada juga beberapa bantuan orang dari Kujang Emas Elang dan Kujang Emas Garuda. Dewi Mulia Ratri memberikan pesan kepada Birawa agar memenuhi kebutuhan pasukan dengan makanan dan istirahat yang cukup.
Gadis ini mengatakan kepada Panglima Suwanda bahwa dirinya akan memata-matai keadaan pasukan Majapahit di seberang. Telik sandi sudah melaporkan mengenai kesiapan pasukan Majapahit. Namun tidak ada yang berhasil mengetahui seberapa banyak pasukan tersebut dan siapa saja tokoh sakti Majapahit yang ada di sana.
Dewi Mulia Ratri tidak bersedia saat Birawa mengatakan akan menyediakan perahu untuk menyeberang besok. Dewi Mulia Ratri lebih memilih untuk menyeberang di hulu sungai yang jarang dijaga karena arusnya sangat deras di situ sehingga tidak mungkin perahu bisa menyeberang.
Malam itu dipergunakan Dewi Mulia Ratri untuk berbincang dalam sebuah pertemuan bersama para pimpinan pasukan pengawal perbatasan. Mereka membahas beberapa skenario jika akhirnya nanti terjadi perang perbatasan. Pasukan pemanah ada di garis benteng terdepan untuk menahan musuh agar tidak menyeberang. Sepanjang garis sungai yang memungkinkan untuk menyeberang akan dijaga secara ketat. Diupayakan tidak ada celah sedikitpun untuk menyeberangkan pasukan dari seberang sana. Semua titik-titik rawan telah dipetakan. Oleh karena itu penempatan pasukan di titik-titik rawan itu telah diatur sedemikian rupa sehingga semua celah tertutupi.
Setelah semuanya dibahas dan disimpulkan mengenai langkah-langkah pengamanan perbatasan, Dewi Mulia Ratri beranjak ke kamarnya untuk beristirahat. Dia harus mempersiapkan diri dengan baik, karena menyusup ke wilayah Majapahit pada situasi segenting ini memerlukan upaya yang hati-hati. Dia akan menyelidiki siapa saja para tokoh sakti yang ada di perbatasan sekaligus juga dia akan mencoba menyelidiki seperti apa Pesanggrahan Bubat yang dikabarkan menjadi markas tokoh-tokoh penting Majapahit.
Malam itu berlalu tanpa terjadi apapun. Hanya suara gemuruh lirih Sungai Cipamali dan riuh nyanyian binatang malam yang terdengar riang. Cuaca sedang panas jadi kabut mudah turun menyelimuti permukaan sungai. Sungai perbatasan itu akhirnya sekilas nampak sangat misterius.
Dewi Mulia Ratri menghabiskan seperempat malamnya dengan bersamadi. Sebelum cahaya menyentuh permukaan tanah, Dewi Mulia Ratri sudah mulai berjalan ke arah hulu sungai. Cukup jauh dari markas perbatasan. Dia akan menyeberang pagi ini juga untuk mengurangi resiko ketahuan. Dia berniat untuk menyeberang menggunakan cara yang dulu pernah dipakai oleh gurunya Ki Biantara saat di danau Ranu Kumbolo. Menggunakan potongan-potongan papan. Dia belum pernah mencoba, tapi rasanya itu semua mungkin dilakukan. Dia yakin ilmu meringankan tubuhnya sekarang tidak kalah dengan gurunya.
Begitu sampai di hulu sungai wilayah perbatasan, Dewi Mulia Ratri melihat bahwa arus sungai ternyata sangat deras di sini. Bahkan di sana-sini nampak jeram-jeram yang menggeram-geram lantang. Gadis ini memutar otak bagaimana cara menyeberang dari sini. Papan-papan kayu tidak akan bisa dipakai jika arus sederas ini.
Dewi Mulia Ratri kemudian mengamati lokasi dengan sangat teliti. Ada beberapa batu besar yang berada di tengah-tengah sungai. Jika dia bisa melompat ke batu itu maka separuh jalan sudah dilalui. Di ujung sebelah sana juga terlihat beberapa batu yang menonjol di permukaan sungai. Sepertinya ini adalah jalan terbaik dan satu-satunya pilihan.
Gadis ini mengambil ancang-ancang dan melompat ke batu di tengah sungai...dan berhasil. Tapi setelah sampai di tengah-tengah sungai, Dewi Mulia Ratri malah kebingungan bagaimana cara menjangkau batu berikutnya. Ternyata batu-batu berikutnya jaraknya sangat jauh. Lagipula permukaan batu-batu itu terlihat sangat licin dan berlumut. Selain itu juga, hanya tonjolan kecil saja yang nampak di permukaan sungai.
Dewi Mulia Ratri memutar otaknya. Sehebat-hebatnya Ilmu Meringankan Tubuh seseorang, tidak akan ada satupun yang bisa menyeberang lebar sungai itu dengan sekali lompat. Harus ada tumpuan bagi lompatan-lompatan selanjutnya. Dan itu tidak ada di sini. Barangkali membuat rakit adalah satu-satunya pilihan. Gadis cantik itu melompat kembali ke tepian lalu mengedarkan pandangan ke seluruh tepian sungai. Mencari batang-batang bambu yang bisa dibuat menjadi sebuah rakit kecil yang lebih dari cukup untuk menyeberangi sungai besar itu.
Ada! Terlihat beberapa kelompok tanaman bambu besar. Dewi Mulia Ratri mulai bekerja. Tidak sampai beberapa jeda, gadis sakti ini sudah berhasil membuat sebuah rakit bambu yang cukup besar untuk menyeberang. Tidak mungkin menyeberang langsung memotong arus. Dia harus membawanya ke daerah yang lebih hulu lagi. Menyeberang di sungai dengan arus sederas ini harus mengikuti arus sambil mendayung menyamping.
Gadis yang lihai ini menjalankan rencananya. Cukup jauh dia menyeret rakit hingga ke sebelah hulu. Mendorong rakit lalu menaikinya. Dengan cepat rakit yang membawa dirinya terseret arus. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, Dewi Mulia Ratri membawa dirinya menyeberang dengan tidak terlalu banyak melawan arus.
Berhasil! Dewi Mulia Ratri tepat mendarat di seberang tempat dia membuat rakit tadi. Sungai ini cukup mengerikan. Dia cukup berkeringat saat akhirnya berada di daratan lagi. Dugaannya tepat. Tidak ada penjaga satupun di daerah ini. Diseretnya rakit itu di balik semak-semak yang lebat agar tidak bisa ditemukan dan nantinya bisa dipakai kembali.
Dewi Mulia Ratri berjalan dengan waspada menelusuri pinggir sungai lalu masuk ke dalam hutan memulai penyelidikan. Pepohonan yang lebat seperti tak habis-habis. Gadis itu sengaja menerobos hutan yang tidak terlalu jauh dengan jalanan umum agar dia bisa memantau kondisi lalu-lalang orang di jalanan. Pesanggrahan Bubat adalah tujuan dari penyelidikan ini. Dia belum tahu secara persis dimana letak pesanggrahan tersebut. Para telik sandi terpilih hanya menyebutkan bahwa letak pesanggrahan berada di pinggir jalan utama menuju Ibukota Kerajaan Majapahit serta tidak terlalu jauh dari pantai dan pelabuhan.
Dewi Mulia Ratri menghentikan langkahnya sambil berpikir. Sebelum lebih jauh sampai di pesanggrahan terkenal tempat Raja Majapahit sering melakukan persembahan dan upacara itu, alangkah baiknya jika dia menyelidiki terlebih dahulu markas perbatasan pasukan Majapahit. Seberapa besar kekuatan pasukannya dan seberapa kokoh markas tersebut.
Gadis itu memutar tubuhnya kembali ke arah Sungai Cipamali. Dia harus menyeberangi jalan utama lalu masuk di kedalaman hutan sebelah sana. Dia akan menyelidiki markas itu dari arah belakang. Dewi Mulia Ratri cepat -epat menyeberangi jalan utama yang cukup lebar itu setelah dilihatnya situasi aman.
Dewi Mulia Ratri tersentak. Ada suara-suara mencurigakan saat dia berada di balik sebatang pohon Maja yang besar. Suara-suara itu muncul dari balik batu-batu besar agak jauh dari tempatnya bersembunyi. Dewi Mulia Ratri mencoba mengintip dengan hati-hati. Ternyata suara itu berasal dari gerakan-gerakan orang yang sedang berlatih.
Sayap Sima! Pasukan Sayap Sima sedang berlatih gerak di hadapan beberapa orang yang sangat dikenal oleh Dewi Mulia Ratri. Maesa Amuk dan tiga pendekar dari negeri Cina sedang mengawasi orang-orang itu berlatih. Wah, ternyata Majapahit juga diperkuat oleh Tiga Pendekar Malaikat dari negeri Cina yang sangat lihai itu. Di sudut yang agak jauh, berdiri seorang tua gagah yang mengamati latihan dengan teliti. Hmmm.. orang nomor satu Sayap Sima juga ada di sini, pikir Dewi Mulia Ratri. Berarti situasinya memang sangat serius sampai-sampai Ki Tunggal Jiwo bergabung juga di perbatasan.
Wajah orang tua itu terlihat murung. Kematian putri semata wayangnya secara tragis di puncak Merapi mempengaruhinya secara nyata. Selama ini memang dia jarang akur dengan putri tunggalnya itu. Namun bagaimanapun juga, Dyah Puspita adalah anak satu-satunya. Ki Tunggal Jiwo sendirilah yang sebenarnya mengusulkan kepada Mahapatih Gajahmada agar Dyah Puspita ditetapkan sebagai buronan kerajaan. Dia ingin anaknya kembali ke Trowulan. Dia sangat tidak suka anaknya berkeliaran bersama anak mendiang Arya Prabu.
Tapi kini putrinya itu telah tiada. Bahkan dia tidak sempat melihat jenazah putrinya untuk terakhir kali. Putra Arya Prabu membawanya untuk dikuburkan entah di mana. Hati orang tua sakti itu dipenuhi amarah terhadap Arya Dahana. Dia akan memberi pelajaran maut kepada pemuda itu kalau ketemu. Dia akan lampiaskan dendam kesumatnya atas kehilangan putrinya kepada pemuda tengil itu.
Mata orang tua itu menerawang jauh. Garis keturunannya telah hilang. Semua gara-gara pemuda tolol itu. Tanpa terasa, kepalan tangannya menguat. Dihantamkannya pukulan ke arah batu besar di sampingnya. Dhuaaaaarrr!!!....batu itu meledak berkeping-keping. Braja Musti tingkat tertinggi tanpa sadar dikeluarkan untuk menyalurkan amarah yang tadi menguasai hatinya. Semua orang kaget bukan main dan menghentikan kegiatannya. Maesa Amuk bahkan mendekati sang pemimpin mencoba meredakan amarah yang masih berkilat-kilat di matanya.
Dewi Mulia Ratri yang melihat dari kejauhan terbelalak ngeri. Tokoh nomor satu Sayap Sima itu luar biasa. Dia tidak yakin bisa mengalahkannya. Bahkan gurunyapun sepertinya masih kalah tingkat dibanding Ki Tunggal Jiwo. Gadis ini mengira-ngira dalam hati, siapa gerangan tokoh dari Pasundan yang bisa menghadapi orang sakti ini. Dia tahu kemampuan Ki Mandara yang dia rasa setingkat dengan gurunya. Tapi dia belum tahu sampai di mana kelihaian Ki Sampaga dan Ki Gularma. Jika terjadi pertempuran sebaiknya Ki Tunggal Jiwo tidak dihadapi sendirian. Orang tua sakti itu terlalu tangguh jika dihadapi satu lawan satu.
Jika dilakukan perbandingan, kelihaian Ki Tunggal Jiwo hanya kalah sedikit daripada Panglima Kelelawar dan Datuk Rajo Bumi. Dan tentu saja Si Bungkuk Misteri dan Ratu Laut Selatan. Mereka berlima mempunyai kemampuan di atas para tokoh Delapan Datuk Penjuru Mata Angin yang menguasai dunia persilatan tanah Jawa. Meski begitu, dunia persilatan tetaplah penuh misteri. Terkadang tiba-tiba muncul seseorang yang mempunyai kemampuan luar biasa tinggi. Orang yang tidak pernah menampakkan diri ke dunia persilatan namun sekali muncul sangat menghebohkan.
Dewi Mulia Ratri merenung di persembunyiannya. Berarti hampir semua tokoh Sayap Sima ada di perbatasan ini. Apa yang sedang mereka persiapkan? Apakah serangan besar-besaran ke Galuh Pakuan sedang direncanakan? Dan mereka mendapatkan bantuan luar biasa dengan bergabungnya Tiga Pendekar Malaikat dari negeri Cina.
Bagaimana negeri Pasundan bisa mengatasi semua ini? Belum lagi kegaduhan yang ditimbulkan oleh para pemberontak dari kerajaan Lawa Agung, memecah kekuatan dan perhatian Galuh Pakuan. Kerajaan baru yang juga diisi oleh keberadaan tokoh-tokoh tangguh seperti Panglima Kelelawar, Raja Iblis Nusakambangan, Resi Amamba, Para Hulubalang dan tentu saja sewaktu-waktu Ratu Laut Selatan bisa ikut campur membantu mereka!
Duuuhh Gusti, bagaimana kami bisa menghadapi semua ini? Namun secercah harapan muncul lagi di benak Dewi Mulia Ratri. Para tokoh Blambangan siap membantu mereka jika dibutuhkan. Ki Mangkubumi dan Arawinda sangat tangguh. Nyai Genduk Roban dan cucunya Ayu Wulan juga diharapkan bisa membantu karena ini menyangkut kerajaan Majapahit yang sangat dibencinya. Dewi Mulia Ratri sedikit bernafas lega. Seandainya Arya Dahana bisa bahu membahu di sampingnya, dia yakin kekuatan Galuh Pakuan akan semakin meningkat. Pemuda itu sangat luar biasa semenjak menguasai ilmu langka Busur Bintang. Tapi di manakah pemuda itu sekarang?
Hati Dewi Mulia Ratri berdesir-desir selalu kalau ingat pemuda itu. Rasa sunyi yang membekap nafasnya seperti terurai menjadi semangat kegaduhan. Aku sungguh merindukannya, aku gadis cantik itu dengan sendu dalam hati. Pemuda itu tidak ada apa-apanya dibanding Andika Sinatria. Namun hatinya selalu saja condong kepada Arya Dahana dibanding dengan Andika Sinatria, meski berkali-kali dia berusaha menegakkannya kembali. Siapapun yang berpikir normal maka pasti akan mengatakan Andika Sinatria adalah pilihan terbaik. Sedangkan Arya Dahana adalah pilihan kesekian setelah semua pilihan di atasnya gugur. Namun dia sama sekali tidak bisa mengelak terhadap kata hatinya. Arya Dahana adalah pilihannya yang terbaik.
Dewi Mulia Ratri tersadar dari lamunannya karena mendengar teriakan-teriakan riuh di lapangan terbuka tempat latihan. Serombongan orang baru datang. Dewi Mulia Ratri mengeluh dalam hatinya. Lagi-lagi Raja Iblis Nusakambangan. Salah satu tokoh dari Delapan Datuk Penjuru Mata Angin itu datang bersama Resi Amamba, pasukan kecil yang dipimpin oleh hulubalang Kelabang, dan Lima Kobra Benggala....dan .....Nyai Genduk Roban!
Nenek sakti ahli sihir itu duduk di atas kudanya dengan lesu. Pandangannya terlihat kosong. Wajahnya menampakkan rasa tak berdaya dan kecemasan yang mendalam. Sekaligus juga ada kemarahan yang berusaha keras untuk disembunyikannya.
Kenapa tiba-tiba Nyai Genduk Roban bisa bersama-sama dengan rombongan Lawa Agung ke daerah perbatasan ini? Bukankah si nenek sudah terang-terangan menyatakan tidak mau bekerjasama dengan Lawa Agung? Lalu dimanakah Ayu Wulan? Gadis itu tidak pernah lepas dari neneknya kecuali saat dulu masih ada Dyah Puspita.
Itulah liciknya Raja Iblis Nusakambangan. Setelah tidak berhasil membujuk secara halus Nyai Genduk Roban untuk bergabung dengan Lawa Agung, tokoh ini mencoba cara lain yang lebih kasar. Setelah pulang dengan tangan hampa dari puncak Merapi beberapa saat yang lalu, rombongan ini menerima niat gabungnya lima tokoh asing dari Negeri India yaitu Lima Kobra Benggala kepada Lawa Agung. Lalu rombongan yang membesar itu melanjutkan perjalanan ke Alas Roban.
Di sana sekali lagi Raja Iblis Nusakambangan membujuk Nyai Genduk Roban untuk bergabung dengan Lawa Agung. Namun lagi-lagi nenek itu menolaknya dengan tegas. Pada akhirnya, Raja Iblis yang licik itu menjalankan rencananya. Ayu Wulan kemudian disandera oleh Resi Amamba untuk dijadikan jaminan agar nenek ahli sihir itu mau menerima tawaran mereka.
Melihat cucu kesayangannya disergap dan ditotok oleh Resi Amamba, Nyai Genduk Roban menjadi sama sekali tak berdaya. Di bawah ancaman itulah akhirnya nenek itu bisa ditaklukkan pendiriannya untuk akhirnya bersedia bergabung.
Untuk menjamin agar si nenek tetap patuh, maka Ayu Wulan dibawa sebagai tahanan dengan pengawasan ketat namun tetap diperlakukan dengan sangat baik. Nyai Genduk Roban sangat berguna jika bisa dimanfaatkan dengan cara apapun. Ilmu sihirnya jarang menemui tandingan meski olah kanuragannya sama sekali tidak bisa diandalkan.
Itulah sebabnya Dewi Mulia Ratri sangat terkejut mengetahui Nyai Genduk Roban ada di antara mereka. Ini berbahaya bagi Galuh Pakuan. Dewi Mulia Ratri memasang telinga baik-baik karena sepertinya mereka hendak memulai perbincangan yang sangat serius.
"Raja Iblis....kami di Majapahit tahu semua di mana posisimu dulu saat perang Blambangan. Sekarang kau menawarkan kesepakatan dan persekutuan dari kerajaanmu....aku terus terang kebingungan dengan semua sikapmu..."
Terdengar Ki Tunggal Jiwo berkata dengan tenang.
Raja Iblis yang sangat keji itu menjawab lantang.
"Kami memang menawarkan kesepakatan damai, Ki...sebab kita mempunyai kepentingan yang sama...Galuh Pakuan adalah ancaman bagimu....sedangkan bagi kami, Galuh Pakuan adalah penjajah..."
Ki Tunggal Jiwo menukas lagi.
"Apa yang bisa kamu tawarkan Raja Iblis?"
"Kami menawarkan persekutuan, Ki....Majapahit dan Lawa Agung mempunyai musuh bersama yaitu Galuh Pakuan dan Blambangan."
Raja Iblis itu kembali melanjutkan sahutannya.
"Apakah telik sandi Majapahit begitu bodoh sehingga tidak mengetahui bahwa Galuh Pakuan dan Blambangan sudah menjalin persekutuan...?"
Suasana hening sejenak. Bahkan Dewi Mulia Ratri merasakan ada ketegangan.
"...hmmm...jika kami setuju, apa rencanamu selanjutnya Raja Iblis?"
Ki Tunggal Jiwo memecah keheningan dengan pertanyaan.
Terdengar bisik-bisik di rombongan Lawa Agung. Raja Iblis Nusakambangan menjawab lugas.
"Rencana kami sederhana, Ki...kami akan menghabisi satu demi satu tokoh-tokoh sakti Galuh Pakuan....selanjutnya akan sangat mudah bagimu untuk menaklukkan pasukannya."
Raja Iblis mencoba meyakinkan dengan melanjutkan perkataannya.
"Kami sudah coba menyusun daftar para tokoh sakti Galuh Pakuan yang ada sekarang. Kami sudah mencoba menyusun kebiasaan kebiasaannya. Saat mereka sendiri dan kapan kami harus menyelesaikannya."
Terdengar suara lain menyahut.
"Raja Iblis, apa yang telah kau lakukan itu...sudah lebih dahulu kami lakukan. Kami bahkan tahu apa saja kelemahan-kelemahan dari masing-masing tokoh itu....kamu harus memberikan penawaran yang lebih baik..."
Dewi Mulia Ratri mengira-ngira suara siapa ini. Dia benar-benar tidak berani bergerak. Nafaspun diaturnya seperti orang bersamadi. Terlalu banyak tokoh sakti di sini. Gerakan sekecil apapun akan bisa didengar oleh mereka jika dia tidak hati-hati.
"Apa maksudmu Madaharsa? Kami sudah menyusun daftar lengkap. Kami akan menghabisi mereka satu persatu dimulai dari daftar terbawah...lima pendekar dari India ini dengan dipimpin oleh Resi Amamba telah diberikan tugas khusus untuk melaksanakannya."
"Maksudku jelas Raja Iblis...apakah kamu tahu apa kelemahan Ki Mandara? Kelemahan Ki Sampaga? Ki Gularma? Andika Sinatria? Dewi Mulia Ratri? Putri Anjani...?"
Suara yang ternyata adalah Madaharsa kembali terdengar.
Terdengar gerutuan di sana-sini.
"Dan apakah kamu tahu siapa-siapa tokoh dari Blambangan yang siap berkalang tanah untuk Galuh Pakuan..?"
Raja Iblis menyumpah-nyumpah lalu berkata.
"Aku memang tidak tahu persis mengenai hal ini. Tapi aku juga berhasil membujuk Nyai Genduk Roban untuk membantu Lawa Agung...Galuh Pakuan tidak banyak mempunyai ahli sihir...aku yakin nenek ini akan banyak manfaatnya nanti."
Hening lagi. Ki Tunggal Jiwo menukas.
"Ada baiknya jika daftarmu kau serahkan ke kami...aku terima tawaranmu...tapi kalian di bawah kendali kami...tidak ada gerakan apapun tanpa sepengetahuan Majapahit."
Raja Iblis Nusakambangan tertawa nyaring.
"Ha ha ha....baiklah..baiklah..aku terima penghinaanmu ini Tunggal Jiwo."
Ki Tunggal Jiwo melanjutkan dengan cepat.
"Kita bentuk pasukan khusus untuk melaksanakan tugas berat ini. Maesa Amuk, kau pimpinlah pasukan khusus yang aku beri nama Alap Alap Nyawa ini. Bawa Siluman Lembah Muria, Resi Amamba, dan Nyai Genduk Roban. Hanya empat orang tidak boleh lebih. Tidak boleh juga membawa pasukan. Kalian berundinglah bagaimana cara kalian menyelesaikan tugas pembasmian ini. Ambillah daftar di Raja Iblis Nusakambangan dan Madaharsa. Pelajari baik baik."
Ki Tunggal Jiwo menyelesaikan kalimatnya.
"Aku akan memanggil Biantara ke sini untuk memperkuat perbatasan sekaligus menyambut kedatangan rombongan Galuh Pakuan dalam waktu dekat ini...Madaharsa, kaulah yang memimpin di perbatasan...aku harus kembali ke pesanggrahan Bubat untuk memenuhi panggilan Sang Mahapatih."
Dewi Mulia Ratri yang mendengarkan dengan seksama sedari tadi mengelus dada. Posisi Galuh Pakuan semakin berat sekarang. Tapi...apa yang diucapkan Madaharsa tadi? Daftar? Kelemahan? Darimana daftar dan kelemahan itu berasal? Dewi Mulia Ratri mulai mencoba merangkai apa yang dilihatnya saat Madaharsa melatih Pangeran Bunga, kemudian muncul daftar tokoh-tokoh Galuh Pakuan. Yang paling membuatnya kaget tentu saja adalah nama-nama Ki Sampaga dan Ki Gularma sudah ada dalam daftar itu! Hanya orang-orang lingkaran tertinggi yang tahu mengenai dua orang tokoh itu, salah satunya adalah Pangeran Bunga!
Bau pengkhianatan membuat darah Dewi Mulia Ratri menggelegak. Ingin rasanya sekarang dia mendatangi Madaharsa dan memaksanya mengakui mendapatkan informasi dari siapa. Tapi dia tidak boleh terbawa amarah membabi-buta. Dia harus sangat berhati-hati jika ingin mengungkap semuanya. Pangeran Bunga adalah putera dari Sang Baginda Raja. Meski dia adalah kepala pengawal raja, namun jika tidak ada bukti yang sangat kuat, mustahil dia bisa melawan keluarga istana.
Aku harus segera menceritakan semua ini kepada Andika Sinatria. Mereka terjepit oleh dua kekuatan. Majapahit dan Lawa Agung. Dewi Mulia Ratri sedikit menyesalkan keputusan baginda raja yang akan mengantarkan sendiri puteri Dyah Pitaloka ke Majapahit. Hal ini sangat berbahaya bagi keselamatan Sang Raja. Namun titah raja adalah harga mati. Tidak ada siapapun di Galuh Pakuan yang berhak membantah.
Dewi Mulia Ratri mencatat dalam hati nama tokoh-tokoh yang ditugaskan untuk membunuhi para tokoh pasundan. Semuanya sakti dan tangguh. Ini adalah waktu-waktu kritis karena mereka harus membagi kekuatan. Selain itu, belum tentu para tokoh Pasundan yang sedang diincar kematiannya oleh Alap Alap Nyawa percaya terhadap ceritanya.
Gadis itu beringsut sangat pelan agar tidak menimbulkan suara lalu pergi dari tempat itu dengan hati-hati. Dia akan kembali ke markas perbatasan dan mengirimkan surat kepada Andika Sinatria mengenai situasi yang paling akhir ini. Niatnya untuk menyelidiki Pesanggrahan Bubat dibatalkannya dengan cepat.
************