Gemuruh kehilangan tetap akan dirasa
Meski langit berubah warna
Meski bumi semakin tua
Meski hati selalu teteskan darah
Meski jiwa selalu berbadai gelisah
Puncak Merapi. Beberapa saat setelah kepergian Arya Dahana, suasana yang tadinya haru berubah kembali menjadi ricuh. Panglima Kelelawar, Raja Iblis Nusakambangan, Resi Amamba dan lima Hulubalang Pengawal menyerbu Andika Sinatria dan kawan kawannya. Rupanya Panglima Kelelawar melihat kesempatan emas untuk setidaknya menyingkirkan tokoh-tokoh penting Galuh Pakuan seperti Andika Sinatria, Dewi Mulia Ratri dan Putri Anjani.
Ki Biantara tentu saja tidak tinggal diam. Pendekar tua ini ikut terjun dalam pertempuran membantu muridnya Dewi Mulia Ratri. Ardi Brata yang melihat gurunya bertempur, ingin langsung masuk ke dalam kancah pertempuran. Namun dia masih menjaga Bimala Calya yang sedang pingsan. Dia tidak tahu siapa saja yang menjadi musuh gadis ini sehingga tidak tega untuk meninggalkannya sendirian tanpa dijaga.
Ardi Brata memperhatikan pihak gurunya bisa mengimbangi pada awalnya. Ki Biantara menghadapi Panglima Kelelawar yang tingkatnya lebih tinggi darinya. Namun karena dibantu oleh Dewi Mulia Ratri keadaan menjadi cukup seimbang, meskipun perlahan-lahan Panglima Kelelawar mampu mendesak. Raja Iblis Nusakambangan dihadapi oleh Andika Sinatria. Pangeran tampan ini telah menyusul tingkat gurunya. Sedangkan Ki Mandara sendiri berada pada tingkat yang sama dengan si Raja Iblis. Oleh karena itu, pertarungan yang terjadi cukup seimbang.
Di lain pihak, Putri Anjani terdesak karena masih kalah kepandaian dibanding Resi Amamba yang tingkatannya sama dengan Raja Iblis Nusakambangan. Pertarungan ini kemudian diramaikan dengan masuknya Sayap Sima yang hendak menangkap Putri Anjani. Siluman Lembah Muria adalah tokoh Sayap Sima yang turun tangan. Kontan saja Putri Anjani semakin terdesak hebat. Menghadapi Resi Amamba saja dia kewalahan, apalagi sekarang ditambah masuknya Siluman Lembah Muria yang mengeroyoknya.
Teriakan keras terdengar saat melesat tubuh kurus tinggi ke kancah pertempuran membantu Putri Anjani. Ki Gularma menerjang Resi Amamba dan menyerangnya dengan hebat. Tokoh sesat yang aneh ini adalah penyokong kerajaan Galuh Pakuan. Terang saja dia tidak terima melihat pihak Galuh Pakuan terdesak dan dalam situasi sangat berbahaya. Ki Gularma adalah tokoh persilatan yang jarang muncul namun selalu mengasah kepandaian dengan cara-cara yang sangat aneh. Tingkat ilmunya setara dengan Delapan Datuk Penjuru Mata Angin yang menguasai persilatan tanah Jawa. Resi Amamba yang berjuluk Resi Bertangan Maut adalah salah satu dari Delapan Datuk Penjuru Mata Angin selain Iblis Tua Galunggung, Raja Iblis Nusakambangan, Bangka Sakti Merapi, Laksamana Utara, Iblis Jompo Laut Timur, Hidung Belang Pesisir Barat, dan Malaikat Darah Berbaju Merah. Empat dari delapan tokoh itu sudah meninggal dunia. Namun dunia persilatan tidak pernah kehabisan tokoh sakti. Selalu saja ada yang muncul menggantikan yang lain.
Sementara pertempuran sengit masih berlangsung antar tokoh-tokoh sakti dari tiga kerajaan, tokoh-tokoh besar yang lain kebanyakan masih tinggal di situ. Pertempuran hidup mati itu dianggap pertunjukan langka bagi orang-orang menyukai adu tanding ilmu silat. Hanya sedikit dari mereka yang pergi meninggalkan tempat itu.
Datuk Rajo Bumi sudah tidak nampak bayangannya. Para Pengemis Jubah Perak masih berdiri berjajar bersama pasukan kecil Sayap Sima. Tiga Pendekar Malaikat dari negeri Cina masih mengamati pertempuran dengan seksama. Mereka berdiri tidak jauh dari Maesa Amuk. Lima Kobra Benggala berada pada sisi yang lain. Juga mengamati pertempuran yang sedang berlangsung. Ki Mangkubumi dan Arawinda juga masih ada di situ. Gadis cantik ini sebenarnya sudah bersiap-siap jika Galuh Pakuan terdesak, maka dia akan turut campur membantu. Gadis itu yakin ayahnya pasti tidak tinggal diam jika dia terlibat pertempuran.
Pertarungan antara Ki Biantara yang dibantu oleh Dewi Mulia Ratri melawan Panglima Kelelawar berlangsung dengan hebat. Panglima Kelelawar adalah keturunan bangsawan dari Galuh Pakuan yang keluarganya diusir dari istana karena berbuat onar dan merencanakan pemberontakan pada masa sebelum raja yang sekarang. Latar belakang inilah yang menyimpan dendam tujuh turunan bagi keluarga Panglima Kelelawar yang bernama asli Raden Lesmana.
Panglima Kelelawar mempunyai ilmu pukulan langka yang termasuk salah satu intisari segala ilmu yaitu Pukulan Bayangan Matahari. Ilmu yang hanya bisa dipelajari oleh orang-orang yang mempunyai hawa murni bersifat panas tingkat tertinggi. Panglima sakti ini mempelajari ilmu tersebut dari sebuah kitab sakti Amurti Arundaya yang diperolehnya saat merantau di pulau Percha. Kekuatan tenaga murni yang dikuasainya semakin diperkuat pula dengan gemblengan Ratu Laut Selatan dalam olah kanuragan maupun ilmu-ilmu sihir yang gaib.
Tadi saat bertempur hebat melawan Datuk Rajo Bumi, Panglima Kelelawar belum mengeluarkan ilmu pukulan Bayangan Matahari karena waktu pertempuran sangat pendek. Lagipula dia masih bisa mengimbangi datuk sakti negeri seberang itu tanpa harus mengeluarkan ilmu pamungkasnya.
Kali ini dikeroyok oleh dua orang lihai seperti Ki Biantara dan Dewi Mulia Ratri, Panglima Kelelawar juga tidak mengeluarkan ilmu pukulan sakti tersebut. Ilmu itu akan benar-benar dikeluarkannya saat kondisi terdesak. Dia bahkan sekarang pelan-pelan mampu mendesak kedua orang guru murid itu.
Andika Sinatria yang awalnya sedikit kerepotan menghadapi Raja Iblis Nusakambangan, sekarang bisa mengimbangi dengan leluasa. Pangeran muda yang sakti ini mengeluarkan semua kemampuan yang diwarisi dari Ki Mandara. Raja Iblis Nusakambangan yang termasuk jajaran tokoh silat nomor satu di Pulau Jawa terkagum-kagum. Pemuda ini masih sangat muda tapi bisa mengimbanginya dengan baik. Tokoh ini semakin bersemangat mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya. Jika melawan tokoh muda Galuh Pakuan ini saja dia kewalahan, bagaimana dengan para tokoh-tokoh kawakan yang setiap saat bisa muncul?
Di bagian lain, Putri Anjani yang menghadapi Siluman Lembah Muria terlihat sangat kewalahan. Gadis ini yang sebenarnya sangat lihai, hanya saja kalah pengalaman menghadapi tokoh Sayap Sima Majapahit itu. Dia sekarang hanya sanggup bertahan saja. Putri Anjani mengeluh dalam hati, seharusnya dia banyak memperdalam dan melatih ilmunya. Semenjak kematian ayahnya dalam perang besar Blambangan, dia memang sedikit malas-malasan berlatih sebelum akhirnya giat kembali saat sudah berada di Galuh Pakuan. Sekarang baru dia menyesal.
Pertarungan antara Resi Amamba melawan Ki Gularma luar biasa menarik. Dua tokoh yang sama-sama beraliran hitam ini memainkan jurus-jurus yang sama-sama ganas dan mematikan. Tubuh keduanya seperti tidak nampak lagi bayangannya. Resi Amamba mempunyai jurus andalan yang disebut Jurus Tangan Maut. Jurus ini sangat berbahaya karena kedua tangannya berlumur racun yang sangat berbahaya. Racun yang dibuat dari tanaman-tanaman upas yang hanya terdapat di lereng Gunung Galunggung. Jangankan terkena pukulan langsung, bersentuhan dengan tangannya saja akan membuat luka yang sangat parah.
Ki Gularma sangat ahli juga tentang racun. Namun jurus andalannya justru tidak beracun. Tokoh ini memiliki jurus sakti yang disebut Lumpuh Nyawa. Jurus ini luar biasa dahsyat dan cukup langka. Hanya dengan menyentuh lawan, maka lawan akan seperti tersengat halilintar dan lumpuh seketika. Tentu saja hanya lawan-lawan tangguh yang bisa mengerahkan hawa murni untuk mempertahankan diri agar tidak lumpuh seketika jika terkena pukulan ini.
Jika diteruskan, pertarungan dua tokoh ini akan seru dan seimbang. Entah berapa ratus jurus yang harus dihabiskan untuk mengetahui siapa akhirnya yang lebih unggul. Ki Gularma unggul dalam kecepatan dan ilmu langkanya, sementara Resi Amamba lebih mematikan karena pukulan beracunnya.
Mendadak sekali semua pertarungan berhenti. Tanah yang mereka pijak berguncang dengan sangat keras. Lalu terdengar suara gemuruh yang dahsyat dari dalam perut Merapi. Jauh lebih dahsyat dari sebelum-sebelumnya. Ribuan burung mendadak terbang berhamburan dari pohon dan tanah. Nampak ratusan binatang tiba-tiba keluar dari sarang atau persembunyiannya kemudian lari lintang pukang ke bawah gunung. Kemudian suasana sangat hening. Hening sekali. Semua tokoh yang ada di situ saling berpandangan dan terpaku diam.
Yang pertama kali menggerakkan kaki melesat berlari secepat mungkin adalah Ki Biantara setelah memberi tanda kepada Dewi Mulia Ratri dan Ardi Brata agar mengikutinya. Ardi Brata menyambar tubuh Bimala Calya dan berlari cepat mengikuti gurunya. Dewi Mulia Ratri yang sangat paham kewaskitaan gurunya juga memberi isyarat kepada Andika Sinatria untuk segera pergi dari tempat itu. Sepasang muda-mudi itu dengan diikuti oleh Putri Anjani, seperti terbang mengerahkan semua kemampuan meringankan tubuh pergi dari puncak Merapi.
Serentak semua tokoh yang ada di tempat itu juga mengambil langkah seribu. Mereka akhirnya paham bahwa inilah tanda paling terakhir bahwa Merapi akan meletus dahsyat. Mereka sedang berada di puncak. Sehebat-hebatnya ilmu kanuragan di sini, tidak akan ada gunanya jika awan panas menyapu. Kecepatan awan panas itu sangat luar biasa. Apapun yang ada akan disapunya dengan panas yang sangat mematikan.
Benar saja, tidak berapa lama setelah semua orang pergi melarikan diri. Suara gemuruh dalam yang tadi terdengar, semakin lama semakin mendekat. Dan ...Blaaaaaaarrrrr!!! Merapi menumpahkan isi perutnya dengan mengerikan. Batu-batu berapi sebesar-besar rumah, batu batu yang ukurannya lebih kecil namun juga menyala berjatuhan di sekitar puncak. Bibir kawah yang tadinya agak tebal kini runtuh ke arah lereng dengan membawa api. Debu bercampur api itu membentuk awan yang bergulung turun menuju lereng dengan kecepatan mengerikan.
Sungguh beruntung orang-orang telah melarikan diri dengan cepat tadi. Terlambat sedikit saja, maka sehebat apapun ilmu meringankan tubuhnya, tidak akan mampu menandingi kecepatan awan berapi yang sekarang melaju ke bawah dan menyapu semuanya menjadi abu. Pohon-pohon besar yang tadinya tegak berdiri seketika layu begitu tersentuh awan mengerikan itu.
Dewi Mulia Ratri yang sudah sampai di lereng terakhir Gunung Merapi, sempat menoleh sejenak menyaksikan peristiwa alam yang luar biasa itu. Namun begitu dilihatnya awan berapi yang menjulang tinggi itu mulai turun dari puncak, wajahnya memucat tak terkira. Buru-buru gadis ini mengerahkan ilmu meringankan tubuh sekuatnya mencapai tempat aman yang kira-kira tidak jauh lagi dari tempat itu. Orang-orang yang juga merasa penasaran dan berada tidak jauh dari Dewi Mulia Ratri berdiri, segera mengambil langkah seribu begitu melihat hal yang sama yang dilihat gadis itu.
Akhirnya semua berhasil mencapai lereng Gunung Merbabu. Tempat yang tidak mungkin dicapai oleh awan panas maupun lava. Terlihat dari jauh betapa dahsyatnya letusan itu. Asap hitam tebal membubung tinggi menjangkau langit. Gulungan awan panas itu menghanguskan lereng sisi barat dan selatan. Hanya nampak remah-remah api yang tersisa. Berkerlip-kerlip seperti kunang-kunang yang baru muncul di tengah malam. Aliran lava yang kelihatan cemerlang dari jauh mengalir malas-malasan, namun apa yang dilewatinya hangus menjadi kerak dan abu.
Gunung Merapi menuntaskan kemarahannya berhari-hari. Penduduk yang tinggal di sekitar gunung itu harus mengungsi. Meninggalkan rumah dan ladang-ladangnya. Menunggu hingga amarah itu mereda. Nanti mereka bisa kembali dan berharap, dari amarah itu meninggalkan kebaikan berupa tanah-tanah yang subur.
***********