Saat Anton tiba di ruang kerja, ayah dan ibunya telah menunggu. Pagi itu mereka berdua tidak tampak akan pergi bekerja seperti hari-hari biasanya. Pak Pratama adalah nama ayah Anton, beliau hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Begitu pula ibunya Anton yang lebih dikenal dengan nama Ibu Sarah, ia hanya mengenakan stelan blus santai. Ayahnya sedang melihat ke layar komputer di mejanya saat Anton masuk, dan ibunya sedang membaca sebuah buku yang tampak usang.
"Kemari nak, duduk disini.",ujar Bu Sarah sambil mempersilahkan Anton duduk di sofa tepat disampingnya.
Antonpun segera duduk disebelah ibunya. Bu Sarah membelai lembut kepala Anton sambil tersenyum. Pak Pratama segera berpindah duduk ke sofa yang menghadap Anton. Lalu dengan pandangan tajam, ia mengatakan sebuah pernyataan yang membuat Anton terkejut.
"Kita adalah keturunan Aul Anton. Kamu tau apa itu Aul?"
"Aul? Apa itu Ayah?", tanya Anton karena nama itu sangat asing ditelinganya.
Pak Pratama menarik nafas panjang, dan kemudian beliau mulai bercerita.
"Mungkin kamu lebih familiar mendengar kata werewolves atau lycan. Manusia yang di kutuk menjadi serigala jadi-jadian dan mencari mangsa daging manusia. Literasi dan buktinya memang tidak banyak diseluruh dunia. Lebih banyak cerita mengenai sejarah werewolves bersumber dari daratan Eropa."
"Kita adalah bagian dari keluarga besar werewolves yang tersebar diseluruh dunia. Di Indonesia masyarakat lebih mengenal kita dengan nama Aul. Dan bukti-bukti serta sejarah Aul memang tidak jelas kalau merujuk dari cerita-cerita yang beredar. Kita hanya digambarkan sebagai mahluk yang seukuran manusia namun berkepala serigala. Suka memangsa kambing ternak milik penduduk dan memakan hati serta jantungnya." Pak Pratama tampak kecewa saat menjelaskan hal tersebut.
"Padahal Aul adalah makhluk seperti halnya manusia, bisa bersosialisasi dan berketerunan. Hanya saja kita memiliki sesuatu yang tidak dimiliki manusia biasa."
"Sesuatu? Sesuatu itu positif atau negatif Yah?, tanya Anton yang masih tampak terkejut dengan penjelasan ayahnya, Pak Pratama.
"Tergantung bagaimana kamu melihat "sesuatu" itu bagi dirimu nak."
"Bisa itu positif, bisa itu negatif."
"Karena segala hal selalu memiliki 2 sisi mata uang.", jelas pak Pratama.
Anton menelan ludah mendengar cerita dari sang ayah. Air mukanya tampak bingung, marah, malu, semua tercampur manjadi satu. Antara percaya dan tidak dengan penjelasan ayahnya, tapi ayahnya tampak sangat serius saat memaparkan.
Kemudian ayahnya kembali melanjutkan penjelasannya.
"Sayangnya kita bukan makhluk yang kekal, kita juga akan mengalami yang namanya kematian, hanya saja usia kita lebih panjang dari manusia biasa."
"Lalu, apakah setiap saat aku bisa berubah menjadi makhluk mengerikan seperti semalam? Apakah seperti cerita-cerita fiksi kalau setiap bulan purnama aku akan menjadi serigala?" tanya Anton dengan nada yang penuh kekhawatiran.
Bu Sarah tersenyum melihat reaksi anak bungsunya itu. Sambil menggenggam tangan Anton, ia ikut memberikan penjelasan.
"Semua itu bisa dikontrol nak, tetapi memang butuh latihan dan butuh waktu. Usia 16 tahun hanya sebagai awal mula bangkitnya gen Aul di dalam dirimu. Dan kita semua mengalami hal itu."
"Kamu ingat tidak, saat usia David hampir 16 tahun, ia kembali ke Indonesia bersama ayah?" ujar Bu Sarah sambil memandangi wajah putranya itu dengan lembut.
Anton hanya menjawab pertanyaan ibunya itu dengan anggukan pelan sambil pikirannya terbang di waktu ketika David diajak Pak Pratama kembali ke Indonesia. Saat itu kurang lebih 3 bulan sebelum David genap berusia 16 tahun. Kini ia mengetahui alasan kakaknya itu dibawa pulang kesini.
"Jadi, Ayah dan Bunda, kalian berdua…kalian berdua adalah Aul? Kalian bisa berubah menjadi…menjadi serigala?" tanya Anton dengan nada bingung.
"Iya, kami adalah keturunan Aul. Baik ayah maupun ibumu sama-sama keturunan Aul. Ibumu ada darah campuran dengan keluarga werewolves dari Eropa, tapi ayah adalah murni Aul."
"Dan ya, kami bisa merubah wujud kami menjadi serigala." jelas Pak Pratama.
Tubuh Anton agak sedikit gemetar, Bu Sarah menyadarinya dan segera merangkul anaknya dengan penuh kehangatan.
"Ngga papa nak, semua akan baik-baik saja. Hanya saja sekarang kamu harus segera pindah ke vila di kaki gunung Halimun. Disana kamu bisa mengasah kemampuan gen Aul kamu dengan leluasa." seru Bu Sarah sambil tetap merangkul Anton.
"Kemampuan? Apakah karena gen Aul juga mataku bisa melihat dengan jelas tanpa bantuan kacamata lagi? Bahkan sepertinya sensitifitasnya jauh diatas normal." Tanya Anton karena biasanya ia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa kacamata tebalnya.
Ibunya mengangguk seraya berkata, "Betul Nak, kita tidak membutuhkan bantuan kacamata saat gen Aul telah bangkit. Dan semua indra kita akan menjadi lebih tajam dari manusia biasa. Karena itulah kamu harus belajar untuk mengendalikannya di gunung Halimun nanti."
Anton kemudian teringat dengan Hanin. Saat itu dia yakin pasti Hanin khawatir dengan dirinya karena tiba-tiba tidak masuk sekolah dan tidak memberikan kabar apa-apa. Namun ia baru sadar kalau handphonenya tidak berada di posisi bisanya yaitu di meja samping tempat tidurnya. Iapun menanyakan hal tersebut kepada orangtuanya.
"Ayah, Bunda, apakah semalam kalian melihat handphoneku? Sepertinya tadi ngga ada di meja kamar."
"Aku mau memberikan kabar kepada temanku, Hanin. Itu Bun, teman yang pernah aku ceritakan." ucap Anton sambil memadangi wajah ibunya.
Pak Pratama kemudian berdiri, berjalan pelan kearah meja kerjanya. Ia membuka laci dan mengeluarkan handphone yang merupakan milik Anton dari situ. Ditunjukkan handphone tersebut kepada Anton, lalu dengan kekuatan yang bukan milik manusia normal, Pak Pratama meremas handphone itu hingga hancur berantakan. Serpihannya berhamburan di lantai.
Anton tercengang melihat hal itu. Ia tidak mampu berkata apa-apa karena terkejut dengan kondisi dan proses handphonenya bisa menjadi serpihan-serpihan di lantai. Pak Pratama menepuk-nepukan tangannya ke celana untuk menghilangkan sisa-sisa serpihan handphone milik Anton.
"Peraturan pertama saat ini, kamu tidak boleh menghubungi siapapun. Maksud Ayah, tidak boleh berhubungan dengan manusia biasa kecuali orang-orang kepercayaan Ayah dan Bunda sampai kamu siap."
"Dan sekarang tolong kamu siapkan barang-barangmu karena 1 jam lagi kita akan berangkat ke kaki gunung Halimun di Bogor." Perintah Pak Pratama kepada Anton dengan nada yang meninggi.
Raut wajah Anton tampak tidak senang dengan titah ayahnya. Bu Sarah menyadari air muka Anton yang suram dan tatapan tajamnya kepada Pak Pratama. Dengan belaian lembut Bu Sarah menenangkan putranya itu.
"Sudah-sudah, Ayah ngga usah emosi kayak gitu. Dan Anton sayang, kali ini tolong jangan gegabah ya Nak, ini semua demi kebaikan kamu juga. Kebaikan teman-teman kamu juga lho."
"Bayangkan kalau kamu ngga bisa mengendalikan kekuatan gen Aul di dalam diri kamu, bisa berbahaya Nak. Nah, ini coba kamu baca buku-buku sejarah mengenai keberadaan kaum kita, buat menemani perjalanan nanti." Ucap Bu Sarah sambil menyerahkan buku usang yang tadi di baca olehnya kepada Anton.
Anton sadar kalau perkataan ibunya benar dan masuk akal. Dan dengan berat hati iapun segera berjalan ke kamarnya untuk membereskan barang-barang yang akan di bawanya pindah ke vila di kaki gunung Halimun. Dan hari itu adalah hari terakhir Anton tinggal di Jakarta. Iapun menjalani hari-hari selanjutnya di vila kaki gunung Halimun Bogor dengan berbagai macam latihan untuk bisa mengendalikan gen Aul di dalam dirinya. Namun kenangan indah bersekolah bersama Hanin, tetap membekas di hati Anton dan ia tidak akan pernah melupakan sosok gadis ikal yang bertubuh mungil itu.