Pagi itu Hanin terbangun pukul 06.00 pagi, dan hal pertama yang dilakukannya adalah mengecek handphone. Belum juga matanya sepenuhnya terbuka, tangannya sudah menggapai lantai disamping kasur mencari-cari handphonenya. Setelah meraba-raba akhirnya ia bisa mendapatkan handphonenya. Haninpun duduk bersila di pinggir kasur yang posisinya memang ada di lantai. Matanya berbinar melihat ada notifikasi chat yang masuk. Dan begitu ia melihat siapa yang mengirimkan chat, Hanin langsung berbunga-bunga. Entah kenapa ia sangat bahagia bisa kembali bertemu dengan Anton, teman lama yang tiba-tiba menghilang.
Hanin berguling-guling bahagia di atas Kasur membaca chat dari Anton. Padahal Anton hanya membalas chat dari Hanin dan menginfokan kalau dia sudah tiba di rumahnya. Hanin tidak tahu tempat Anton tinggal sekarang, ia hanya kalau Anton tinggalnya di daerah Bogor. Tapi Bogor bagian manapun ia tidak paham. Dilihatnya waktu chat dari Anton dikirim menunjukan hampir pukul 23.00.
"Bogornya jauh banget kali ya? Jam sebelas malem baru sampe rumah."ucap Hanin sambil melihat chat yang dikirimkan Anton.
Pikirannya melayang kembali ketika kemarin dia bertemu Anton. Hanin tidak pernah menyangka Anton bisa berubah dari Anton yang dia kenal 7 tahun lalu. Setidaknya secara bentuk fisiknya. Dulu memang Anton sudah termasuk remaja yang tinggi, kakinya panjang dan dadanya lebar. Hanya saja tubuhnya sedikit kurus dan rambutnya selalu klimis. Yang paling menonjol adalah kacamatanya yang tebal dan sikapnya yang malu-malu. Padahal Hanin tahu kalau Anton sangat pintar, apalagi jika dibandingkan dengan dirinya. Antonpun menguasai beberapa bahasa dan pengucapannya disetiap bahasa sangat sempurna.
Kalau dulu Hana tidak iseng menyembunyikan kacamata Anton saat bermain petak umpet, mungkin kemarin Hanin tidak akan mengenalinya di stasiun. Karena kemarin Anton di mata Hanin sangat luar biasa keren. Tingginya jelas-jelas bertambah sekitar 10 sampai 15 cm, belum lagi tubuhnya menjadi atletis. Hanin bisa melihat otot-ototnya terbentuk di balik kaos putihnyanya yang agak basah terkena siraman air hujan.Rambutnyapun tidak klimis, ikal sebahu dan diikat asal saja. Sebagian rambutnya terurai asal dan tampak seperti per. Wajahnya tidak banyak berubah dari yang diingat Hanin, namun matanya luar biasa indah. Hanin teringat saat wajah Anton yang bertulang pipi tinggi itu terkena cahaya dari kilat dilangit, matanya tampak berbeda dari mata orang Indonesia. Warnanya seperti agak keemasan. Hanin sampai berpikir mungkin Anton ada blasteran Eropa atau Amerika, karena Hanin yakin bola mata Anton berbeda dari orang-orang pada umunya kalau diperhatikan lebih seksama.
Tiba-tiba pintu kamar Hanin di ketuk dari luar. Terdengar suara Bu Ratna, ibu Hanin, memanggil namanya.
"Hanin, kamu udah bangun belum? Katanya mau berangkat lebih pagi?"
"Iya Mah, aku udah bangun kok. Ini mau siap-siap mandi." Jawab Hanin sambil beranjak berdiri dari kasurnya yang nyaman itu.
Saat Hanin membuka pintu, Bu Ratna masih berdiri di depan pintu kamar sambil memberikan Hanin handuk untuk dia mandi. Bu Ratna sudah tampak siap untuk berangkat bekerja. Beliau membuka usaha toko alat-alat keperluan menjahit dan menerima jasa neci dan bordir di Pasar Minggu. Tokonya tidak terlalu besar, tetapi cukup lengkap menjual alat-alat kebutuhan menjahit. Langganannya sudah banyak dan beliau memiliki 3 karyawan yang membantu. Usahanya itu lebih dari cukup menghidupi dirinya dan kedua anak perempuannya setelah suaminya, ayah dari Hanin dan Hana, meninggal sejak Hanin berusia 10 tahun dan Hana 4 tahun.
"Makasih Mamah cantik." Puji Hanin sambil mencium pipi ibunya.
"Kamu salah makan apa Nin semalem? Kok tumben dibangunin gampang?" tanya Bu Ratna dengan heran.
"Ih Mamah gitu sih. Hanin bangun pagi cepet salah. Susah dibangunin tambah salah. Gimana sih?" celetuk Hanin sambil berjalan ke kamar mandi.
"Ya bagus sih. Tapi mencurigakan." Ucap Bu Ratna sambil berjalan ke ruang tamu dan bersiap berangkat dengan menggunakan motor.
"Mamah berangkat ya Nin. Nanti jangan lupa sarapan dulu sebelum berangkat."
"Oke Mah. Hati-hati di jalan ya Mah." Seru Hanin dari dalam kamar mandi.
Hanin menyelesaikan kegiatan mandi paginya dengan cepat, dilanjutkan dengan sarapan dan kemudian bersiap berangkat bekerja. Saat sedang menikmati sarapan, handphonenya berbunyi. Di layar handphonenya tertulis "ANTON SMA PELITA". Hanin terbelalak dan tersedak roti yang sedang dikunyahnya. Ia begitu terkejut Anton menghubunginya pagi sekali. Hanin menenguk sedikit air untuk mendorong masuk roti yang tadi menyangkut di kerongkongannya dan segera menerima panggilan itu.
"Ha...Hallo?" ucap Hanin.
Terdengar Anton berdehem kecil, kemudian ia berkata,"Pagi Hanin. Gue ganggu ngga nelpon elo pagi-pagi? Jangan-jangan masih tidur ya?"
"Enak aja masih tidur, udah siap-siap mau berangkat kerja tau. Ini lagi sarapan dulu." Jawab Hanin sambil sedikit tertawa.
"Hehehe…kirain belum bangun. Ceritanya mau jadi alarm pagi buat lo." Ucap Anton dengan suara beratnya.
"Udahlah Ton. Tapi emang biasanya baru bangun sih, cuma hari ini gue harus berangkat pagi karena mau ada meeting."
"Oh gitu. Ehm…gue nelpon cuma mau nanya, kapan lo ada waktu traktir gue kopi?" tanya Anton dengan ucapan yang terdengar malu-malu.
Hanin merasakan wajahnya memerah, teringat kemarin ajakannya untuk minum kopi di tolak mentah-mentah. Ia sempat berpikir mungkin Anton tidak tertarik dengan dirinya sehingga tidak mau berhubungan lebih jauh dengannya. Ditambah lagi Anton mengatakan handphonenya mati saat akan bertukar nomor telepon, Hanin sudah tidak berharap. Bahkan saat semalam dia akan mengirimkan pesan kepada Anton, Hanin sempat ragu-ragu. Namun akhirnya dia memutuskan mengirimkan chat tanpa terlalu berharap akan direspon. Dan hingga jam 22.00, saat pesannya masih belum diterima Anton, Hanin sempat berpikiran negatif kalau Anton memberikan nomor yang sudah tidak digunakan lagi. Karena itulah saat pagi ia menerima chat dari Anton dia senang sekali, berarti Anton tidak berusaha menghindarinya.
"Ko…kopi? Ya Ampun, iyaya. Kemarin gue janji ngajak lo ngopi."
"Hmm….gue sih weekend ini ngga ada rencana kemana-mana. Lo ada urusan ngga Sabtu besok?" tanya Hanin sambil salah tingkah sendiri. Padahal ia tahu hanya berbicara dengan Anton melalui handphone.
"Kebetulan ngga ada." Jawab Anton yang entah kenapa jawabannya membuat jantung Hanin berdetak lebih cepat.
"Mau ngopinya dimana? Eh atau sekalian aja kita jalan-jalan. Udah lama gue ngga jalan-jalan di mal Jakarta. Lo maukan nemenin gue?"
Hanin dapat merasakan detakan cepat jantungnya. Tidak menyangka kalau Anton malah mengajaknya jalan-jalan. Tidak mungkin kesempatan ini akan dilewatkannya, kapan lagi bisa jalan sama pria seganteng Anton yang sekarang pikir Hanin.
"Oke….mau dong. Kita ketemu dimana?" jawab Hanin sambil tersenyum gembira.
"Rumah lo masih di belakang SMA Pelitakan?" tanya Anton.
"Masih. Kenapa? Mau lo jemput?" ledek Hanin.
"Iya. Gue jemput ya Sabtu besok. Jam 11.00 gimana? Sekalian kita makan siangkan jadinya." Jawab Anton cepat, yang membuat Hanin semakin salah tingkah. Ia tidak menyangka Anton benar-benar akan menjemputnya. Ia hanya menggoda Anton tadi.
"Eh, serius Ton? Gue cuma becanda lho. Kalo repot ngga usahlah, kita langsung ketemuan di mal aja."
"Ngga kok. Ngga repot sama sekali. Oke kalau gitu, lo kan mau berangkat, nanti malah kesiangan. See you next Saturday ya Hanin. Bye…." Kemudian Anton langsung mengakhiri teleponnya tanpa menunggu respon dari Hanin.
"Lho…kok malah dia yang buru-buru nutup ya." Ucap Hanin sambil melihat layar handphonenya memastikan kalau memang Anton telah mengakhiri teleponnya.
Tapi kemudian Hanin menyadari kalau ini tampak seperti ajakan kencan dari Anton. Senyumnya mengembang dan ia loncat-loncat kegirangan sediri. Sudah lama sekali dia tidak pernah pergi dengan pria berdua saja. Terakhir Hanin memiliki kekasih saat kuliah, itupun hanya bertahan 3 bulan. Ternyata saat itu Hanin belum bisa memiliki hubungan special seperti itu, lalu iapun mengakhiri hubungannya. Dan kini, setelah berusia 22 tahun, ia akan merasakan lagi sensasi jalan berdua dengan pria. Kali ini dengan pria yang super sekali gantengnya. Haninpun berangkat bekerja dengan hati riang gembira tidak sabar menantikan hari Sabtu tiba.
Di Vila gunung Halimun, wajah Anton tampak memerah saat buru-buru menutup telepon Hanin. Ia sampai tidak sanggup lagi menunggu respon Hanin atas keputusan gilanya tadi. Handphone diletakkannya di meja dan Anton menutup wajahnya yang terasa panas dengan kedua tangannya. Ia malu sekali sekaligus nekat menelepon Hanin tadi. Karena saat bangun pagi tadi, yang ia ingat hanya Hanin. Ia ingin mendegar suaranya. Kemudian segera ia bangun dan menghampiri handphonenya yang masih tergeletak di meja semalam. Dan saat sadar ia sudah menelepon Hanin.
Entah apa yang merasukinya hingga melakukan perbuatan itu. Dorongan untuk mendengar suara Hanin, bertemu, bahkan ingin menyentuhnya begitu kuat. Anton tidak pernah mengalami hal semacam itu. Ia merasa malu sekali memiliki perasaan seperti itu, merasa menjadi orang yang memiliki pikiran kotor. Semua terjadi begitu saja saat ia menelpon Hanin. Meski hanya menelpon ia merasa bisa mencium aroma tubuh Hanin seperti saat mereka berdekatan di kereta kemarin.
Anton mulai berjalan mondar-mandir, berpikir bagaimana ia harus bersikap saat bertemu Hanin nanti. Ia harus pakai baju apa, mengajak Hanin makan apa dan dimana. Topik apa yang menarik untuk dibicarakan. Semua pikiran itu berputar-putar di otaknya.
Di lihatnya jam dinding yang baru menunjukkan pukul 06.30 pagi, dan hari itu adalah hari Kamis. Berarti Anton masih punya waktu dua hari untuk bersiap-siap bertemu dengan Hanin. Karena akan berjalan-jalan di mal Jakarta, Anton memutuskan untuk menginap di rumah orangtuanya di Ciganjur dan berangkat kesana besok sore setelah ia menyelesaikan urusan pekerjaannya. Ibu dan ayahnya pasti terkejut kalau ia minta izin untuk menginap di Ciganjur besok. Selama ini Anton sangat menikmati tinggal di vila karena suasananya dan karena ia sangat mencintai pekerjaannya. Selamat tujuh tahun kemarin baru satu kali ia menginap di rumah Ciganjur karena harus bertemu dengan perwakilan dari World Werevolwes Society untuk menunjukkan kemajuan pelatihannya mengendalikan gen Aul. Setelah itu ia sempat tinggal di rumah milik adik ayahnya yang dekat dengan kampus IPB selama berkuliah dan kembali tinggal di vila setelah mendekati kelulusannya.
Karena masih pagi, Anton memutuskan untuk mendinginkan kepalanya dengan berolahraga sebentar di luar. Segera diambil jaket dan dipakainya sepatu keds untuk melakukan jogging di sekitar hutan kaki gunung Halimun. Iapun berolahraga sambil pikirannya tetap melayang ke gadis mungil yang sejak pertemuannya kembali telah menawan hatinya.