Baru saja terdengar suara bel tanda pulang, seluruh siswa dan siswi yang sejak tadi pagi hanya duduk seraya menikmati waktu perkenalan mereka segera merapikan semua barang-barangnya dan menenteng tasnya untuk keluar dari kelas. Berbondong-bondong memasuki lahan parkir untuk mengambil kendaraan mereka. Sayang sekali, di hari pertamanya sekolah, Angel tidak membawa kendaraan, lantaran dia diantar oleh ayahnya. Kali ini, Angel sedikit bingung cara untuknya pulang. Dia belum tahu harus menggunakan alat transportasi apa untuk membawanya pulang. Bis saja dia tidak tahu harus menaiki yang mana, Angel khawatir jika dia akan salah bis, lantaran tidak tahu rute yang akan dia lalui dari bis itu.
Pun dengan segera, Angel menghubungi Della, siapa tahu gadis itu membawa motor dan membuatnya bisa menebeng. Hanya saja, kursi tumpangan motor Della sudah diisi oleh orang lain. Ya, dia pasti teman baru Della di kelasnya. Angel merasa tidak enak, apalagi dirinya juga tidak mengetahui jika Della sudah membawa orang lain. Kini Angel hanya bisa terdiam dan memikirkan caranya untuk pulang ke rumah. Uangnya tak begitu cukup jika menggunakan taksi, lantaran hari ini sudah langsung untuk membayar iuran kas.
Gadis itu hanya berdiri di depan gerbang, seraya melihat seseorang yang bisa dia mintakan untuk mengantarkannya pulang. Hanya ada satu orang yang secara tidak sengaja terlintas di kepalanya, bertepatan dengan presensinya yang keluar dari gerbang berwarna cokelat itu. "Edwin!" panggilnya dengan suara lantang.
Laki-laki yang merasa namanya terpanggil itu segera menghentikan motornya, membuka kaca helm guna melihat siapa orang yang memanggilnya. "Apa?" tanyanya yang menatap ke arah Angel.
Angel masih menutup kedua bibirnya, dirinya juga seketika menjadi gagap ketika ingin meminta tebengan pada musuhnya itu. Bahkan, berkali-kali juga Angel tak ingin menatap kedua mata Edwin saat dirinya harus menghilangkan gengsi untuk meminta bantuannya. Lidahnya beku, tak bisa mengeluarkan satu katapun dari dalam mulut. Padahal, dia sangat membutuhkan bantuan disaat seperti ini.
"Kau tidak lupa caranya berbicara, bukan?"
Karena Angel juga tak kunjung berbicara, Edwin kembali menutup kaca helmnya, berniat untuk kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Namun, laki-laki itu seketika terhenti setelah mendengar suara Angel yang begitu cepat. "Apa katamu? Aku tidak mendengar dengan jelas,"
"Aku ingin menebeng," ucap Angel dengan tempo yang lambat.
Tanpa menggunakan jeda, Edwin langsung membalasnya. "Tidak mau," ucapnya bersamaan dengan menutup kaca helm sebelum melajukan motornya dan meninggalkan Angel seorang diri di depan gerbang sekolah.
Benar, 'kan, memang keduanya ini tak bisa bekerja sama atau saling mengalah—meski hanya sekali. Buktinya, Angel sudah meminta dengan baik saja Edwin tetap meninggalkannya. Rasanya ingin menangis saja jika begini. Sudah tidak banyak kenalan, sekarang hanya berdiri di depan gerbang, entah menunggu apa atau siapa. Semakin lama, sekolah ini semakin terlihat sepi. Ingin mencegat orang lain, tapi mustahil jika dia menanyakan letak rumahnya, kenal saja tidak. Lantas gadis itu memilih untuk duduk di pinggir jalan—pada sebuah potongan batang kayu besar. Dia menggeser layar ponselnya guna menghubungi ibunya. Hanya saja, ibunya sama sekali tak menjawab panggilannya. Kini beralih mengirimkan pesan pada ayahnya—khawatir jika mengganggu ayahnya bekerja.
Menunggu beberapa menit pesannya tak kunjung dibalas, akhirnya Angel langsung dihubungi oleh ayahnya. Buru-buru dia menjawab panggilan itu. "Papa, aku sudah pulang. Tapi, tidak tahu pulangnya bagaimana," kata gadis itu tanpa menggunakan salam pembuka pada sang ayah.
Dari balik panggilan itu, terdengar suara ayahnya yang berkata jika belum bisa menjemput Angel dijam kerjanya. Ayahnya juga menyarankan sesuatu yang sudah putri sulungnya itu lakukan sebelumnya. Tapi, sang ayah tetep tidak bisa menjemput Angel. Disamping sang ayah belum pulang, waktu yang digunakan untuk menjemput Angel juga akan memakan banyak waktu. Bisa mencapai satu jam.
"Angel biar sama saya saja, om," kata Edwin yang secara tiba-tiba mengambil ponsel Angel guna berbicara pada ayah gadis itu.
"Edwin!!"
"Iya, om," pungkasnya sebelum menyerahkan ponsel itu pada Angel. "Ayahmu ingin bicara," katanya dengan suara lirih.
Angel mengarahkan ponselnya ke arah telinganya, mendengar semua perkataan ayahnya yang menyuruhnya untuk pulang bersama Edwin karena rumah mereka searah. Pun gadis itu hanya membalasnya dengan 'iya' tanpa berniat untuk mengganggu pekerjaan sang ayah. Barulah panggilan mereka terputus, Angel langsung menatap tajam ke arah Edwin.
"Aku tidak mau pulang bersamamu," kata Angel yang mengubah kalimatnya sebelumnya.
"Aku juga tak akan memaksa. Tapi, jika kau ingin tetap menunggu ayahmu, jangan berharap kau akan dijemput. Karena ayahmu sudah menyuruhmu untuk pulang bersamaku," kata Edwin yang langsung berjalan meninggalkan Angel.
Gadis itu bergegas berdiri dan berjalan mengikuti langkah Edwin menuju motornya. "Bukan Papaku, tapi kau sendiri yang mengatakannya," kata Angel.
Edwin tak menimpalinya, dia lebih dulu naik ke atas motor, pun disusul Angel yang akhirnya mau untuk pulang diantar Edwin. Yang terpenting saat ini adalah dirinya yang pulang ke rumah.
"Kenapa kau balik lagi setelah meninggalkanku?" tanya Angel setelah dia menyadari perbuatan Edwin tadi.
"Balasan untuk kertas jadwal tadi pagi," jawabnya yang langsung melajukan motornya meninggalkan sekolah.
Jawaban dari laki-laki ini sedikit membuat Angel kembali mengingat kertas yang dia sobek. Aneh saja, karena kertasnya itu sudah rusak, namun Edwin justru menganggap tadi pagi adalah suatu kebaikan. Entahlah, Angel rasa, sesuatu ada yang rusak dalam kepala laki-laki ini. Angel juga ingin memastikan jika ini adalah pertama dan terakhir dirinya berboncengan dengan Edwin. Dirinya tak mau lagi menebeng pada musuhnya. Selama berbulan-bulan mereka berdua saling mengejek, dan sekarang keduanya berada di kelas yang sama. Bahkan, berada di atas motor yang sama.
Selama perjalanan, keduanya sama-sama terdiam, tak ada obrolan apapun dari masing-masing remaja ini. Namun, yang membuat Angel kebingungan adalah saat Edwin tahu lokasi rumahnya. Padahal, satu kali pun Angel tak pernah melihat Edwin datang ke rumahnya, walau hanya di depan rumah. Gadis itu turun dengan kedua alis yang tertekuk.
"Darimana kau tahu rumahku di sini?" tanyanya.
"Mengantar ibuku," jawabnya. Tepat setelah jawaban singkat itu, Edwin segera melajukan motornya meninggalkan rumah Angel.
Sedangkan gadis itu, masih berpikir kapan dirinya melihat ada Edwin saat ibu dari laki-laki itu mendatangi rumahnya ini. Kedua alisnya masih tertekuk saat berjalan masuk ke dalam rumahnya. Rupanya, sulit sekali memahami laki-laki seperti dia. Angel langsung menampar salah satu pipinya ketika dia menyadari pemikirannya barusan. "Apa yang perlu dipahami dari dia?! Tidak ada!" ucapnya sendiri penuh rasa kesal. Sampai di dalam rumah dan bertemu sang ibu, gadis itu langsung melontarkan kekesalannya karena sulit mendapat tebengan saat akan pulang.
"Lalu, dengan siapa kamu pulang?" tanya sang ibu.
"Edwin," jawabnya dengan suara kecil.
"Edwin?!"