Sasa berjalan terburu-buru menuju ruang Kenanga, beberapa kali dia menabrak para petugas kesehatan dan pengunjung. Namun, dia tak hiraukan. Dia terus berjalan dengan napas terengah-engah.
Sesampainya di depan ruang Kenanga, Sasa segera menghampiri bed sang ibu. Humaira, wanita berusia lima puluh tahun itu terbaring lemah.
"Ayah?! Ibu ...."
Sasa segera memeluk Dahlan-sang ayah. Dia pun menangis sejadi-jadinya.
"Ibu kenapa, Yah? Kok, bisa begini?" tanya Sasa, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Humaira.
Di kening Humaira terdapat perban. Kaki wanita itu juga terluka parah.
"Ibu ditabrak lari, Sa," jawab Dahlan.
"Hah? Tabrak lari? Terus, sekarang yang nabrak nggak ketemu, Yah?" tanya Sasa.
"Mereka kabur, Sa. Sekarang kondisi Ibu seperti ini, luka-luka, nggak terlalu parah, tapi-"
"Nggak parah gimana, Yah. Ini sampai diperban gini," ucap Sasa tidak terima.
"Sudah, kamu tenang. Jangan emosi. Yang nabrak lagi dicari sama polisi. Sekarang yang penting kita cari uang untuk biaya pengobatan Ibu," ucap Dahlan dengan kening mengerut.
"Ya Allah, gimana ini?" Sasa meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia baru saja diterima bekerja di salah satu toko pakaian. Dia belum punya uang saat ini.
Sementara Dahlan hanya bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Humaira menjual kue-kue buatan tangannya ke kantin-kantin sekolahan.
"Memang biayanya berapa, Yah?" tanya Sasa lirih.
"Ayah belum tanya. Tapi pasti banyak, Sa. Apalagi kita nggak punya BPJS, kan. Apa Ayah pinjem ke juragan Hendra aja, ya?" usul Dahlan.
Sasa menggeleng keras. Dia sama sekali tidak setuju dengan usul sang ayah. Sebab Juragan Hendra itu lintah darat. Jika dia pinjam satu juta, maka dia harus mengembalikan uang itu lebih dari satu juta. Bunganya terlalu tinggi.
Jalan keluar satu-satunya saat ini adalah, kasbon.
***
Sasa berdandan sesederhana mungkin. Setelah membawakan sarapan untuk orang tuanya di rumah sakit, gadis berperawakan mungil itu segera menuju toko baju.
Toko baju tempat Sasa bekerja itu termasuk toko yang laris dan digemari oleh para pembeli terutama gadis seusianya. Banyak model yang cantik dan modern di sana. Tak hanya itu, para ibu muda juga banyak yang berkunjung ke sana.
Hari ini, dia bertugas menjadi penjaga pakaian di area utara. Tugasnya itu menata ulang pakaian yang dicoba oleh calon pembeli.
Saat ini, hati Sasa sedang cemas dan gelisah karena memikirkan tentang biaya rumah sakit. Semakin lama ibunya dirawat semakin banyak pula uang yang harus dia cari. Gara-gara memikirkan hal itulah, pekerjaan Sasa jadi tidak fokus.
"Mbak, model yang ini bagus. Saya sudah coba, tapi saya mau yang warna hitam, ada?" tanya seorang wanita berjilbab merah. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun.
Sasa melihat model baju yang diserahkan oleh wanita tersebut, lantas tersenyum.
"Ada, Kak. Ukurannya apa sama?" tanya Sasa ramah.
"Ukurannya sama, Mbak," jawab wanita itu. Sasa pun berjalan menuju ruangan yang berisikan stok pakaian. Dia pun mendapatkan baju yang wanita tadi cari.
"Ini, Kak, bajunya. Sebelah sana kasirnya," ucap Sasa sambil menunjuk ke arah kasir. Wanita itu pun berterima kasih lalu menuju kasir.
Sasa melanjutkan pekerjaannya. Sampai waktu istirahat tiba, dia pun mencari bosnya untuk meminta kasbon. Sebenarnya harapannya mendapatkan kasbon sangat tipis. Namun, dia ingin mencobanya dulu, siapa tahu hati si bos kasihan dan bisa membantunya kali ini.
Langkahnya berhenti di depan ruangan berpintu kaca. Sasa menggeser kaca tersebut lalu mengucap salam. Seorang wanita berusia empat puluh tahunan duduk sembari mengecek laptop di atas mejanya.
"Ada apa, Sasa?" tanya Weni.
"Maaf, Bu. Saya ada keperluan," ucap Sasa dengan debaran yang keras di dada.
"Silakan duduk, ada perlu apa? Apakah ada kendala di hari kedua kamu bekerja di sini?" tanya Weni lagi.
"Alhamdulillah, nggak, Bu. Saya sudah mulai terbiasa bekerja di sini, meski baru dua hari. Begini, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Ibu saya masuk rumah sakit karena tertabrak motor. Saya ingin mengajukan kasbon, mohon maaf kalau saya lancang, Bu. Saya benar-benar membutuhkan uang itu," ucap Sasa sambil menunduk. Dia merasa sangat malu.
"Saya turut prihatin, Sasa. Sejak kapan ibu kamu masuk rumah sakit?" tanya Weni.
"Kemarin, Bu. Saya dan keluarga tidak memiliki BPJS, jadi sepertinya biaya pengobatan akan cukup besar," jelas Sasa.
"Maaf, Sasa. Sebenarnya peraturan di toko baju ini, pegawai boleh kasbon kalau sudah bekerja paling sebentar dua minggu. Jadi, saya mohon maaf sekali lagi sama kamu, saya tidak bisa memberikan uang itu, karena kamu juga baru bekerja dua hari ini."
Sasa tidak kaget mendengar hal itu sebab dia juga sudah tahu peraturan itu. Gadis berusia sembilan belas tahun itu pun menghela napas dan pamit dari ruangan bosnya.
Sementara di tempat lain, Dahlan berusaha meminta pertolongan dari ketua RT tempat tinggalnya. Dia ingin meminta surat keterangan tidak mampu untuk diajukan ke pihak rumah sakit.
"Mohon maaf, Pak Dahlan. Kami nggak bisa bantu Bapak karena sudah dua tahun ini Bapak nunggak bayar iuran bulanan. Istri Bapak juga nggak pernah ikut PKK dan bayar iuran," ucap Rahmat.
"Untuk kali ini saja, Pak. Saya mohon, nanti saya lunasi iurannya. Tolong, Pak. Istri saya kecelakaan, kami nggak punya BPJS dan uang," pinta Dahlan sungguh-sungguh.
Ada alasan tersendiri mengapa Humaira tidak pernah ikut PKK ibu-ibu di tempat tinggalnya. Dia hanya mengontrak di sana, dan sebagai warga yang kurang mampu, terkadang Humaira merasa rendah diri ketika bergabung dengan ibu-ibu yang lainnya. Sehingga dia memilih untuk tidak mengikuti kegiatan PKK tersebut.
Begitu juga dengan Dahlan, dia merasa selama ini hidupnya sudah kesulitan. Uangnya sudah habis untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan juga biaya sekolah Sasa. Harapannya, setelah Sasa lulus sekolah, gadis itu bisa membantu keuangan keluarga.
Tidak ada jalan lain, akhirnya Dahlan nekat ke rumah Juragan Hendra.
***
Pukul 17.00, Sasa baru selesai membersihkan diri lalu segera melaksanakan salat Asar. Setelah itu dia buru-buru membeli nasi rames dan teh hangat masing-masing dua porsi untuk dibawa ke rumah sakit.
Tubuh Sasa terasa lelah karena bekerja dengan otak yang tak henti-hentinya berpikir, dia harus mendapatkan uang dari mana?
Gadis itu menaiki angkutan umum menuju rumah sakit. Dia pun berjalan seperti biasanya sampai ke depan pintu ruang Kenanga. Namun, sesampainya di sana, sang ibu sudah tidak diinfus.
"Loh, Ayah, Ibu udah dilepas infusannya?" tanya Sasa sambil menaruh makanan di nakas.
"Iya, Sa. Nanti malam kita pulang, ya. Ibu mau pulang saja. Kalau kelamaan di sini, biayanya tambah banyak," ucap Humaira.
"Terus kalau malam ini pulang, bayar rumah sakitnya gimana? Sasa belum ada uang, ada uang cuma empat ratus ribu buat sampai akhir bulan, Bu," ucap Sasa lemah.
"Ayah minta maaf, Sa. Ayah pinjem uang ke Juragan Hendra, Ayah terpaksa." Dahlan sudah tidak memiliki uang lagi. Upahnya di pasar sudah diserahkan pada Humaira untuk modal jualan kue, tetapi kue yang hendak dijual malah ikut hancur terlindas mobil dan motor yang melewati Humaira ketika kecelakaan itu terjadi.
"Emang Ayah udah tahu berapa biayanya?" tanya Sasa.
"Udah, tadi siang Ayah tanya ke bagian administrasi. Katanya habis tiga juta. Makanya ibumu minta pulang malam ini juga," jelas Dahlan.
"Ya Allah. Tiga juta, Yah. Banyak banget. Terus, bunga yang Juragan Hendra tentukan berapa? Ayah udah pinjem ke dia? Berapa?" tanya Sasa dengan perasaan was-was.
"Maafin Ayah, Sa. Ayah pinjem tiga juta lima ratus, buat jaga-jaga uangnya."
"Bunganya berapa, Yah?"
"Maafin Ayah, Sa. Ayah nggak tau harus minta tolong sama siapa lagi. Susah cari pinjaman, Ayah udah coba ke bos Ayah tapi dia nggak kasih."
"Bukan itu yang Sasa ingin tahu, Yah. Sasa tanya, bunganya berapa?"
Dahlan menunduk dalam. Dia tahu, setelah ini Sasa pasti akan marah.
"Berapa, Yah?"
"Dua puluh lima persen, Sa," jawab Dahlan dengan suara bergetar.
"Astaghfirullah, Ayaaaah!" Suara Sasa semakin melemah, air mata bercucuran di pipinya. Dia benar-benar bingung sekarang. Ibarat kata, keluar dari kandang macan, malah masuk ke kandang buaya.