Chereads / Bukan Pernikahan Impian Sasa / Chapter 3 - Keinginan memiliki anak

Chapter 3 - Keinginan memiliki anak

Seorang pengunjung tiba-tiba menolong Sasa untuk berdiri. Wanita yang kemarin meminta tolong pada Sasa untuk mencarikan pakaian.

"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya wanita itu.

"Eh, nggak apa-apa, kok, Kak. Saya nggak apa-apa. Lagian teman saya juga nggak sengaja," ucap Sasa tak enak hati melihat ekspresi wanita itu.

"Saya lihat, kamu tadi sengaja menyenggol dia," ucap wanita itu pada Sandra.

"Maaf, Kak. Saya nggak sengaja. Lagian Sasa juga bilang nggak apa-apa, kan. Ribet banget, sih." Sandra pun berlalu meninggalkan Sasa dengan pengunjung itu.

"Makasih, Kak. Eh, kakak yang kemarin beli baju itu, kan?" Saya baru ingat dengan wajah wanita di depannya.

Wanita itu mengangguk. Kemudian dia meminta Sasa mencarikan gaun yang bagus untuk acara pernikahan sahabatnya.

"Saya pelanggan tetap di sini, baru dua kali ketemu kamu. Pelayanan kamu baik, dandanan kamu juga sederhana," ucap wanita itu.

"Ah, Kakak bisa aja mujinya. Itu memang kewajiban saya sebagai karyawan di sini. Jadi, Kakak cari gaun yang gimana?"

"Saya mau gaun yang sopan tapi menarik, ada nggak ya?"

Sasa pun segera mengantarkan wanita itu ke area selatan. Di sana banyak gaun-gaun yang dipajang.

"Kakak pilih saja, nanti saya Carikan yang ukurannya pas untuk kakak."

"Saya minta tolong sama kamu, kamu saja yang pilihkan."

Untuk beberapa detik, Saya keheranan. Namun, dia tidak mungkin menolak keinginan pelanggan. Diapun segera memilih gaun dengan hati-hati.

"Bagaimana dengan gaun ini, Kak? Warna kuning gading, bahannya lembut, ini premium," jelasnya.

"Kalau Kakak suka, saya Carikan yang ukuran kemarin."

Wanita itu mengangguk setuju. "Saya suka pilihan kamu, oh, iya kita belum kenalan. Nama saya Dahlia," ucap wanita itu.

Sasa menerima uluran tangan Dahlia. Dia merasa senang ketika bisa membuat pelanggan di tempatnya bekerja nyaman.

"Sasa, kalau boleh tahu, usia kamu berapa, ya?" tanya Dahlia.

"Saya … tahun ini mau dua puluh satu, Kak," jawab Sasa. Mereka berdua berjalan menuju meja kasir.

Sejak kemarin, Dahlia memperhatikan gerak gerik Sasa saat melayani pelanggan dan berbicara dengan konsumen. Gadis berusia dua puluh tahun itu menarik, dan sopan.

"Ini harganya dua ratus tujuh puluh ribu rupiah, Kak," ucap Sasa.

"Ini uangnya," ucap Dahlia sambil menyerahkan uang sebanyak tiga ratus ribu rupiah.

"Kembaliannya untuk kamu saja, ya, Sa. Makasih gaunnya," lanjutkan kemudian berlalu begitu saja sebelum Sasa sempat berterima kasih.

Sandra melihat peristiwa itu. Hatinya merasa sangat panas dan tidak terima karena Sasa mendapatkan pelanggan yang sangat baik dan royal.

***

Dahlia baru saja sampai di rumahnya. Dia segera menyiapkan makan siang untuk sang suami, karena sudah waktunya makan siang.

[Mas, kamu sudah sampai?] tanya Dahlia lewat pesan singkat.

[Sebentar lagi nyampe rumah, Sayang. Masak apa hari ini?]

[Masak sup iga kesukaan kamu] pesan pun terhenti. Dahlia sibuk menata makanan di atas meja.

Tak lama kemudian, Dahlia mendengar suara seseorang mendekat. Ternyata sang suami sudah pulang.

"Assalamualaikum, Sayang," ujar pria itu lalu memeluk tubuh Dahlia dari belakang. Dia menghirup aroma vanila dari tubuh sang istri.

"Wa'alaikumussalam, Mas. Ayo, makan dulu," ajak Dahlia kemudian melepaskan diri dari pelukan sang Istri.

Pria tinggi berparas tampan itu bernama Narendra. Dia sangat mencintai Dahlia. Mereka sudah menikah selama tujuh tahun.

"Hmmm, masakan kamu harum sekali, pasti rasanya sangat nikmat."

Mendengar pujian dari sang suami, hati Dahlia berbunga-bunga. Meski sudah lama berumah tangga, Narendra selalu romantis dan perhatian seperti ini. Setiap siang, mereka selalu makan bersama.

"Gimana kerajaan di kantor, Mas? Ada kendala?" tanya Dahlia sambil menyiapkan nasi ke dalam piring.

"Hmm, nggak sih, cuma ada beberapa kerjaan yang harus aku bereskan malam ini. Nanti malam aku lembur, kamu nggak apa-apa kan sayang, sendirian?"

Dahlia menarik napas dalam-dalam. Kerap kali dia merasakan kesepian ketika sang suami sibuk bekerja. Namun, apa daya sampai saat ini, Allah belum memberi dia kepercayaan untuk memiliki momongan.

"Andai kita punya anak, Mas. Pasti aku nggak akan kesepian," ujar Dahlia pelan. Narendra mendengar hal itu. Hal yang paling sering membuat perasaan Narendra jadi risih.

"Sabar, Sayang. Namanya juga belum rezeki," ucap Narendra kemudian menyuap makanan ke dalam mulutnya. "Hmmm, enak banget sumpah. Kamu itu memang pintar sekali membuat suamimu betah makan di rumah," puji Narendra tulus.

Hati Dahlia merasa hangat mendengar hal itu. Hanya saja, tetap saja ada kekosongan dalam hatinya. Dia menginginkan seorang bayi, dia ingin menggendong seorang anak.

"Mas, kalau kita ambil bayi dari panti asuhan gimana?" usul Dahlia.

Narendra berpikir sejenak. Sebenarnya dia tidak ingin mengangkat seorang anak dari panti asuhan, sebab dia takut tidak bisa memberikan kasih sayang yang tulus untuk anak yang bukan darah dagingnya.

"Kalau kamu kesepian, kamu bisa ajak anak Mba Kinan ke sini. Mbak Kinan pasti nggak keberatan kalau salah satu anaknya dibawa kamu. Malah dia senang," ujar Narendra.

Kinan adalah kakak Narendra. Kinan memiliki empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Namun, bukan itu yang Dahlia inginkan. Dia ingin merawat bayi kecil setiap hari, barang kali dengan seperti itu Allah bisa mempercayai dirinya mengandung.

"Mas, aku ingin punya anak," ucap Dahlia lagi.

"Ya Allah, Sayang. Kamu nggak lihat aku lagi makan? Bisa nggak kamu tunda dulu pembahasan soal anak ini? Kenapa sih kamu nggak paham. Aku paling nggak suka kalau lagi makan kamu ngomong soal anak. Aku juga mau punya anak, tapi sabar. Sabar!"

Nafsu makan Narendra seketika hilang. Dia hanya meminum air putih kemudian berlalu dari meja makan menuju mobilnya.

"Astaghfirullah, Mas. Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud bikin kamu marah!" Terlambat, Narendra sudah terlanjur marah dan keluar dari rumah.

Pria itu pun melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

***

Di tempat lain, Sasa sedang menahan lapar karena dia tidak punya uang sama sekali. Dia juga tidak membawa bekal karena ibunya masih sakit. Dia juga tidak mungkin bicara pada ayahnya dan meminta uang.

Sasa banyak minum air putih untuk mengganjal perutnya yang lapar.

"Sa, kamu nggak makan siang?" tanya Lily, gadis itu heran dengan Sasa. Di saat yang lain keluar untuk mencari makan, dia hanya diam di ruang istirahat.

"Udah kenyang, Mbak. Hehe. Mbak baru selesai makan, ya?"

"Hu'um. Ini, aku bawa camilan, mau nggak?" tawar Lily. Tiba-tiba perut Sasa mengeluarkan bunyi yang lumayan kencang.

"Loh, katanya kenyang. Kok, perut kamu bunyi gitu. Itu artinya lapar, Sa," ucap Lily.

Sasa menunduk malu, dia tidak mungkin kan bicara pada Lily, kalau dia tidak punya uang sepeser pun. Melihat gelagat Sasa seperti itu, Lily pun berinisiatif membelikan makanan.

"Kamu tunggu, aku belikan burger, ya, buat ganjel perut kamu," ucap Lily.