Chereads / Bukan Pernikahan Impian Sasa / Chapter 2 - Teman Kerja Yang Iri

Chapter 2 - Teman Kerja Yang Iri

Pukul 19.30, Sasa dan kedua orang tuanya benar-benar keluar dari rumah sakit. Humaira dan Dahlan pulang menggunakan sepeda motor, sedangkan Sasa membawa pakaian kotor ibunya dengan naik angkutan umum.

Selama di perjalanan, Sasa terus melamun. Dia memikirkan bagaimana caranya membayar utang pada Juragan Hendra sebelum jatuh tempo. Kalau sampai jatuh tempo, utangnya akan bertambah banyak karena bunganya yang besar.

Sasa terlalu asyik melamun, sampai-sampai dia tidak merasa terganggu dengan kehadiran seorang pria dewasa yang duduk di sisinya. Pria itu mengambil kesempatan yang pas, saat Sasa lengah, dia segera meloloskan dompet yang ada di dalam tas Sasa.

"Kiri, Bang!" ucap pria itu. Dia pun segera keluar dari angkot lalu berlari. Kakinya berhenti di depan tukang martabat manis. Lalu membuka dompet yang baru saja dia curi.

"Wah, lumayan empat ratus ribu," gumamnya. Ia pun melihat wajah seorang gadis yang ada pada foto KTP.

"Maaf, ya, cantik. Duit lo gue ambil."

Setelah itu dia melemparkan dompet Sasa ke sembarang arah.

***

"Pak, kiri!" seru Sasa ketika sudah sampai di pertigaan dekat rumahnya.

Mobil pun seketika berhenti, Sasa turun dan merogoh tas nya untuk mencari dompet yang dia simpan.

"Loh, dompet aku mana?" gumam Sasa. Tiba-tiba dia merasa ada yang tidak beres.

"Mana ongkosnya, Neng? Udah ditunggu tuh, sama yang lain!" seru tukang angkot.

Sasa segera merogoh saku celananya. Beruntung masih ada sisa uang lima puluh ribu rupiah di dalam sakunya itu.

"Ini, Bang," ucap Sasa sambil menyerahkan uangnya. Kemudian, tukang angkot itu memberikan kembalian.

Sasa pun berjalan dengan lesu. Dia yakin telah menyimpan dompetnya di tas.

"Astaga, aku kena copet," ujar Sasa sambil mengelus-elus dadanya.

Gadis itu pun berjalan dari depan gang menuju rumah. Sesampainya di rumah, ternyata Humaira dan Dahlan sedang dimarahi oleh pemilik kontrakan.

"Ada apa ini, Ibu, Yah?" tanya Sasa. Kemudian dia beralih pada seorang wanita yang usianya di atas sang ibu.

"Bu Dita, maaf ibu saya baru keluar dari rumah sakit. Ada apa, ya, Bu?" tanya Sasa berusaha merendahkan suaranya.

"Kontrakan ini belum dibayar sejak dua bulan yang lalu, sekarang saya minta kalian cepat berkemas. Cari kontrakan atau kos-kosan saja sana. Jangan jadi penumpang di sini," sinis Dita.

"Maaf, Bu. Tapi kami juga baru kena musibah. Uang saya juga kecopetan. Bisa nggak ibu kasih waktu ke saya, satu mingguan lagi untuk membayar kontrakan ini?" pinta Sasa.

"Minta waktu lagi? Ya Allah, kurang baik apa aku ini sama kalian. Oke, saya kasih waktu satu minggu. Tapi kalau dalam waktu seminggu kalian nggak bisa bayar saya mohon kalian keluar dari sini. Ini rumah saya, saya berhak. Saya juga banyak kebutuhan," ujar Dita.

Wanita itu pun berlalu meninggalkan keluarga Dahlan. Dahlan saat merasa sangat tidak becus karena tidak bisa membahagiakan istri dan anaknya.

"Bu, Yah. Masuk dulu, deh. Nggak enak di luar seperti ini. Jadi tontonan tetangga," ujar Sasa.

Mereka pun masuk ke dalam rumah sederhana itu. Tak ada perabotan seperti kulkas, televisi, meja ataupun kursi. Rumah itu hanya berisi kamar dua dan dapur untuk memasak.

Tinggal di kota memang semuanya serba mahal. Dengan pekerjaan yang serabutan, bisa menyekolahkan Sasa saja, Dahlan merasa sangat bersyukur. Dia juga tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Semuanya sudah dia lakukan untuk kehidupan anak dan istri. Namun, mau bagaimana lagi, rezeki itu urusan Tuhan. Sebagai makhluk hidup, Dahlan hanya bisa berusaha.

***

"Kita harus bayar yang mana dulu, ya, Pak. Minggu depan Sasa usahakan ada uang, Sasa pinjem ke teman Sasa dulu. Tapi Sasa bingung. Harus bayar ke Juragan Hendra dulu apa ke Bu Dita?"

Dahlan menghela napas berat. Seluruh tenaganya telah habis. Dia juga sama seperti Sasa, sedang memikirkan hal itu. Belum lagi obat Humaira yang harus ditebus di apotik. Kepala Dahlan terasa akan hancur memikirkan ini semua.

"Ini resep dari dokter, Sa. Obat ibumu juga belum ditebus. Lebih baik besok kita tebus obat dulu, terus cari uang untuk bayar kontrakan dulu. Utang ke Juragan Hendra masih bisa dicicil, kok, kamu yang tenang, ya," ujar Dahlan mencoba menenangkan putrinya.

Akan tetapi justru Sasa merasa khawatir pada utang Juragan Hendra. Dia khawatir bunganya semakin menumpuk dan nominal yang harus dibayarkan semakin besar.

"Yah, jangan sampai utang Juragan Hendra lagi, ya. Ingat, selain bunganya besar, dosanya juga besar. Itu namanya riba," pesan Sasa sebelum dia pamit ke kamar.

***

Sebagai anak tunggal, tentu saja Sasa ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Dia sangat paham, bahwa kedua orang tuanya itu lelah bekerja menyekolahkan dirinya sampai SMA. Namun, bukan berarti Sasa mengambil jalan pintas dengan menjadi wanita panggilan atau menjual kecantikan dirinya.

Beberapa kali, teman-teman Sasa yang kaya raya mengajak dirinya untuk berbuat yang tidak-tidak. Kasarnya, mereka akan membayar mahal Sasa kalau Sasa bersedia menemani mereka satu malam saja. Namun, Sasa masih ingat dosa. Dia tidak ingin memberi makan kedua orang tuanya dengan uang haram.

Malam ini, dia pun kebingungan karena KTPnya hilang beserta dompetnya.

"Ya Allah, kenapa nggak beri kami cobaan berturut-turut seperti ini?" Sasa bergumam lirih. Batinnya merasa putus asa.

Akan tetapi, ketika putus asa, Sasa selalu berusaha mengingatkan diri sendiri agar tetap bersabar dan yakin. Pertolongan Tuhan itu pasti datang. Gadis itu pun terpejam.

***

Keesokan harinya, Dahlan mulai bekerja lagi di pasar. Sasa diantar bekerja ke toko baju oleh ayahnya.

"Makasih, Yah. Maaf ya jadi ngerepotin. Jadi bikin ayah telat," ucap Sasa kemudian mencium punggung tangan sang ayah yang kasar.

"Nggak apa-apa, semoga kamu betah kerja di sini, semoga berkah," doa Dahlan. Kemudian pria berusia lima puluh dua tahun itu pun pergi meninggalkan Sasa.

Sasa berjalan dan mulai mengisi presensi di dalam toko. Dia pun langsung sigap menata pakaian yang berantakan. Setelah itu menyapu dan mengepel lantai. Tak lama, teman-temannya yang lain pun datang.

"Eh, si Sasa itu cari muka banget, ya. Pagi-pagi udah bersih-bersih gitu. Padahal pegawai baru," ucap Sandra pada Lily, temannya.

"Ya, mungkin emang orangnya cekatan. Malah enak, dong, kita nggak usah capek-capek," jawab Lily.

"Iya, sih. Tapi kalau bos jadi suka sama dia, terus dia diangkat jabatannya, gimana?" tanya Sandra iri.

"Ya, nggak mungkin lah. Pasti yang diangkat duluan itu yang udah senior. Udah ah, ayok presensi."

Mereka pun mulai bekerja. Sesekali, Sandra memandang Sasa dengan tatapan bencinya. Dia juga sengaja menyenggol lengan Sasa sehingga gadis itu terjatuh.

"Ups, maaf nggak sengaja," ucap Sandra sambil tersenyum sinis.