(ERVIN)
"Jadi kamu kemana aja selama ini?" Wina gadis yang cantik, seksi, dan pintar. Dia memiliki karir dan jabatan yang bagus di Perusahaan tempatku bekerja, tapi memikirkan kalau aku harus memiliki hubungan serius dengan perempuan macam dia membuatku ngeri.
Mungkin terdengar egois, tapi walaupun aku ini seorang laki-laki brengsek, aku menginginkan seorang perempuan yang baik sebagai istriku nanti.
"Aku nggak pergi lama kok Win, cuma dua minggu jalan-jalan keliling Nusa Tenggara bareng Romi dan Ave," jelasku kalem sambil melanjutkan acara makan siangku di kantin kantor.
Teman-teman satu divisiku yang lain tampak mendengus dan memutar mata melihat kelakuan Wina. Seharusnya dia tidak berada di meja ini. Peraturan perusahaan mengharuskan karyawan yang akan makan siang di kantin untuk duduk berdasarkan divisi masing-masing. Kalau kalian bertanya dari mana asalnya peraturan konyol itu, aku tidak tahu. Tanyakan saja pada Om Yoga dan Papaku yang sudah membangun perusahaan ini.
Wina bisa bertindak seenaknya karena dia keponakannya Om Yoga.
"Terus kenapa kamu nggak ngajak aku?" Rajuk Wina dengan nada suara manja yang menyebalkan.
"Lupa. Maaf."
Kalau saja ponselku tidak berdering, mungkin Wina masih akan bergelayutan manja seperti monyet di lenganku. Keningku berkerut dalam ketika membaca I'd nama pemanggil yang tertera pada ponsel. Aku tidak ingin percaya kalau yang menelponku adalah 'dia'. Tapi namanya memang benar dia. Gadis yang seenaknya datang dan pergi dalam hidupku, menorehkan luka menyakitkan di hati ini. Aku berpamitan pada Wina dan teman-teman untuk mengangkat telpon di sudut kantin yang sepi.
"Rena?" Aku mengucapkan namanya saat menjawab telpon.
"Hai Vin. Apa khabar?" Mendengar suara lembut Renata membuat hatiku nyeri. Dia pacarku sejak SMA kelas dua, memutuskan hubungannya denganku tiga bulan yang lalu dengan alasan dia sudah tidak cinta lagi padaku. Dan yang paling bikin nyesek, beberapa hari setelah putus dariku Rena malah tunangan sama Dimas, bekas sohibku di SMA.
"Baik. Ada apa Ren?" Aku benci mendengar suaraku sendiri yang seolah tidak bisa membalas Rena dengan perkataan kasar setelah apa yang dia lakukan padaku. Dan aku juga benci pada kenyataan bahwa aku adalah laki-laki bodoh yang selama ini selalu menuruti segala keinginan Rena, terlepas dari dia adalah mantanku yang sudah menyakiti hatiku begitu dalam.
Ave selalu menyebutku sebagai pecundang bodoh saat aku menerima telpon atau pesan singkat dari Rena. Saudari kembarku itu sangat membencinya, tapi aku tidak bisa membenci Rena. Aku ... Mungkin masih mencintainya. Yah, mungkin?
"Nggak apa-apa. Aku cuma khawatir sama kamu."
Keningku makin berkerut dalam mendengar perkataannya.
"Minggu lalu aku coba hubungi kamu, tapi ponsel kamu nggak aktif. Aku ke rumah kamu, Tante Laura bilang kalau kamu lagi pergi sama Ave, aku juga coba hubungi kantor tapi katanya kamu lagi cuti." Oh, "kamu kemana aja sih?"
"Aku sama Ave jadi backpacker dadakan selama dua minggu. Kami pergi ke beberapa wilayah yang bisa dibilang signal ponselnya timbul-tenggelam, jadi mungkin itu yang bikin kamu nggak bisa hubungin aku."
"Owh." Keheningan yang canggung menyelimuti kami. Aku benci. Dulu aku dan Rena tidak begini. "Ervin?"
"Hn?"
"Kamu ... Kamu udah agak berubah." Rena berkata dengan nada suara yang sedih.
"Maksud kamu?"
"Kamu seperti sengaja menjaga jarak dari aku. Kamu menjauh ..."
Aku mendesah. "Memangnya apalagi yang mau kamu harapin Ren, kita udah lama putus dan itu kamu yang minta. Aku nggak mau Dimas salah paham kalau aku nggak ngejaga jarak dari kamu." Apa dia nggak bisa membuat semuanya lebih mudah untukku? Bukankah dia bisa menjauh saja dan nggak usah hadir lagi dalam hidupku? Salah satu alasan kenapa Ave dan Romi mengajakku jalan keliling Nusa Tenggara adalah sebagai salah satu upaya untuk melupakan Renata.
"Dimas nggak akan kenapa-napa Vin. Aku udah bilang sama dia walaupun udah putus, kita berdua ini tetap teman. Lagian dia lagi sibuk sama pekerjaannya."
Apa kamu mau bilang kalau kamu mau jadiin aku pelarian karena Dimas lebih sibuk sama kerjaannya? Aku ingin mengatakan hal itu pada Rena, tapi aku tidak sanggup menyakiti hatinya.
Aku mendesah melihat teman-temanku yang satu-persatu mulai keluar dari kantin untuk melanjutkan rutinitas pekerjaan.
"Maaf Ren. Jam makan siang udah selesai, aku mesti kerja. Bye."
"Oh. Bye."
Rutinitasku berjalan membosankan seperti biasa. Kerja, kerja, dan kerja. Kegiatanku menggoda beberapa karyawan perempuan di kantor hanya sebagai selingan. Nggak semua playboy suka punya banyak pacar. Aku contoh nyatanya. Haha.
#
Aku gondok setengah mati. Begitu tiba di Rumah setelah menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk di kantor, Papa mengajakku bicara empat mata di ruang kerjanya. Beliau bilang katanya ini demi masa depanku. Umurku sudah dua puluh tujuh tahun, dan bukan waktunya lagi bagiku untuk bermain-main. Aku disuruh untuk segera menikah. Iya, menikah, kawin, atau apapun namanya itu memang gampang. Tapi calonnya siapa?
Dan yang paling menyebalkan, bukannya membiarkanku mencari calon istri sendiri, Papa malah menyodorkan Wina untuk kunikahi. Oh-Em-Ji. Wina? Perempuan mengerikan itu jadi istriku? Aku tidak bisa membayangkan seperti apa hidupku nanti. Dilihat dari kelakuannya selama ini, bisa kutebak Wina akan sangat possesive dan sangat merongrongku setelah menikah nanti. Aku tidak mau.
"Wina tidak akan seperti Rena. Percaya sama Papa. Dia anak yang baik dan cerdas, Ayahnya pengusaha batubara yang cukup sukses. Dan yang lebih penting dia tergila-gila sama kamu." Inilah nggak enaknya kalau semua anggota keluarga tahu tentang kisah cintamu yang berakhir menyedihkan. Mereka akan membantu mencari pengganti, dan selalu membandingkan si mantan dengan perempuan pilihan yang menurut mereka baik. Oh. Ayolah. Aku ganteng dan masih laku, nggak perlu dicari juga nanti datang sendiri jodohnya.
"Jangan gini dong Pa. Aku masih bisa nyari sendiri. Aku ganteng gini."
Papa mendengus geli mendengar rajukanku. "Kalau kamu nggak mau sama Wina, Papa masih punya satu calon lagi. Anaknya cantik, kalem, pintar, dan yang pasti lebih baik dari Rena ataupun Wina." Papa cocok buat jadi sales. Promosiin cewek kayak promosiin makanan aja. "Dia anaknya Burhan Effendi. Teman kuliah Papa yang sekarang jadi politikus."
Oh ya, Burhan Effendi. Nama itu memang nggak asing, walaupun aku belum pernah ketemu, tapi aku tahu orangnya seperti apa. Dia politikus, anggota DPR yang sering nongol di tivi-tivi.
"Emang Papa sudah ketemu sama anaknya Om Burhan?" Tantangku.
Papa menggeleng. Yaellah, kalau belum ketemu kenapa mujinya setinggi langit sih? "Belum, Papa cuma ngeliat fotonya. Dan dari deskripsi Om Burhan, anaknya emang benar-benar baik, cantik, dan pintar."
Aku mendengus. "Pa. Aku kasih tahu ya, kadang kelakuan anak di depan orang tua sama diluaran tuh beda. Di depan orang tua, wuih kayak malaikat baiknya. Tapi kalau dibelakang ... Bhuah kelakuan bandelnya kayak setan."
"Iya! Betul tuh. Contohnya kamu," semburan Papa langsung membuatku mingkem. "Papa tahu Burhan itu kayak gimana, jadi Papa percaya dia bisa mendidik anaknya dengan baik."
"Hmmm," responku malas.
"Pertimbangkan Wina atau anak Om Burhan untuk jadi calon istri kamu."
Aku ingin memutar mata mendengar permintaan Papa, tapi aku mengurungkan niat karena takut disambit pake laptop. Jadi aku cuma bisa jawab, "Iyaaaaa," tapi nggak janji lho, Pa.
Setelah pembicaraan dirasa telah selesai, aku berpamitan papa agar bisa segera ke kamar untuk membersihkan diri dan istirahat.
#
Tepat pukul sembilan malam, Romeo tiba-tiba menelpon dan mengajakku keluar jalan-jalan. Dari suaranya yang terdengar suntuk, aku tahu dia sedang ada masalah dengan adikku, Avery. Yah, Romeo memang selalu begitu. Setiap ada masalah sama Ave, dia selalu nelpon aku, minta ketemu buat ngeluarin semua uneg-unegnya. Avery juga gitu. Kalau lagi berantem sama Romeo, dia selalu nelpon aku buat curhat.
Padahal jujur ya, aku udah gedeg ngedengar curhatan dan drama soal hubungan mereka. Seperti aku ini orang nggak laku yang nggak punya masalah Asmara sendiri. Kadang, kalau mood-ku lagi jelek dan seenaknya dijadiin tempat curhat sama mereka berdua, dalam hati aku selalu berdoa sama Tuhan, mudah-mudahan mereka cepat putus biar batinku nggak teraniaya. Tapi seperti biasa, doaku nggak terkabul, karena Tuhan nggak akan mengabulkan permintaan jelek hambanya.
Aku pergi menemui Romeo karena rasa solidaritasku sebagai teman dan calon kakak ipar lebih besar daripada rasa jengkelku.
Dia minta ketemuan di taman kota. Yah, Taman Kota wilayah Sumenep memang lebih asik dan rame kalau malem. Banyak pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, pakaian dan aksesoris macam topi, gelang, kalung, dan yang lainnya dengan harga murah. Anak-anak biasanya berlatih karate malam hari di tempat itu. Dan selain itu di Taman kota juga banyak orang yang pacaran ataupun sekedar jalan-jalan.
Masalah Romeo sama Avery sebenarnya sangat sepele. Ave cemburu sama cewek yang namanya Pingkan, yang notabenya mantan pacar Romeo. Romeo sama Pingkan emang dekat dan masih menjalin silaturahmi walau sudah berstatus mantan, cuma si Ave salah mengartikan kedekatan mereka. Dia nuduh Romeo selingkuh dan minta putus. (Taruhan, mungkin besok Ave bakalan nelpon atau ngehadang aku buat ngedengerin curhatan yang sama dari sudut pandang dia. Anjrit).
Sekitar lima belas menit, setelah dengerin curhatan Romeo sambil duduk nyemilin martabak di bangku taman (jangan harap aku bakal kasih solusi. Karena dia cuma butuh teman curhat, kalau orang yang kisah cintanya ngenes kayak aku ngasih dia solusi bakal terdengar ironis) Romeo pamit pulang. Aku juga baru akan pulang ke rumah untuk melanjutkan istirahat yang tertunda, ketika aku melihat sosok yang kukenal tampak menikmati suasana taman kota dengan ekspresi riang, sambil sesekali memasukan somay yang dia bawa ke dalam mulutnya. Senyuman tak pernah lepas dari bibirnya.
Dia tampak lebih cantik dari yang terakhir kali kulihat. Padahal dia hanya memakai baju kaos putih bergambar logo Superman di depannya, dan skinny jeans biru. Rambut gelap sepunggungnya dikuncir sembarang ke atas. Dan ... Kacamata yang dia pakai sekarang membuatnya terlihat menggemaskan.
Aku berjalan menghampiri, dia langsung berhenti ketika aku menghadang jalannya. Dahi mungilnya berkerut saat melihatku.
"Nggak nyangka kita bisa ketemu disini. Aku pikir kamu udah pulang ke NTB."
Senyum di bibirku makin lebar ketika melihat sepasang mata hitam cantiknya membelalak.
"ERVIN!"
Senang rasanya dia masih mengingatku. "Hai Erin, senang bisa bertemu lagi."
#
(ERIN)
Ervin. Ya ampun, aku tidak menjangka kalau kami akan bertemu lagi. Iya aku tahu kami tinggal di kota yang sama, tapi ini mengejutkan, dari semua orang yang ada di Sumenep yang sama sekali tidak kukenal (kecuali beberapa pegawai hotel Wijaya II dan Mbak yang punya warung makan depan hotel) aku malah ketemu sama Ervin. Cowok baik menyenangkan yang sudah banyak membantuku di bus dalam perjalanan dari Bima menuju ke kota ini.
Dia masih tampan seperti yang terakhir kali kulihat. Walau hanya memakai kaos abu-abu, celana khaki berwarna cokelat, dan sebuah sandal. Rambutnya juga dikuncir seperti biasa. Hanya yang beda, dia agak jenggotan sekarang. Sepertinya belum dicukur.
"Hai Ervin. Aku juga senang bisa ketemu kamu lagi," kataku.
Ervin tersenyum ganteng. Dia menyingkir dari hadapanku lalu memberiku isyarat untuk melangkah. Kami berjalan beriringan.
"Ngapain kamu disini?" Tanyanya.
"Jalan-jalan. Kamu sendiri?"
"Ennn. Aku juga jalan-jalan."
"Jalan-jalan atau jalan-jalan?" Godaku menaik turunkan alis, bak gangster di film kartun di tivi.
"Itu sama aja Rin."
"Ya udah, jalan-jalan apa godain cewek?"
Ervin tertawa masam mendengar sindiranku. "Kalau aku bilang aku nggak ngegodain cewek, apa kami bakal percaya?"
"Nggak," jawabku langsung.
Dia cemberut. "Aku memang brengsek Rin. Tapi kadang aku bisa jadi cowok baik kok." Suaranya terdengar merajuk.
"Iya deh percaya." Aku menyodorkan plastik berisi somay, menawarkannya untuk ikut makan. Aku pikir Ervin akan menolak, tapi dia malah mengambil kayu kecil tusuk somay kemudian memotongnya menjadi dua lalu menyerahkan separuh bagiannya padaku.
Sambil terus berjalan mengelilingi taman, menonton keramaian, kami berdua berbagi sepelastik somay seharga lima ribu perak dalam diam.
"Jadi kamu datang ke kota ini untuk merantau?" Ervin kembali membuka pembicaraan.
"Bisa dibilang begitu."
"Aku pikir kamu datang kemari untuk sekedar jalan-jalan dan nyari tempat wisata yang bagus."
"Bisa dibilang begitu juga. Kalau ada waktu senggang dan kebetulan aku udah nggak sibuk nyari kerjaan lagi, aku bakalan jalan-jalan keliling Sumenep."
Ervin menoleh ke arahku. "Kamu nyari kerjaan?"
"Iya."
"Udah dapet?"
Aku mengangguk lagi, kemudian membuang plastik bekas somay dan tusukannya ke tong sampah yang kami temui di sekitar taman. "Tadi pagi aku dipanggil untuk wawancara kerja di perusahaan Eagle Group." Mata cokelat Ervin melebar begitu mendengar kata Eagle Group. "Besok keputusannya. Doain keterima ya."
Seringai aneh tersungging di bibir Ervin. "Yah. Semoga."
Tidak terasa sudah lebih dari satu jam aku berjalan-jalan di sekitaran taman. Aku pikir sekarang waktunya untuk kembali ke hotel.
"Udah jam sepuluh liwat. Kayaknya aku mesti kembali."
Ervin langsung celingak-celinguk. "Biar kuantar." Dia menunjuk mobil Bumblebee-nya yang ada di sekitar tempat parkir taman.
"Nggak usah. Aku jalan kaki aja, dekat kok. Cuma di Wijaya II."
"Apa?" Ervin terdengar kaget, "kamu tinggal di hotel?"
Aku mengangkat bahu, sembari berusaha memasang ekspresi sok polos. "Aku nggak tahu banyak soal kota ini. Dan aku juga nggak punya referensi tentang tempat kos atau kontrakan yang murah dan aman di sekitar sini."
"Kenapa kamu nggak terima tawaran Ave untuk tinggal bareng kami?" Gerutunya. "Dan jangan sebutin kata orang asing sebagai alasannya."
Aku terkikik. "Ya maaf. Aku cuma nggak mau punya hutang budi sama orang asing." Ervin melotot, sementara aku cuma bisa cengar-cengir. Dia lalu memaksaku untuk naik si Bumblebee dan diantar ke Wijaya II.
#
Esoknya, saat aku akan pergi untuk mencari makan. Ervin muncul di depan pintu kamarku. Dia terlihat seperti bayangan seorang Mr. Christian Grey dalam versy gondrong dan nakal, saat mengenakan celana hitam, kemeja putih lengan panjang-yang lengannya digulung sampai siku-dan bagian bawah bajunya tampak dikeluarkan dari celana, tidak rapi. Dasi hitam motif garis vertikal putih menggantung longgar di leher kemeja. Jasnya tidak dia pakai, hanya tersampir seperti aksesori di pundak kanan. Dan seperti biasa, rambutnya yang agak gondrong dikuncir ke belakang. Hari ini sepertinya dia bercukur.
Aku mengajak Ervin untuk duduk di sofa panjang depan kamarku sambil menonton televisi. Tidak enak jika gadis lajang sepertiku memasukan laki-laki asing ke dalam kamar, bisa menimbulkan fitnah. Terlepas dari sekarang aku berada di kampung halaman orang.
"Rin. Jalan yuk."
Aku terdiam, memperhatikannya sesaat. "Memangnya kamu nggak kerja?" Tanyaku dengan sebelah alis terangkat.
"Baru selesai," jawabnya kalem.
"Masa?" Aku melirik jam yang tergantung tinggi di dinding di atas televisi. "Ini baru jam dua belas. Bohong ya?"
"Nggak bohong kok. Divisiku memang sengaja dipulangkan lebih awal karena tadi kami berhasil menyelesaikan sebuah proyek dengan nilai rupiah yang fantastis. Teman-temanku yang lain lagi pada makan-makan di resto buat ngerayain," jelas Ervin.
"Terus kenapa kamu nggak ikut?"
Ervin tersenyum, dia membungkukan tubuh hingga membuat wajahnya begitu dekat dengan wajahku. "Aku nggak ikut mereka, karena aku maunya makan sama kamu," bisiknya dengan suara merayu.
"Apa ini ajakan kencan?" Kenapa suaraku malah terdengar berharap?
Senyuman Ervin yang makin melebar, entah kenapa membuat perutku melilit aneh. "Bisa dibilang begitu," dia meniru kalimatku semalam.
Sesaat kami saling berpandangan. Aku merasa kehilangan orientasi, lalu ketika kewarasanku kembali, aku segera mendorong tubuh Ervin menjauh. "Kalau gitu tunggu disini Playboy. Aku mau mandi dan siap-siap dulu.," kataku sembari bangun dari sofa kemudian beranjak menuju kamar untuk mengambil handuk.
"Wah. Jadi daritadi kamu belum mandi Rin?" Ucap Ervin saat aku berjalan melewatinya menuju kamar mandi.
"Iya."
"Ugh. Pantas baunya nggak enak."
"Sialan!"
#
Ervin mengajakku makan di sebuah rumah makan sederhana yang menyediakan seafood sebagai menu utama. Dia ingin aku mencoba kepiting lada hitam yang menjadi makanan favoritnya.
"Aku suka kepiting. Sementara Ave, dia selalu alergi kalau makan seafood." Sambil menunggu pesanan kami datang, Ervin bercerita tentang dia dan Ave untuk mengisi pembicaraan.
"Ngomong-ngomong soal kepiting. Aku pernah lihat cara masak si Om Koki di hotel," Ervin meringis geli saat mendengar aku menyebut koki di Wijaya II sebagai si Om Koki, "cara masak kepiting disini sama di tempatku, Bima. Beda-beda ya?"
Ervin tampak tertarik mendengar topik yang kuangkat.
"Disini kepiting yang mau dimasak, cuci bersih dulu, sebelum cangkangnya dibuka dan dipotong-potong. Sementara ditempatku, cuma dicuci bersih aja tanpa dilepas cangkangnya ataupun dipotong. Padahal telur kepiting yang merah-merah yang ada di balik cangkang itu rasanya enak lho."
Ervin baru saja akan menanggapi ucapanku, ketika matanya terpaku pada satu sosok di pintu masuk rumah makan. Tubuhnya menegang. Sorot matanya tampak begitu sedih sekaligus marah. Aku berbalik untuk melihat apa yang membuat Ervin menjadi seperti ini.
Seorang perempuan anggun dan manis, mengenakan gaun biru terlihat menggandeng mesra seorang laki-laki tegap berpenampilan perlente. Sepertinya mereka pacaran. Si perempuan itu tampak begitu cantik seperti bintang film, dengan kulit yang putih bersih, bibit mungil merah muda, hidung mancung, mata hitam teduh, dan rambut gelap panjang lurus yang terurai begitu saja. Dia dan pacarnya tampak berbincang untuk menentukan di tempat mana mereka akan duduk. Dan ketika si cantik itu melihat kami (lebih tepatnya Ervin) dia langsung membeku.
"E-Ervin?" Sapanya salah tingkah.
Ervin bangun. Sorot matanya berubah dingin. "Hai Rena, Dimas, apa khabar?"
Saudara-saudari bolehkah aku bertanya apa yang sedang terjadi disini? Auranya tidak menyenangkan sekali.
#
"Jadi Renata tadi mantan pacar kamu?"
"Hnn."
"Dan Dimas tunangannya Renata itu sahabat kamu waktu SMA?"
"Hm."
"Dan Renata ini udah sepuluh tahun pacaran sama kamu. Dia mutusin kamu beberapa bulan lalu demi si Dimas?"
"Hn."
Aku lebih baik jadi pendengar curhat untuk teman-teman perempuanku yang patah hati daripada harus menemani seorang laki-laki patah hati. Gairah hidup Ervin sepertinya menghilang, dan aku takut dia akan bunuh diri.
Suasana makan siang di Restoran tadi sedikit tidak nyaman, setelah menyapa kami Renata dan Dimas memilih duduk di bangku terjauh dari kami. Sementara Ervin tampak tidak menikmati kepiting lada hitam yang menjadi kesukaannya.
Daripada melihat Ervin gelisah seperti ayam yang mau disate, aku memutuskan untuk mengajaknya pergi. Kasihan kalau imej kerennya harus luntur didepan mantan pacar dan mantan sahabat yang suka nikung.
Sekarang aku sedang duduk lesehan menemani Ervin di taman depan Masjid Jami. Untung si Ervin mukanya kece dan pakaiannya perlente, kalau tidak kami akan disangka tukang minta-minta.
"Hei!" Aku menyenggol pundaknya dengan pundakku.
"Hnnnn."
"Erviiin!"
"Apaan sih Rin?!" Sewot Ervin ketika kunciran rambut gondrongnya kutarik tak sabar.
"Jangan pasang tampang patah hati terus, bete tahu ngelihatnya. Lagian kalian putusnya udah lama kan?"
Ervin mendesah frustrasi. "Rin. Sepuluh tahun itu bukan waktu yang sebentar. Aku mau melupakan Rena, tapi ... Aku nggak bisa."
"Kalau begitu teruslah berusaha dan jangan cuma berdoa," ucapku diplomatis.
Ervin mendengus geli. "Ngomong sih gampang buat orang yang nggak pernah pacaran. Belum pernah ngerasain patah hati sih," cibirnya dan mataku langsung melotot tak terima.
"Apa kamu bilang?!" Seruku tersinggung sambil melayangkan cubitan ke arah Ervin. Di lengan dan perutnya. Ervin tertawa keras, bangun dari posisi duduk lesehannya, dia segera berlari menghindari seranganku. Kami berdua kejar-kejaran selama beberapa menit dan tanpa sadar memasuki halaman masjid.
Tiba-tiba Ervin berhenti berlari. Dia berdiri di depan tangga menuju pintu masuk masjid Jami, kemudian menatapku dengan sorot mata yang tak dapat kubaca. Sebuah senyum hangat tersungging di bibirnya.
Bingung melihat kelakuan Ervin, aku berhenti mengejar lalu melangkah pelan menghampirinya. "Kamu kenapa Vin?"
Ervin termenung menatapku, senyum masih menghiasi bibirnya. "Makasih ya Rin."
Keningku langsung kribo begitu mendengar ucapan terimakasih Ervin. Dia aneh. "Iya. Makasih buat apa?"
Dia tidak menjawab.
Suara adzan dari pengeras suara masjid uang menandakan sudah masuk waktu untuk shalat ashar mulai terdengar. Aku dan Ervin sama-sama menoleh ke pintu masuk masjid.
"Sholat dulu yuk."
"Hu'um." Aku mengangguk. Mengikutinya-yang menggandeng tanganku-ke belakang untuk mengambil air wudhu.