Chereads / ROMANSA BATAS KOTA / Chapter 4 - BAB 4

Chapter 4 - BAB 4

Hidup itu penuh kejutan dan nggak selalu berjalan mulus seperti yang kita inginkan. Pagi ini, saat aku keluar dari kamar dengan sehelai handuk pink tersampir di pundak kananku. Aku dikejutkan oleh keberadaan satu sosok laki-laki berbadan tegap yang duduk di kursi depan kamarku. Dia berkulit kecokelatan dengan rambut hitam cepak, dan hidung mancung. Memakai kaos putih, jaket kulit berwarna hitam yang serasi dengan celana jins dan sepatunya. Tas ransel besar yang dia bawa diletakan begitu saja di samping kursi.

Dia tampak mengantuk. Namun saat menyadari bahwa pintu kamarku terbuka, dia langsung menoleh dan buru-buru bangkit.

"Hai Kak," sapanya lelah.

"Raskal?" Aku tertegun. Tidak mengerti kenapa adikku bisa tahu aku berada disini.

"Iya. Boleh aku masuk?" Tanya Raskal. Mukanya pucat dan terlihat tak sehat. "Aku baru satu jam yang lalu nyampe Sumenep. Masih mabuk darat."

"O-oke.". Aku akhirnya menemukan suaraku kembali, menyingkir memberi jalan agar Raskal bisa masuk ke kamarku. Dan tanpa ba-bi-bu dia langsung menjatuhkan dirinya ke atas kasur.

"Aku tidur dulu bentar Kak. Jangan kabur. Nanti kita bicarain soal masalah Kakak kabur dari rumah dan perjodohan kakak dengan anak teman Papa itu," katanya parau. Dan beberapa menit kemudian suara napas Raskal terdengar teratur, sebentar saja dia sudah langsung tertidur. Pasti dia benar-benar kecapaian.

Ide kabur selagi Raskal tertidur memang terdengar menggoda, karena sudah jelas Raskal kemari atas perintah Ayah untuk menyeretku pulang. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Raskal. Aku tidak mau lari dari masalah lagi. Karena itu akan membuatku semakin terkena masalah.

Beruntung hari ini hari minggu, jadi aku tidak perlu pergi ke kantor. Tapi ... Darimana Raskal tahu kalau aku kabur ke Madura?

#

"Jadi yang ngasih tahu Raskal kalau gue ada disini itu elu, Ta?" Aku menyesal telah bertemu dengan Tahta beberapa hari lalu. Amat sangat menyesal. Ternyata monyet yang satu itu yang sudah memberitahu keberadaanku pada keluargaku.

Awalnya tadi aku cuma mengirim pesan singkat pada Tahta yang menyatakan kebingunganku mengenai keberadaan Raskal di Madura. Dan balasan pesan singkat dari Tahta membuatku langsung bisa menebak kalau dia yang sudah memberitahu keluargaku mengenai keberadaanku. Jadi. Aku langsung menelponnya, dan begitu dia mengangkat telpon pada dering pertama, aku langsung mendampratnya.

Tahta mendesah dramatis di ujung saluran telpon. "Heh Kancil. Gue cuma kasihan sama elu yang hidup luntang-lantung sampai tinggal di hotel di kampung orang. Gue nggak mau lu disangka cewek nggak benar!" Omelnya.

"Tapi pulang-pulang gue bakal langsung dikawinin Tahta! Lu tahu bokap gue kayak gimana kan?" Kataku gemas.

"Huaaaah." Tahta berseru takjub. "Jadi elu kabur gara-gara mau dikawinin, Cil?"

"IYA! Padahal kan gue pengen ngelanjutin S2 dulu baru nikah."

Tahta tertawa keras mendengar pernyataanku. "Berasa ngeliat iklan pemutih kulit di televisi," ledeknya.

"TAHTA!"

"Hahahahaha! Ya udah, kalau elu nggak mau nikah sama calon yang dipilihin Bokap lu. Nikah sama gue aja, Cil. Dijamin bahagia."

Ya ampun nih anak becandanya nggak kenal sikon. Aku jadi kangen sama Wira yang kalem dan bijak, yang selalu bisa menemukan solusi kalau teman-temannya mendapat masalah.

"Ya Ampun Tahta, ngomong sama lu bikin tensi darah gue naik. Nggak nemu solusi," Tahta tertawa, "udah ah. Bye."

"Hahaha. Bye Kancil."

Aku memutus sambungan telpon dengan sebal.

#

Seperti yang sudah kuduga, Raskal memang dikirim oleh Ayah untuk menjemputku. Beliau marah besar. Rupanya selama ini keluargaku sudah mencariku kemana-mana, namun Madura bukanlah tempat yang mereka perkirakan akan aku datangi. Karena setahu keluargaku aku tidak memiliki seorang teman ataupun kenalan di kota ini.

"Sebaiknya Kakak pulang. Kasihan Ibu tiap hari nangis, dan bahkan sampai sakit gara-gara mikirin Kakak," bujuk Raskal. Kondisinya sudah membaik setelah tertidur selama beberapa jam.

Sekarang kami sedang duduk berdua di dalam kamar, berdiskusi tentang masalah yang menyebabkan aku kabur dari Rumah.

"Tapi Kakak nggak mau, pulang-pulang langsung dikawinin sama anak teman Ayah!" Aku cemberut mengingat pertengkaran terakhir yang terjadi antara aku dan Ayah, sehari sebelum aku kabur dari rumah. Aku biasanya anak penurut, tapi untuk menikah muda dan menunda kuliah S2 ku karena harus mengurus suami. Aku tidak mau.

"Nikah Kak. Bukan kawin," Raskal mendesah lelah.

"Mau nikah kek, mau kawin kek, mau fotosintesis kek, kakak nggak peduli. Sekali nggak mau tetap nggak mau!" Hidup pendirian yang kokoh!

"Kakak bisa bicarain ini baik-baik sama Ayah tanpa harus kabur-kaburan dari Rumah kan?"

"Terakhir kali kakak bicara baik-baik sama Ayah, kakak malah kena gampar dan dikatain anak durhaka," aku tertawa miris.

Raskal mendesah. Bangun dari kasur, dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.

"Assalamu'alaikum Ayah." AYAH? Aku memelototi Raskal, terkejut karena dia tiba-tiba menghubungi Ayah disela diskusi kami. "Iya aku udah ketemu sama Kak Rani," Rani itu nama panggilanku dalam keluarga, diambil dari nama tengahku-Fajrani. "Dia bilang dia mau pulang kalau Ayah mau pikirin lagi soal 'nggak ngejodohin Kakak sama anak teman Ayah' dan juga ngijinin Kakak ngelanjutin S2-nya." Dia terdiam sejenak. "Oke. Ayah mau ngomong sama Kakak?"

Apa?

Raskal menyodorkan ponselnya ke arahku yang masih duduk bloon di atas kasur. "Ayah mau ngomong," katanya pelan.

Ragu-ragu aku menerima ponsel Raskal, dan meletakannya di samping telinga kananku. Dalam hati aku berdoa. Semoga tidak kena damprat.

"Assalamu'alaikum Ayah."

"Rani ..." Idiwh. Suara berat Ayah bikin merinding.

#

(ERVIN)

Kemarin saat liburan di Lamongan, aku resmi jadian dengan Stella. Sebenarnya aku nggak ada minat apapun sama cewek yang 'cihui' depan dan belakangnya gede itu. Cuma taruhan sama Ramon yang bikin aku 'terpaksa' jadian sama dia. Taruhannya waktu itu, kalau aku nggak bisa macarin Stella dalam waktu sebulan, maka dia bisa mendapatkan mobilku. Dan kalau aku menang, Ramon tidak boleh merusak hubungan Romeo dan Ave lagi. Sumpah, aku gedeg ama nih bocah. Dia naksir berat sama Avery, cuma sayang Ave nggak mau sama dia. Karena itu dia sering bikin Romeo sama Ave berantem.

"Seriusan udah resmi sama Stella?" Dia menyeringai saat aku mengkonfirmasi kabar yang beredar di kantor.

"Hn."

"Oh. Kalau gitu selamat ya," dia menyodorkan tangannya untuk berjabat denganku. Namun aku hanya menatapnya dingin.

Ramon mendengus. "Oke deh. Oke. Sesuai taruhan gue kagak bakalan ganggu hubungan adek lu sama Romeo lagi," katanya dengan nada suara tidak ikhlas.

"Gue pegang omongan lu. Tapi kalau sampai hubungan mereka rusak atau pertunangan mereka batal karena ulah lu, gue nggak bakal segan-segan bikin lu sengsara," ancamku.

"Oke Bro, santai," dengan wajah tengil dia mengangkat kedua tangannya lalu berjalan menjauhiku. "Gue bakal ngejauhin adik lo. Gue janji." Dia berbalik pergi.

Aku mendesah frustrasi. Aku harap Ramon benar-benar memenuhi janjinya untuk menjauhi Ave dan Romeo, dia itu brengsek. Ramon begitu terobsesi pada Avery, sejak adikku pertama kali menginjakan kakinya di kantor ini.

Ramon sudah tersingkir dari kehidupan Avery. Sekarang tinggal satu masalah lagi ....

"Hon, ternyata kamu disini. Aku cariin kamu lho, daritadi."

Stella.

"Hmm." Aku tersenyum masam melihat Stella dalam balutan setelan kerjanya yang sempurna berjalan menghampiriku. Stella ini perempuan yang baik. Selain itu diia juga sangat cantik, hanya saja ... Aku tidak punya perasaan apapun padanya. Demi Tuhan, sejak kejadian dengan Wina, aku tidak mau mempermainkan ataupun mendekati perempuan lagi. Tapi aku mendekatinya karena emergency, jadi boleh kan?

Stella merangkul manja lenganku. Matanya berbinar bahagia. Dan tanpa peringatan dia tiba-tiba menyeretku untuk mengikutinya. Stella membawaku ke sebuah lorong sepi dan dengan berani 'menyerang' bibirku menggunakan bibirnya. Shit!

Aku memejamkan mata. Mencoba menikmati apa yang dilakukan Stella. Namun pikiranku kacau, sehingga aku tidak bisa menghayati ciuman ini.

Sebuah tarikan napas kaget dari seseorang membuat kami berdua serempak menoleh. Seluruh napasku pergi saat melihat Erin berdiri di ujung lorong dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Oh Tuhan, aku akui aku ini laki-laki brengsek, tapi tolonglah jangan membuat aku terlihat makin buruk di depan orang yang kusayangi. Ekspresi wajah Erin berubah kosong.

Aku berusaha menjauhkan diri dari Stella, namun sepertinya perempuan di depanku ini sama sekali tidak berminat untuk melepaskanku. Jadi aku hanya bisa pasrah.

"Maaf. Aku tidak sengaja," katanya dengan nada kering, "silakan lanjutkan. Anggap saja aku ini semut yang numpang liwat." Dia tertawa kecil karena humornya, lalu melangkah melewati kami.

Aku mendesah putus asa. Entah kenapa aku merasa harus menjelaskan semua ini pada Erin.

***

Erin tidak ada ketika aku kembali ke ruangan. Mejanya kosong seperti sudah dibersihkan. Teman-teman satu timku terlihat sedih. Oppie bahkan menangis sesengukan.

Apa yang terjadi?

"Mana Erin?" tanyaku bingung saat tidak melihat keberadaan sahabat manisku itu. Tidak ada yang menjawab, semua tertunduk lesu. Ratusan opsi tentang ketidak beradaan Erin di tempat ini menari dalam kepalaku.

"Mana Erin?" tanyaku lagi, kali ini dengan nada suara meninggi. Oh Tuhan, kenapa masih tidak ada yang mau menjawab? Apa mereka semua mendadak terjangkit penyakit bisu?

Aku mendengus. Dengan tak sabar aku beranjak menghampiri Oppie, lalu memegang erat pundaknya.

"Erin dimana, Pie?" tanyaku sambil menatapnya tajam.

"E-Erin baru keluar dari kantor. Dia ngundurin diri," jawab Oppie takut-takut.

Apa?

"Sudah berapa lama dia ninggalin ruangan?"

"Mmmm. Lima belas menit yang lalu."

Tanpa menunggu kelanjutan jawaban Oppie, aku segera berlari keluar ruangan. Menyusuri lobi, dan turun ke tempat parkir untuk mencari keberadaan Erin. Tapi hasilnya nihil. Erin sudah pergi.

Merasa putus asa, aku kemudian pergi ke Wijaya II. Aku berharap Erin masih disana dan belum pergi. Aku harus mendapat penjelasan kenapa dia tiba-tiba resign dari kantor. Dan aku harus kembali menelan perasaan kecewaku, saat tahu bahwa Erin sudah keluar dari hotel itu sejak pagi.

#

Aku menjalani hari-demi-hari di minggu ini dengan mood yang buruk. Erin adalah sumber kesenanganku, entah kenapa, kepergiannya terasa jauh lebih menyakitkan dari kepergian Rena waktu itu.

"Masih mikirin Erin?"

Mengalihkan atensi dari layar televisi yang sedang kutonton. Aku menoleh ke arah Ave yang memasang senyum lebar menyebalkan di wajahnya.

Hari ini hari minggu. Orang tua kami sudah pergi ke luar kota sejak jum'at kemarin. Ada acara bisnis katanya. Dan hal itu dimanfaatkan Avery untuk mengganggu dan menggodaku sepanjang hari. Dia terus berceloteh mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Erin, lalu dia membandingkannya dengan Stella. Adik bodohku itu senang sekali membuatku uring-uringan.

"Jangan mulai lagi, Ave," ucapku tajam. Dengan jelas mengisyaratkan padanya kalau aku tidak ingin diganggu.

Tapi Ave tidak pernah menjadi penurut. Dia malah terkekeh, "Makanya, jadi orang jangan gengsian. Kalau suka bilang aja, eh, ini malah jadian sama orang lain," cibirnya.

Ugh. Dasar adik durhaka. Kalau saja Ave tahu, aku jadian dengan Stella itu demi dia.

"Aku dapat info dari Oppie. Katanya Erin kabur dari rumah karena nggak mau dijodohin sama anak teman Bapaknya."

Apa?

Erin nyengir licik saat melihat ekspresi terkejutku. Sialan.

"Jangan-jangan dia pergi karena dijemput keluarganya buat dikawinin.' Ugh. "Atau jangan-jangan sekarang si Erin sudah resmi menyandang status sebagai istri orang?"

Membayangkan Erin bersanding dengan laki-laki lain sudah membuat hatiku panas. Melihat dia tertawa dengan si Tentara di Restoran waktu itu saja sudah membuatku emosi. Apalagi ... ah, sudahlah.

Dan seolah aku terlihat seperti laki-laki galau yang kurang mendapatkan kasih sayang dari wanita yang dicintai, hallaaah. Papa bersikeras ingin menjodohkanku dengan anak Om Burhan. Minggu depan kami akan berangkat ke salah satu daerah di NTB—yang aku lupa namanya apa—untuk bertemu dengan teman Papa dan anak gadisnya yang sempurna itu. Ugh.

#

(ERIN)

Aku akui aku bodoh. Kalau akhirnya aku akan tetap menerima perjodohan dengan anak teman Ayah, untuk apa aku kabur jauh-jauh ke Madura? Buang-buang uang saja.

Ah. Tapi kalau Ibu tidak menangis di telepon dan mengancam akan bunuh diri. Aku tidak akan mau pulang dan menerima perjodohan ini lapang dada. Ayah benar-benar keras kepala. Kalau saja dia mau membatalkan perjodohan ini, aku tidak akan galau berkepanjangan. Tapi setidaknya beliau berjanji akan membatalkan perjodohan ini kalau aku dan anak temannya itu sama-sama merasa tidak cocok. Hal ini membuatku sedikit lega. Dalam hati aku berdo'a, semoga aku dan anak teman Ayah itu tidak saling suka, sehingga kami bisa membatalkan perjodohan.

"Hei!" Mengalihkan atensiku dari layar televisi yang sejak tadi tidak fokus kutonton, aku menoleh ke arah Raskal yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahku. Merebut remot yang sejak tadi kupegang, dia kemudian mengganti chanel televisinya ke acara berita olah raga pagi.

"Hmm?"

"Kok belum siap-siap? Hari ini temannya Ayah sama cowok itu datang kan?"

Aku mendengus mendengar pertanyaan Raskal.

"Iya. Tapi kami ketemunya nanti malam kok, di hotel tempat mereka nginap."

"Oh." Raskal mangut-mangut.

Kami terdiam sejenak.

"Kak!"

"Hn?"

"Maafin aku karena udah ngejemput Kakak di Madura," ucap Raskal sembari menoleh ke arahku. Sorot matanya terlihat tulus. "Aku ngelakuin itu buat kebaikan Kakak. Aku tahu Kakak nggak nerima perjodohan ini, dan sejujurnya aku nggak suka sama keputusan Ayah yang ngejodohin Kakak sama anak temannya. Tapi daripada ngeliat kakak luntang-lantung di kampung orang, dan tinggal di hotel murah, aku pikir lebih baik kakak nerima perjodohan dengan anak teman Ayah dengan sebuah persyaratan."

Aku mengangguk. Raskal terkadang memiliki pemikiran yang jauh lebih dewasa daripada aku yang sebagai anak sulung.

"Kak."

"Ya?"

"Segalak dan semenyebalkan apapun Ayah kita, percaya deh kalau dia ngelakuin semua kebijakan menyebalkannya demi kebaikan kita."

Aku terdiam sejenak memikirkan perkataan Raskal. Lalu mengangguk.

"Makasih Dik," ucapku sembari kembali mengalihkan pandangan ke layar televisi.

"You're welcome. Lain kali jangan maen kabur-kaburan lagi ya Kak. Kalau ada masalah kita selesaiin sama-sama."

"Oke."

Diam-diam aku tersenyum, merasa beruntung memiliki saudara seperti Raskal. Terkadang, seberat apapun masalah yang sedang dihadapi, keluarga adalah tempat teraman untuk mencurahkan uneg-uneg dan isi hati.

Setelah itu aku dan Raskal membicarakan banyak hal. Mulai dari perkembangan adik bungsu kami, Paskal, yang sedang bandel-bandelnya dan membuat orang tua kami pusing. Kemudian tentang Indah, pacar Raskal, seorang Dokter cantik yang bertugas di Makassar. Masa cuti Raskal yang akan segera berakhir minggu depan. Dan pembicaraan Raskal dengan Tahta nyebelin melalui telepon. Karena mereka sama-sama tentara, sama-sama Raider pula (itu tuh pasukan gerak cepat, cepat menyerang-cepat menghilang) mereka berdua jadi cepat akrab.

#

"Senyumnya yang manis dong, Nak." Tegur Ibu saat bibirku terasa begitu kaku untuk ditarik membentuk lengkungan di tiap sudutnya. "Masa mau ketemu calon suami mukanya lecek gitu?"

Kami sekarang sedang berada dalam Toyota silver milik Ayah. Beliau tidak banyak bicara, tampak fokus menyetir. Membawa kami menuju sebuah hotel ternama di wilayah Bima. Raskal memilih tidak ikut, dia memilih tetap berada di rumah untuk 'mengontrol' Paskal. Agar anak badung itu tidak keluyuran padahal besok ulangan semester.

Aku melemparkan sebuah senyuman masam nan terpaksa pada Ibu. Beliau mendengus melihatnya.

"Senyumanmu kok kayak orang sakit gigi, Nak. Senyum yang ikhlas dong."

Ah. Iya, senyum yang ikhlas. Walau hati sama sekali nggak ikhlas, gerutuku dalam hati.

#

Ketika keluarga kami sampai di hotel, aku hampir pingsan saat melihat siapa yang kami temui di sana. Teman Papa dan anaknya...

"Kamu... " Aku melotot melihat cowok yang tersenyum sumringah di depanku.

"Hai Erin," sapanya ganjen--aku benar-benar ingin menonjoknya Kerala mngingat rasa patah hatiku yang buruk beberapa waktu lalu.

"..."

"Kalian sudah saling kenal?" Papa, Mama, dan si Om temannya Papa, menatap kami bingung.

"Iya."

"Nggak."

Jawab kami bersamaan.

Aku melotot lagi, dan dia cengengesan.

"Ayolah Erin, katakan halo pada takdirmu.... "

"Iiiiihhh najis... "

"Eriiin."