Chereads / ROMANSA BATAS KOTA / Chapter 3 - BAB 3

Chapter 3 - BAB 3

(ERVIN)

Mr. Hidupku-kan berakhir jika tanpa dia. Coba tebak, siapa gadis paling beruntung di dunia ini?

Aku tersenyum membaca pesan singkat yang baru masuk ke ponselku ketika aku tiba di rumah. Dari Erin. Tadi kami sempat bertukar nomer ponsel. Dia sedang senang, dan sepertinya aku tahu apa penyebabnya.

Memarkirkan mobilku di Garasi, aku kemudian berjalan menuju ruang tamu sembari mengetikan balasan pesan untuknya.

Aha. Biar kutebak, gadis itu adalah kau?

Aku menyapa Papa dan Mama yang sedang bersantai sambil menonton televisi di Ruang keluarga. Dan tak menggubris sindiran dan ejekan Avery yang duduk bersama mereka. Aku terus berjalan menuju ke kamarku yang ada di lantai dua.

Entah kenapa belakangan ini hatiku terasa ringan. Jalan dengan Erin, yang polos dan menggemaskan, membuatku terhibur dan melupakan masalah tentang Rena. Tidak perlu menggoda sembarang gadis di jalan lagi untuk menghibur diri, cukup buat Erin tersenyum sekaligus jengkel di saat bersamaan, aku pasti akan sangat terhibur.

Balasan pesan singkat dari Erin masuk setelah aku menutup pintu kamar.

Yippie! Kamu benar. :D

Vin, aku diterima kerja di Eagle Group di bagian perancangan produk. Keren nggak?

Aku menyeringai. Tentu saja aku tahu Erin diterima kerja di Eagle Group. Semalam aku 'membujuk' Papa untuk meminta data-data tentang calon karyawan baru dari bagian HRD, kemudian saat menemukan nama Erina Fajrani Haryanti, aku mati-matian lagi merayu Papa untuk menerima Erin masuk divisiku. Padahal dia melamar pekerjaan di divisi pemasaran. Pada Papa aku beralasan kalau Erin cuma temanku, walau beliau sama sekali tidak percaya dan malah mengatakan, "Kalau sudah resmi jangan lupa bawa ke Rumah." UHUK!

Yeah. Itu keren, selamat ya. Btw harus dirayakan nih.

Balasannya datang seketika.

Trims. Tapi jangan minta dirayakan atau traktir duluan :( aku lagi nggak punya uang. Tunggu gaji pertama keluar ya? Ntar aku traktir siomay sama es campur di taman buat ngerayain :p

Aku terkekeh membaca pesan dari Erin. Aku memilih untuk melepas pakaian kerjaku dulu dan menggantinya kaus oblong dan boxer sebelum saling berbalas pesan dengan Erina.

Gini aja, besok aku traktir kamu duluan buat ngerayain hari pertama kamu kerja. Setelah kamu dapat gaji pertama, baru gantian kamu nraktir aku.

Aku pikir dia akan menolak. Tapi nyatanya tidak.

Ide bagus. Sampai jumpa besok setelah jam pulang kerja! ;)

Hoaaam. Maaf mulai ngantuk. Selamat tidur Ervin.

Ps : Besok aku mau makan bakso!

Pps : Hehe. Nggak bermaksud jadi cewek matre, tapi sebagai anak rantau aku harus berhemat. Berhubung ada kamu yang kelewat baik hati, jadi bolehlah numpang makan gratis dikit.

Aku tertawa. Baru menyadari kalau Erin memiliki selera humor yang bagus.

Sampai jumpa besok. Selamat tidur dan mimpi indah Erin. Dan jangan lupa mimpiin aku ya?

Ps : bereeees :Db

Pps : numpang makan tiap hari di rumahku juga boleh. Dan bahkan numpang tidur di kamarku juga boleh banget.

Pesan balasan dari Erin datang dengan sangat cepat. Tidak sampai lima detik.

DASAR BUAYA KAMPRET!

Dan aku tertawa keras. Berbalas pesan singkat dengan Erin ternyata sangat menyenangkan.

#

Muka Erin saat melihat aku juga ada di Eagle Group dan pula satu divisi dengannya benar-benar terlalu berharga untuk dilewatkan. Mata gelapnya yang agak sipit membulat lucu dan mulutnya megap-megap selama beberapa detik. Dia berhasil mengendalikan diri ketika Pak Tommy Menejer senior kami memperkenalkan dia pada teman-teman divisiku.

Dengan manis dia memperkenalkan diri pada teman-temanku. Aku mendengar di sampingku Gito berbisik pada Randy, dia berkata kalau karyawan yang satu ini manis. Dan dia ingin melakukan pendekatan dengan Erin. Hahaha. Aku tidak akan membiarkannya. Erin itu temanku, dan membiarkan buaya cap minyak kayu putih macam Gito mendekatinya adalah sebuah kejahatan moral.

"Erina!" Dan begitu tiba giliran untuk berkenalan denganku, Erin langsung menjabat tanganku erat, kemudian melotot galak sambil berbisik, "Jelasin ini nanti."

"Iya. Iya," jawabku malas.

Aku bersyukur semua pegawai di divisiku bisa menerima Erina dengan baik. Mereka akan dengan sabar menjelaskan pada Erina, jika dia tidak mengerti sesuatu. Opie, cewek yang paling culun di divisi kami sepertinya akan berteman baik dengannya. Mereka tampak akrab.

Saat jam makan siang, beberapa karyawan baru yang diterima bekerja di perusahaan hari ini jadi topik pembicaraan. Terutama yang paling cantik, yang namanya Stella dari divisi pemasaran, cowok-cowok nggak bisa berhenti bicarin dia. Body-nya, bajunya, dadanya, pantatnya, gimana cara dia berjalan, dan bagaimana taktik norak mereka buat ngajak Stella kenalan. Ramon, salah satu teman kantorku bahkan menantangku untuk mendekatinya. Haaah.

"ERIIINNNN!" Suara teriakan heboh Avery dari salah satu meja di belakang mejaku menarik perhatian karyawan lain. Erin yang kelihatannya baru masuk kantin bareng Opie tampak terkejut melihat Avery yang langsung menerjangnya dengan pelukan maut. Ave kemudian mengoceh panjang-lebar lalu menyeret Erin untuk duduk makan siang bersamanya. Opie yang tidak punya pilihan, karena dia juga diseret Erin, mengikuti mereka.

"Erviiin!" Astaga naga! Aku harus bersabar menghabiskan makan siangku dengan Wina yang tiba-tiba muncul, mengambil tempat duduk disampingku untuk bergelayutan manja seperti biasa.

#

(ERIN)

"Jangan lupa telpon aku ya?"

Aku mendengus melihat Ervin yang tengah menanggapi rayuan seorang perempuan seksi di lobi kantor. Aku pernah bertemu dengan perempuan itu kemarin saat wawancara, tapi aku tidak tahu siapa namanya.

"Oke Cantik." Ervin melihatku, namun aku mengabaikannya. Aku terus berjalan menuju pintu keluar. Yah, sekarang memang sudah waktunya pulang. Opie telah pulang lebih dulu, sebelum aku menyelesaikan laporanku. Dia menawari untuk menungguku dan mengantarku pulang menggunakan motornya, tapi ternyata kami tidak searah.

"Erin!" Aku mendengar suara Ervin berseru memanggil namaku, tapi aku masih pura-pura tuli dan buta. "Erin tunggu!" Dia mengejar, dan akhirnya bisa mensejajarkan langkah denganku ketika kami berada di luar. "Jangan cemburu gitu ah!"

Aku menghentikan langkah dan melongo menatapnya. Cemburu apanya? Beberapa karyawan-yang juga berada di luar, dan akan pulang-memperhatikan kami dengan sorot tertarik.

"Cemburu apaan?"

Sudut-sudut bibir Ervin terangkat geli. "Itu tadi, kamu berpura-pura nggak ngeliat aku waktu aku ngobrol sama Stella di Lobi."

Tik-tok-tik-tok-tik-tok.

"Sayang." Alamak! "Aku udah bilang kan ke kamu? Aku emang suka godain cewek, itu cuma sekedar hobby kok Say." Kulihat Bu Wina (yang menurut informasi dari Opie), keponakan pemilik perusahaan sekaligus calon tunangan Ervin, sudah berdiri di belakang Buaya gondrong ini bersama dua temannya yang lain. Tampak terkejut mendengar perkataan Ervin.

Mati aku. Mati. Jangan sampai Bu Wina minta ke Pamannya buat mecat aku dari Eagle. Masa baru sehari kerja udah dipecat?

"Percaya deh. Walaupun di kantor ini banyak cewek-cewek cakepnya. Hatiku cuma buat kamu."

Jika dalam keadaan normal, aku tentu akan klepek-klepek mendengar rayuan norak Ervin. Tapi aku terlalu takut untuk klepek-klepek sekarang, karena Bu Wina melotot marah padaku. Aduh! Aku mati beneran nih.

Aku meringis ngeri. Ervin mengernyitkan kening saat tahu bahwa aku sedang tidak fokus pada godaannya. Menyadari kalau ada orang di belakang dia yang membuatku ketakutan, Ervin kemudian berbalik. Melihat Wina dia malah tersenyum lebar.

"Oh hai Win. Mau pulang ya? Haha. Aku juga mau pulang. Bye, hati-hati di jalan. Yuk Say." Tanpa menunggu persetujuanku ataupun jawaban dari Bu Wina, Ervin segera menyeretku ke tempat mobilnya di parkir. Dan langsung menjejalkanku ke kursi penumpang si Bumbleebee, sebelum dia juga ikut masuk.

Bumblebee melesat meninggalkan area parkir kantor.

#

"Apa-apaan itu tadi?" Tanyaku cemberut. Jujur aku agak tidak nyaman dengan perlakuan Ervin. Kebaikan dan gombalan-gombalannya, aku takut membuat perasaan 'hanya sebagai teman' ini berkembang lebih menjadi sesuatu yang lain. Belum lagi dia sudah punya calon tunangan.

"Tadi itu aku cuma ngegodain kamu, Teman," jawabnya kalem.

"Ya kali cuma ngegodain. Tapi nggak usah di depan teman-teman kantor dan calon tunangan kamu segala, nanti aku dikatain cewek nggak benar," protesku.

Kening Ervin berkerut. "Calon tunangan?" Aku tidak tahu kenapa dia terdengar bingung.

"Itu Bu Wina keponakannya pemilik perusahaan."

Ervin terdiam sejenak, lalu tawanya meledak. Dia tertawa begitu keras sampai wajahnya memerah. Hei Ervin! Perhatikan jalan, aku tidak mau mati muda, dan sejujurnya aku tidak melihat ada yang lucu dari hal ini.

"Wina itu emang keponakannya Om Yoga, salah satu pemegang saham di Eagle Group. Tapi cuma keponakan jauh, jadi tenang aja, kalaupun si Wina musuhin kamu, Om Yoga nggak bakal sembarangan mecat karyawan karena keponakan nggak jelasnya nggak suka sama si karyawan." Cara Ervin menyebut nama Pak Yoga seperti mereka sudah sangat akrab. "Dan satu lagi yang harus kamu tahu, Wina itu bukan calon tunangan aku. Amit-amit kalau sampai harus punya hubungan serius sama cewek macam dia."

"Tapi kamu nggak akan keberatan buat ngegodain dia kan?" Sebelah alisku terangkat.

Ervin kembali terkekeh. "Godain cewek itu nggak dosa kali Rin. Kalau cuma buat ngegodain Wina, aku sih nggak keberatan. Tapi kalau harus punya hubungan serius sama dia ... Ugh," Ervin bergidik seolah ide berhubungan serius dengan Bu Wina adalah hal yang paling menyeramkan dalam hidupnya.

"Tapi kenapa Opie bilang kalau Bu Wina itu calon tunangan kamu?" Tanyaku penasaran. Kalau memang Ervin dan Bu Wina tidak berhubungan, lalu kenapa Opie mewanti-wantiku untuk tidak mendekati Ervin karena dia calon tunangannya Bu Wina. Opie bahkan bercerita kalau selama ini, setiap ada karyawan perempuan yang coba menggoda dan mendekati Ervin di kantor, Wina cs akan langsung 'membantai'nya. Membuat si karyawan perempuan tidak betah dan langsung resign dari kantor. Kata. Opie juga, rumor terbaru tentang Ervin yang beredar beberapa bulan kemarin, Ervin putus dengan perempuan yang selama sepuluh tahun jadi pacarnya karena dia ingin berhubungan serius dan segera bertunangan dengan Wina. Padahal kan cerita yang sebenarnya, Ervin putus dengan Renata karena Renata lebih memilih Dimas.

"Namanya juga rumor," kata Ervin kalem. Sepertinya dia tidak mempedulikan berbagai rumor tidak benar tentang dirinya yang beredar di kantor.

"Nggak akan ada asap kalau nggak ada api. Yah biasanya rumor muncul kalau si objek yang dibicakan, melakukan hal yang menimbulkan gosip."

"Menggoda Wina maksud kamu?"

Aku mengangguk. Ervin meringis masam. "Iya aku memang pernah ngegodain Wina, tapi bukan cuma Wina kok. Semua karyawan cewek yang ada di kantor pernah kugoda. Termasuk kamu," alisnya bergerak naik-turun saat menatapku. Dia lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah jalanan. Ngomong-ngomong kami mau kemana nih?

"Buaya," cibirku sinis. Dan aku termenung saat dia tiba-tiba menghentikan mobilnya di pinggir jalan, di depan sebuah gerobak bakso yang sedang sepi pembeli.

"Ayo kita rayakan keberhasilan kamu mendapatkan pekerjaan." Senyuman lebar Ervin membuat mukanya kelihatan makin ganteng. Aku tertegun sejenak, kemudian mengangguk penuh semangat.

Ervin turun lebih dulu lalu membuka pintu mobil untukku. "Tapi kamu yang bayar ya?" Godaku sembari turun dari mobil.

Ervin tertawa. "Boleh. Boleh. Sekalian sama gerobaknya juga mau?"

"Mau dong. Asalkan aku yang makan isinya, kamu yang makan gerobaknya." Aku berjalan lebih dulu menuju bangku dan meja panjang yang ada di samping gerobak bakso, disusul Ervin.

Menggunakan bahasa Jawa, Ervin memesan dua mangkuk bakso pada si Abang Bakso. Aku agak geli melihatnya. Apa aku udah bilang kalau Ervin itu mukanya agak kebule-bulean? Menurutku dia terlihat lucu saat berbicara bahasa Jawa, apalagi Ervin itu medok kalau ngomong jowo.

"Apa?" Tanya Ervin bingung saat melihatku tersenyum-senyum sendiri.

"Bule jawa."

Dia kembali tertawa mendengar perkataanku. "Namanya juga blasteran Jawa-Kanada." Tawanya menular padaku.

Si Abang penjual bakso hanya melongo saat masing-masing dari kami berdua tanpa malu-malu menghabiskan tiga mangkuk bakso. Ervin menawarkan padaku untuk tambah lagi, aku menolaknya karena perutku terasa penuh sekarang. Aku berkata kalau tambah baksonya ditunda dua atau tiga jam lagi, karena yang baru masuk ke perut tadi butuh dikeluarkan dulu lewat saluran pembuangan. Ervin hanya tertawa. Dia kemudian mengantarku pulang ke Wijaya II, dan berjanji setelah waktu shalat isya selesai, dia akan datang dan mengajakku jalan-jalan ke taman lagi.

Oke.

#

(ERVIN)

"Pie, mana Erin?"

Hari ini hari kamis. Aku dan Pak Tommy baru saja kembali setelah melangsungkan metting selama tiga jam dengan klien menyebalkan di sebuah restoran. Aku agak terkejut saat melihat Erin tidak ada di mejanya begitu kami kembali. Selama dua minggu bekerja di sini, Erin termasuk karyawan yang rajin. Kecuali jam makan siang, dia tidak pernah sekalipun meninggalkan meja dan pekerjaannya.

Aku bahkan pernah membuat lelucon bahwa seseorang telah menempelkan lem di kursi Erin sampai dia tidak mau mengangkat bokongnya untuk bolos kerja walau sehari. Erin hanya membalas gurauanku itu dengan kalem, sambil mengatakan, "Karyawan baru nggak boleh bolos."

Jadi aku agak bingung saat tidak melihat Erin di ruangan. Opie yang tadi kutanya mengenai keberadaan Erin, bukannya menjawab dia malah berjalan mondar-mandir sambil sesekali melongokan kepalanya keluar pintu. Dia tampak cemas seperti induk ayam yang mau bertelur.

"Pie!" Aku menepuk pundak Opie keras, membuatnya tersentak kaget lalu berbalik cepat.

"M-Mas Ervin." Dia gelagapan linglung.

"Kamu kenapa jalan mondar-mandir gitu? Mana Erin?"

Opie tampak ragu. Setelah beberapa saat memasang muka seperti orang bingung (ya ampun nih cewek kasihan banget dapat muka yang kayak orang bingung permanen gini), dia kemudian menceritakannya. "Tadi setelah pulang makan siang diluar bareng Mbak Ave. Saya sama Erin dihadang sama Mbak Wina, Mbak Olive, dan Mbak Rika di lobi. Saya disuruh balik duluan ke ruangan karena mereka mau 'ngobrol' sama Erin. Tapi ini sudah lebih dari lima belas menit mereka 'ngobrol' dan saya khawatir." Opie yang lemah-lembut, sopan, dan sayang kawan terlihat ingin menangis. "S-saya takut Erin diapa-apain sama mereka Mas, kayak karyawan-karyawan cewek lain yang selama ini mengundurkan diri setelah 'dikerjai' sama Mbak Wina dan teman-temannya."

Aku tertegun mendengar informasi baru ini. Jadi selama ini karyawan cewek yang 'dekat' sama aku, yang mendadak resign nggak jelas itu, gara-gara dibantai Wina cs? Aku tiba-tiba merasa bersalah sama cewek-cewek karyawati yang resign itu, mereka meninggalkan pekerjaan yang-mungkin-mereka butuhkan gara-gara aku. Dan Wina ... Aku memang sudah punya firasat kalau dia perempuan menyeramkan.

Aku baru menyadari kalau suasana di ruangan ini mendadak hening. Beberapa Pak Tommy dan beberapa temanku tampak terkejut mendengar informasi yang baru keluar dari mulut Opie. Sepertinya yang mengetahui sepak terjang Wina cs hanya karyawan perempuan yang masih lajang saja. Pak Tommy kemudian mengajak Opie untuk menghadap Pak Gunawan Wicaksono, Direktur Eagle Group cabang Madura. Kalau Om Yoga ngurus Eagle Group yang di Jakarta.

Gito, Ramon, Randi, dan Mbak Mala, teman-teman divisiku yang lain menyuruhku untuk segera mencaritahu keberadaan Erin. Takutnya Wina melakukan sesuatu yang buruk, mengingat obsesinya padaku selama ini. Mereka juga berkata kalau mereka akan membantu mencari Erin di seluruh area gedung Eagle Group.

Ya Tuhan, aku tidak tahu kalau kelakuanku yang selama ini iseng merayu perempuan, ataupun dekat dengan banyak perempuan akan membawa petaka bagi para perempuan itu. Wina pasti akan mencelakai Erin karena selama beberapa minggu ini aku terang-terangan merayu dan bersikap mesra pada Erin di depan semua karyawan Eagle Group. Dan aku bahkan tidak mengklarifikasi rumor yang beredar di kantor yang menyatakan bahwa aku dan Erin pacaran, terlepas dari hubungan kami hanya sebatas teman.

Ugh. Berpikir kalau sesuatu yang buruk akan terjadi pada Erin membuat hatiku terpilin tak nyaman. Aku menyesal karena sudah bertingkah sok mesra dengan para perempuan di kantor ini (bukan cuma Erin). Aku tidak tahu kalau Wina dengan obsesinya padaku, akan melakukan suatu hal mengerikan pada mereka sampai mereka memutuskan untuk resign. Dan kalau sampai Erin memutuskan untuk resign dan pergi dari hidupku karena ulah mereka, aku tidak siap. Dia teman yang berharga. Dan belakangan ini kebersamaan dengan Erin seperti menjadi rutinitasku setiap hari. Aku nyaman bersamanya.

Merasa Erin tak ada di lantai tempatku bekerja, aku kemudian menghubungi Avery untuk membantuku mencari Erin. Sumpah serapah keluar dari mulut kembaranku itu setelah mendengar ceritaku. Sebelum memutus telpon, Ave berjanji padaku untuk menemukan Erin. Yah, mungkin akan lebih mudah bagi Ave untuk menemukan Erin, karena ruang kerja Ave berada di lantai yang sama dengan Wina.

Dan benar saja, tidak sampai lima menit Ave menelponku.

"Lantai empat di toilet pegawai yang lagi rusak, sebelah ruang penyimpanan dekat tangga darurat," dia memberitahu keberadaan Erin.. Suaranya terdengar ngeri. Dan aku mendengar keributan di sekitarnya.

Mematikan ponsel aku langsung berlari menuju ke lantai empat (aku bekerja di lantai tiga) dan karena tidak sabar menunggu lift, tanpa berpikir lagi aku langsung menggunakan tangga darurat.

Keributan terlihat jelas di koridor saat aku tiba di lantai empat. Semua karyawan yang bekerja di sana berkumpul di toilet karyawan dekat tangga darurat. Dari jarak puluhan meter aku bisa melihat Romeo tampak kerepotan menahan Ave yang begitu marah dan siap menerjang ke arah tiga perempuan berpakaian mahal di depannya. Suara makian dan teriakan Ave yang begitu kasar tidak akan membuat Papaku si Gunawan Wicaksono itu bangga.

Tidak ada yang berani maju untuk melerai atau menghentikan kelakuan Ave, walau status kami cuma karyawan biasa tapi semua orang di kantor ini sudah tahu kalau aku dan Ave, anaknya direktur. Dan sepertinya tidak ada juga yang berani mengomentari kelakuan buruk Wina cs karena Om-nya merupakan salah satu pemegang saham terbesar kedua di Eagle Group. Mereka hanya menonton dengan tertarik, karena kapan lagi anak-keponakan pemilik perusahaan sebesar Eagle Group berkelahi di muka umum?

Wina-walaupun terlihat takut pada Ave-dia masih terlihat angkuh ingin mendebat adikku. Kedua temannya yang lain tampak ciut melihat kemarahan Ave. Mereka sudah membangunkan singa betina. Dan aku beritahu ya, kalau berkelahi, Ave tidak pernah tidak membuat lawannya babak belur atau masuk rumah sakit.

Aku berjalan menghampiri mereka, dan ... Jantungku langsung tenggelam saat melihat Erin masih berbaring tak sadarkan diri di toilet dalam keadaan mengenaskan, dengan kepala berada di atas pangkuan Mbak Tanti, si Menejer keuangan. Dia tampak basah dari atas sampai bawah. Mukanya pucat, dan bibirnya membiru. Blouse putih yang dia pakai, kini tampak compang-camping dan robek sana-sini, sampai memperlihatkan bra dan kulit putihnya yang mulus. Bagian bawah rok spann Erin yang panjangnya sampai di bawah lutut, hampir bernasib sama dengan blouse-nya. Ada memar bekas tamparan di wajah Erin, dan juga luka di keningnya.

"ERIN!" Mengabaikan pertengkaran yang terjadi di koridor depan pintu masuk toilet, aku segera menghampiri dan berlutut di samping Erin. Mbak Tanti menggerutu, kesal pada pertengkaran yang terjadi antara Ave dan Wina, yang membuat semua perhatian tertuju pada mereka semua dan bahkan melupakan kalau Erin harus segera dibawa ke rumah sakit. Tubuhnya sangat dingin karena mungkin ketiga cewek sialan itu menyiramnya. Aku melepaskan jas, menggunakannya untuk menutupi tubuh Erin yang terbuka, lalu menggendongnya keluar dari toilet. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit.

Saat berjalan melewati Wina, aku menoleh dan menatapnya marah. Aku akan memastikan dia mendapatkan balasan dari apa yang sudah dia perbuat.

"Kalau sampai Erin kenapa-napa, aku bakal mastiin kamu mendapat balasan yang setimpal." Tanpa melihat reaksinya atas ancamanku, aku segera beranjak menuju lift dengan diikuti Mbak Tanti.

Saat pintu lift tertutup. Aku bisa mendengar suara teriakan ngeri semua orang, mungkin Ave menyerang mereka dan Romeo sudah tidak sanggup memeganginya. Entahlah, aku tidak peduli.

#

FLASHBACK

(ERIN)

Berteman dengan Ervin itu banyak cobaannya. Sumpah. Aku tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran para perempuan itu sampai mereka harus membullyku di kantor, karena kedekatanku dengan si buaya gondrong. Padahalkan status kami cuma teman. Nggak lebih.

Dua minggu belakangan, setiap kali aku masuk kerja. Aku selalu menerima tatapan sinis dan cemoohan tak menyenangkan dari para karyawan perempuan (terutama Bu Wina). Semua ini gara-gara aura keplayboyan Ervin yang-mungkin-sudah mulai meluntur, dia tidak lagi menggoda karyawan perempuan lain. Cuma aku yang tiap hari digoda dan diisengi. Aku sempat protes pada Ervin untuk mengurangi intensitas godaannya padaku di kantor. Tapi itu si Buaya sableng malah bilang ; "Ah. Rin, nggak ngegodain kamu sehari aja rasanya kayak ada yang kurang. Hidupku tanpamu seperti sayur tanpa garam yang dibanyakin cabe.".

Opie berkali-kali menasehatiku untuk menjauhi Ervin, agar aku tidak dimusuhi beberapa karyawati dari divisi lain yang naksir berat sama tuh buaya. Aku berkata pada Opie kalau aku dan Ervin hanya sebatas teman, dan aku tidak mungkin menjauhinya. Mendengar penjelesanku, Opie malah bertanya mengenai seperti apa perasaanku pada Ervin. Dan ... Jujur aku tidak bisa menjawabnya.

Aku belum memberitahu Ervin soal apa yang terjadi padaku beberapa hari ini. Tiga hari yang lalu, Bu Wina dan dua temannya menyeretku ke sebuah ruangan sepi dan menyuruhku untuk menjauhi Ervin. Kalau tidak aku akan dipecat. Lalu kemarin, dalam perjalanan pulang dari kantin bersama Opie, tiba-tiba salah satu teman Bu Wina menyiramku dengan air seember yang entah dia dapat darimana. Beruntung Opie mau meminjamkanku pakaian yang dia simpan di lokernya.

"Tadi pagi aku lihat Mbak Wina sama Mbak Rika perhatiin kamu yang datang ke kantor bareng Ervin," lapor Opie sambil menarik kursi kerjanya untuk bergabung di bilikku.

"Ennn. Trus?"

"Mereka kayaknya nggak senang," ucapnya muram.

Aku mendesah. Tadi pagi Ervin tiba-tiba muncul di depan pintu kamarku dan mengajakku berangkat ke kantor bersama. Yah, memang setiap hari Ervin selalu mengantar dan menjemputku di Wijaya II sih. Aku tidak pernah minta, dia memproklamirkan dirinya sendiri sebagai supir dan teman pribadi terbaik.

"Jauhin Mas Ervin, Rin." Sudah ratusan kali Opie mengatakan kalimat yang sama padaku. Aku tidak menyalahkannya, karena dia menghawatirkanku. Dan ... Sejujurnya aku juga tidak bisa menjauhi Ervin. Walaupun aku baru mengenalnya selama beberapa minggu tapi aku sudah terlalu terbiasa dengan kehadirannya dalam keseharianku. Jadi aku tidak bisa membayangkan kalau aku harus ... Ck. Sudahlah.

"Kami cuma berteman, Pi." Hanya itu yang bisa kukatakan untuk membela diri.

Opie mendengus. "Tapi bukan itu yang ada di pikiran orang-orang."

Aku mengangkat bahu. Memutuskan untuk tidak menggangguku lagi, Opie kembali ke biliknya.

Sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselku membuat perhatianku teralihkan. Itu dari Ervin.

Horeeee! Kita dapet proyeknya! Pak Tommy bilang kalau kita bakal makan-makan setelah ini, jadi jangan buru-buru pulang. Aku tersenyum membaca pesannya. Seperti yang dia katakan sebelum berangkat ke Bangkalan untuk bertemu dengan salah satu klien, dia akan memastikan bahwa aku adalah orang yang pertama dia khabari mengenai hasil mettingnya. Ervin dan Pak Tommy berangkat ke Bangkalan pagi-pagi sekali untuk menemui klien penting.

Iyeeeei! Okidoki Kapten. Setelah membalas sms Ervin, aku segala melongokan kepalaku ke Bilik Opie yang kebetulan ada di samping bilikku.

"Pie. Kita dapet proyeknya!" Kataku sambil tersenyum lebar.

Opie langsung mengalihkan atensi dari layar komputer di depannya setelah mendengar berita dariku. Mata gelapnya membulat dari balik lensa bening kacamata yang dia pakai. "Seriusan?" Tanyanya tak percaya. Mengingat ini proyek sulit yang memakan dana lumayan besar.

Aku mengangguk. "Ervin baru ngabarin," laporku sembari menyodorkan ponselku ke depan hidungnya.

Tak butuh waktu lama berita gembira ini menyebar, semua orang di divisi kami tampak senang dan siap bekerja keras untuk menyelesaikan proyek yang baru didapatkan Ervin dan Pak Tommy.

Pada saat jam makan siang Ave tiba-tiba muncul di ruangan kami, dia tahu soal keberhasilan kembarannya. Dan dia mengajakku dan Opie makan di luar untuk merayakannya. Dia bilang dia yang akan traktir. Asal tahu saja, tidak mudah untuk melarikan diri dari antusiasme seorang Avery Jane.

Di lobi kantor aku, Ave, dan Opie berpapasan dengan Bu Wina. Dia menatapku tajam, tampak tak senang dengan kedekatanku dan Ave.

"Kalau pelototan mata bisa membunuh. Aku yakin kamu sudah mati dari tadi?" Komentar Opie setelah kami masuk ke dalam mobil kijang milik Ave.

"Maksud kamu?" Ave mengernyit tak mengerti, dia berusaha membagi perhatiannya antara membawa mobil keluar ke jalan raya, dan juga pada Opie yang duduk di kursi belakang.

"Anu Mbak, itu Mbak Wina. Tadi dia melototin Si Erin nafsu banget, kayak pengen ngegoreng Erin gitu."

Ave terkekeh mendengar penjelasan Opie. "Mungkin itu gara-gara rumor Erin dekat sama Ervin," dia terus tersenyum geli. Seolah kecemburuan Bu Wina padaku adalah sesuatu hal yang paling lucu di dunia ini. Padahal aku sendiri deg-degan setiap kali melihat Bu Wina, dalam penglihatanku perempuan yang selalu berpakaian ketat itu tampak seperti malaikat mautnya Raito Yagami di Animasi Death Note. "Udahlah Rin, orang kayak Wina nggak usah dipikirin. Anggap aja dia itu kentut yang lewat. Cuma berbau tapi nggak berasa."

Perkataan Ave membuat kami tertawa.

Saat pulang dari acara makan siang dengan Ave di sebuah Restoran mewah, dia memaksaku dan Opie untuk memesan makanan paling mahal. Ave menurunkanku dan Opie di tempat parkir. Dia bilang dia ada urusan, dan akan terlambat untuk kembali bekerja selama sekian puluh menit.

Opie terlihat sangat senang. Sepanjang perjalanan menuju ke kantor kami, dia tidak henti-hentinya memuji Ave. Selama ini dia berpikir kalau Ave itu gadis kaya sombong yang tidak mau berteman dengan karyawan rendahan seperti kami, oleh karena itu dia tak berani berteman ataupun sekedar menyapanya. Dan Opie senang karena apa yang dia pikirkan tidak benar.

"Senangnya. Walaupun Mbak Ave anaknya Pak Direktur, dia ternyata baik hati dan nggak sombong kayak Mbak Wina." Mataku melebar kaget mendengar perkataan Opie. Ave? Anak Direktur perusahaan ini?

"M-maksud kamu Avery sama ... Ervin anaknya Pak Gunawan?" Tanyaku tak percaya.

Opi menatapku dengan kening berkerut. "Iya. Memangnya kamu nggak tahu?"

Oh God. Jadi ...

"Jangan-jangan kamu masuk ke perusahaan ini karena bantuan Ervin ya?" Suara sinis penuh kebencian itu membuatku dan Opie kompak menoleh. Seketika mukaku langsung pucat. "Dasar jalang sialan!"

Ibu Wina dan kedua temannya berdiri menghalangi jalan kami. Mereka terlihat marah dan siap mencabut kepalaku. Oh God! Mati aku.

#

(ERVIN)

Aku membawa Erin ke Rumah Sakit. Dokter yang memeriksanya mengatakan kalau Erin hanya mengalami shock dan kedinginan. Tidak ada hal yang serius dengan luka kecil akibat benturan di kepala, dan juga beberapa memar di tubuhnya.

Sekarang dia sudah berbaring memakai pijama biru usang milik Rumah Sakit. Masih tidak sadarkan diri. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Aku bersumpah akan melakukan hal yang buruk pada Wina kalau sampai Erin kenapa-napa.

Romeo menelponku dia memberitahu kalau Wina dan teman-temannya sudah dipecat. Om Yoga marah besar saat Papaku menelponnya dan memberitahu dia tentang semua kelakuan buruk keponakan sang istri. Romeo juga menanyakan keadaan Erin, dia berkata kalau Erin bisa menuntut Wina dan teman-temannya lewat jalur hukum jika dia mau (aku akan memastikan Erin melakukan hal ini). Dia bilang dia dan Avery akan membesuk Erin setelah membereskan semua pekerjaan di kantor.

Beberapa menit kemudian, Erin bergerak gelisah dalam tidurnya. Wajah cantiknya tampak kesakitan.

"Rin? Erin?" Aku menepuk pipinya pelan, dan kemudian matanya terbuka. Dia terlihat kebingungan dan kehilangan orientasi.

"Ervin?"

"Ya?"

"Ini dimana?" Dia mengamati keadaan sekeliling.

"Rumah sakit. Kamu pingsan di kantor."

Dia terdiam sejenak, lalu meringis. Mungkin Erin sudah mengingat apa penyebab dia terbaring di ranjang pasien sekarang.

"Wina sudah keterlaluan," kataku frustrasi.

Erin mendesah. "Dia cuma ... Terlalu cinta sama kamu," komentarnya kering.

"Sayangnya cinta itu nggak berbalas," jawabku ngeri. Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus punya hubungan dengan perempuan egois menyeramkan macam Rowina. "Dia perempuan gila yang mengerikan."

Erin mengangguk setuju. Aku kemudian menanyakan apa saja yang dilakukan Wina padanya? Dan apa dia tidak ingin membawa masalah ini menempuh jalur hukum? Yang dilakukan Wina dan teman-temannya jelas merupakan penganiayaan. Tindak kriminal. Erin agak ragu untuk menceritakan detail kejadiannya padaku, tapi akhirnya kejadian mengerikan yang dia alami terlontar juga dari mulut mungilnya. Dia bertanya padaku, kalau dia menuntut Wina melalui jalur hukum, apa dia tidak perlu bertemu dengan Nenek sihir itu lagi? Jawabannya yah ... Entahlah.

Saat hari akan beranjak malam, Erin mengeluarkan dirinya sendiri dari Rumah Sakit. Dia beralasan kalau dia tidak sanggup mencium bau obat. Aku meminta Erin untuk menginap di rumahku karena aku khawatir pada kesehatannya (dan juga aku masih benar-benar menghawatirkan gadis lajang sepertinya yang tinggal lama di hotel murah. Aku akan secepatnya mencarikan tempat kos yang baik untuk Erin). Tapi sayangnya Erin menolak ide menginap itu, dia mengatakan bahwa tidak baik baginya untuk menginap di Rumah seorang laki-laki, terlepas dari aku menyuruhnya untuk tidur di kamar Avery. Mendebat Erin tidaklah mudah, hingga aku terpaksa mengantarnya kembali ke Wijaya II.

#

(ERIN)

Hari ini aku tidak bekerja. Ervin bilang aku boleh istirahat sampai keadaanku membaik, padahal aku tidak terluka parah. Bu Wina dan teman-temannya hanya membuatku 'memar-memar'.

Aku pikir aku akan mati kebosanan karena tidak melakukan apapun hari ini. Ervin sudah dua kali menelpon untuk menanyakan keadaanku, sementara Ave, Opie, dan Romeo hanya mengirimiku pesan singkat yang menyuruhku untuk segera sembuh dan datang ke kantor. Oh ya ampun, aku merindukan mereka, teman-teman terbaikku. Padahal baru satu hari kami tidak bertemu.

Bicara soal rindu ... Aku tiba-tiba merindukan keluargaku. Ibu, Raskal, Paskal, dan ... Ayah. Bayangan wajah mereka terus menari di dalam kepalaku. Dalam hati aku bertanya, apa mereka mencariku? Ini sudah satu bulan lebih, dan aku kangen rumah. Tiba-tiba aku merasa ingin menangis.

#

Aku menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk menangis di kamar, sebelum keluar untuk mandi, dan setelah selesai aku menonton acara siaran berita di televisi. Aku hampir tersungkur dari kursi plastik yang kududuki saat menonton salah satu segmen orang hilang di acara siaran berita siang.

Foto narsisku yang sedang tersenyum alay ke arah lensa kamera, sambil merangkul Raskal yang sok cool dengan pantai yang menjadi latar belakang, terpampang jelas di layar kaca. Itu memang foto terbaruku. Narator mengatakan bahwa gadis dalam foto itu adalah anak seorang politikus yang sudah satu bulan lebih hilang dari rumah. Bagi yang menemukannya atau melihatnya, diharapkan untuk segera menghubungi nomer yang tertera di layar kaca. Aku mengenal nomer yang tertera di tivi sebagai nomer ponsel Papa dan Raskal.

Aku bersyukur tidak ada tamu lain yang ikut menonton televisi denganku, buru-buru aku kabur ke kamar dan kembali mengunci diri.

#

"Jadi kamu nggak mau aku datang?" Aku harap Ervin dan teman-teman kantorku yang lain tidak menonton acara berita siang di tivi. Memalukan kalau perempuan sebesar aku menjadi seorang anak hilang yang dicari-cari keluarganya.

"Maaf Ervin. Aku lagi nggak enak badan, aku mau istirahat lebih awal." Ervin menelpon memberitahuku kalau dia akan datang setelah pulang kerja, tapi aku menolak kehadirannya. Aku hanya takut dia tahu kebenaran tentang statusku yang merupakan seorang 'anak hilang'.

Ervin mendesah dramatis. "Yaudah. Met istirahat. Jangan lupa sholat dan baca doa sebelum tidur."

"Hnn. Bye."

"Bye."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Setelah sambungan ponsel diputus, aku melempar ponselku ke atas kasur. Lalu menjatuhkan diri di sampingnya. Aku bingung sekaligus takut pada anggapan teman-temanku jika mereka tahu bahwa aku ini hanya seorang 'cewek pelarian'.

#

Seharian di kamar bukanlah hal yang baik untuk kesehatan raga maupun pikiran. Oleh karena itu selepas maghrib aku memutuskan untuk berjalan-jalan di area pertokoan sekitar Wijaya II.

Seolah kegalauanku sekarang masih belum cukup, Tuhan menambahkan satu lagi beban pikiran yang bisa membuat hatiku berdenyut nyeri dan tidak akan dapat tidur semalaman. Mobil Ervin terparkir manis di depan sebuah toko yang memajang berbagaimacam boneka lucu di etalasenya. Aku baru saja akan beranjak menuju toko itu untuk membuat Ervin terkejut, namun aku mengurungkan niatku saat melihat Ervin keluar dari toko boneka tersebut dengan Stella yang bergelayutan manja di lengannya. Dia memeluk Erat boneka teddy bear pink berukuran sedang yang sepertinya baru mereka beli dari toko tersebut. Mereka berbincang akrab, dan sesekali Stella cekikikan mendengar lelucon yang dilemparkan Ervin.

Iya, aku tahu Ervin bukan pacarku. Dia cuma teman, dan seharusnya aku tidak merasa cemburu melihat kedekatannya dengan perempuan lain. Tapi ... Aku tidak bisa menghentikan perasaan sakit hati ini.

Ah. Sudahlah Rin, seharusnya kamu nggak usah berharap sama Ervin. Menghela napas aku kemudian melanjutkan acara jalan-jalanku.

#

Dua hari kemudian saat aku masuk kantor, gosip tentang Ervin yang berpacaran dengan Stella sedang begitu hangat diperbincangkan. Dua hari belakangan ini Ervin selalu kepergok jalan bareng Stella. Dan bahkan kemarin, menurut rumor yang beredar, Ervin seharian berada di apartemen Stella (Entah apa yang mereka lakukan, hanya Tuhan yang tahu).

Opie menanyakan kebenaran berita tentang Stella dan Ervin padaku, aku hanya bisa mengangkat bahu dengan muka sok polos. Memang aku tahu apa? Aku ini cuma teman. Yah. Cuma teman.

Cuma Teman Ran, jangan berharap lebih.

#

"Besok hari sabtu. Aku, Ave, Romeo, sama Stella mau ke Lamongan buat jalan-jalan. Nginap di sana, dan kita pulang hari minggu sore. Kamu mau ikut?"

Dan jadi obat nyamuk buat kalian? "Nggak." Aku menggeleng sambil menikmati soto di depanku tanpa minat.

Ervin menanyakan kesediaanku untuk ikut liburan dengan dia dan pacar barunya, di depan teman-teman divisiku yang tengah makan-makan di sebuah restoran enak (perayaan keberhasilan Ervin dan Pak Tommy yang tertunda waktu itu). Jujur membuatku agak tersinggung.

"Kenapa?" Tanyanya polos.

"Karena aku mau keliling cari kontrakan."

Ervin mendesah. Dia terlihat hendak mengatakan sesuatu, namun dia mengurungkan niatnya. Dia lalu berbalik untuk mengobrol dengan Randy yang duduk di seberang kami. Topik pembicaraan mereka nggak jauh-jauh dari kata 'Bola'.

"Rin! Erin." Opie yang duduk di sebelahku tiba-tiba menyenggol. Wajahnya memerah salah tingkah.

"Apa?"

"A-anu. Itu cowok yang make seragam tentara, yang merhatiin kamu dari tadi ganteng banget," ucapnya pelan sambil menunduk malu.

Sebelah alisku terangkat tinggi melihat tingkahnya. Mengkuti arah tatapan Opie, aku menemukan beberapa pria berseragam loreng TNI, tampak berbincang serius di salah satu sudut ruangan restoran tempat kami makan. Dua diantaranya tampak sudah berumur dan memiliki pangkat yang tinggi, sementara dua lagi tampak seumuran denganku. Dilihat dari jahitan lambang berbentuk garis kuning pada salah satu lengan mereka (si dua tentara muda itu), aku bisa menebak kalau mereka berpangkat Sertu, atau sersan satu. Salah satu dari antara dua tentara muda tersebut memperhatikanku dengan seksama, keningnya tampak berkerut mencoba mengingat. Dan ... Aku juga merasa seperti mengenal tentara itu, tapi siapa ya?

Selang beberapa menit aku kemudian mengingat siapa dia. "SOMAD!". Suaraku terdengar lebih keras dari yang kuharapkan. Semua orang di restoran menatapku aneh, termasuk Opie dan Ervin.

Tentara muda yang kusebut sebagai 'Somad' itu menyeringai senang, sepertinya suaraku terdengar sampai ke meja mereka. Sampai ketiga bapak tentara lain yang sedang serius berbicara menoleh dan memandangku bingung. Hehe, jadi malu.

Si 'Somad' tampak berbicara dengan atasannya, seperti mungkin meminta ijin untuk bicara denganku. Karena di detik berikutnya dia bangkit dari duduknya, lalu beranjak menghampiri mejaku dan teman-teman.

'Somad' berdiri tepat di depanku. Memamerkan senyum miringnya yang manis dan menawan. "Hai Kancil. Lama nggak ketemu dirimu kayaknya nggak bertambah tua ya?"

Aku tertawa mendengar candaannya. Bangkit dari kursiku, aku lalu melemparkan diri ke pelukannya. "Mas'ud! Gue kangeeennnn!"

Tawanya makin keras. Tahta Dirgantara. Salah satu sohib kentalku semasa SMA, aku tidak menyangka akan bertemu dengannya disini. Dan aku juga tidak menyangka kalau cowok yang mulutnya nyinyir kayak dia bisa jadi tentara. Hahahaha.

Tahta menjitak kepalaku pelan. "Lu masih lupa sama nama gue, Cil? Nama gue Tahta, bukan Somad atau Mas'ud," katanya pura-pura tersinggung. Aku tertawa. Tahta tidak bisa mengobrol lama denganku karena dia datang kemari bersama atasannya, kami bertukar nomer ponsel. Lalu dia kembali ke mejanya. Tahta berjanji akan menghubungiku nanti.

Dari pembicaraan singkat kami, aku akhirnya tahu ternyata Tahta berdinas di Surabaya. Dia sudah menjadi seorang TNI selama kurang lebih lima tahun, karena selepas SMA dia langsung mendaftar sebagai seorang calon Bintara TNI—dan lolos hingga dia bisa menjadi seperti sekarang.

Pertemuan dengan Tahta membuatku tidak bisa berhenti tersenyum. Dia sahabat dekatku di SMA, sejak kelas satu sampai kelas tiga kami selalu sekelas. Dulu saat SMA, Tahta, Keken, dan juga Wira merupakan dewa-dewi yang selalu 'menyelamatkanku' dari sifat otoriter Ayah. Tak terhitung berapa puluh kali mereka terkena masalah karena mengelabui ayahku, agar aku bisa bebas walau sesaat dari kurungan 'sangkar emas' keluarga Burhan. Ah, melihat Tahta membuatku jadi merindukan Keken dan juga Wira. Bagaimana khabar mereka sekarang ya? terakhir kali kudengar, Keken sudah menjadi Kowad dan bertugas di Jakarta. Sementara Wira katanya sih sedang berada di Irian. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan disana.

"Siapa tadi?" tanya Ervin yang sudah tiba-tiba berada di sampingku. Suaranya terdengar tak senang.

"Teman," jawabku singkat.

"Teman? Mesra amaaat," katanya sinis. Apa-apaan sih?

"Maksud kamu?" sebelah alisku terangkat, tidak suka dengan nada bicaranya.

"Yakin kamu sama dia cuma teman dan bukan mantan pacar?" Opie memperhatikan pembicaraan kami dengan serius.

"Mau dia teman atau bahkan mantan pacarku apa urusannya sama kamu?" balasku dingin. Apa dia lupa kalau ini belum pernah pacaran. Dan kenapa dia berubah jadi sangat menyebalkan?

Ervin menggertakan gigi. Dia mengakhiri pembicaraan kami dengan bangun dari kursi dan beralasan kalau dia akan pergi ke toilet.