Lahir sebagai perempuan biasa di keluarga biasa, tidak pernah dianggap cantik, tidak populer juga di sekolah. Orang pasti akan beranggapan hidupku nantinya akan datar - datar saja. Namun entah kenapa takdir sepertinya berpihak padaku dengan cukup ekstrim. Aku bisa menikah dengan seorang CEO tampan.
Namaku Sekara Amidala, orang - orang memanggilku Rara. Dari kecil, aku selalu diantar ke sekolah oleh ayahku yang berprofesi sebagai driver mobil box. Ia adalah kurir dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang food & beverages.
Ayahku sangat ramah kepada semua orang. Ia menyapa teman - temanku di sekolah, maka dari itu dua orang sahabatku, Alya dan Fitri sangat senang jika ayahku datang menjemput, mereka sering menumpang untuk pulang karena rumah mereka searah denganku.
Ya, aku dijemput dengan mobil box. Dan yang senang dengan hal itu hanyalah kami bertiga. Sedangkan yang lainnya hanya melemparkan tatapan sinis seolah berkata, "dasar orang miskin".
Kami bertiga berasal dari keluarga sederhana, yang kebetulan bisa masuk ke SMA favorit melalui jalur beasiswa. Tak jarang kami mendapat cemoohan dari teman - teman seangkatan, tapi aku dan kedua sahabatku tak terlalu memperdulikan itu dan kami hanya belajar semampu kami.
Tiga tahun masa SMA, semua orang sepertinya memiliki masa - masa indah. Digebet senior, dapat pacar populer, jalan - jalan bersama gengnya. Tapi aku, Alya, dan Fitri hanya melalui semua itu dengan belajar dan berusaha untuk tidak ketinggalan pelajaran. Karena jujur saja, tak semua bisa mendapatkan privilege hidup nyaman seperti yang lain.
Ayahku bekerja dengan waktu yang tak tentu, dan tak punya hari libur. Sabtu dan minggupun harus mengantar barang. Sedangkan ibuku seorang guru honorer yang gajinya tak seberapa. Namun keduanya tetap tabah dan saling menguatkan. Terutama saat kematian adikku saat lahir.
Waktu itu umurku delapan tahun, dan Ibu sangat terpukul dengan situasi itu. Kondisi saat USG terakhir baik - baik saja, namun ketika waktu lahiran tiba, sang bidan yang kurang berpengalaman melakukan malpraktek sehingga menyebabkan meninggalnya sang bayi. Ibuku tak berpikir untuk menuntutnya dan hanya bisa pasrah. Jadilah aku anak semata wayang hingga kini.
Kami bertiga memiliki gebetan masing - masing. Dan semuanya adalah pria - pria populer yang tak mungkin terjamah oleh wanita biasa seperti kami. Namun ada seorang cowok yang sekelas dan sering kami bergabung dengan kelompok belajar kami, namanya Irvan. Irvan cukup baik dan tak sedikitpun menyinggung soal keadaan sosial kami, meskipun terlihat ia berasal dari keluarga yang cukup mampu.
Dari kelas dua hingga tiga, kedua sahabatku selalu mengatakan kalau Irvan memiliki perasaan kepadaku melihat dari gelagatnya. Tapi aku yang tak merasakan itu dan hanya menganggapnya teman, sudah pasti menganggap itu hanya lelucon.
Masa SMA pun berakhir, kami bertiga lulus dengan nilai baik, namun tidak punya kenangan yang cukup indah untuk dikenang. Aku, Fitri, Alya, dan Irvan memilih kampus yang benar - benar terpisah jauh. Bandung, Jogja, Semarang, dan Jakarta. Ya, kami semua akhirnya lost contact selama kuliah.
Aku berkuliah di universitas negeri di Jakarta karena berhasil lulus melalui seleksi SMPTN, aku benar - benar merasa beruntung, karena aku sendiri tak terlalu yakin dengan jawabannya.
Memilih jurusan manajemen, bukanlah hal yang sulit untuk dilewati. Di kelas aku berteman dengan Millen, seorang perempuan berparas cantik bak artis yang selalu membuat orang menoleh kepadanya saat kami jalan bersama. Kami menjadi dekat karena kami sekelas sewaktu persiapan ujian SMPTN. Dirinya sangat populer sehingga banyak sekali pria yang berusaha mendekatinya, sedangkan aku benar - benar hampir melewati semuanya tanpa diliputi asmara sedikitpun.
Namun tak diduga di tahun kedua aku dekat dengan seorang cowok yang berperawakan biasa, namun dia cukup manis dan berperilaku lembut. Yang pada akhirnya aku mendapati dia hanya memanfaatkanku karena ingin mendekati Millen saja.
Lama kelamaan aku semakin jengkel, namun Millen sangat baik dan tak pernah melihatku dengan pandangan sebelah mata, jadi kami tetap dekat sampai mendekati akhir tahun perkuliahan.
Dan fakta baru yang kutemukan, Millen rupanya memiliki geng yang beranggotakan anak populer dari setiap jurusan berbeda. Suatu hari ketika sedang bab di toilet, aku mendengar Millen masuk bersama geng barunya lalu berdandan di depan wastafel.
Ia ditanya oleh salah satu temannya yang juga tampil bak selebgram ketika ke kampus. "Kenapa sih lo berteman sama cewek itu?"
"Yang mana?"
"Yang anak supir mobil box"
Oke aku paham kemana arah pembicaraan ini.
"Gue cuma manfaatin dia biar gue lulus dengan nilai baik aja, biar jadi seleb tapi nilai gue tetep oke", Millen menjawab dengan santai.
Aku shock dan terdiam. Rupanya begitulah keadaanya. Aku sudah disadarkan oleh tuhan. Semenjak itu aku memblokir kontak Millen dan tak pernah menjawab pesannya ataupun mengobrol di kelas. Aku sakit hati mendengarnya. Millen yang awalnya bersikeras karena tak mengerti perubahan sikapku akhirnya menjauh juga dan kami tak berhubungan lagi.
Sampai akhir perkuliahan, aku tak punya sahabat, maupun pacar, namun semua terbayarkan dengan IPK yang bisa cukup kubanggakan.
Lulus dan wisuda, membuat kedua orangtuaku begitu bangga. Ayah berjanji jika aku diterima kerja di perusahaan yang bagus, ia akan mengajakku liburan. Apalagi ayahku sudah dipromosikan menjadi supervisor maka gajinya lebih baik.
Tak butuh waktu lama untuk lamaranku bisa dibalas oleh HRD sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang elektronik.
Sesuai janji, ayah mengambil cuti di hari kerjanya, lalu mengajak aku dan ibu liburan di puncak. Ia menyewa sebuah villa yang didapat dari kenalannya. Ia bahkan menyewa mobil kantor agar kami bisa pergi dengan nyaman.
Namun hari itu, bukannya menjadi indah, namun menjadi hari paling gelap, mencekam dan traumatis di dalam hidupku.